Gemericik air keran terdengar memenuhi dinding-dinding sebuah kamar mandi mewah. Bathup telah penuh terisi, meluber hingga menggenangi lantai di bawahnya. Entah sengaja atau tak peduli, sang pemilik membiarkan. Di dalam kamar sedang sibuk menyiapkan pakaian. Kemeja, jas, beserta celana panjang. Setelan kantor milik sang pujaan.
Ia bersenandung, sesekali mengelus perutnya. Memilah setelan yang dirasa cocok meski tak banyak pilihan. Oh, hampir saja ia melupakan dasi. Langkahnya ia balikkan pada closet setelah meletakkan satu set pakaian pilihannya di atas ranjang. Pemuda manis menggigit telunjuk, bergumam guna memutuskan. Hanya ada tiga buah dasi di laci dalam closet -nya.
Ditengokkan kepalanya pada setelan di atas ranjang, lantas mantap mengambil satu dasi hitam bercorak garis keabuan horizontal. Sesuai dengan kemeja abu-abu serta celana dan jas hitam pilihannya. Ia kembali, meletakkan dasi tersebut di atas kemeja yang sudah ditatanya sedemikian rupa. Senyum merekah di bibirnya, merasa puas atas hasil usahanya. Sentuhan terakhirnya adalah selipat kertas—yang beberapa menit lalu telah ia isi dengan tulisan tangannya, turut ia selipkan pada kantung atas jas. Tidak terlalu dalam, sehingga masih terlihat ujungnya dari luar.
Mengelusi perutnya, si pemuda berjalan menuju kamar mandi. Tak menghiraukan genangan air pada lantai, dibukanya lemari di atas wastafel. Mengambil sebuah botol berisi pil dan menuangkannya di tangan. Tiga pil kemudian ia telan begitu saja.
Sejenak dipandangi bayangannya pada cermin. Meneliti wajahnya untuk yang terakhir kali. "Jangan menyesali apa pun. Cintamu bukan kesalahan," ujarnya pada sosok di hadapannya—yang balas memberinya senyum. Seolah menyemangati atas keputusan yang telah dipilihnya.
Keran masih menyala, air tak henti mengalir. Bahkan kini genangannya sudah memenuhi seluruh lantai kamar mandi. Pemuda berkemeja putih itu berjalan ke arah bathup. Di tangan kanannya ia genggam selembar foto hitam putih. Satu demi satu kakinya ia masukkan dalam bak berisi air tersebut, lalu mendudukkan diri di dalamnya. Air meluber tambah banyak seiring tubuhnya terendam.
Punggung ia sandarkan ke belakang, tangan kanan dibiarkannya menjulur keluar bathup. Kantuk pun perlahan menyerang, tubuh tegangnya lambat laun melemas. Lagi, ia coba tuk tersenyum. Namun sebulir air mata tak kuasa ia bendung.
Air tetap mengalir, gemericik suaranya memantul pada dinding. Si pemuda berkemeja putih terpejam. Menikmati dinginnya air yang mulai merambati kulit ari. Sepenggal kata maaf ia bisikkan kemudian.
"Mianhae," beserta remasan di tangan kanan.
.
.
.
Growing Pains
Chanbaek
Chanyeol (28) x Baekhyun (18)
Romance-Angst
Short Series
Warning! Mature, BxB, Mpreg, Explicit Content, No Children!
.
.
.
—Bagian Satu—
Malam itu hujan turun begitu deras, gemuruh terdengar bersahutan di balik gelapnya awan. Di pinggiran sudut kota metropolitan, di bawah cahaya lampu temaram. Sosoknya menggigil ketakutan, bersembunyi di antara sempitnya tembok bangunan. Tubuhnya basah kuyup, kulitnya memutih pucat. Gigi bergemeletakan tanpa bisa ia tahan. Napas memburu, pandangan awas penuh antisipatif. Sungguh ia tidak sanggup jika harus berlari lagi. Kakinya gemetaran bahkan hanya untuk sekadar berdiri.
Ia meringkuk duduk memeluk kedua lutut. Berbagai doa yang pernah diajarkan oleh pendeta di desanya, melantun dari mulut bergetarnya. Mengalunkan bait merdu yang teredam percik hujan dan sesekali gemeletak gigi. Ia berharap hujan tak segera reda meski dingin kian menggerogoti hingga ke sum-sum tulang. Dengan begitu mungkin orang-orang yang mengejarnya akan berhenti karena sungkan. Siapa juga yang rela berhujan-hujanan di tengah malam begini? Oh, dia tentu saja, dan kemungkinan orang terdesak lainnya.
Si pemuda tidak tahu, orang-orang yang mengejarnya pun terdesak untuk cepat mendapatkannya.
"Halo... apa yang kau lakukan di sana?"
Ia tersentak mundur. Berusaha bangkit tapi kakinya terlalu lemah hingga jatuh yang ia dapatkan. Terjengkang dengan tangan menapak ke belakang badan.
