[Akademi Onct]
Genre: drama. Romance?
pair: noren, markmin, chensung
cast: nct dream
rate: T

Summary: Selamat datang di Akademi Onct, di mana bakat dan gelar sangat menentukan. / "Sejauh apa yang kamu ketahui soal sekolah ini?" / "Bayaran di sini mahal." / "…baik. Kurasa kamu tidak tahu banyak soal sekolah ini ya."
.

.

Semua orang terlahir dengan bakatnya masing-masing. Kepercayaan ini adalah yang menjadi dasar dari berdirinya Akademi Onct yang terkenal sangat mumpuni dalam mengasah bakat setiap muridnya. Tingginya biaya pendidikan pertahun secara tidak langsung mengajukan syarat bagi orangtua dari calon murid untuk selalu bisa mengeluarkan sejumlah uang secara cuma-cuma. Mungkin untuk beberapa orang, ada yang enggan untuk mengeluarkan uang hanya untuk bersekolah, tapi iming-iming masa depan terjamin memang tidak ada yang bisa menghindar. Buktinya, memang ada banyak yang mendaftar tiap tahunnya.

Tes masuk dikatakan lumayan sederhana. Tidak jauh berbeda dengan tes-tes masuk sekolah lain, kecuali di Akademi Onct, ada penjurusan minat yang dilakukan sejak masa pendaftaran. Di sini, murid dibedakan menjadi dua; sastra dan olahraga, dan menjadikan seni sebagai penyetara. Ya, murid tidak diharuskan menguasai sastra dan olahraga sekaligus. Tapi sebagai gantinya, mereka harus menguasai seni di bidang apapun.

Bisa dibilang, justru penjurusan minat inilah yang lebih dikhawatirkan peserta tes ketimbang pelajaran yang lain, karena adanya kontrak untuk bagaimanapun, calon murid yang diterima harus dengan senang hati mengikuti KBM, terlepas dari merasa cocok atau tidaknya mereka di jurusan yang ditentukan oleh pihak sekolah.

Seseorang diterima masuk ke Akademi Onct jurusan olahraga, tapi dia merasa lebih berbakat dalam hal menulis puisi ketimbang men-tackle lawan di lapangan football. Dengan adanya surat kontrak yang sudah ditandatangani, dia tetap harus menjadi bagian dari Akademi sampai lulus. Pindah sekolah karena orangtua dipindahtugaskan? Tidak jadi masalah, karena di sini, selama tiga tahun, murid harus menetap di asrama.

"Jadi," kata lelaki berambut terang dengan suara dehaman sebelumnya. Dia menelaah sosok lelaki lain dengan rambut merah menyala yang berdiri di depannya, yang daritadi hanya menyiratkan senyum aneh. "Kamu murid pindahan."

"Yap. Ini surat keterangan lulusku." Dia menyerahkan surat yang dimaksud, yang lalu diterima si rambut terang yang jawline-nya benar-benar bisa jadi bukti bahwa Tuhan benar adanya.

"Namamu Lee Haechan?" dia membaca nama yang tertera pada surat dalam genggamannya. Yang ditanya mengangguk dalam-dalam. "Oke. Lee, Haechan." Dilipatnya surat itu, lalu dikembalikan pada si yang bersangkutan. "Namaku Lee Jeno, kelas 2 jurusan olahraga."

Murid pindahan yang diketahui bernama Haechan itu lalu mengulurkan tangan pada Jeno yang sudah lebih dulu memberikan tangannya. "Salam kenal. Panggil aku Haechan saja."

"Sejauh apa yang kamu ketahui soal sekolah ini?" Jeno melontarkan pertanyaan begitu mereka selesai berjabat tangan.

"Bayaran di sini mahal."

Hm. Oke. Itu memang benar.

"Lalu?"

"Di sini harus asrama. Aku capek packing-nya lho."

"…baik. Kurasa kamu tidak tahu banyak soal sekolah ini ya." Dia masih mengusahakan tersenyum, walaupun tangannya sudah gatal ingin mengurut keningnya, perihal jawaban-jawaban yang diberikan si murid pindahan ini yang entah kenapa bisa diluluskan.

"Memang. Jelaskan, coba. Akan kudengar."

Ketika baru saja Jeno terlihat ingin membuka mulutnya, seseorang yang lain yang berambut cokelat keabuan (yang sedari tadi juga ada di sana) langsung memotong. "Aku Huang Renjun. Kelas 2 jurusan sastra," katanya dengan nada angkuh. "Kami-lah yang ditunjuk untuk selalu mengecek murid pindahan karena posisi kami yang adalah ketua asrama. Jadi, kutanya sekarang, apa kamu dapat gelar?"

Haechan memiringkan kepalanya. "Gelar? Gelar apa?"

