Naruhina Fanfiction
Liku Hati
Oleh Anniserde
Disclaimer Masashi Kishimoto
Republish dari Wattpad
Semi Canon, AURomance, Hurt
Pairing Naruhina Gaahina
CHAPTER 1
PERNYATAAN KEDUA
Haaaah letihnya, mungkin begitulah alunan keluhan semua peran dalam kisah ini. Perang maraton dan berkepanjangan diakhiri dengan kemenangan meski dengan tumbal beraneka pengorbanan. Perang dunia ninja ke-4 resmi ditutup saat dua pahlawan tampan ini tergeletak tak berdaya seusai duel maut sepanjang sejarah. Namun senyum semakin memonopoli. Kurva tulus yang tersusun seakan tak peduli lenyapnya salah satu anggota gerak mereka. Meski jiwa raga letih melewati ambang batas luar biasa. Dua tokoh pusat cerita itu seolah menuai kebahagian di antara kehilangan. Bahkan sebuah lengan masing-masing pun seolah pantas menebus gelitik suka cita dalam kalbu mereka.
Suasana hangat menjalar seusai rekan wanita beserta sensei hebat tim mereka tiba berselimut carut marut perasaan yang membuncah. Ingin tertawa belum pantas, ingin bercucuran air mata bukan tempatnya. Justru yang terjadi diluar kendali, kedua emosi yang bertolak belakang itu melebur dan menyatu pada pahatan wajah sang gadis merah jambu.
Menyaksikan kehadiran si jenius bidang medis itu, luasan senyum pahlawan pirang meningkat dan pahlawan gelap tersungging tipis. Mata si tampan berhelaian hitam tak beranjak dari sosok kepayahan satu-satunya gadis dalam lensanya saat itu.
"Sakura-chan," gumam si pirang yatim piatu itu girang.
Sementara si surai legam di sebelahnya memilih sedikit memanjangkan untaian kata maafnya pada Sakura yang lebih tertarik memfokuskan jurusnya pada luka dua sahabatnya itu.
Sensei yang senantiasa menyembunyikan paras rupawannya itu menatap ketiga muridnya dengan mata menyipit. Sinyal mata pertanda lengkungan indah bibir tipisnya yang terselubung. Syukur menggema di hatinya akan kehadiran formasi lengkap tim kebanggaannya itu kembali.
Mereka kembali bersua dalam gelombang suka cita. Menapak langkah jalanan Konoha mantap meski tenaga mengering dan terseok. Kekejaman, ketakutan dan kengerian perang telah berlalu namun jalan nasib dua pahlawan ini masih menuai cerita. Sang sensei rupawan, Hatake kakashi, mengemban tongkat estafet gelar Hokage dari Nona Tsunade. Si Pahlawan tampan pemilik masa lalu kelam, mendapat ganjaran sementara sebelum melakukan langkah keliling dunia menebus dosa. Uchiha terakhir itu menolak transplantasi lengan buatan dan berusaha hanya bersandar pada sebelah alat gerak atas.
Si pirang sunggingkan senyuman selebar hatinya, matanya menatap maklum pada niat mulia sahabat sekaligus saudara senasibnya. Sosok berkulit eksotis itu menanti dari balik onggokan serat kambium dari jarak yang tak begitu jauh. Sementara Sakura Haruno, gadis cantik bermata secerah permadani alam itu yang hanya mampu menatap sendu pujaannya, mendadak melongo hebat. Beberapa saat lalu dua sejoli ini terlibat percakapan singkat yang membuat Sakura Haruno putus asa sebelum Si Bungsu Uchiha menutup percakapan dengan kalimat tak terduga.
"Aku akan segera menemuimu," celetuk Sasuke setelah mendaratkan sentilan manis pada dahi Sakura.
Sensei jenius Konoha menyipit senang menyaksikan romantika remaja di antara murid-muridnya. Sementara Sakura hanya terdiam merasakan taman hatinya bertaburan kelopak bunga. Perbuatan langka Sasuke. Menjanjikan manisnya cinta pada seorang gadis dengan sebaris sederhana.
