Title: Still

Summary: Sejauh ini kalian selamat dengan mematikan rasa dan membohongi diri.

Pairing: Sandy/Pitch Black

Rate: T

Disclaimer: Bukan yang saia~!

Bacotan: mulai sekarang, kalo saia bikin songfic yang karakternya ada Pitch-nya, bakal kukumpulin disini ajah, biar ga menuh-menuhin arsip ff dot net, kasian, lol.

Eniwei, judul (calon) kumpulan fic ini dari nama albumnya Bastille yang isinya lagu-lagu orang lain yang mereka cover, and it sounds fitting, so… yup.

Enjoi~


Still—Daughter

Two feet standing on a principle
Two hands longing for each others warmth

Hate is spitting out each others mouths
But we're still sleeping like we're lovers


Udara malam London menggigit tanpa ampun tubuh berbalut sweater hitammu maupun kulit pucatmu yang terbuka tanpa ada perlindungan mantelmu yang tadi pagi tertinggal, terlupakan di atas kursi di hadapan cermin dalam kamarmu. Sengaja terlupakan. Kau tidak berniat masuk kembali untuk sehelai pakaian dan menambah dua, tiga detik kecanggungan setelah perkelahian kalian kemarin malam untuk memulai harimu dan kini kau tengah menderita karenanya.

Kunci apartemenmu terasa hangat dalam genggamanmu setelah seharian bersarang dalam kantong celanamu dan sekali lagi kau merinding dingin menyentuh gagang pintu yang terasa seperti es.

Tidak ada lampu yang menerangi koridor tapi masih terdengar bunyi percakapan dari televisi. 'Mungkin dia sedang menonton,' pikirmu. Atau mungkin sudah tertidur dan lupa mematikan televisi. Dia selalu ceroboh, terkadang terlalu ceroboh. Juga panas kepala. Itu bukan kombinasi yang baik. Dan kau membencinya karena itu.

Benarkah?

Kau membencinya. Sangat.

Lalu kenapa tidak tinggalkan saja dia?

Kau takut kesepian. Itu saja.

Benarkah? Tidakkah tanganmu terasa dingin tanpa genggamannya?

Tidak.

Lalu kenapa kalian masih tertidur di ranjang yang sama?


Sebuah mantel hitam tergeletak terlupakan di kursi di depan cermin dalam kamarmu. Sengaja terlupakan, kau yakin. Dia tidak akan berniat menambah dua, tiga detik kecanggungan hasil adu mulut kalian kemarin malam untuk memulai harinya dan mungkin kini sedang menderita karenanya. Udara malam London yang berhembus dari jendela kamar menyesap ke dalam kulitmu dan menggigit tulangmu.

Terdengar bunyi putaran anak kunci dari pintu depan dan kau buru-buru menutup bukumu dan mematikan lampu meja di sampingmu, menggeliat ke dalam perlindungan selimut tebal yang hangat dan berpura-pura kantuk telah memutus kesadaranmu.

Kau lupa mematikan televisi yang masih menyiarkan bunyi percakapan dari film yang tidak kau tonton. 'Mungkin dia akan mengira aku lupa mematikan televisi dan tertidur,' pikirmu. Menurutnya, kau terlalu ceroboh. Menurutmu dia terlalu kaku. Juga dingin. Dan kau membencinya karena itu.

Benarkah?

Tidak. Kau mencintainya.

Lalu kenapa tiap hari kalian hanya bertukar kata-kata penuh benci?

Kau tidak tahu. Apa mungkin kau memang benar membencinya?

Kenapa kau tidak meninggalkannya saja?

Karena kau takut kesepian. Mungkin memang benar kau membencinya.

Kalau begitu kenapa kalian masih tertidur seperti sepasang kekasih?


Kau buru-buru menggantungkan syalmu dan mengunci pintu, mengejar kemungkinan Sandy masih terbangun. Sedikit rasa kecewa meresapi ragamu ketika kau melihatnya sudah tertidur pulas di tempat tidur, tapi sebagian dirimu merasa lega. Kau tidak yakin bicara empat mata lagi dengannya akan berakhir baik, bicara dari pengalaman.

Dirimu yang di cermin tidak terlihat lebih baik dari dirimu yang asli; kantung mata, kulit kusam, wajah lelah. Kau tanggalkan sweater hitam dan kaus yang membalut tubuh kurusmu. Rusukmu kentara di bawah kulitmu, tulang panggulmu mencuat, dan lenganmu sekurus ranting pohon kering di pinggir jalan tempat kau tinggal.

Ketika kau menutup matamu, kau bisa merasakan sentuhan tidak nyata menyumbuimu, ciuman ringan di sepanjang tengkuk dan tulang punggungmu, tangan hangat membelai rusukmu dan memeluk pinggulmu, menggenggam tangan dinginmu.

