Summary: Di tahun 1644, pernah terdengar sebuah lagu yang begitu indah. Lagu yang berlirik sedih itu belum sempurna dan tidak memiliki akhir, karena si pencipta membawa sepenggal bait yang melengkapinya pergi dari dunia ini. Bait yang hilang bersama rintikan hujan dan kobaran api.
Disclaimer: Kubo Tite
Rate: M
Warning: standar drama romance ala Poppyholic Uki, no humor, penyakit typhos yang ga sembuh-sembuh, angst, SARA, sedikit chanbara style, dll
Recommendated Songs: Zankoku no Sekai (Eureka 7 BGM), Namoaki Oka ~A Hill With No Name~ (Yoshida Brothers), Yunnagi (Yoshida Brothers)
!Attention!
~Uki's style alert! Buat yang ga terbiasa dengan cerita drama ala Uki, mungkin bakal ga suka plus marah-marah karena ga seru.. tenang aja itu hal yg wajar dan sudah jadi rahasia umum di FBI…
~ no humor n parody, but angst… buat yang ga tahan dengan tipe cerita fic seperti ini, mending tutup aja fic ini. Ga usah dipaksain
~ Perlu pemikiran lapang n dewasa, ni fic nyinggung-nyinggung SARA… buat yang ga suka, tutup aja ni fic. Ga usah dipaksain
~ no lemon, buat reader yg buka ni fic karena ngarepin adegan lemon, ga usah ngamuk-ngamuk ya? Hayo, rate M bukan berarti ada lemon! Dasar mesum!
~ mohon dibaca attention ini… jangan menyesal di akhir cerita…
###
Sepenggal Bait
by
Poppyholic Uki
…
Awan yang menyelimuti langit, berwarna hitam. Hujan yang turun begitu deras, namun tidak menghentikan langkah seorang wanita muda yang berlari menembus rimbunnya hutan. Sesekali ia menengok ke belakang, waspada dan takut. Kimononya basah dan penuh lumpur dan sandal jerami sebelah kirinya telah putus. Dia terduduk dan menyandarkan dirinya ke sebuah batang pohon Sugi, mendekap kedua lututnya. Nafas memburu yang tidak teratur, rambut yang berantakan, serta luka-luka gores di kedua tangannya, memberikan gambaran usaha kerasnya untuk menembus hutan ini.
Cuaca gunung sungguh tidak bersahabat. Awan hitam yang menutupi langit tidak memberi celah untuk sinar matahari. Hutan di bukit dan lembahnya sangat berbahaya bagi siapapun yang tidak mengenal medannya. Sungguh beruntung kabut belum turun dan melingkupi kawasan ini. Salah melangkah kau mungkin akan terjatuh dari tebing. Mati dan menjadi bagian dari kawanan roh-roh tersesat yang konon kabarnya tak dapat pergi dari tempat ini. Di bawah sana, aliran sungai meluap dan mengarung begitu ganas, menerjang bebatuan sungai dengan kemarahan.
Suara-suara langkah beberapa puluh orang semakin mendekat. Mulai dari kaki bukit, dua regu bushi bersenjata lengkap bergerak menyisir hutan. Sang komandan ikut bersama mereka dengan kudanya. Hujan yang tak kunjung reda tidak menyurutkan semangat mereka sedikitpun. Semua demi tugas dan kemuliaan serta kehormatan yang mereka junjung tinggi.
Suara-suara berisik yang dibuat para bushi itu menyadarkan si wanita muda yang menggigil kedinginan itu dari mimpi yang hampir hinggap. Dia memaksakan tubuhnya yang kelelahan untuk kembali berlari, tidak perduli bahwa dirinya tak lagi mengenakan alas kaki. Tak dirasakannya batu-batu kerikil tajam yang dijejakinya. Lalu, dia tersungkur akibat akar pohon yang melintang di depannya. Para bushi akhirnya melihat si wanita muda, mereka mengejarnya. Dan si wanita muda kembali berlari, memanfaatkan postur tubuhnya agar dapat menghindar dari kejaran. Semakin rapatnya barisan pepohonan cukup menyulitkan usaha para bushi. Dengan kasar dua bushi yang berada di depan membabat ranting-ranting pohon dan semak-semak yang menghalangi jalan mereka. Tetesan air hujan terus membasahi kawasan ini.
