Pinku Attack

.

boneka kecil

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

.

.

Gaara baru saja selesai menenggak habis sisa softdrink-nya ketika seorang cewek berpenampilan sangar tiba-tiba berdiri di hadapannya sambil bersedekap tidak sabar. Cewek itu memandang Gaara sebal. Mulutnya kelihatan penuh oleh permen karet. Gaara menatapnya bingung.

"Onii-chan!" kata cewek itu tiba-tiba.

"Hah?" Gaara buru-buru menengok ke kanan-kiri-belakang, mencoba memastikan bahwa bukan dirinya yang dimaksud.

"Gaara-nii!" seru cewek itu kesal. Kedua manik emerald-nya menatap Gaara lurus-lurus. "Nii-chan udah lupa sama adik sendiri?"

Gaara berhenti menoleh. Kedua matanya balas menatap kaget cewek di depannya. "Adik gue?" Ia mengarahkan telunjuknya ke wajahnya sendiri, kemudian beralih ke wajah cewek itu. "Elo?"

"Iyalah!" Cewek itu semakin keras mengunyah permen karetnya. Ia tidak habis pikir kakaknya bisa sekonyol itu.

Gaara segera merogoh saku jeans-nya dan mengeluarkan sebuah foto seorang cewek cantik berambut soft pink panjang. Ia mengamati foto itu beberapa detik, kemudian beralih memandang cewek di hadapannya. "Njrit, beda banget!"

Cowok berambut merah itu kelihatan syok, seperti masih tidak mempercayai kalau cewek berambut pink ngejreng dengan model ala skinhead di depannya adalah Haruno Sakura.

"Makhluk astral dari mana lo?" desis Gaara tidak tahan. Ia mengamati penampilan Sakura dari atas ke bawah, kemudian kembali lagi dari bawah ke atas. Baru ketika ia akan mengatai lagi, cowok itu langsung menangkap sebuah benda berkilau di lidah Sakura.

"Heh, apaan tuh?" Gaara mendekatkan wajahnya. "Tindik?!"

Cewek itu mengangkat sebelah alisnya. "Emangnya kenapa?"

Kami-sama.

Seharusnya Gaara percaya saja pada kata-kata ibunya.

Kemarin sore, Kurenai, ibunya—dan tentu saja ibu Sakura, menelepon Gaara dari seberang kota untuk memberitahukan bahwa Sakura akan dikirim ke Konoha—tempat di mana Gaara sekarang tinggal—dan disekolahkan di sekolah yang sama dengan Gaara.

Mulanya Gaara menyambut kabar gembira itu dengan sukacita. Maklum, sudah hampir lima tahun ia tidak bertemu dengan Sakura. Orang tuanya sudah lama berpisah. Sakura tinggal bersama ibunya, dan Gaara dengan ayahnya—Asuma.

Di dalam sambungan teleponnya itu, Kurenai menceritakan perihal kepindahan Sakura yang membuat Gaara tertawa geli. Katanya, Sakura baru saja terlibat kasus tawuran antar pelajar dan terpaksa di-drop out dari sekolah. Tentu saja Gaara tidak percaya. Ia tahu betul adiknya yang manis dan lembut itu tidak mungkin berbuat menyimpang apalagi sampai ikut tawuran. Sounds like impossible. Sangat tidak masuk akal. Alih-alih percaya, Gaara malah yakin seratus persen kalau adiknya itu hanya difitnah.

Tetapi semua anggapannya berubah ketika Sakura muncul dengan sosok yang berbeda. Cewek itu datang bersama rambut acak-acakan, pakaian tidak nyambung, dan penampilan yang sangat jauh dari kesan foto milik Gaara.

"Nggak, gue nggak mau punya adik kayak preman! " Gaara sudah bersiap-siap bangkit dari kursinya, tetapi tangan kuat Sakura menahan lengannya.

"Waaaah... Selain udah jadi preman, lo juga mulai nggak sopan ya sama kakak sendiri!" Gaara menepis tangan Sakura dan segera pergi dengan langkah lebar-lebar.