"Gelar di surat berkas yang lain. Yang bukan surat keterangan lulus. Kamu dapat surat lain selain itu kan?" Jeno menimpali sambil sekilas melirik pada si Huang Renjun dengan tatapan yang bisa diartikan sebagai 'jangan menyela', tapi tidak begitu diindahkan oleh yang dilirik.

"Oh, iya aku dapat surat lain lagi. Tapi tidak ada soal gelar, kurasa," jawabnya masih dengan senyum anehnya yang barusan. "Dan surat itu tidak kubawa karena kukira itu tidak penting." Dia menambahkan ketika dia lihat Renjun seperti sudah siap meminta untuk diberi lihat suratnya.

Renjun membuang napas. "…belum ada gelar baru lagi ya," katanya, kecewa. "Lalu? Surat mengenai jurusan? Bawa kan?"

"Bawa, bawa." Dirogohnya isi tasnya. "Kubawa karena aku tidak mengerti bagaimana bacanya."

Jeno menerima surat yang disodorkan Haechan padanya. Ini prosedur yang sudah berkali-kali dirinya dan si rambut cokelat keabuan di sebelahnya itu tangani. Seharusnya mereka adalah yang paling tahu di sana mengenai apapun yang tidak dimengerti si murid pindahan. Tapi tulisan di surat itu benar-benar tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

Yunani, Romawi.

"Aneh kan? Katanya itu surat hasil penjurusan, tapi isinya malah Yunani dan Romawi. Maksudnya apa, coba?" omel Haechan sambil melipat tangannya di depan dada, merasa puas melihat wajah Jeno dan Renjun yang sama bingungnya.

"B-Bukan! Kita bingung bukan masalah itu, karena di sini, jurusan dan asrama untuk sastra disebutnya Yunani, dan untuk olahraga, disebutnya Romawi…," jelas Renjun sambil terus mencoba membaca ulang isi suratnya, barangkali dia melewatkan hal penting di sana.

"Jadi ya harusnya, yang tertulis di sini kalau bukan Yunani, ya Romawi…."

Kesimpulannya, mereka tidak pernah kedatangan murid dengan surat hasil tes masuk dengan kedua nama jurusan tertera jelas di sana.

Merasa tidak berhak mengambil keputusan sendiri, mereka berdua segera menggiring si murid pindahan ke ruang kepala sekolah, dan mulai menjelaskan perkara apa yang mendorong mereka semua akhirnya mendatangi langsung orang yang paling dihormati di Akademi Onct itu.

"Hmm… kamu benar-benar tidak punya gelar?" tanyanya setelah membaca surat yang dibawakan Jeno. Dia menatap mata bulat lelaki yang tidak familiar bagi siapapun di ruangan itu.

Haechan menggelengkan kepala. "Tidak, pak. Yang kurasa aneh hanya surat yang tadi itu saja," jawabnya setelah sempat disikut Renjun, yang menyuruhnya untuk menjawab dengan benar (bukan hanya dengan gelengan). "Tapi aku juga tidak tahu sih gelar apa yang dimaksud di sini. Ini SMA kan? Bukan universitas? Kok ngomongin gelar?"

Jeno lalu menambahkan soal bagaimana Haechan memang sepertinya tidak tahu apapun mengenai sistem di sekolah itu. Kepala sekolah lalu menatap lagi pada Haechan. "Gelar, diberikan pada murid-murid yang dikatakan cocok untuk memegang jabatan di sekolah ini," jelasnya. "Ada dua jurusan dan asrama di sini; Yunani dan Romawi. Yunani adalah untuk anak-anak yang dominan berbakat dalam hal berbahasa, sedangkan Romawi untuk yang dominan berbakat dalam pertandingan."

"Jabatan?"

Bapak itu mengangguk. "Ada empat gelar untuk masing-masing jurusan. Yang pertama, Hera, Athena, Leto, dan Aphrodite. Itu gelar-gelar untuk jurusan Yunani. Lalu ada Jupiter, Mars, Apollo, dan Pluto untuk jurusan Romawi." Bapak itu mengangkat tangannya untuk menunjuk dua muridnya di sana yang sedari tadi mendengarkan dengan saksama. "Di sini, ada Huang Renjun dengan gelar Hera, dan juga Lee Jeno dengan gelarnya Jupiter. Berdasarkan gelar yang didapatkan, mereka yang menjadi ketua asramanya masing-masing selama dua tahun terakhir."

Haechan terlihat mengangguk-angguk mengerti dan sekaligus tergugah mendengar penjelasan soal gelar yang menurutnya sangat menarik. Dia melemparkan senyum pada kedua ketua asrama, yang mana tidak begitu dibalas. Tidak apa, pikirnya sebelum kembali menatap kepala sekolahnya. "Lalu? Jurusanku apa? Di suratku ada tulisan Yunani dan Romawi."