Satu langkah yang salah membawa si wanita muda ke ujung tebing. Hamparan pohon di bawah sana nampak empuk, tapi kau tahu maksudku. Saat ia mencoba berlari lagi, para bushi telah mengepungnya dalam jarak beberapa depa. Tidak ada jalan untuk lari lagi. Sang komandan merangsek maju ke depan si wanita muda.
"…"
"Mantan oiran dari Katsura-ya, anggota klan Kuchiki, Kuchiki Rukia! Kau dinyatakan bersalah atas pembunuhan, pembakaran dan pemberontakan atas Shogunate Tokugawa! Menyerahlah atau kami terpaksa membunuhmu!" Sang komandan berseru.
"…"
"Perempuan, serahkan dirimu baik-baik! Berlakulah sepantasnya sebagai anggota terakhir klan Kuchiki!"
"…"
" Hei perempuan! Apa kau tuli ha?" seru seorang bushi tak sabaran.
"…"
.
.
.
.
Seorang bushi muda menapaki kakinya di daerah hiburan malam. Lampion-lampion cantik menghiasi toko-toko yang tidak hanya menjual sake tapi juga menawarkan kehangatan dan cinta semalam bagi para pengunjungnya. Suara tsuzumi, shamisen, koto,biwa,dan alat-alat musik lain serta suara canda tawa memberi nuansa yang amat khas di distrik ini. Teriakan dan nyanyian mabuk tak diharamkan, bahkan seringkali terdengar sumpah serapah yang mengalir seperti aliran sungai.
Pria muda itu memasuki salah satu toko besar yang berjejer. Dari luar dia dapat mendengar suara petikan koto yang dimainkan begitu halus dan piawai. Salah satu komuro menyambutnya dan memberi isyarat pada pemilik toko yang hanya mengangguk pada si bushi muda. Si pemilik toko memberinya tarif khusus bukan hanya karena ia pelanggan tetap, tetapi juga tamu kesayangannya. Tepatnya tamu kesayangan salah satu oirannya. Si pemilik toko memperhatikan si bushi dari jauh. Beberapa gadis lain menyapanya dan dibalas ramah oleh si bushi. Komuro yang masih anak-anak itu mengantarnya ke sebuah ruang terpisah, komuro yang lain dengan sigap membawakan sake dan teh, tergantung pilihan tamunya. Ruangan itu meski sederhana,tapi tampak siap menyambut tamunya.
"Bagi-bagilah dengan yang lain," kata bushi itu sambil menyerahkan sekantung permen pada si komuro cilik sebelum meninggalkan ruangan dengan sopan. Wajah gadis kecil itu begitu cerah saat menerima pemberiannya. Dengan tersenyum ia meninggalkan sang tamu sendirian.
Si bushi yang hanya membawa wakizashi ke dalam ruangan itu, membuka jendela agar keharuman dupa wangi tidak begitu menyengat. Dia tahu gadisnya tak begitu menyukai harum yang pekat. Kemudian dia duduk di dekat jendela,menikmati angin malam dan secawan sake. Suara petikan koto masih mengalun. Dia jadi teringat saat pertama kali berkunjung kemari, saat itu juga terdengar suara koto. Waktu itu ia hanya menemani tuannya menikmati hiburan malam. Di ruangan yang besar dan mewah telah berkumpul beberapa orang kelas atas. Beberapa geisha telah menari dan jamuan makan malam telah dihidangkan. Si bushi yang hendak keluar ditahan oleh tuannya dan terpaksa ikut duduk di sana. Lalu…
"Kalau boleh saya tahu, apa yang anda pikirkan sambil tersenyum-senyum begitu, tuan?" suara lembut membuyarkan lamunannya. Ia terkejut dan nyaris menjatuhkan cawan sakenya. Oiran itu menutup pintu ruangan dan meletakkan koto yang dibawanya.
"Apa tuan sedang memikirkan saya?" godanya.
"Ya," jawabnya enteng.
"Benarkah? Sebaiknya tuan jangan menggoda saya."