"Hei, kau baik-baik saja?"
"Ja-ngan... mendekat," gertaknya bergetar, merayap mundur berniat menghindar. Tak menyadari nada khawatir yang dilontarkan sang penanya.
"Baiklah, baiklah, aku tidak akan mendekat," yang bertanya bersimpuh pada satu lutut, tangannya terulur ke depan seperti menenangkan. "Aku hanya ingin tahu, apa kau terluka?" suara berat lelakinya beriringan dengan rintik air hujan.
Tidak ada jawaban. Yang lebih kecil menatap lurus, mengamati si penanya dalam keremangan malam. Jujur sejak tadi matanya berkunang-kunang, namun ia masih bisa mengenali. Pria satu meter di depannya ini bukan salah satu dari orang-orang yang memburunya.
"Tadi aku mendengar suara orang bernyanyi. Apakah itu kau?" Masih tak ada jawaban, hanya anggukan mengiyakan dari si pemuda. "Suaramu merdu sekali," pujinya disertai senyuman.
"Ba-bagaimana kau bisa mendengar suaraku?" Maksudnya, dalam lebatnya suara hujan, mustahil bagi telinga normal untuk mendengar lantunan doanya itu. Kecuali kalau memang orang di hadapannya ini bukan manusia normal, atau barangkali malah bukan manusia sama sekali. Oh, bisa jadi dia malaikat yang akan menjemput nyawanya.
"Entahlah, aku hanya mendengarnya. Suaramu menuntunku kemari." Iya, dia juga tak paham. Di tengah gemuruh hujan, tiba-tiba telinganya menangkap kemerduan doa yang sering didengarnya dulu sekali. Lalu tanpa terkomando, kakinya telah melangkah—mengikuti arah sumber kemerduan. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya satu kali lagi.
"Siapa kau?" Bukannya menjawab pemuda mungil justru balik bertanya. Tidak masalah dianggap tidak sopan. Demi Tuhan, dia sedang dalam keadaan ketakutan.
Mengganti tumpuan lutut, pria yang terlihat lebih matang itu pun menjawab, "Park Chanyeol. Kau boleh memanggilku Chanyeol. Aku tinggal di penginapan dekat sini. Aku bisa meminjamimu pakaian yang lebih hangat kalau kau mau." Sekelebat cahaya kilat membayang, disusul kemudian suara petir yang tak begitu menggelegar. Tetapi ia bisa mendengar pemuda di depannya terpekik pelan, menutupkan tangannya pada kedua telinga. "Bagaimana denganmu? Siapa namamu?"
"Ta-kut..."
"Ya?" tanyanya memastikan, pasalnya suara pemuda itu hanya samar terdengar.
"Aku takut. Ada orang yang mengejarku. Mereka ingin menangkapku. Mereka... orang-orang jahat," adu si Mungil, melontarkan kalimat terpanjangnya selama percakapan keduanya.
Pria yang mengaku bernama Chanyeol itu mulai berani maju. Usahanya membangun kepercayaan pada yang lebih muda sepertinya berhasil. Dipegangnya kedua tangan dingin si pemuda, menarik ke depan dan menyatukannya. Gosokan lembut ia berikan pada tangkupan tangan yang tampak lebih mungil dalam genggamannya.
Kehangatan pun sontak menjalari tubuh pemuda mungil. Sipit matanya tak berkedip memandangi sorot pria di hadapannya. Dalam dinginnya udara malam dan derasnya hujan, panas merambati wajahnya. Dadanya berdebar namun bukan debar kelelahan seperti sebelumnya. Pria di depannya terlihat begitu tampan.
"Jangan takut, aku bukan mereka. Kau bisa percaya padaku, aku hanya ingin menolongmu. Ikutlah denganku." Entah mendapat bisikan dari mana dia berkata begitu. Dia bukan pria yang mudah peduli sebelum ini. Apalagi kepada orang yang sama sekali tak dikenalnya. Mungkin saja pemuda ini gelandangan yang memang bermasalah dengan 'orang-orang jahat'. Atau malahan salah satu dari mereka. Siapa yang tahu?
Namun melihat tubuh kecilnya yang menggigil dibalik pakaian tipis—oh, si kecil ini bukan seorang gelandangan, dari pakaiannya jelas tak menampakkan itu. Tatapan polos ketakutannya, serta suara merdunya dalam lantunan doa. Seolah menarik semua empati Chanyeol. Mendadak ia ingin menjadi pahlawan untuk pemuda mungil yang baru ditemuinya itu.
Bagai terhipnotis, yang lebih kecil pun tidak memberi penolakan. Instingnya percaya, batinnya menerima, sedang logikanya memerintah untuk mencari perlindungan. Dan perlindungan yang ia rasakan sekarang berasal dari pria bernama Park Chanyeol—yang kini tengah menuntunnya keluar dari lorong tempat ia bersembunyi.