Enam bulan berlalu semenjak genderang perang tak lagi terdengar. Konoha dalam masa pemulihannya. Pembangunan desa masih dalam proses pembuktian meski beberapa bangunan belum sempurna nampak sudah kokoh berdiri. Hinata Hyuuga menatap kediaman klan Hyuuga dalam diam. Tak banyak kerusakan berarti yang memakan waktu lama untuk menyempurnakan kembali. Namun masih ada beberapa shinobi klannya yang terlihat merenovasi.
Sesosok pria dewasa membuyarkan lamunan sang nona di depan gerbang mension yang menjulang. "Hinata-sama!" sapanya santun setelah beberapa detik lalu tubuhnya membungkuk hormat.
Hinata menoleh, kedua alisnya terangkat pelan.
Seolah memahami pertanyaan sang penghuni rumah utama, mata pria gagah ini melirik jalur setapak menuju ruang utama. "Hiashi-sama menunggu anda!"
Hinata mengangguk pelan. Kakinya segera membimbing rasa penasarannya menuju sesuatu yang penting hingga ayahnya rela sedikit menunggu. Tak lupa sebaris ucapan terima kasih dan lengkungan lembutnya menyapa indra penglihatan Kou, pengawal pribadinya.
Langkahnya melintasi gawang pintu utama yang sengaja terbuka menyambut kemunculannya. Sang kepala klan mengangguk tipis menatap putri sulungnya. Hinata segera duduk bersimpuh di hadapan sang pemimpin berwajah tegas tersebut.
"Hinata," panggilannya pelan nan berwibawa. Hinata menanggapi dengan anggukan.
Hiashi mendesah berat, seolah ada seonggok batu mendiami kepalanya.
Wajah Hinata tampak khawatir. "Apa ada sesuatu yang gawat, Otou-sama?"
Hiashi kembali mendesah. "Sebenarnya, jauh lebih tidak mengkhawatirkan dibanding perang kemarin tapi...!" Laki-laki usia senja itu menggantungkan kalimatnya.
"Syukurlah, Otou-sama," lirih Hinata lega, "Tapi apa? Kenapa anda bereaksi seperti ini?"
Hiashi menatap putrinya dalam. "Masalah ini tidak mudah diputuskan, semenjak permohonan proposal itu aku terima."
Hinata mengerutkan keningnya. "Saya tidak mengerti! Proposal apa?"
"Proposal lamaran untuk pernikahanmu!" jawab sang kepala keluarga tegas.
Mulut Hinata menganga kecil. Entah apa yang harus dilontarkannya. Banyak hal mendadak berseliweran liar di kepalanya. Bahkan kata menikah belum pernah melewati otaknya untuk waktu dekat.
"Aku tidak tahu harus menjawab apa pada mereka," tambah si pria lagi.
"Mereka?" jerit Hinata tersentak. Ingat akan tata krama keluarganya, Hinata membungkam bibir kecilnya. Kepalanya menatap tempatnya bersimpuh.
Hiashi kembali menghela napas entah yang keberapakalinya.
l
"Aku lupa berapa tepatnya, yang jelas ada lebih dari sepuluh lamaran untukmu!"
Si Pirang Naruto dan sahabatnya, Sakura, melangkah beriringan menjauhi menara Hokage. Selepas menyampaikan laporan dan informasi keberhasilan misi, mereka berpisah dengan Sai di lorong gedung pemerintahan itu. Entah kepentingan apa yang seolah membuat langkah Sai terburu-buru undur diri dari kedua sahabat sekaligus rekan setimnya.
Naruto melipat kedua lengannya di balik leher. "Sakura-chan, setelah ini mau kemana? Kita makan dulu ke ichiraku, yok! Aku lapar darurat tak bisa ditunda!" ajak Naruto memecah sunyi antara langkah mereka sepanjang jalan desa.
Sakura mendesah. "Aku juga lapar...tapi aku tak sabar segera sampai rumah. Sasuke-kun mengirimi surat tapi aku belum sempat membacanya karena aku ada misi dadakan Itu!" gerutu si cantik bersungut-sungut.
"APA?" teriak Naruto membelah awan hingga Sakura menyumpal telinganya yang berdenging dengan jari.
Tangan gadis itu terkepal. "Awas mengagetkan sekali lagi!" ancamannya.
Naruto bergidik ngeri. "Ma ... Maaf Sakura-chan ... aku hanya kaget dengan si teme itu. Dia pilih kasih. Kenapa aku tak dapat surat????" protesnya.