"Sebelum ini belum pernah ada yang mendapatkan hasil seperti ini… jadi pantas kalau bahkan Jupiter dan Hera dibuat bingung." Dia melirik pada kedua muridnya yang menelan ludah.

"Apa karena aku terlalu berbakat?"

Renjun mengernyitkan kening mendengar kata-kata Haechan, yang sepertinya diucapkan tanpa niatan bercanda. Dia serius. Tapi justru itu mengundang senyum kepala sekolah. "Haha. Bisa jadi, bocah," katanya dengan senyum lebar. "Jadi kamu bebas memilih. Hasil tes itu di sini dianggap mutlak, jadi pasti di jurusan yang manapun, kamu pasti bisa bertahan."

Renjun dan Jeno sempat bertukar pandang, berusaha memproses apa yang baru saja dikatakan sang kepala sekolah. Haechan bebas memilih jurusannya?

"Um, maaf, saya menyela," kata Jeno dengan terburu-buru. "Tapi bisa dilihat dengan jelas kalau murid pindahan ini sepertinya senang bergerak, jadi saya sarankan dia untuk masuk asrama Romawi…."

Lagi-lagi, Renjun menyikut. "Tidak, tidak juga. Lee Haechan terlihat pandai merangkai kata, jadi asrama Yunani juga akan dengan senang hati menerimanya sebagai anggota baru."

"Kamu tidak lihat barusan? Dia bahkan bicara dengan kepala sekolah tidak dalam bahasa formal! Dia berjiwa bebas. Jelas-jelas dia jurusan Romawi."

"Justru karena itu dia harus ada di asrama Yunani! Dia akan belajar bagaimana caranya berbicara dengan yang lebih tua agar dia bisa dihormati juga! Anak asrama Yunani saling bantu dalam hal belajar!"

"Maksudmu anak asramaku tidak saling bantu?"

"Kenapa? Kalau memang tidak seperti itu, seharusnya kamu tidak akan merasa tersinggung!"

"Ehem."

Diam. Mereka sontak membuang muka sambil menutup mulutnya masing-masing begitu terdengar suara dehaman dari sang kepala sekolah yang sedari tadi mendengarkan cekcok di antara keduanya.

"Masalah bocah ini ingin masuk jurusan mana, biarkan dia yang putuskan. Mengerti?"

Jeno dan Renjun mengangguk pelan. Mereka sering lepas kendali kalau sudah mengenai jurusan dan asrama yang mereka ketuai dengan bangga itu.

"Hmm… aku suka dua-duanya sih… jadi…," gumamnya sambil menyematkan jarinya pada dagu, agar semuanya bisa tahu kalau dia sedang berpikir keras. "Boleh aku ambil dua-duanya? Yunani dan Romawi?"

"HAH? Mana bisa?" lagi-lagi para ketua yang langsung heboh. Mereka lagi-lagi menutup mulut.

"Memangnya kenapa? Ini soal minat dan bakat kan?" Haechan balik bertanya, meminta disetujui. "Hasil tes adalah mutlak. Jadi mungkin memang aku harus ambil keduanya. Bagaimana pak?"

Jeno dan Renjun hanya bisa menunggu apa kata kepala sekolah. Memang selama ini, hasil tes adalah hal yang mutlak dan tidak bisa diganggu apapun juga, tapi untuk satu orang mengambil dua jurusan… tidak ada yang pernah dengar (dan belum ada cerita keberhasilan dari itu).

"Benar juga. Mungkin memang kamu diharuskan ikut keduanya," katanya setelah beberapa saat menimang-nimang. "Oke, Jupiter dan Hera. Kalian urus ya."

"…serius?"

.

.

.

TBC

a/n. halo saya cuma mau bilang kalo… ff sebelum-sebelum ini yang masih tbc kayaknya discontinued (kecuali AADT dan aku yang bahagia dan mungkin yang asrama dan jalan tanpa lampu). Bukan kenapa-kenapa sih. Tapi folder ff ku keapus jadi… aku nggak sreg aja gitu buat nulis ulang. Apalagi sequel sebulan. Udah panjang tapi gara-gara gak ada internet jadi gak bisa up huks.

Gantinya, saya mau bikin chaptered lagi buat noren markmin chensung! Perdana nih bikin chensung.

Dan juga kalo ada yang peka sama username, hehe, aku naik pangkat wkwk. Kasih ucapan selamat dong lmao.

No comment sama nama sekolahnya. Itu literally NCT cuma ditambah o doang di depan.

Review kalo mau dilanjut karena sekarang waktuku sudah tidak lengang lengang kayak yesterday yesterday. Dan ini bisa dibilang eksperimen aja.