"Siapa namamu?" Chanyeol bertanya, masih menggenggam erat tangan si kecil.
"Baekhyun. Byun Baekhyun," lirih si kecil menjawab. Getar lelah kakinya tersamar oleh debar jantungnya. Harum parfum cendana bercampur aroma kopi menguar dari long coat yang tadi Chanyeol pasangkan padanya.
Hujan telah berganti rintikan gerimis saat sebuah mobil berhenti tepat di samping keduanya. Segerombol lelaki keluar dari dalam sana. Membuat Baekhyun otomatis menyembunyikan diri di balik punggung lebar penyelamatnya. Di sisi lain Chanyeol makin mengeratkan genggaman tangannya.
"Mau apa kalian?" tanya Chanyeol waspada, berdiri siap namun menampakkan wajah tenang. Ia tidak ingin memprovokasi. Chanyeol tahu ia kalah jumlah.
"Mau apa?" salah satu dari mereka yang berpakaian paling rapi menjawab, mungkin pemimpinnya. "Kau menyembunyikan milik kami, Bung."
"Dia?" Chanyeol melirik sekilas ke belakang, merasakan remasan pada kemeja bagian pinggangnya. "Dia bukan milik siapa-siapa."
"Oh, ya?" Mereka tertawa, tawa mencemooh. "Kau tidak tahu apa-apa, Bung. Bos kami sudah membayar mahal anak ini. Jadi serahkan dia selagi aku memintanya secara baik-baik."
"Chanyeol-ssi, aku tidak ingin ikut dengan mereka," di belakang si kecil mulai merengek. "Mereka orang jahat. Tolong jangan serahkan aku pada mereka. Kumohon."
"Ya, bocah! Jangan membuat kami repot, cepat kemari!" Pimpinan berbaju necis menunjuk dua temannya dengan gerakan dagu. Mengisyaratkan untuk segera mengambil buruan mereka.
"Chanyeol-ssi..." lirih Baekhyun memohon, ketakutan yang tadi sempat menghilang kini muncul kembali.
Tepat sebelum kedua suruhan itu meraih Baekhyun, Chanyeol lebih dulu mengajukan pertanyaan, "Berapa bos kalian membayar anak ini?" membuat pemuda di belakangnya membelalak tak percaya.
"Sangat mahal. Kau tidak akan bisa memperkirakannya."
Dua orang tadi maju lagi.
"Bawa aku pada bos kalian," ucap tegas Chanyeol. "Kubayar lima kali lipat... berapa pun harganya."
"Chanyeol-ssi..." cengkeraman Baekhyun menguat, matanya tidak lepas menatap pria yang menjulang di depannya.
Di malam bergerimis itu, di antara genangan air hujan yang membasahi kakinya. Entah apa pun alasan yang melatarbelakangi—Baekhyun sadar, ia telah jatuh. Jatuh pada sosok pria tampan penyelamatnya, Park Chanyeol.
.
.
.
Baekhyun kini tinggal di sebuah apartemen milik Chanyeol. Tempatnya tidak terlalu luas untuk ukuran apartemen kelas atas, tapi tetap lebih besar dari rumah orang tua Baekhyun di desa. Ada dua kamar dengan salah satu kamar mandi dalam, satu kamar mandi luar, dapur lengkap dengan meja dan kursi untuk makan, ruang tengah beserta segala alat elektronik canggih, dan ruang tamu kecil di dekat balkon—yang sangat cocok digunakan sebagai tempat melihat pemandangan kota, khususnya pada malam hari.
Pemuda berusia 18 tahun itu sering melamun di sana. Merenungi nasibnya yang entah bisa dikatakan beruntung atau buntung. Ibunya meninggal dalam kecelakaan kerja beberapa waktu lalu. Belum habis kesedihannya, sang ayah tiri justru menjualnya karena terlilit hutang judi. Oh, ayah tirinya memang tidak terlalu menyukai Baekhyun, ia dianggap lemah karena terlahir sebagai lelaki carrier. Namun Baekhyun tak menyangka sang ayah tega menyerahkan dirinya pada orang-orang jahat itu.
Mereka melelang Baekhyun. Menyematkan harga paling tinggi sebab ia belum tersentuh. Sang ayah ada di sana, menyaksikan anak tirinya menjadi barang rebutan pria-pria kaya hidung belang. Pria setengah baya itu jelas tahu, anak tirinya merupakan 'barang bagus' yang akan terjual sangat mahal. Cukup untuk membayar hutang-hutangnya sekaligus modal berjudi lagi.
Hidup si Mungil rasanya berakhir begitu ia terjual pada seorang pria paruh baya, barangkali seumuran dengan ayahnya. Penampilannya menyeramkan, seperti ketua geng yang biasa Baekhyun lihat sering memukuli ayah tirinya.