"Aku tidak sedang menggodamu, Rukia. Minggu lalu sudah kubilang jangan gunakan bahasa formal padaku. Panggil saja dengan namaku."
"Tuan Kurosaki, di sini saya bukan 'Rukia', tapi 'Shirayuki'," katanya lalu duduk di samping tamunya. Si oiran merebut cawan kosong dari tangan tamunya, lalu mengisinya kembali.
"Yoruichi-san tidak ada di sini. Jika kau menolak, aku akan berhenti mengunjungimu," ucapnya seraya menerima cawan dari tangan oiran itu.
"Tapi…"
"Tidak ada 'tapi-tapi'! Panggil aku dengan namaku!" tuntutnya sambil menghabiskan isi cawannya. Si oiran berniat kembali mengisi cawan yang kembali kosong.
"Itu mustahil…" lirihnya. Si bushi, Kurosaki Ichigo, menghentikan tangan yang ingin mengisi kembali cawannya.
"Cobalah." Tatap matanya memancarkan keseriusan.
"… Ichigo…" Namanya terucap dari bibir mungil yang dioles tipis dengan gincu merah.
"Bagus!" Ichigo mengisi sendiri cawan miliknya dan sebuah cawan yang belum tersentuh. Cawan itu diberikan pada si oiran.
"Kalau begitu aku bebas memanggilmu dengan nama aslimu."
"Tuan-"
"Dengan namaku, Rukia!" kembali dia menuntut. Ichigo kembali meneguk cairan memabukkan itu.
"Ichigo, jangan menggodaku!"
"Hahahaha… Sekarang kau sudah berani memakai bahasa sehari-hari padaku ya."
Oiran itu memalingkan wajah. Dia, Ichigo, benar-benar tahu cara menggodanya. Ia takut jika si pemilik toko tahu bahwa tamunya memanggilnya dengan nama aslinya, namun ia juga merasa senang dan rindu ketika tamu istimewanya itu memanggil dengan nama yang sudah sangat jarang tertangkap oleh telinganya. Jari-jari mungilnya menggenggam gemas ujung kimononya. Malu. Tanpa diduga, Ichigo berbaring dengan menggunakan pahanya sebagai bantal. Dia bersenandung gembira atas kemenangannya menggoda si oiran.
Jari-jari yang halus itu tanpa sadar membelai rambutnya. Ichigo tersenyum.
"Kau tidak suka dengan namamu sendiri, Rukia?" tanyanya sambil masih berbaring. Menyesap sedikit sake dari cawan.
"Bukannya tidak suka, hanya saja sudah lama sekali."
"Jarimu," Ichigo kembali duduk lalu menangkap tangan kanan si oiran. "… Kenapa?"
"Hanya terkena pecahan piring, tak usah khawatir. Aku masih bisa memainkan beberapa lagu. Apa kau mau?" tawarnya sambil beranjak mencoba meraih kotonya.
"Tidak apa-apa. Jangan memaksakan diri." Si oiran kaget karena tamunya memeluknya tiba-tiba. Sebuah pelukan yang erat dan mendominasi. Namun ia tahu apa yang akan dilakukan tamunya dalam waktu beberapa menit berikutnya. Meski tak setiap kali berkunjung tamu kesayangannya itu meminta, si oiran tetap sadar bahwa oiran menjual cinta semu semalam. Dan hal itu juga berlaku sama pada dirinya.
Lewat tengah malam, Ichigo pamit pada oiran itu danYoruichi, si pemilik toko. Malam ini ia tak menginap seperti minggu lalu, tapi ia berjanji pada si oiran untuk datang berkunjung pada esok lusa. Seorang komuro membawakan katananya dan mengantarnya sampai di depan distrik merah itu. Bulan empat belas hari bersinar begitu terang menerangi langkah si bushi
…
Memandangi awan yang berarak, si oiran menghentikan sesi berlatih koto. Hembusan angin membawa daun-daun bambu dan willow. Oiran membiarkan saja jendela yang terbuka, sebelum akhirnya salah satu komuro menutupnya.