Angin dingin berhembus menerpamu yang tanpa pertahanan. Cepat-cepat kau kenakan kaus dengan ukuran tiga kali lebih besar dari ukuranmu dan berjalan ke arah jendela untuk menguncinya rapat. Alih-alih menguncinya, kau malah terpaku memandangi tetesan air pertama yang mendarat pada kaca, diikuti oleh tetesan berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya… dan sebelum kau sadari, air juga menetes dari matamu.

Gemerisik kain mengejutkanmu dan buru-buru kau mengelap matamu. Sandy berguling dari posisi telentangnya tadi, seakan sengaja menghadapimu.

Kau menyerah dan bergerak pelan menaiki ranjang, menyusup ke dalam selimut dan berbaring menyamping menghadap jendela agar kau tidak perlu menatap wajah Sandy dalam sisa-sisa kesadaranmu.

Lengannya bergerak, bertumpu sedikit di atas pinggulmu. Mungkin tubuh kalian terlalu saling merindu, lupa bahwa pikiran kalian tengah saling berperang. Kau kaitkan tanganmu dengannya.

Sungguh, kau hanya tinggal karena kau takut kesepian.

'Benarkah?' bisik sebuah suara jauh di belakang kepalamu, bertanya kenapa kau masih bersandar pada tiap belaian di pipimu dan menerima tiap ciuman di bibirmu bila kau memang membencinya. Kau tidak bisa menjawab.


Kau mendengar langkah terburu-buru, seakan mengejar kesempatan dirimu masih terbangun. Kau menutup matamu dan memelankan napasmu, berhasil menipu Pitch dan helaan napas kecewanya seperti hadiah untukmu. Kau tidak ingin berbicara empat mata, tidak setelah apa yang terjadi selama setahun terakhir, tidak setelah yang terjadi kemarin malam.

Hanya ketika dia berjalan ke cermin baru kau berani membuka matamu. Dia terlihat lelah dengan bahunya yang sedikit membungkuk, dan mata setengah tertutup berusaha melawan kantuk. Jemari kurusnya menggenggam ujung sweater hitam dan kausnya, menanggalkan dua potong pakaian itu dengan sedikit susah payah. Tulang punggungnya kentara tiap kali dia membungkuk, begitu pula dengan rusuknya. Tulang pinggul mencuat, dan kau dulu sangat suka memeluknya disitu.

Dengan sedikit berkhayal, kau seakan masih bisa merasakan kulit dinginnya memanas perlahan di bawah jemarimu, rusuknya yang mengembang dan mengempis dengan setiap napasnya, pinggulnya yang terasa begitu pas di tanganmu, tonjolan-tonjolan tulang punggungnya di bibirmu. Tangan dinginnya yang menghangat dalam genggamanmu.

Angin berhembus lagi, membuatnya buru-buru mengenakan kaus kebesaran yang sampai dua tahun lalu masih menjadi milikmu dan bergerak ke arah jendela. Sulit melihatnya dengan posisimu sekarang, tetapi kau yakin dia tengah memandangi hujan yang mulai menerpa jendela.

Kau berguling sedikit ke pinggangmu agar bisa melihatnya lebih baik, tetapi kau hanya mengejutkannya dan sesaat sebelum kau kembali menutup matamu untuk meyakinkannya kau masih tertidur, kau melihatnya mengusap matanya.

Langkah ringannya bergerak mendekat, diikuti deritan ranjang ketika dia menaiki ranjang dan berbaring memunggungimu agar tak perlu menatapmu sebelum tidur menyergapnya.

Tanpa sadar lenganmu bergerak, berhenti di atas pinggulnya, tempat kau biasa memeluknya. Tubuh kalian sudah terlalu cocok untuk satu sama lain sehingga lupa kalian tengah berperang. Kau tidak berharap apa-apa, tetapi kaitan tangan dinginnya menenangkan semua gemuruh dalam kepalamu.

Kau tidak tahu kau masih mencintainya atau kau hanya takut pada sepi.

'Lekas putuskan!' bentak sebuah suara dalam kepalamu, menuntutmu untuk berhenti membuatnya lelah dengan segala ciuman dan segala belaian yang menyelingi sahutan penuh benci.


Tidak lama berlalu sebelum akhirnya kalian berbaring berhadapan tanpa jarak memisahkan, saling menipu satu sama lain dengan mata tertutup dan napas lamban teratur. Tangan tertaut erat, kaki saling menyentuh, dan jantung berdetak seirama, bersama-sama menunggu kapan tidur akan menyeret diri masing-masing menjauh dari kenyataan.

Sejauh ini kalian selamat dengan mematikan rasa dan membohongi diri. Dengan keadaan seperti ini, kalian hanya akan saling menyakiti, saling mengoyak luka, saling menenggelamkan. Saling meracun sampai bersama-sama hancur.

Akhirnya kalian tertidur, masih dengan rasa takut akan kesepian yang menyatukan kalian berdua. Dan seperti itu, satu lagi malam terlewati.


Still—End


Cihuy.

Minta ripiu dungs~