Lalu tiba-tiba keberuntungan itu datang, ia berhasil kabur saat mereka hendak memasukkan Baekhyun ke dalam mobil. Tanpa peduli guyuran hujan, ia berlari sekuat tenaga. Melewati jalan dan gang-gang yang tak dikenalinya. Hingga akhirnya ia kelelahan dan bersembunyi pada tempat dimana Chanyeol menemukan dirinya.
Tidak terhitung berapa kali Baekhyun terus bersyukur. Chanyeol benar-benar membayar pria yang membelinya itu dengan jumlah tak main-main. Tidak sampai di situ, Chanyeol kemudian memberinya tempat tinggal di sebuah apartemen mewah. Mengatakan bahwa Baekhyun bebas tinggal di sana, malahan ia dibelikan baju dan perlengkapan pribadi lainnya. Si carrier sampai tidak tahu harus membalas dengan apa semua kebaikan penyelamatnya itu.
Baekhyun yakin Chanyeol termasuk chaebol di negerinya ini. Apa yang bisa Baekhyun berikan sementara ia tak punya apa-apa? Sedangkan mungkin Chanyeol telah memiliki semuanya, atau mampu membeli apa pun yang diinginkannya.
Rasa berdebar dalam dadanya pun makin hebat setiap berhadapan dengan sang penyelamat. Pipinya selalu bersemu tiap kali bertatapan langsung—ah, bahkan dengan membayangkannya saja wajahnya sudah menghangat.
Namun satu hal yang tak Baekhyun mengerti, kenapa Chanyeol bersedia membuang uang hanya demi menyelamatkannya? Setahu Baekhyun, Chanyeol bukan tipe pria kaya hidung belang seperti pria-pria yang ia temui di tempat pelelangan. Selama dia tinggal di sana, Chanyeol memperlakukannya sangat baik. Lelaki itu akan datang tiga hari sekali, menemani Baekhyun membaca buku-buku yang dibawanya setiap berkunjung. Katanya agar dia tidak kesepian karena tinggal sendirian.
Sebenarnya ada seorang asisten rumah tangga yang bertugas membersihkan apartemen. Tapi Lee Ahjumma hanya datang pagi dan sore hari, dia tidak menginap. Mereka juga tidak terlalu akrab. Entah menurut pandangan Baekhyun saja—atau memang benar, Lee Ahjumma tampak tidak menyukainya. Wanita sekisaran ibunya itu selalu menatapnya dingin dan seolah enggan berbicara dengannya.
"Oh, kau sudah selesai, Lee Ahjumma?"
Itu suara Chanyeol. Si mungil segera beranjak dari kursinya, berlari hendak menyambut 'sang tuan'. Senyumnya merekah begitu dilihatnya Chanyeol di ruang depan, sedang mengganti sepatunya dengan sandal rumah. Lee Ahjumma juga ada, ia tersenyum sopan (hanya) pada Chanyeol lalu melangkah keluar. Sudah biasa demikian, jadi Baekhyun tidak mengambil hati. Lagi pula ia terbiasa dipandang sebelah mata oleh orang-orang di desanya.
"Hai, Baek. Aku beli daging, mau membuat steak bersama?" tawar Chanyeol menunjukkan bungkusan di tangannya, yang langsung disambut si manis dengan anggukan antusias.
Ia mengambil bungkus berisi daging dari tangan Chanyeol. Mengiringinya berjalan ke arah dapur seraya berceloteh kegiatannya selama tiga hari belakangan.
.
.
"Chanyeol akan menginap?" tanya Baekhyun saat melihat Chanyeol berganti baju seusai mandi. Selama ini Chanyeol memang tidak pernah menginap, ia hanya berkunjung sebentar kemudian pulang. Tetapi malam ini, setelah menyelesaikan makannya—si pria tinggi justru menuju kamar mandi (bahkan ia membawa baju ganti), bukannya langsung menemani Baekhyun membaca.
Yang ditanya mengangguk saja, lantas tersenyum lembut sembari menghampiri Baekhyun yang terduduk di kasur. "Kenapa? Kau tidak suka aku menginap di sini?" balik tanyanya, mengelusi surai si Mungil.
Baekhyun jelas menggeleng, terlalu bersemangat hingga rambutnya bergerak lucu. Membuat pria di depannya tertawa gemas, dan malah menggusak rambut beraroma stroberi itu. Keduanya pun kini duduk berdampingan di atas ranjang, tersenyum lebar satu sama lain.
"Apa yang kau baca?" Chanyeol bertanya basa-basi.
"Buku resep masakan," si manis tercengir menjawab.
Dan jawaban si kecil nyatanya mengernyitkan dahi Chanyeol, diraihnya buku di pangkuan Baekhyun lalu membolak-balikannya. "Eoh, apa aku pernah memberikan ini untukmu?" pasalnya dalam sekian buku yang ia bawa, seingatnya tidak ada buku tentang masak-memasak.