Cuaca cerah namun tak menyengat serta membawa keindahan tak dihiraukan oleh Kurosaki Ichigo. Awan mulai berarak menutupi matahari. Duduk seorang diri di kompleks kuburan di belakang kuil, ia memandangi salah satu nisannya. Nisan itu telah dibersihkan, dan dia telah memberinya bunga. Makam kecil yang tak tercantum namanya. Makam yang diam-diam dia bangun untuk sahabat baiknya yang tewas dalam peristiwa enam tahun silam, di semenanjung Shimabara. Seorang kirishitan yang pernah ia kenal dengan baik.
"Uryuu, hal ini datang lagi padaku. Kau pasti menertawakanku di 'sana' kan?"
"Anggota terakhir klan Kuchiki telah ditemukan. Selama ini dia bersembunyi di Katsura-ya. Kurosaki, temukan dia dan bunuh! Bawa kepalanya ke hadapanku! Tidak boleh ada seorang klan Kuchiki di Han-ku!" Perintah tuannya dua hari yang lalu.
"Tak sulit menemukannya, sejak awal aku sudah tahu jatidirinya," ucapnya pada nisan itu.
"Tak peduli jika dia dan ibunya diabaikan oleh ayahnya! Jika ayahnya berdosa, seluruh keluarga ikut menanggung dosanya! Itu aturan kaum bushi! Dosa Kuchiki Byakuya tak dapat diampuni oleh Tokugawa! Membantu pihak kirishitan dan portugis untuk menggulingkan Tokugawa, itu dosa besar!"
"…"
"Tunjukkan pengabdian pada Tuan Kubo! Shogun Iemitsu akan memberikan penghargaan pada Han ini! Han kita bisa sejajar dengan Choshu dan Aizu! Kejayaan dan kekayaan akan berada di tangan kita!"
"Aku tak menyukai ambisinya…"
"Bunuh satu atau dua angsa tidak akan memberi karat pada katana! Kurosaki laksanakan!"
"Aku mencintai wanita itu. Sangat."
"Hahahahahahahahahahahaha! Sungguh tak kusangka akan ada anggota klan pengkhianat menjadi angsa di distrik merah! Hahahahahahahaha!"
" Tapi…"
"Hahahahahahahahaha…!"
"Aku, Kurosaki Ichigo, ini anjing peliharaan bakufu. Anjing pemburu yang setia pada tuannya. Kau pasti tidak akan memaafkanku ya?"
Awan kembali berarak dan mulai meninggalkan matahari. Cahaya keemasan tanda hari petang, menyinari tempat itu. Sekawanan gagak terbang serentak menuju gunung.
…
Oiran itu terkejut dan menghentikan permainan kotonya, saat tamu kesayangannya itu menggeser pintu dan masuk ke dalam ruangan. Suara ramai khas pesta terdengar dari ruangan sebelah yang lebih besar. Malam di Katsura-ya hari dirasa lebih ramai dari biasanya. Si bushi menutup kembali pintu.
"Tuan, saya-"
"Kau lupa ya, Rukia?" tanyanya.
"… Kukira kau benar-benar akan berhenti mengunjungiku, karena kemarin kau tak datang. Padahal kau sudah berjanji padaku."
"Maaf ya."
"Ichigo? Ada apa?" Si oiran menyadari bahwa tamu kesayangannya itu tidak menitipkan katananya dan membawanya masuk ke dalam ruangan. Hal yang dilarang di Katsura-ya.
"…"
"Ichigo?"
"…"
"Apa kau hanya mengunjungiku sebentar? Apa kau akan pergi menunaikan tugas?" tanya bibir berpoles gincu tipis itu lagi.
"Ya." Ichigo berjalan mendekati si oiran, yang didekati hanya memandanginya. Lalu Ichigo mengeluarkan katana dari sarungnya, menempelkannya pada leher oiran yang dicintainya.
"…"
"Atas nama daimyo Shiba, mewakili Tokugawa, aku Kurosaki akan memberikan hukuman bagi anggota keluarga Kuchiki yang terakhir."
"…" Darah sedikit mengalir di leher berkulit putih mulus itu.
"Wanita, apa kau siap?"
"… Silahkan, tuan," jawab si oiran.
