Wifey


Sebenarnya aku ini bukan penganut motto 'Ingin Mencari Pendamping Hidup Yang Mau Diajak Susah'. Tidak sama sekali. Aku ini sudah hidup melarat sejak kecil, tentu saja aku tak ingin istri dan anak-anakku merasakan hal yang sama. Aku ingin mereka tinggal di rumah yang nyaman, bisa makan secara teratur tanpa harus memikirkan hutang yang menumpuk, bisa membeli barang-barang yang mereka inginkan, bisa tamasya kemana saja—tidak seperti aku dulu. Yah—bukan aku yang sengaja mengajak pasanganku hidup susah. Dia saja yang mau.

Kalau kupikir-pikir lagi, dia itu sedikit membingungkan.

"Chan~ aku rasa kipasnya rusak. Huh, panas sekali—kipasi aku sekarang juga..."

Dia yang ngotot ingin merasakan hidup susah. Dia yang bersikeras mau tinggal di rumahku yang lebih mirip kandang kudanya di peternakan sana. Dia yang rela ditendang keluar dari daftar pewaris Tuan Byun. Dia yang keras kepala lebih memilihku daripada tunangannya yang milyarder itu.

Dia itu pemaksa.

"Baiklah—jangan tidur telungkup, Baek—ingat, di dalam sana ada bayi kita."

Dia sedang hamil tujuh bulan dan selalu mencoba agar bisa tidur telungkup. Dia sengaja melakukan itu karena aku punya ketakutan konyol, bagaimana kalau perut buncitnya itu meletus tiba-tiba? Dia akan terbahak ketika melihat wajahku memucat karena cemas—terkadang sifat berandalnya itu masih juga muncul.

Suamiku—oh, aku lebih suka memanggilnya istriku, namanya Byun Baekhyun. Kalau dirunut dari garis keturunan manapun, atau dari ramalan paranormal terhebat manapun, seharusnya kami ini tidak akan pernah bisa berjodoh. Dia itu putra bungsu satu-satunya dari empat bersaudara konglomerat Byun sedangkan aku ini hanyalah putra tunggal keluarga miskin pemilik usaha jajanan pinggir jalan. Dia itu terbiasa makan melalui sendok emas sedangkan aku ini tidak pernah memiliki emas—ehm, lupakan. Intinya perbedaan kami itu sejauh lapisan atmosfir terluar dan pusat bumi terdalam.

Dan kalian pasti tidak tahu. Sebelum kami menikah seperti sekarang ini, dia adalah musuh besarku. Byun Baekhyun itu berandalan sekolah sebelah sedangkan aku ini hanya murid biasa-biasa saja yang selalu jadi objek keusilannya. Oke, nanti akan kuceritakan lebih lanjut.

"Eungg—panaaass..." Baekhyun menukar posisinya dari telungkup menjadi terlentang dengan tangan dan kaki terbuka lebar. Wajahnya keringatan, pinggiran rambutnya juga basah—jujur saja, aku tak tega melihatnya seperti ini. Aku jadi merasa sangat sangat bersalah. Apalagi dia sering tidak terlihat nyaman dengan perutnya yang membesar itu.

"Maaf ya, Baek. Besok kalau gajiku sudah dibayarkan, aku akan pergi membeli kipas baru." Ujarku sambil mengipasinya pakai potongan kardus bekas. Dia membuka mata indahnya yang terpejam dari tadi, "Berisik—cukup perbaiki saja dan kita tak perlu mengeluarkan uang. Bukankah kau bilang kita harus menabung untuk biaya operasinya nanti?"

Dia ini selalu saja membuatku bingung. Sekaligus bersyukur.

"Baiklah, aku akan memperbaikinya. Apa masih panas sekali?"

Dia hanya mengangguk sambil kembali memejamkan mata. Tiga menit kemudian, dia membuka kancing piyamanya sampai habis sehingga perut putih besarnya itu terpampang bebas.

"Chan—sekalian elus perutku juga..."

"Baiklah, Manisku."

Byun Baekhyun yang sedang seperti ini selalu bisa membuatku luluh, meski dulunya aku benci sebenci bencinya melihat dia. Baekhyun itu bisa terlihat angkuh, arogan, mendominasi, mengintimidasi sekaligus manja menggemaskan dalam waktu yang sama. Aku tak tahu kapan tepatnya hatiku ini tertambat padanya.