"Nenek pemilik toko kue di bawah yang memberikan. Kue-kuenya sangat enak, kau harus mencobanya kapan-kapan. Ah, aku mengatakan padanya kalau aku ingin bisa membuatnya juga, lalu dia memberiku buku ini, he-he..." lagi, Baeknyun menyengir. Menjelaskan minatnya pada sesuatu dengan menggebu-gebu seperi biasa.
Inilah yang Chanyeol sukai dari sosok kecil Byun Baekhyun. Pembawaanya yang ceria dan tingkah malu-malu menggemaskan. Menginjak usia 18 tahun, mungkin tingkahnya itu terbilang sedikit kekanakan, tapi toh Chanyeol tak merasa keberatan. Ia sebaliknya suka. Sebagai pria dewasa dominan, ia senang dijadikan tempat bergantung, senang memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu. Dan ia mendapatkan kesenangan itu dari sosok yang telah diselamatkanya.
Awalnya, Chanyeol pun tidak memahami dirinya sendiri—yang dengan mudahnya menggelontorkan uang hanya demi menyelamatkan seorang anak yang tak dikenalnya. Ia bertindak impulsif malam itu. Namun ia tidak menyesali. Baekhyun penurut, selalu menyambut Chanyeol dengan rekahan senyum setiap dia datang. Sehingga Chanyeol merasa begitu dinantikan dan dibutuhkan.
"Aku ingin membuat kue yang enak untuk Chanyeol," Baekhyun berujar malu-malu, menunduk sambil memilin selimut yang menutupi kakinya. Matanya melirik ke samping dimana Chanyeol duduk.
"Kenapa kau ingin membuat kue untukku, Baekhyun-ie?"
"Karena Chanyeol sudah sangat baik padaku," lirih si Mungil, mengangkat kepala—kembali menatap penyelamatnya. "Aku ingin membalas kebaikan Chanyeol, tapi aku tidak punya apa-apa. Jadi... jadi kupikir aku bisa membuatkan Chanyeol kue yang enak sebagai ucapan terima kasihku."
Sejenak keheningan menggantung di udara. Baekhyun sibuk menggigiti bibirnya, menanti tanggapan Chanyeol—yang sedari tadi asyik memandangi wajah polos Baekhyun. Lama-lama si kecil memerah dibuatnya. Ia sedikit salah tingkah dipandangi begitu.
"Kau bisa melakukan sesuatu untukku," Chanyeol berujar menanggapi, membuat yang lebih muda mengerling penasaran. "Aku akan menganggapnya sebagai ucapan terima kasihmu."
Baekhyun bergerak antusias, "Aku akan melakukan apa pun," ucapnya tanpa keraguan. Kesempatan untuk membalas kebaikan Chanyeol tidak akan ia sia-siakan. "Jadi apa yang bisa kulakukan?"
Di hadapannya, Chanyeol tersenyum tampan. Menyela sisi kiri rambut Baekhyun untuk membuatnya berhenti melonjakkan badan. Dan caranya tersebut terbukti ampuh, si Mungil seketika terdiam dengan kepala kembali tertunduk. Memberi keleluasaan bagi Chanyeol untuk lebih mendekatkan diri. Diraihnya dagu Baekhyun, mendongakkannya lalu tanpa aba-aba mengecup bibir tipisnya begitu saja.
Si Mungil membelalak terkejut, tubuhnya membatu. Ciuman pertamanya... dengan orang yang disukai. Keberuntungan apa lagi yang akan didapatkan Baekhyun?
Dan merasa tidak mendapat penolakan, Chanyeol pun mulai menggerakkan bibirnya. Perlahan melumat milik Baekhyun yang terasa sangat lembut. Lalu berbisik di sela lumatannya, "Kau bisa memberikan dirimu padaku, Byun Baekhyun," hingga didengarnya suara lenguhan dari yang lebih muda.
Tanpa diminta pun Baekhyun akan menyerahkan seluruh dirinya. Bukankah secara tak langsung Byun Baekhyun memang sudah menjadi milik Park Channyeol? (Pria itu membeli Baekhyun dari orang yang memenangkan pelelangan).
Tautan keduanya terlepas, pemuda mungil menatap tersipu. Mengetahui ada binar berbeda dari sorot mata lawan tatapnya. Dan Baekhyun cukup tahu arti dari binar tersebut. Dengan dada nyaris meledak, Baekhyun memberanikan diri bertindak lebih dulu. Lengannya mengalung pada leher Chanyeol, lantas mengecup bibir sang tuan sebagai tanda penyerahan diri.
