Einleitung

-I-

.

.

.

Rombongan manusia membentuk barisan semut bila dilihat dari ketinggian duaratus kaki. Tampak beberapa dari mereka mengenakan sejenis pakaian beludru kasar bekas yang kerapkali digunakan oleh kaum aristokrat sebagai pembungkus persediaan gandum mereka. Naas, tetapi itulah kenyataan. Pahitnya kehidupan di saat-saat tak menentu seperti ini seolah tak memberi sedikitpun harapan masa depan yang cerah. Sebagian besar dari para dewasa akan tiba di garis perbatasan tanpa tangan kosong. Mereka memikul segunung bahan makanan pokok yang dibutuhkan selama berada di kamp pengungsian. Perang yang bergulir semakin menggila dan penjarahan massal mulai terjadi.

Eren Yeagar masih berusia delapan tahun ketika bom percobaan milik Inggris tepat mendarat di atas kawasan perkampungan ia dilahirkan dan hidup. Sebagai satu-satunya anak lelaki, ia berkewajiban untuk menyediakan setidaknya dua ikat ranting kayu yang akan digunakan sebagai bahan bakar sehari-hari—mulai dari urusan dapur hingga pemanas ruangan saat musim salju terekstrem menyerang desa. Ia hanya berjarak limapuluh meter sebelum asap dan abu nampak sebagai sisa-sisa mayat yang berbentuk remahan tulang. Kehidupan yang sesungguhnya baru saja membuka halaman baru dari buku takdirnya. Huru-hara dari mereka yang masih hidup kian membabi buta. Namun, sekitarnya berhenti beresonansi seakan ia mengalami ketulian sementara. Sebab, sejak saat itu, Eren Yeagar resmi menyandang status sebagai yatim piatu.

Ya. Yatim piatu berarti kau tak memiliki Ayah maupun Ibu.

Tak ada air mata meski hatinya menjerit.

Anak-anak di bawah umur yang masih selamat diungsikan ke lokasi teraman di ibukota. Akan tetapi, aman bagi mereka yang tak memiliki siapapun untuk digantungkan harapan adalah kenihilan. Hukum rimba mulai berlaku. Nyaris, tak ada yang bisa bertahan di dalam lingkup keluarga besar sang Fuhrer. Komunisme mengajarimu tuk bertahan hidup dengan cara-cara terkeji apapun juga. Tak peduli kawan ataupun lawan, demi mempertahankan nyawa dan kehormatan, segala cara bisa dilakukan. Karenanya, pemuda bermata turquoise ini memilih menjalani hak fundamental miliknya melalui kebebasan. Ia berlari, melawan, mendobrak, menahan getir rasa sakit, dan berlari.

Satu kali ia memberi teror bagi para kaum terpelajar yang ketakutan. Bocah tak tahu apa-apa ini mampu menghabisi dua perampok berdalih germo sekaligus. Keberhasilannya disebut-sebut mampu menyelamatkan nyawa seorang gadis yatim yang dibuang di jalanan. Isu berkata demikian tapi tak ada kebenaran yang bisa dibuktikan. Hingga, pihak militer yang berhasil menangkapnya di bawah gorong-gorong jalan ibukota dan menjadikannya seorang narapidana. Tetapi, kau lupa, kawan. Eren Yeagar hanyalah pemuda berusia sepuluh tahun. Ia bahkan tak pernah menamatkan sekolahnya hanya untuk diakui sebagai manusia di lingkungan masyarakat urban.

Kesalahan besar yang dilakukan pemuda ingusan itu hanyalah satu hal. Salah satu dari dua germo yang secara nyata dihabisinya dengan pisau daging merupakan warga negara asing. Pihak Inggris membesar-besarkan sebuah masalah kecil. Persoalan yang tiada hubungan dengan hak asasi manusia—lebih tepatnya kaum militer seolah ingin memulai Perang Dunia Ketiga. Maka, Eren segera diterbangkan ke Inggris dengan masih beridentitaskan sebagai seorang refugee—pengungsi. Atau, kau boleh menyebutnya sebagai budak. Budak yang mungkin saja akan menikmati masa-masa kedewasaannya di sebuah penjara terburuk di Oxford.

Dan, kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuknya bertahan dari penderitaan.