Sakura memberengut mendengar ocehan sahabat sedari kecilnya itu. Tiba-tiba bibir indahnya menyeringai ketika pandangan mata hijaunya tanpa sengaja membentur sesuatu. "Naruto, tujuanmu sudah di depan mata!" celetuknya sambil memposisikan jari telunjuknya pada obyek tersebut.
Wajah Naruto sumringah akut. Kedai ramen favoritnya memupuk kembali binar matanya. Dengan tenaga tersisa segera menyeret langkahnya mendekati pujaan perutnya sembari melambai sampai jumpa lagi pada Sakura.
Sakura cekikikan. "Dasar gila ramen!"celetuknya.
Sakura kembali melanjutkan langkahnya sambil menerawang ke angkasa. Langit panas menyilaukan matanya. Sebelah tangannya menghalau pandangannya dari terik sang surya.
"Bagaimana hubungan si baka itu dengan Hinata, ya?" tanyanya entah pada siapa.
"Selamat datang!" sapa pemilik kedai ramah ketika kaki kanan Hinata menginjak ruangan sederhana beraroma gurih tersebut.
Hinata tersenyum lembut hingga matanya menyipit. "Arigatou, Paman Teuchi dan Kak Ayame!"
Suara Hinata sukses menarik perhatian pemuda di pojokan. Lehernya segera berputar mencari sosok yang baru saja menampakkan diri di kedai itu. "Hinata, kesini!" teriak Naruto dengan mulut penuh ramen sambil melambaikan lima jari.
Hinata tersentak. Matanya membulat menatap aura ceria pemuda idaman hatinya yang masih mengabaikan pernyataan cintanya saat invasi pain dulu. Hinata melangkah ragu mendekati bangku kosong di sebelah Sang Pahlawan Dunia Shinobi itu.
"Hinata-sama, mau pesen apa?" tanyanya Ayame ramah.
"Por... Porsi jumbo, Ayame-san!" sahut Hinata pelan.
Teuchi dan putrinya mengangguk mengerti. Tangan cekatan sang ayah segera melakukan sihirnya pada bahan makanan di sekelilingnya yang akan dimulai menjadi pesanan Hinata.
Naruto menepuk bahu Hinata pelan. "Kau dari mana, Hinata?" celetuk Naruto basa basi sambil meneliti wajah Hinata dari samping.
Hinata menunduk malu. Semburat merah samar di kedua pipi putihnya. Dilirik sebelah kirinya melalui ekor matanya, yang tertangkap penglihatan lavendernya sesosok makhluk dengan cengiran mautnya dan lima mangkok sisa makanan teronggok di dekatnya.
Naruto menautkan alisnya, "Hinata?" tanyanya heran menyaksikan kebungkaman Hinata.
Hinata menggeleng cepat, "Aku ... dari rumah, Naruto-kun!"
Naruto mengangguk seolah paham. "Habis itu mau kemana? Apa cuma mau makan di sini?" tanyanya lagi dengan wajah dibuat seserius mungkin. Nampak dari pakaian harian serba panjang yang membalut tubuh gadis itu, cukup menjelaskan dia sedang tidak dalam misi. Setahun belakangan, tepatnya setelah invasi pain, Naruto sering bertingkah bak jurnalis kesiangan pada Hinata. Setiap melihat Hinata, hasrat banyak kata meningkat tajam. Alhasil, Hinata selalu dibuat meriang disko dengan rentetan pertanyaan Naruto yang tak begitu penting. Dasar rubah aneh! Otaknya sendiri pun tak paham pada polah tubuhnya yang tak dapat terkendali saat kedua mata birunya menangkap sosok Hinata.
Hinata menelan ludahnya gugup. "Setelah itu mau ... mau ke toko bahan kue! Hanabi minta dibuatkan kue coklat!"
Cengiran andalan Si pemilik kyuubi itu melebar. Tangannya menyentuh bahu Hinata lembut. "Aku antar setelah makan, ya!" tawarnya.