Chanyeol membiarkan Baekhyun memimpin ciuman, meski gerakan bibirnya masih terasa kaku. Ia maklum, si kecil belum berpengalaman. Pun senang sebab ia menjadi orang pertama bagi Baekhyun. Remasan di rambut belakangnya menguat, maka dipeluknya tubuh Baekhyun tak kalah erat. Dada mereka saling bersentuhan, saling berbagi debaran hasrat. Yang lebih muda mendesah bergairah, merasakan punggungnya dielus sayang, merambat ke depan hingga bagian sensitifnya. Meremangkan bulu-bulu halus tubuhnya, pula menegangkan sesuatu di bawah sana.
"Enghh, Chanyeol..." desah resah Baekhyun, menggeliat geli kala areolanya digesek melingkar. Merengek saat bibir tuannya beralih menghisapi si leher jenjang. Ia kemudian dibaringkan, dengan kaki merenggang menerima tindihan sang tuan.
Satu per satu kancing piyama Baekhyun dibuka, menampilkan perut dan dada telanjang seputih saljunya. Bibir Chanyeol kian bermain turun, mengecupi di sana dengan sentuhan seringan bulu. Sengaja ingin mendengar rengekan putus asa yang lebih muda. Makin ke bawah, kecupan Chanyeol berhenti tepat di atas batas celana bergambar Rilakkuma.
Di atas Baekhyun menggigiti telunjuknya, menatap sayu Chanyeol yang tengah menurunkan celananya. Lalu merengut malu ketika Chanyeol terkekeh mengetahui ia tidak mengenakan dalaman apa-apa. "A-aku biasa tidak memakainya saat mau tidur," Baekhyun membela diri.
"Ara," balas yang lebih tua, tanpa menghentikan kekehannya.
Membuat si kecil memprotes malu, "Chanyeol, jangan tertawa," sambil menutupi wajahnya menggunakan dua tangan.
"Arasseo, arasseo... aku tidak akan tertawa," namun nyatanya Chanyeol tidak bisa menyetop tawanya. Ia terlanjur gemas melihat tingkah pemuda di bawahnya. Digusakkan wajahnya pada perpotongan leher Baekhyun, menahan tawanya di sana.
"Chanyeol, kubilang jangan tertawa," si kecil memprotes lagi, sebelah tangannya memukuli pundak Chanyeol sementara yang lain tetap menutupi wajahnya. Merengek lucu—meminta pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu untuk berhenti menertawakannya.
Pukulannya tidak berhenti sampai Chanyeol menggesekkan selangkangan keduanya, mengganti rengekan si manis menjadi desahan manja. Tawa Chanyeol pun telah sepenuhnya mereda. Ia terus menggesek bagian bawahnya, sembari bibir dan lidahnya aktif mengerjai leher putih Baekhyun.
"Emmhh... Chanyeol perihh..." pemuda mungil meracau, merasakan sengatan di lehernya akibat hisapan tuannya. Tetapi, tidak seperti racauannya, lengannya kini justru memeluk leher Chanyeol—menahan kepalanya seolah meminta lebih. Pinggulnya pun tak lagi pasif, ikut bergerak berlawanan arah dengan gesekan Chanyeol di selangkangannya. Miliknya semakin tegang, mengeras akibat rangsangan di leher serta sentuhan kasar kain celana Chanyeol.
Mengangkat badan, Chanyeol lagi-lagi meraup bibir Baekhyun. Yang langsung disambut si kecil dengan lumatan di bibir bawahnya. Oh, sepertinya bocah kecilnya ini terlalu cepat belajar. Gerakannya tidak lagi kaku. Meladeni hisapan Chanyeol bahkan tanpa diperintah ia membuka mulut. Mempersilakan lidah Chanyeol menginvasi mulutnya, saling berbagi saliva.
Desahan Baekhyun selanjutnya makin menjadi kala tangan besar Chanyeol mempermainkan kepunyaannya. Mengocoknya atas-bawah sambil mengusapi lubang uretra, membalur precum ke seluruh bagian kepala dengan ibu jarinya.
"Bagaimana rasanya, Baekhyun-ie?" bisik Chanyeol seduktif di antara bibir mereka.
"A-ahh—ahh~" yang hanya mampu dibalas Baekhyun dengan desahan, terlalu ekstase untuk mengatakan 'nikmat'—sekaligus sibuk menyeimbangkan gerakan pinggulnya dengan kocokan di penis mungilnya.
"Enak?" tanya Chanyeol menggoda—yang langsung mendapat anggukan dari Baekhyun. Ia tersenyum di sela kecupan-kecupannya. "Ingin keluar?" dan ia sekali lagi mendapat anggukan, kali ini beserta kalimat desahan.
"Le-bih—emhh... cepat-hh."
"Mworago?" iseng, Chanyeol menghentikan gerakan tangannya. Bertanya dengan ekspresi dibuat innocent.
Mengeluh tidak terima, Baekhyun mendorong-dorong pinggulnya ke atas—mencari kenikmatan sendiri. "Chanyeol~ lebih cepat..."
"Lebih cepat?"