Saat ia terbangun, tampak pemandangan lain yang jauh berbeda. Teriknya mentari di Inggris tak pernah secerah Leipzig. Negeri pusat industri pertama di dunia ini jauh lebih ramai dan memusingkan, begitu pikirnya. Asap-asap hitam mengepul melalui cerobong-cerobong raksasa setinggi limapuluh kaki. Langit tak lagi berwarna biru melainkan hitam pekat yang aneh. Tak ada pelangi saat hujan. Bahkan, air di laut tak lagi seasin biasanya. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di benak Eren, namun pemuda ini terlalu sibuk hanya untuk memikirkan satu hari dari hidupnya.

Ia berada di sebuah tempat yang teramat asing. Hanya dinding-dinding bertakhtakan lukisan buruk rupa yang menemaninya. Kedua tangan dan kakinya dirantai—bagai ingin menunjukkan tak ada lagi kebebasan yang bersedia merengkuh si bocah. Eren tak bersedih sebab ia paham akan suatu hal—ia akan menemui Ayah dan Ibunya lagi meski di dunia yang berbeda. Tetapi, Tuhan selalu menyayangi anak-anak yang tak berdosa. Apa yang dilakukan Eren saat itu hanyalah bentuk dari pertahanan diri—mekanisme refleks fisiologis yang bisa dilakukan siapapun bahkan oleh anak-anak. Mereka hanya ingin hidup, bukan? Pertanyaan itu sudah sesuai dengan prinsip sang Fuhrer—bertahan hidup atau mati. Ya.

Dan Eren bukanlah satu diantara mereka.

"Eren? Eren Yeagar?"

Ia membuka mata dan mendapatkan pemandangan tak wajar dari seorang wanita berambut coklat dan berkacamata aneh di depannya. Semakin maju wanita itu mencondongkan tubuhnya hingga dua buah ujung hidung saling bersentuhan. Spontan, si wanita menegakkan diri dan memperkenalkan diri sebagai Hanji Zoe. Nama yang abnormal untuk ukuran seorang pekerja sosial di bidang perlindungan hak-hak anak di kamp-kamp pengungsian.

"Y-ya." jawab Eren serak. Entah sudah berapa lama ia tak lagi diberi kebebasan untuk meneguk segelas air. Ada sesal terlukis di wajah Hanji dan detik berikutnya ia menawarkan substansi cairan bening yang benar-benar dibutuhkan Eren. Pemuda itu mengucapkan terimakasih.

"Maaf, rupanya kami benar-benar terlambat. Tetapi, mengurus dokumen-dokumenmu tidak semudah mentranskripsi berkas-berkas rahasia milik Hitler yang berhasil dicuri mata-mata Amerika. Haha—aku bercanda. Well, Eren. Kau tahu kenapa aku ada di sini, hm?" Eren menggeleng lemah. Tatapan Hanji melembut. Ia lalu duduk untuk menyamakan ketinggian dengan tubuh Eren yang terantai di kursi. "I'm really sorry, Eren. Kurasa, sudah saatnya kau menikmati waktu-waktu yang sempat dicuri paksa oleh bedebah kemiliteran itu. Aku akan membawamu ke sebuah tempat yang nantinya akan kau sebut sebagai rumah. Kau tak perlu lagi dihantui oleh rasa ketakutan. Kau—kini aman bersamaku—ah bersama kami."

Pintu terbuka dan menampilkan sosok-sosok yang sama sekali di luar delusi Eren kecil. Hingga, ia memahami banyak nasihat dari sang Ayah yang selalu diperdengarkan tapi dilupakannya. Meski harus hidup sendiri di dunia ini, tetaplah bertahan sebagai manusia. Dan di saat Tuhan akan memanggil jiwamu, maka tersenyumlah. Eren memandangi sosok-sosok itu sebagai malaikat bersayap putih yang siap menjagal lehernya kapanpun mereka suka. Sayangnya, halusinasi si bocah memberikan pandangan teramat salah.

Sebab, hari itu adalah hari pertama ia mengenal sosok pria bernama Levi.

Satu di antara jutaan manusia yang menatapnya dengan sepasang mata lelah namun penuh kata.

"…dan pria inilah yang telah berjasa atas semua kebebasanmu, Eren. Mulai sekarang, kau harus memanggilnya Ayah, ok?"

Lalu, satu diantara para Ayah yang mencintainya lebih dari apapun juga.

'Vater?'


Attack on Titan (進撃の巨人) © Hajime Isayama

(no material profit is taken from this fanfiction)

All warnings for those who hates long narratives, mostly using English in many conversations, AU, time-skipping, mind blowing, angsty fonder, historical centric, and distortion between reality and dreams.