Aku tidak tahu kapan aku jatuh cinta pada pria cantikku ini.

Kami sudah menikah selama empat bulan lebih satu minggu. Di awal pernikahan kami, jujur saja, aku sama sekali tidak mencintainya. Entahlah—mungkin ini yang dinamakan takdir.

"Chan~" Dia membuka matanya dan memandangku sendu.

"Apa, Sayang? Kau butuh sesuatu?"

Dia melengkungkan bibir. "Sepertinya aku sedang ingin..."

"Ingin?"

Dia mengangguk pelan sambil menggigit bibir, "Udaranya panas sekali, tanganmu juga bergerak di perutku dan membuatku geli—sepertinya aku terangsang."

Aku hanya mengangkat sebelah alis saat melihat istri kesayanganku melepas semua pakaiannya dan memandangku penuh harap. Matanya tiba-tiba berubah sayu dan bibir merahnya digigit dengan gaya seduktif. "Chan, cepatlah—aku sudah tidak tahan."

Oh, baiklah. Kau yang minta kan, Sayang?


School Next Door


Semua ini berawal saat aku kelas satu SMA.

Aku bersekolah di SMA Yungnam, salah satu sekolah berstatus biasa-biasa saja tapi aku sudah bersyukur sekali bisa diterima di sana. Tepat di sebelah sekolahku, ada sekolah lain yang statusnya tak beda jauh—SMA Yungjin. Dulunya kedua sekolah ini adalah satu, tapi entah apa yang terjadi, akhirnya keduanya terpecah.

Perpecahan itu tidak hanya terjadi pada sekolahnya, tapi juga pada para warganya. Semuanya saling benci; guru dengan sesama guru, siswa dengan sesama siswa—bahkan yang namanya tawuran seolah sudah menjadi agenda resmi kedua sekolah.

Sebenarnya aku tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu karena aku juga sedang susah payah berjuang untuk hidupku sendiri. Tapi dari situlah ternyata takdirku dimulai...

Aku ikut tawuran pertamaku di semester dua kelas satu. Itupun karena aku terpaksa—kalau tidak, aku lebih baik pergi ke kedai jajanan milik orangtuaku dan membantu mereka berjualan saja. Tapi Minho hyung, 'pemimpin' sekolah kami, memintaku untuk bergabung karena SMA Yungnam kekurangan orang. Sekolahku kalah telak di tawuran minggu lalu dan banyak siswanya yang masih dalam masa perawatan.

SMA Yungjin juga tak jauh beda. Mereka memang menang, tapi ketua mereka mengalami patah tulang dan tidak bisa memimpin tawuran kali ini. Dan tebak apa, aku nyaris terbahak saat melihat siapa yang berdiri di garis depan.

Byun Baekhyun—yang tiga tahun kemudian resmi jadi istriku.

Aku sudah sering mendengar cerita tentang Baekhyun yang imut, cantik dan anak orang kaya. Pun tentang kenakalan serta sikap berandalan yang bertolak belakang dengan figur tubuhnya yang mirip perempuan itu. Tapi inilah pertama kalinya aku melihat dia secara langsung dan aku terkejut karena dia tidak terlihat 'lelaki' sama sekali. Yah, aku kan sudah bilang kalau aku ini murid biasa-biasa saja yang tidak tertarik dengan hal-hal seperti ini.

Tiga puluh lawan tujuh puluh.

Kami kalah jumlah lagi. Baekhyun menyeringai remeh saat menyadari Minho hyung gemetaran di tempat. Aku sempat melirik dengan ekor mataku, nyaris semua anggota kami ketakutan—beberapa bahkan berbisik hampir menangis saat melihat lawan yang semuanya membawa perkakas tempur. Jangan bilang yang mereka takuti adalah si Byun ini...

Apa yang mereka takutkan dari pria mungil berkulit putih bersih dan ber-eyeliner tebal? Aku mengira-ngira tingginya bahkan tak sampai sebatas leherku. Tubuhnya juga terlalu kurus untuk ukuran lelaki, rambutnya di-cat abu-abu gelap yang langsung mengingatkanku pada kucingku yang sudah mati, rantai motor yang dililitkan di kepalan tangannya—oh, mungkin dia atau semua yang ada di sini menganggap dia itu manly.