Baekhyun mengangguk frustrasi, mencebikkan bibirnya dengan suara rengekan memohon.
"Seperti ini?" sampai Chanyeol kembali menggerakkan tangannya, menyeringai melihat pemuda di bawahnya terengah sambil menggigiti bibirnya. Kian dipercepat kocokan Chanyeol, sesekali ia pun meremas zakar dalam genggamannya. Menimbulkan isakan nikmat dari yang lebih muda.
"Ouh—hkk... ehkk-hiks—Chanyeol, Chanyeol, Chanyeol..."
Chanyeol semakin giat mengocok, lebih-lebih dijilatinya lubang telinga Baekhyun. Memberi afeksi berlebihan kepada si kecil—memancingnya yang sudah berada di ujung. Ia bisa merasakan daging di tangannya berkedut panas... hingga akhirnya Baekhyun melengkingkan suaranya, menegang—menyemburkan cairan putih lengket yang mengenai telapak tangan Chanyeol, dan sebagian ke perut Baekhyun sendiri.
Namun Chanyeol tidak berhenti di situ. Jari-jarinya yang berlumuran semen ia bawa lebih ke bawah. Pada lubang berkerut Baekhyun. Ia tidak ingin berlama-lama, tapi juga tidak mau grasah-grusuh. Ini pengalaman pertama Baekhyun, ia harus lebih berhati-hati dalam menyiapkan lubangnya.
Dikecupinya wajah Baekhyun—kening, kedua mata, pipi-pipi, hidung, sampai bibir. Mengulum basah di sana. Meredakan si kecil yang baru saja mencapai putihnya, pula mengalihkan atensi Baekhyun dari invasi jari tengah Chanyeol di dalam analnya. Meskipun tetap saja, remaja itu melenguh di sela-sela hisapan mulut Chanyeol.
"Sshh, Chanyeol... rasanya aneh," keluh Baekhyun, bokongnya bergeliat karena sumpalan asing di lubang senggamanya.
"Aneh bagaimana, heum? Ini baru jariku, Baekhyun-ie. Baru satu," Chanyeol menimpali santai, masih mengorek kenikmatan Baekhyun dengan satu jari. "Bagaimana kalau kumasukkan dua?" dan selanjutnya Chanyeol benar-benar memasukkan telunjuknya, menolaknya bersama dengan jari tengah yang lebih dulu berada di dalam. Dia abaikan desis kesakitan Baekhyun dan terus mendorong masuk, mengeluarkannya kemudian dorong lagi. Begitu berulang, sampai ia mendengar si Mungil menjerit tersentak. "Di sini, heum?"
"Ouh—Chanyeol, iya di sana-hh! Terus, Chanyeol—ahh-ahh..."
Menyeringai, Chanyeol menuruti permintaan yang lebih muda. Ia senang, sebab Baekhyun termasuk submissive yang tidak malu menyuarakan rasa nikmatnya. Dan Chanyeol suka partner seks yang reaktif seperti Baekhyun. Menambah tegang saja! Ia biarkan Baekhyun menggeliat keenakan, menyilati lidahnya mengajak berperang. Terus ia sodok di titik kenikmatan, menggaruk sesekali menggunting dengan dua jarinya.
"S-sampai... aku-hh hampir sampai—uuuhh."
Tetapi Chanyeol tidak sebaaik itu. Ia keluarkan begitu saja jari-jarinya, menyisakan lubang memerah yang sedikit menganga—juga lenguhan protes dari Baekhyun. "Tidak secepat itu, Baby," ujarnya seraya bangkit dari tubuh yang lebih kecil (ia tidak tahu panggilan sayangnya di akhir sontak membuat Baekhyun menahan napas).
Chanyeol berlutut di antara kangkangan kaki Baekhyun, membuka kaus tidurnya dan melemparnya entah ke mana. Memperlihatkan otot enam pak serta dada bidang miliknya. Senyum sudut lalu tercetak di bibirnya, melihat makhluk manis di bawahnya yang melengos malu saat ia menurunkan celana (tanpa melepas). Lantas secara tiba-tiba ditariknya kedua paha Baekhyun—ia terkekeh di kala si kecil menjerit tertahan.
"Kenapa, Baekhyun -ie? Tidak ingin melihatku?" tanya Chanyeol main-main selagi mengangkat sebelah kaki ramping Baekhyun—mengaitkannya di lengan.
Sang submissive masih memalingkan wajahnya ke samping, enggan menatap Chanyeol walau diam-diam ia mencuri lirik. Ini adalah kali pertama Baekhyun melihat penis orang lain. Sejujurnya ia merasa ngeri, kepunyaan Chanyeol tiga kali lebih besar dari miliknya. Dan sebentar lagi 'itu' akan masuk ke dalam lubang analnya. Ia sanksi akan muat.