Snow in Pendulum

(a sequel or even a prequel of the previous related story—'Vater')

by Leon

July, 2013


Cushion putih yang tepat diletakkan oleh arsitek interior di hadapan kubikel tv hitam putih sungguh menarik minat siapapun tuk menyelam lebih dalam ke mimpi. Marline Monroe mengibaskan bawahan gaunnya dari efek angin yang sengaja dibuat-buat oleh sutradara film agar kaum Adam berdecak kagum dan berfantasi liar. Sebaliknya, tak ada aktivitas terbaik yang bisa dilakukan pemuda remaja ini selain menikmati setoples kue coklat bersama segelas susu hangat dan menunggu. Dibiarkannya si kubikel tv bernyanyi-nyanyi riang sementara yang menonton hanya mengganti-ganti channel dengan tatapan bosan.

Di saat potongan kue coklat terakhir mendarat di kavitas oralnya, bersamaan itu pula garis-garis hitam putih membentuk tampilan kue lapis di layar tv. Jam dindong raksasa di sudut bilik santai bernyanyi riang. Tepat pukul duabelas malam dan lagi-lagi, Levi, sosok yang sedari tadi dinantinya belum kembali dari urusan yang disebut adult man business. Pemuda itu tak paham dan berharap untuk tidak memahaminya sebab Mikasa dan Armin selalu mencecarinya dengan gosip aneh-aneh perihal kegiatan apa saja yang bisa dilakukan pria dewasa hingga larut malam.

Berbicara soal dua sahabatnya yang kini telah berbahagia dengan kesibukan serta hobi masing-masing, di lain pihak, Eren Yeagar seolah tak memiliki masa depan yang jelas. Mikasa pasti sedang melewati tur pendakian gunung Everest bersama penjelajah yang digemarinya sejak kecil, sedangkan Armin—well—pemuda pirang satu ini pasti sedang menemukan rasi bintang baru bersama Paman Erwin dan Hanji. Pasca koma yang dialaminya selama lima bulan, ia berharap dapat menyembuhkan ingatannya dengan lebih baik lagi. Untuk itu, Levi sengaja melarang pemuda ini mengikuti kegiatan-kegiatan fisik yang berat. Bersekolah masih dilakukannya, namun apa gunanya sekolah jika liburan musim dingin baru saja dimulai? Lagipula, akademi St. Finbar yang berbasis sekolah katolik memang memberikan waktu liburan khusus selama pertengahan bulan Desember hingga tahun baru pada murid-muridnya. Itu artinya, Eren tengah menjalani liburan paling membosankan selama enam belas tahun hidupnya.

Eren meringkuk dalam selimut bulu domba. Perlahan-lahan pula, kedua kelopak turquoise-nya memberat dan sulit untuk dibuka oleh kendali motoriknya. Ia benar-benar mengantuk sekarang.

Bunyi langkah-langkah sepatu yang semakin jelas berakhir di sebuah pintu kayu mahoni berlekuk. Bekas butiran salju putih terjatuh tepat di bawah kaki si empunya langkah. Sementara sibuk meletakkan syal beserta mantel tebalnya, sosok itu memutar gagang pintu. Bunyi derit pintu terdengar pelan seolah tak ingin membuat orang yang tertidur di dalam bilik remang itu terbangun. Suara thud dari boks koper terbias oleh nyanyian jam dindong di menit kelimabelas. Bayang hitam berjalan stabil dan kian membesar tepat di balik cushion putih yang tak kosong.

Levi mendengus sembari mengibaskan sisa-sisa butiran salju yang terjatuh di puncak rambutnya. Diamatinya seorang pemuda tanggung yang terbungkus selimut wol hangat tengah terlelap dalam damai. Nafasnya terlihat berirama seperti menunjukkan ada mimpi indah yang begitu panjang sedang dialaminya. Memikirkan bagaimana suhu udara yang akan terus menurun hingga pagi, Levi mengambil keputusan cepat. Dibaringkannya tubuh si pemuda—Eren—di tempat ia seharusnya berada.