Di mataku dia terlihat konyol.

Aku terlalu sibuk mengamati Byun Baekhyun sampai-sampai tidak menyadari kalau salah satu anggotaku terkena lemparan batu. Tawuran pun dimulai. Minho hyung langsung berhadapan dengan Byun dan aku menghajar siapa saja yang maju di depanku. Aku memang tidak suka berkelahi, tapi bukan berarti kalian bisa meremehkanku. Biar miskin dan susah seperti ini, aku pernah mewakili SMP-ku di ajang tingkat nasional dan meraih medali emas.

Pertarungannya tidak imbang. Anak-anak Yungjin semuanya memegang alat sedangkan kami lebih banyak yang tangan kosong. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya—beberapa anggotaku pingsan di tempat dengan luka di sana-sini dan ada juga yang kabur karena takut mati. Oh sial, seseorang baru saja memukul tengkukku dengan kayu.

"Mati saja kau, bangsat!" Aku merebut kayunya dan menghantamkan benda itu di kepalanya berkali-kali sampai dia pingsan. Aku benar-benar terbakar. Taeyong, Johny, Suho dan teman-temanku yang lain sudah tergeletak pingsan dan Minho hyung sedang diinjak-injak oleh seseorang.

Seseorang itu dengan santainya mengalungkan rantai di leher Minho hyung dan mencekiknya kuat-kuat. Aku membelalak saat melihat Minho yang tubuhnya jauh lebih tinggi dari orang itu dibanting ke tanah tanpa belas kasihan. Ketua kami memuntahkan darah dan nyaris pingsan karena perlakukannya. Si pelaku terkekeh sambil membuang ludahnya sembarangan.

"Hyung!" Aku menghampiri seniorku dan membungkuk di samping tubuhnya yang tak bertenaga. Keadaan Minho hyung benar-benar memprihatinkan. Kelopak matanya sobek, pipinya tergores dan di lehernya ada bekas jeratan berwarna merah. Airmatanya sampai mengalir saat aku memangku kepalanya yang terluka, "Di—belakangmu."

Aku terlalu panik untuk menyadari seseorang menjambak rambutku tanpa ampun, menyeretku dan menjatuhkanku ke tanah. Seseorang itu adalah Byun Baekhyun. Dia langsung menendang dadaku saat aku mencoba akan bangkit— dan belum sempat aku mengelak, dia sudah menginjak perutku tiba-tiba.

Mungkin aku terlalu meremehkan tubuh kecilnya, tapi dia kuat sekali.

"Aku paling tidak suka ada yang sok jadi pahlawan kesiangan di depanku." Desisnya sambil tersenyum miring. Aku bersyukur karena dia tidak langsung menghajarku setelahnya—sumpah, perutku sakit sekali. Aku terbatuk dan berusaha duduk. Minho hyung sudah benar-benar pingsan dan hanya tersisa beberapa orang yang masih bertarung.

"Wajahmu tampak asing. Apa ini pertama kalinya kau ikut tawuran?" Katanya santai sambil melilitkan rantai motor ke leherku. Dia memang pendek, tapi dia sanggup menarikku berdiri dengan leher terdongak. Aku memukul-mukul tangannya yang mencekik leherku tapi dia tampaknya tak terganggu dengan itu.

Baekhyun membantingku ke tanah melewati pundaknya dan rasanya leherku seperti mau putus. Dia menarik lepas rantai dari leherku yang pasti sudah merah-merah kemudian melingkarkan benda besi itu di tangannya.

"Pantas saja—kau terlihat masih 'bayi' sekali. Apa mereka tak pernah mengajarimu agar jangan berhadapan denganku secara langsung? Kecuali kalau kau ingin mati sih..."

Baekhyun mengelilingiku dengan langkah santai sedangkan aku sendiri berusaha untuk mengumpulkan tenaga. Anak ini—dia bukan orang sembarangan. Leherku sakit sekali, belum lagi perih di perutku yang tak kunjung hilang. Tenagaku rasanya terkuras habis meski aku belum membalas satupun perlakuannya. Aku sampai heran darimana dia mendapat kekuatan seperti itu.

Baekhyun berjongkok di sebelahku dan menarik rambutku dengan kasar.