"Kau malu?" Chanyeol lagi bertanya, kembali melandaikan tubuhnya dan mencium pipi gembil Baekhyun yang terpampang. Mengecupinya sayang selama tangannya mengocok pelan miliknya sendiri, menyiapkannya tepat di mulut senggama Baekhyun.
Gumaman tidak jelas muncul dari si mungil. Belah bibirnya sedikit terbuka, antisipasi merasakan benda tumpul yang mengetuk-ngetuk lubang masuknya. "Chanyeol—enghh~" Baekhyun meregang, menatap sayu pria di atasnya saat rektumnya perlahan dimasuki. Rasanya panas dan perih, lebih hebat sakitnya dari dua jari Chanyeol yang masuk tadi. "Akhh—sakit... hiks-hiks—Chanyeol, sakit..."
"Ssstt... gwaenchana, gwaenchana," bisik Chanyeol coba menenangkan. Menciumi sudut-sudut mata Baekhyun yang tergenang air mata. Ia mendiamkan sejenak kepunyaannya yang telah masuk sempurna, menunggu liang kenikmatan si kecil agar terbiasa.
Baekhyun masih terisak-isak menahan sakit. Mengadu seperti anak kecil yang habis dinakali temannya. Namun Chanyeol tidak iba, sebaliknya tertawa renyah menyaksikan aduan kekanakan Baekhyun. Ia jadi merasa seperti seorang pedofil, padahal Baekhyun sudah 18 tahun. Gemas, ia ciumi bibir si Kecil yang mengerucut lucu—sambil pelan-pelan memompa juniornya. Hingga lama kelamaan isakan Baekhyun pun bercampur dengan desahan.
Ciuman Chanyeol menurun—pada dagu, leher, juga tulang selangka Baekhyun. Masing-masing ia hisap dan jilat, meninggalkan noda kemerahan yang ia pastikan akan membekas selama beberapa hari ke depan. Ia terus menggenjot, dengan mulut yang aktif bekerja. Kini menandai di sekitar dada Baekhyun, lidahnya memutar pada daerah areola. Lalu menghisapi putingnya dengan gigitan-gigitan kecil, bergantian kiri dan kanan. Membuat desahan remaja itu tambah nyaring terdengar.
Kedua tangan Baekhyun pun jatuh di samping kepala, masing-masing meremat ujung bantal sebagai pegangan. Sipitnya terpejam menikmati tiap sodokan pada rektumnya. Napasnya satu-dua dengan mulut separuh menganga. Lenguhan beserta jerit kenikmatan mengalun merdu seiring hantaman di prostatnya. Merembeskan cairan lubrikasi dari lubang anal dan penisnya.
"Ahh~ akhh~ aahhh~"
Pula sang dominan, menggeram jantan akibat efek berkedutnya si liang surga. Seolah meremas-remas kesejatiannya. "Oh, shit!" Chanyeol bahkan mengumpat—yang mana akan dia lakukan saat benar-benar menikmati persenggamaan.
"Anghh, Chanyeol—ennghh... hiks—Chanyeol-Chanyeol~" racau Baekhyun disertai isak menuju klimaks. Prostatnya terus-menerus ditusuk dan ditekan. Makin disodok makin gatal saja rektumnya, tergaruk enak oleh urat-urat kejantanan Chanyeol. Baekhyun pun tak tahan. Ia mengejang, meledakkan semennya untuk kali kedua. Teriakannya tanpa suara. Badannya lemas seketika, puncaknya lebih mengesankan dari yang pertama.
"Akh—sialan!" lagi, Chanyeol mengumpat. Menumbuk lebih keras dan dalam, satu umpatan satu tumbukan. Tak mengindahkan tubuh Baekhyun yang tergoncang hebat penuh peluh, menggelepar lemah dengan cairan terus mengalir. Over stimulate sebab titik nikmat tetap dihajar dalam keadaan tertinggi.
Kepunyaan Chanyeol pun kian membengkak, hampir mencapai klimaks. Beberapa dorongan terakhir lantas ditegakkan tubuhnya, menarik keluar sang kebanggaan dan mengurutnya tidak sabaran. Ia mendongak, mengerang dengan suara dalam kala benihnya menyembur keluar. Putih kental dan banyak, jatuh mengenai perut juga dada Baekhyun—bahkan sedikit ke wajahnya.
.
.
.
TBC
.
Dan sekarang coba-coba bikin fanfic Angst. Cuma short series, sih (kemungkinan 3 chapter). Padahal niatnya cuma bikin oneshoot :( tapi ternyata kepanjangan.
Ada yang baca nggak, ya?
Keknya anuannya terlalu bertele-tele, deh. Maklum, kan yang pertama buat Baekhyun. Hoho...
Konfliknya juga kurang greget, ya? (meski belum keliatan sih di sini). Ide ceritanya mainstream pula, wkwk. Udah ada yang bisa nebak, kah?
Review Juseyoooong...