"… Apa dari awal kau memang sengaja mengelabuiku?" Ichigo menatap oiran yang ada di hadapannya dengan lurus.
"Ya… dan tidak, tuan."
"Apa-"
"Lakukan saja, tuan. Nyawa oiran seperti saya tidak berharga. Anda tidak perlu ragu."
"…"
"…"
Si bushi tidak bisa menahan perasaannya lagi. Katana terlepas dari genggaman tangannya, dan dia jatuh berlutut dan memeluk si oiran. Tubuh besar itu seakan-akan ingin menelan tubuh mungil yang ada di dekapannya. Si oiran bisa merasakan perasaan yang berkecamuk dalam hati tamu kesayangannya. Suara isakan yang tertahan menjadi satu-satunya suara yang terdengar dari si bushi. Air mata tak lagi dapat dibendung, dan meleleh, mengalir di pipi si oiran. Kalau bisa, ia ingin terus berada dalam dekapannya, ingin terus merasakan limpahan perasaan dari si bushi.
"Ichigo…"
Yang dipanggil namanya melonggarkan pelukannya agar dapat melihat wajah yang dikasihinya. Mata indah yang tak pernah pergi dari benaknya itu kini berkaca-kaca. Butiran-butiran bening mengalir dan jatuh membasahi kimononya. Si oiran ingin berkata, tapi tak ada satu kata yang bisa dikeluarkannya. Suaranya tertelan oleh tangis yang tertahan. Melihat itu, Ichigo ikut meneteskan air mata. Pantang bagi bushi untuk menangis, tapi dirinya tak lagi dapat mengendalikan perasaannya. Ichigo membawa kedua tangannya untuk menangkup wajah si oiran. Sebelum dirinya berucap sepatah kata, rasa sakit datang menyeruak dan menghadirkan bau amis yang sangat dikenalnya.
"Rukia…?"
Sekali lagi si oiran menghujamkan pisau di jantung pria yang istimewa baginya itu. Pandangannya kosong dan air mata masih mengalir di pipinya, tapi bagi si bushi wajahnya tetap secantik yang ia ingat. Ichigo kemudian segera merasakan sakit yang amat sangat dan rasa dingin mulai menjalari kakinya. Sebelum ia kehilangan keseimbangan dan kuasa atas tubuhnya, si oiran menopang dan memeluknya. Perlahan pandangannya mengabur, dia tak lagi sanggup membalas pelukan itu. Suara tangis si oiran masih didengarnya. Warna hitam lalu mendominasi pandangannya dan suara tangis si oiran perlahan menghilang.
Oiran yang menangis itu mencoba menguasai hatinya. Perlahan ia merebahkan jenazah pria yang dicintainya itu. Tangannya yang berlumuran darah membelai wajah yang kini tak akan tersenyum lagi padanya untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan di bibir yang dingin itu. Dengan menopang sebuah sekat ruangan, oiran itu mencoba bangkit. Pelan-pelan dia mengambil sebuah lilin.
"Maaf, Ichigo… Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai diriku sendiri…"
Dengan berakhirnya kata-kata dari bibir itu, si oiran menjatuhkan lilin itu dengan sengaja. Dia beranjak dari sana dan menutup pintunya, dengan diam-diam meninggalkan distrik merah. Api mulai merambat dan membakar apa yang ada di hadapannya. Katsura-ya terbakar. Angin dari gunung datang membantu dan membuat api menyala semakin besar. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Beberapa sibuk mencoba memadamkan kobaran api. Tapi api yang telah membesar, menjilathanguskan bangunan-bangunan di sekitarnya.
Dari jauh si oiran memandang ke arah distrik merah. Langit menyala merah, udara semakin memanas. Seluruh distrik merah terbakar, menjadi upacara pemakaman bagi si bushi. Lalu, si oiran menghilang di tengah kerumunan orang-orang.
.
.
.
.
"Mantan oiran dari Katsura-ya, anggota klan Kuchiki, Kuchiki Rukia! Kau dinyatakan bersalah atas pembunuhan, pembakaran dan pemberontakan atas Shogunate Tokugawa! Menyerahlah atau kami terpaksa membunuhmu!" Sang komandan berseru.