"Apa kau bisu? Kenapa tak menjawab pertanyaanku?" Baekhyun menjambak rambutku sampai aku terdongak. Dengan posisi yang seperti ini, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Secara keseluruhan, garis-garis mukanya terlihat halus dan feminim sekali. Tak ada satupun jerawat di sana—oh, pantas saja dia terlihat sangat terawat, dia itu kan anak orang kaya.

Luka kecil di dahinya yang tertutup poni malah menambah kesan manis sekaligus sangar—benar-benar aneh.

"Kau cantik."

Seharusnya aku tidak mengatakan itu. Ehm, itu di luar kesadaranku sebenarnya. Aku juga tak tahu kenapa mulutku ini bisa bilang begitu.

Tapi kalau aku tidak mengatakannya, mungkin kami tidak akan pernah jadi suami istri seperti sekarang. Oke, lupakan.

"Apa? Aku cantik? Aku. Cantik?" Baekhyun menyipitkan matanya dengan raut tak terima. Rahangnya mengeras dan tiba-tiba saja kepalanya menghantam hidungku. Sumpah—rasanya sungguh menyakitkan dan seketika pandanganku berbintang-bintang gelap.

"Bilang cantik sekali lagi dan aku akan mematahkan hidungmu, dasar tak berguna."

Dan hidungku benar-benar patah waktu itu.

Hidung kebanggaanku— hidung yang kata Ibuku menunjukkan ciri-ciri orang sukses di masa depan. Baekhyun mematahkannya begitu saja.

Aku jera ikut taruhan dan selalu menghindar setiap Minho hyung maupun yang lainnya minta bantuanku. Bukannya takut, aku hanya malas saja berhadapan dengan si Byun.

Oh, kalian tidak tahu kan—Byun selalu cari gara-gara denganku setelah pertarungan kami yang pertama. Entah itu mencegatku di jalan, mengepungku di halte dan semacamnya. Dia juga pernah berbuat onar di Coffee Shop tempatku bekerja paruh waktu. Sudahlah, itu hanyalah masa lalu—yang penting kami sudah suami istri sekarang.


Withered Rose


Aku menikahi Baekhyun saat kandungannya berusia hampir tiga bulan—tepatnya dua bulan setelah kami lulus SMA. Kalian pasti bingung kenapa dia bisa hamil duluan, iya kan? Uhm, sebenarnya aku tidak terlalu ingin membahasnya, tapi baiklah.

Aku memperkosa Baekhyun.

Mungkin kalian sudah tahu kalau aku dulunya benci pada pria mungilku itu. Kami terus berseteru semenjak tawuran yang kelas satu dulu dan itu berlanjut sampai aku kelas tiga. Aku memang sudah jarang ikut tawuran, tapi dia dan teman-teman menyebalkannya masih sering mengeroyokku tiba-tiba.

Oh, aku pernah tanpa sengaja mematahkan jari manis dan kelingkingnya karena dia memukulku sepulang sekolah. Aku sendiri tidak tahu apa alasannya kenapa kami sering bersitegang. Yang kutahu, aku akan balas memukulnya kalau dia memukulku—tapi lebih sering aku yang kena pukul sih. Singkatnya, aku membuat jemari lentiknya patah seminggu sebelum ujian tengah semester. Itu terjadi saat kami kelas dua.

Dan kalian tahu apa—dia menerobos masuk ke pekarangan sekolahku saat kelasku sedang ada pelajaran PE. Sebenarnya itu sudah seperti perjanjian tidak tertulis antara kedua sekolah: tidak boleh menerobos masuk saat jam pelajaran sedang berlangsung. Baekhyun menghampiriku di lapangan basket dan menghajarku saat itu juga. Hasilnya sepadan—ibu jari, telunjuk dan jari tengahku patah. Dia hebat sekali bisa mematahkan tiga jariku sekaligus hanya dengan tangan kosong.

"Sekarang kita imbang." Ujarnya sambil tersenyum remeh sebelum melompati pagar dan kembali ke sekolahnya. Aku makin benci padanya waktu itu. Ujian semakin dekat dan tanganku tidak bisa dipakai untuk menulis. Aku terpaksa ikut ujian susulan dua minggu setelahnya—dan itu membuat peringkatku sedikit merosot. Nyaris saja beasiswaku dialihkan ke murid lain. Gara-gara si Byun.