"Gaara-nii!" Sakura berteriak super kencang, tetapi Gaara tidak mengacuhkannya. "AH! DAFUUUUUUQ."

.

.

.

.

"Okaasan harusnya masukin dia ke rehabilitasi, bukannya dititipin ke aku!"

Suara protes Gaara menggema di ruang tamu. Ia baru saja tiba di rumah dan ibunya langsung meneleponnya untuk memastikan bahwa ia sudah bersama Sakura. Tetapi begitu mendengar jawaban bahwa Gaara meninggalkannya di stasiun sendirian, suara Kurenai berubah panik. Ia terus-terusan menangis di telepon, membuat kepala Gaara berdenyut hebat.

"Sakura nggak perlu direhabilitasi, dia kan nggak kena narkoba..." isak ibunya dari seberang.

"Tapi aku nggak mau tinggal bareng preman. Apa kata temen-temenku nanti, Kaasan." Suara Gaara melunak, tetapi penuh underestimate.

"Gaara—"

"Maaf, Kaasan."

Kurenai kembali menangis.

Tepat ketika Gaara akan menenangkan ibunya, bel rumahnya tiba-tiba berbunyi. Gaara berteriak memanggil Haku—pembantunya, kemudian pergi mencari tempat yang lebih sepi.

"Gini aja deh, Kaasan cariin Sakura asrama aja. Jadinya kan, dia nggak ngerepotin aku, juga nggak ngerepotin Kaasan," usul Gaara membujuk ibunya.

"Itu nggak mungkin," suara Kurenai bergetar. "Kaasan yakin, Sakura cuma butuh perhatian. Kamu tahu sendiri, Kaasan sibuk cari uang. Adikmu jadi kurang perhatian."

Gaara menarik napas dalam-dalam. Ingin sekali ia berkata pada ibunya untuk rujuk kembali saja dengan ayahnya agar Kurenai tidak perlu repot-repot bekerja dan banting tulang menghidupi Sakura. Tetapi Gaara tidak sampai hati. Ia tidak mungkin memaksa ibunya kembali tinggal di Konoha. Ia tahu, kesalahan Asuma terlewat sulit untuk dimaafkan.

Belum sempat Gaara menjawab, Haku sudah berlari-lari dari ruang tamu. Ia menghampiri Gaara dengan wajah tegang.

"Tuan, ada tamu yang nyariin. Katanya kalau sampai dua puluh detik Tuan nggak keluar, dia mau mecahin semua perabotan yang ada di ruang tamu."

"APA?" Gaara langsung melempar ponselnya pada Haku dan melesat ke ruang tamu.

.

.

.

.

"Enambelas... Tujuhbelas..." Sakura menghitung dengan tidak sabar. Kedua tangannya sudah ancang-ancang memegang guci seharga 1.000.000 yen di sebelahnya.

"Delapanbelas... Sembilanbe—"

HAP!

Gaara melompat tepat sasaran. Ia merebut guci itu dan segera meletakkannya di tempat aman.

"Sugoi..." Sakura bertepuk tangan.

"Elo..." Gaara menatap adiknya bengis. Hidungnya kembang-kempis dan napasnya naik-turun.

"Maaf Tuan." Haku, yang berdiri di balik pintu, memotong perkataan Gaara. Ia mendekat dan menyerahkan ponsel milik tuannya dengan takut-takut. "Dari tadi nyonya nangis kejer-kejer di telepon. Saya bingung, mau matiin enggak enak."

Gaara segera meraih ponselnya dan berbicara dengan nada keras. "UDAH, OKAASAN NGGAK PERLU NANGIS. INI PREMANNYA UDAH DATENG SENDIRI."

Haku meringis serba salah. Ia berusaha mencairkan suasana dengan menawarkan minuman pada Sakura, tetapi langsung dipotong oleh tuannya.