"…"
"Perempuan, serahkan dirimu baik-baik! Berlakulah sepantasnya sebagai anggota terakhir klan Kuchiki!"
"…"
" Hei perempuan! Apa kau tuli ha?" seru seorang bushi tak sabaran.
"…"
Langit bergemuruh, gelap. Tetesan butiran hujan yang besar terasa menyakitkan. Para bushi masih menunggu perintah dari komandannya. Semua dalam posisi siaga dengan katana terhunus ke depan, ke arah wanita muda itu. Si mantan oiran hanya menatap tanah yang berlumpur.
"Ingin lari ke mana? Kau tidak bisa lari lagi!"
"Apa kau ingin mati!?" hardik seorang bushi.
"Aku…" dia mulai berkata.
"Kau-" Seorang bushi lainnya ingin segera menebasnya, tapi sang komandan memberi isyarat untuk mundur. Wanita itu, Rukia, menatap lurus pada sang komandan.
"Padahal aku hanya ingin memainkan banyak lagu… Melihat senyumnya… Menghabiskan sisa umurku dengannya… Tapi keinginanku itu begitu egois…"
"Rukia-"
"Aku tidak akan lari lagi… Tapi aku akan menyusulnya."
Matanya memancarkan kesiapan, ia berjalan mundur lalu berbalik dan terjun dari tebing. Tidak ada suara teriakan yang memekakkan telinga, hanya ada suara hujan yang tak kunjung berhenti. Beberapa bushi melongokkan kepalanya ke dasar tebing, namun air hujan membuat pandangan mereka mengabur.
"Tuan?"
"Kita kembali!" perintah sang komandan.
"Siap!"
…
"Apa yang kau lihat, Rukia?"
"Kunang-kunang… Mereka sangat cantik."
"Benarkah? Tapi sebentar lagi mereka mati, mereka bersinar begitu cantik sebelum mati."
"Kasihan sekali, padahal mereka terlihat begitu bebas."
"Kelak, aku pasti akan melepaskan ikatanmu dengan Katsura-ya."
"Ichigo…?"
"Sampai saat itu tiba, kau boleh iri dengan mereka."
Selesai
…
~ bushi: klo di luar jepang disebutnya samurai
~ komuro: pelayan kamar/oiran. Biasanya perempuan dan masih anak-anak
~ wakizashi: pedang pendek
~kirishitan: sebutan untuk umat kristiani pada masa itu, merujuk pada katolik roma
~ han: wilayah/territorial yg dipimpin oleh daimyo
~ Tuan Kubo: maksudnya shogun tokugawa
A/N: yoohoohoo… jangan timpuk Uki dengan botol dulu. Uki jelasin dulu ya… Chanbara style udah lama ada di otak Uki, Cuma ide fic ini tau2 datang begitu aja tanpa undangan… settingnya jaman Tokugawa, enam tahun setelah pemberontakan Shimabara. Menurut uki sih latar belakang pemberontakan ini bukan karena agama, tapi ekonomi dan politik soalnya Portugal kabarnya memberi bantuan pada orang-orang kirishitan. Tau kan? Kayak di Indonesia dulu itu… politik pecah belah. Nah yang membantu pasukan Tokugawa itu Belanda, makanya setelah pemberontakan, oraang-orang Spanyol, Portugal, n Inggris ga boleh berdagang di Jepang. Cuma orang Belanda aja yang boleh, itu pun terbatas di Nagasaki, sampe akhirnya Komodor Perry dari Amerika nongol. Nah, soal buru-memburu, itu emang bener. Orang-orang yang berkaitan dengan pemberontakan Shimabara diburu or diintai. Dalam kasus Rukia, karena si kepala keluarga berkhianat pada shogun, semua anggota keluarganya harus dihabisi. Kejam? Tapi itu kenyataan. Soal 'angsa', uki pinjem istilahnya dari manga Peacemaker Kurogane…
Lebih afdol dibaca sambil denger lagu yang uki rekomendasiin di atas, tapi ga nanggung klo tambah bad mood ya… trus buat yg pengen romance lebih, maap ya… Nah! Sekarang boleh deh ngelempar uki pake reviews… hehehehehe…
RnR!