Hanya merupakan ranjang dua tingkat yang khusus dirancang untuk dua orang sekaligus. Namun, penghuni ranjang teratas tengah berada di belahan bumi lain. Susah payah Levi mencari-cari tombol penyala lampu di antara kegelapan yang nyata, bahkan ia nyaris membuat tubuh Eren lunglai di satu sisi. Jangan salahkan kondisi anatomis tubuhnya yang—yah—tidak terlalu bisa dibanggakan. Begitu-begitu, Levi mampu menghabisi limabelas narapidana pelarian berbadan tambun yang berusaha memalak Eren kecil di sudut jalan sepi.

Tak ada sleeping kisses. Tak ada dongeng sebelum tidur. Tak ada pelukan untuk memulai mimpi indah. Cukup dengan doa, maka Levi yakin pemuda bertekad baja itu dapat melalui lelapnya dalam kedamaian yang sempurna.

Seribu pertanyaan melayang-layang di benak Levi. Tepatnya, pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuahkan kekhawatiran yang semakin sulit untuk dibiarkan. Tidak sepantasnya ia memendam rasa sayang yang teramat posesif pada Eren. Ia membenci segala bentuk kelemahan perasaan yang menumpulkan logika. Sebab, realitas akan menunjukkan seberapa besar keinginan bertahan hidup, bukan rasa cinta yang tak memiliki wujud materi. Kekalutan Levi menjadikannya sesosok manusia yang mampu melihat dunia dengan visioner. Topeng yang dikenakannya hingga saat ini berhasil mengubur siapa dirinya di masa lalu. Sehingga, alasan ia mampu menjadi nahkoda yang disegani oleh semuanya terletak pada perasaan imbisil berbentuk cintayang telah lama hilang dari jiwanya.

Eren memperlihatkan hal yang sebaliknya. Pemuda itu memberi kekuatan sekaligus kelemahan baginya. Kebingungan semacam ini sangat dibenci Levi.

Kesal, Levi memilih menyingkir secepat mungkin dari bilik Eren meski samar-samar ia dapat mendengar igauan pelan dari bibir pemuda itu.

"Verlass mich nicht. Verlass mich nicht, Levi."—Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku, Levi.

Levi.

Levi.

Levi.

Kelereng obsidian Levi membulat penuh. Melingkar secara maksimal.

Lalu, ketakutan dan kekhawatirannya semakin memuncak di saat yang tidak begitu tepat.

.

.

.


To Be Continued


Dictionary :

Snow In Pendulum—Salju dalam Pendulum. Kosakata Pendulum dalam bahasa Indonesia memiliki arti sebagai bandul. Benda yang terdiri dari bola-bola metalik yang tersusun secara horizontal kemudian digantung dengan besi. Coba bayangkan ayunan, modelnya persis sama. Setiap kali kita menggerakkan bola di sisi paling pinggir bandul itu, bola-bola lain di sebelahnya akan ikut bergerak. Terkadang pula, pendulum dijadikan oleh ahli hipnotis sebagai media terapi. Analogi berhubungan dengan fanfiksi ini sebenarnya terletak pada hidup Eren yang selalu mengikuti waktu. Meski, si waktu itu sendiri mengalami distorsi. Ada tumpang tindih antara dunia dalam AU dan canon. (spoiler).

Sementara salju mengikuti setting of season di sini.

Enleitung berarti prolog.

A/N :

Sebuah sekuel atau mungkin prekuel dari fanfic saya si SnK sebelumnya (Vater). Jadi, chapter ini cuma prolog singkat tentang penggambaran apa yang sebenarnya terjadi sama Eren di masa lalu. Jadi, banyak naratifnya ketimbang dialog. Dan, ini menjadi poin penting untuk perkembangan chapter-chapter ke depan. No more explanations in this chappy. #dibuang ke angkasa.

Gomen kalo dalam sekuel/prekuel ini belum banyak menjelaskan hal yang detil soalnya itu juga rahasia yang gak mau dibagi sama si author gendeng ini. #digibeng Hehe.

Oh iya, terima kasih sebesar-besarnya saya hanturkan bagi yang mereview fanfiksi berjudul 'Vater' saya (73777778910, akihikofukuda71, Lonceng Angin, Hoshigami Sheia, Freund, Anoctnymus, chun is haru, fugacior, Patto-san, dan Furuu) dan yang mengefave tapi terlalu banyak untuk saya sebutkan satu-satu. Semoga kalian tetap suka sama sekuel ini. Dan, maaf jika terlalu banyak kekurangannya dan saya yakin itu. (yay)

Chapter dua akan dipublish secepatnya. Selebihnya, saya serahkan semuanya pada reader sekalian.

Until next time we meet,

Leon.