"NGGAK USAH!" Gaara menjauhkan teleponnya dari telinga. "LO, KALO SAMPE NGASIH DIA MINUMAN, GUE PECAT!" bentaknya, membuat Haku tersentak dan langsung berlari ke dalam. Sakura hanya geleng-geleng kepala.

Cowok itu kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. "Iya, Kaasan. Nggak ada apa-apa. Udah, tenang aja. Iya, iya. Jaa."

Klik. Sambungan diputus.

Gaara memasukkan ponselnya ke saku celana. Ia mengatur napas sebentar kemudian duduk di salah satu sofa yang menghadap ke Sakura. Tarik napas, keluarkan. "Denger," katanya sengit. "Sekarang lo tinggal di sini. Ini rumah gue, dan elo cuma NUMPANG." Ia mempertegas kata 'numpang', kemudian melanjutkan, "Jadi, lo mesti nurut sama semua aturan gue. Oke?"

Sakura melepihkan permen karetnya. Ia terbahak.

Gaara mencoba tetap tenang. Cowok itu menahan semua emosinya dan kembali melanjutkan, "Pertama, yang wajib lo lakuin adalah..." Ia memicingkan mata.

"Ngerubah penampilan."

Tawa Sakura lenyap seketika.

.

.

.

.

Mata Sakura berkaca-kaca melihat penampilannya di depan cermin. Sehari setelah kedatangannya di Konoha, Gaara menepati janjinya untuk me-makeover penampilan Sakura. Cowok itu tidak main-main. Dengan tanpa berperasaannya, Gaara meminta Haku untuk mengubah dandanan Sakura. Total, semuanya. Mulai dari rambut hingga ujung kaki.

Tidak bisa dipungkiri, meskipun sekarang Sakura menjelma menjadi sosok yang sangat cantik, ia tetap saja merindukan style lamanya. Ia tidak bisa menerima bahwa rambut skinhead-nya hilang digantikan oleh rambut baru bermodel poni. Lipstik hitam, baju, dan aksesoris-aksesoris kebanggaannya juga dibuang entah kemana. Yang tersisa hanyalah baju-baju kawaii, dress, dan entah barang apa lagi yang sama sekali tidak ia ketahui namanya.

"Non, ini ada titipan seragam dari tuan. Katanya Non disuruh siap-siap berangkat sekolah." Kepala Haku menyembul dari balik pintu. Ia mendekati Sakura dan menyerahkan beberapa tas plastik.

Sakura bengong. "SEKOLAH?"

Haku mengangguk sambil tersenyum. "Ojek yang mau nganterin Non juga udah siap di depan. Tuan juga bilang, nanti kalau Non udah sampai sekolah, Non langsung ke ruang kepala sekolah aja. Oh iya, dan kata tuan, Non jangan pernah sekali-kali bilang ke temen-temen Non kalau Non ini adiknya tuan Gaara."

WHAT?

Sakura melebarkan matanya tidak percaya.

Ini sulit sekali diterima. Pertama, Sakura baru sehari yang lalu tiba di Konoha. Kedua, kakaknya malu mengakuinya sebagai adik. Ketiga, penampilannya diubah secara paksa. Keempat, secara tiba-tiba ia sudah harus masuk ke sekolah baru. Dan keempat, kakaknya tidak mengajaknya berangkat bersama dan lebih memilih menyewakan ojek untuknya. Ini benar-benar sebuah penghinaan besar.

Belum sempat Sakura menyela, Haku sudah pamit keluar keluar. Sakura semakin terbengong-bengong. Ia menatap tumpukan tas plastik di tangannya tanpa tahu harus berbuat apa.

"AAAAAA GUE BENCI LO, ANIKI!"

.

.

.

.

To Be Continued.

Holaaaa~ Yosh! Selesai juga chap pertama. Di sini Sasukenya belum muncul hohoho. Penasaran dengan kelanjutannya? Klik review ya biar makin semangat bikin chap selanjutnya ^^ Arigatou, minna~