Oh, aku tidak pernah membayangkan kalau lelaki yang sudah mematahkan beberapa tulangku itu akan menjadi pendampingku di masa depan.

Puncaknya adalah saat kami kelas tiga, enam minggu sebelum wisuda.

Sekolah kami sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan festival seni yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku kebagian tugas untuk mengiringi Do Kyungsoo sahabatku bernyanyi sambil memainkan gitar bersama seorang gadis dari kelas lain, Rose. Kami bertiga akan tampil di pembukaan dan penutupan, karena itulah kami berlatih keras demi penampilan yang hebat nantinya.

Mungkin karena bertemu setiap hari untuk latihan bersama, aku jadi punya perasaan pada si cantik Rose. Dia tidak hanya cantik, pintar dan berbakat—kepribadiannya juga menyenangkan. Aku selalu suka wanita yang bisa bermain alat musik, dan kebetulan sekali Rose termasuk ke dalam wanita idamanku. Aku sudah pernah jatuh cinta sebelumnya tapi pengalamanku masih nol dalam hal berpacaran. Aku bertekad dalam hati—tepat di acara festival nanti, aku akan menyatakan perasaanku pada Rose.

Dan sesuatu yang buruk terjadi sebelum niatku terlaksana. Mereka bilang Kyungsoo dan Rose dicegat oleh siswa SMA Yungjin sepulang latihan—mereka berdua diperkosa beramai-ramai di dekat jembatan yang sering dijadikan tempat mangkal murid sebelah. Kyungsoo pingsan saat ditemukan dan Rose-ku sudah tak bernyawa.

Wanita baik hati itu ditemukan meninggal dengan luka tusuk di perut.

Kalian tidak tahu betapa hancurnya hatiku saat keesokan harinya mendengar kabar itu. Aku menyesal, sangat. Seandainya saja aku mengantar mereka sampai rumah masing-masing, bukannya pulang ke arah yang berlawanan seperti biasa... Seandainya saja aku tahu senyuman Rose yang ia beri sebelum berbalik pergi itu adalah senyuman terakhirnya untukku...

Perang antara dua sekolah tak terelakkan lagi. Aku tidak akan menceritakan kronologi lengkapnya karena akan membuat perut kalian mual. Oke, hanya sedikit mungkin—beberapa murid sekolah kami balas memperkosa murid SMA Yungjin minggu depannya. Tak peduli dia laki-laki atau perempuan. Bisa ditebak, sekolah sebelah tak terima dan mereka balas mengeroyok siapapun yang memakai seragam Yungnam.

Keadaannya sangat kacau waktu itu.

Kira-kira ada tiga orang murid sekolahku dan enam orang dari SMA Yungjin yang tewas saat tawuran besar-besaran yang terjadi dua minggu setelah pemerkosaan Kyungsoo dan Rose—salah satunya adalah Yongguk, 'ketua' SMA sebelah. Gedung kedua sekolah rusak berat, beberapa guru terluka, sekolah terpaksa diliburkan. Ratusan personil polisi diturunkan untuk berjaga-jaga di sekitar Yungnam dan Yungjin. Mereka tidak tahu, semua itu sia-sia saja karena pertarungan kami tetap berlangsung di tempat lain—gedung tua bekas pabrik gula.

Aku memang tidak terlalu suka berkelahi, tapi waktu itu, aku yang paling emosi. Teringat senyuman Rose, tutur kata lembutnya, tangan halusnya yang tergores saat kami bermain gitar, tawa renyahnya saat Kyungsoo membuat candaan yang garing—aku menjadikan tawuran itu sebagai ajang balas dendam. Aku tidak tahu apakah salah satu dari enam murid Yungjin yang tewas adalah akibat ulahku atau bukan. Aku tidak peduli.

Baek—Baekhyun...Dia—menikam Rose.

Saat Kyungsoo siuman dari pingsannya, dia terus berteriak ketakutan dan mengusir siapa saja yang datang mendekat. Pihak kepolisian belum bisa memintai keterangan apapun darinya karena dia terus saja menjerit histeris sambil melempari barang-barang. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kyungsoo tak hanya diperkosa—lebam-lebam di tubuhnya membuktikan kalau dia juga dipukuli.

Dan setelah polisi, dokter serta keluarganya meninggalkan kami berdua saja di kamar inapnya, Kyungsoo mengungkapkan sesuatu yang membuatku tak kuasa menahan amarah.