Hinata terbelalak. Desiran dada yang susah payah ditekannya, memacu semakin cepat. Tangannya bergetar. Keringat gugup mengaliri pelipisnya. Sikap manis Naruto kembali membisikkan angan segar dalam benak Hinata. Jika perasaannya tersampaikan dan terbalaskan, ayahnya tidak akan lagi kerepotan membuat alasan penolakan pada para pelamar dan Hinata akan bahagia bersama Sang Terkasih, Uzumaki Naruto. Angan indah Hinata mulai mengembara liar.
Hinata mengepalkan tangannya. Kepalanya mengangguk pelan menjawab tawaran Naruto. Hari ini sekali lagi Hinata akan mencuri kesempatan menyatakan cintanya kembali.
Misi pribadi Naruto menemani Hinata berbelanja kebutuhan membuat kue telah terlaksana. Mereka segera meninggalkan toko beraroma tepung itu setelah mengucapkan terima kasih. Kini mereka melangkah ringan sepanjang jalan Konoha. Nampak Hinata menunduk dan Naruto menenteng beberapa bungkusan di kedua lengannya.
"Hinata," gumam Naruto memecahkan keheningan.
Hinata menoleh namun tetap melangkah pelan. Mata lavendernya bertabrakan dengan biru laut indah yang tengah menyeringai lebar. Hinata menaikkan kedua alisnya.
"Apa ada acara di rumahmu, kenapa belanjanya banyak sekali?" tanya Naruto heran sekaligus penasaran.
Hinata menggeleng kalem. "Bahan-bahan ini hanya untuk persediaan. Saat senggang aku senang memasak dan membuat kue. Selain Hanabi-chan, aku juga membuatkan Kiba-kun dan Shino-kun."
Naruto menunjuk hidung runcingnya. "Aku dapat bagian, tidak?"
Mata Hinata membulat sekejap. Saat sadar dia segera membenahi mimik wajahnya yang cantik. "Ah, baiklah akan aku buatkan untuk naruto-kun!"
Senyum Naruto semakin lebar selebar area tempatnya berlatih. "Arigatou!" ucapnya riang.
Hinata mengangguk tipis. Pikirannya kembali berkelana pada rencana dan tekad pernyataan cintanya yang keduakalinya pada pemuda yang melangkah di sampingnya ini.
Jalan gang mendekati kediaman Hyuuga mulai lengang. Hanya beberapa gelintir orang melintasi mereka dan sesekali menyapa ramah. Jarak pandang Hinata dengan gerbang utama juga semakin memendek. Terik surya siang menjelang sore ini terhalang pagar tembok tinggi yang mengelilingi pekarangan luas Hyuuga. Teduh mereka rasakan saat sengat sang mentari tak langsung menerpa mereka.
Hinata mendadak berhenti setelah memastikan sekelilingnya senyap. "Naruto kun!" panggilnya pelan namun masih mampu menyentuh gendang telinga lawan bicara.
Naruto menutup langkahnya. "Ada apa, Hinata?"
"Aku ... aku ..." penyakit lama Hinata kambuh. "Aku mencintaimu!" sebaris kata akhirnya terhempas ringan juga.
Naruto terbelalak. Beberapa barang dipelukannya hampir tercerai-berai. Kedua lengan kekarnya mengerat. Naruto kembali menata raut wajahnya. Ini bukan pertama kali Hinata mengutarakan perasaannya. Namun kilatan petir bagai mengejutkan kerja jatung yang tak mampu terkendali.
"Bagaimana menurutmu, Naruto-kun?"
Kepala Naruto mendadak buntu. Pernyataan itu kembali didengarnya. Rasanya tubuhnya ingin limbung dan menyerah pada gravitasi bumi. Tapi apa kata dunia ninja kalau pahlawan mereka bimbang mengatasi urusan cinta.
Otaknya memerintahkan kembali memutar film masa lalu yang telah dilaluinya bersama Hinata. Otak bodohnya mencoba mencari makna kebersamaan mereka. Semakin merenung semakin denyutan ngilu yang dirasakan kepalanya. Naruto semakin tidak mengerti. Satu hal yang diyakininya, Hinata adalah sahabat yang sangat ingin dilindunginya.
"Hinata, sebenarnya..."
Bersambung ...
Terimakasih sudah membacaSaya mohon maaf atas banyaknya kesalahan dalam penulisan. Mohon saran dan kritik yang membangun. Terima kasih.