Aku nyaris bisa merasakan tulang jariku menerobos keluar dari kulit saat mengepalkan tanganku kuat-kuat. Tak peduli setelah itu aku akan dipenjara karena membunuh atau apa, aku terus saja menerobos masuk ke daerah lawan. Hanya ada satu orang yang pantas disalahkan atas kejadian ini.

Dan aku sendiri yang akan minta pertanggung-jawaban atas perbuatannya.


Destroying Baekhyun


"Ikut aku, bangsat!"

Baekhyun saat itu sedang menghajar salah satu adik kelasku dengan rantai motor andalannya. Mungkin dia sudah kelelahan karena pertarungan yang tak henti-henti, jadinya dia sedikit kewalahan saat punggungnya kutendang tiba-tiba dan benda besi pegangannya kurebut. Dia berontak dan berusaha melawan balik, tapi aku langsung menjerat lehernya dengan rantai besi.

Heish, aku masih sering bergidik ngeri setiap mengingat kejadian itu. Baekhyunku...

Aku menyeretnya ke bagian belakang gudang, mungkin dulunya itu ruang loker atau apa—aku juga tidak tahu. Tubuh kecilnya kuhempaskan begitu saja di lantai dan dia terlihat hampir kehabisan nafas.

"Dasar pembunuh! Kenapa kau lakukan itu pada Rose, hah?"

Aku memukul wajahnya berulang kali. Dan sialnya, si Byun itu malah terkekeh sinis. "Kau juga mau merasakannya? Aku akan dengan senang hati menikammu juga!"

Aku dibutakan amarah.

"Kau memang iblis, Byun Baekhyun. Baiklah, aku akan membalaskan semua perbuatan kalian pada teman-temanku." Aku membalik tubuhnya dan menahan kedua tangannya di belakang punggung. Rantai besi yang tadinya melilit di lehernya, kini kutarik hingga mengikat tangannya juga—dan itu membuat lehernya terdongak.

Aku tahu itu pasti sakit sekali.

"Le-paskan aku, Park! Aku bersum-pah akan mem-bunuh-mu kalau kau tak me-lepaskanku sekarang juga!" Dia berdesis dengan suara putus-putus. Terang saja, rantai besi itu melingkar di lehernya erat-erat.

"Cih—masih bermulut besar juga kau? Lihat apa yang akan kulakukan padamu, Byun."

Dia berontak hebat saat aku melepas celananya dengan paksa. "Hentikan, Park! Jangan melecehkanku seperti ini! Kalau kau berani, lepas ikatanku dan pukul aku!"

Dan tanganku dengan lincahnya menelanjangi bagian bawah berandalan itu.

"Menungging, sialan!" Aku menampar pantatnya sambil menarik rantai besi itu semakin keras. Baekhyun memekik kesakitan saat benda berat itu menggores lehernya, menyisakan jejak merah di permukaan putih itu.

"Fuck! Lepaskan aku sekarang juga, Park! Aku benar-benar akan membunuhmu setelah ini!"

Aku menyeringai saat melihat dia meronta tak berdaya. "Kau yakin masih hidup setelah aku menyelesaikan urusanku?"

"Sialan kau!"

Dia terbatuk sebentar dan berusaha mengambil udara sebanyak mungkin. "Kalian memperkosa dan membunuh temanku, itulah yang akan kulakukan padamu, Byun."

Aku merenggangkan kedua pahanya yang menungging sehingga hole berkedut yang tersembunyi di antara bokongnya itu terlihat jelas. Dia sedikit bergetar dan berusaha menoleh ke belakang saat aku mulai menurunkan zipper celanaku.

"Tidak, Park! Jangan! Yaaak!" Dia menggeleng histeris dan berusaha melonggarkan ikatannya. Langsung saja tengkuknya kupukul sampai dia lemas sendiri. Baekhyun merendahkan tubuhnya dan aku langsung sigap menarik pinggulnya agar terus menungging. Saat dia sudah terlihat tak berdaya, aku mengeluarkan penisku dan mengocoknya dengan cepat. Aku membalurkan ludah di sekitar batang kemaluanku sebagai pelicin.

"Diamlah. Ini kan yang kalian lakukan pada temanku—rasakan, Byun."

"Arrgghhhhhh!" Lengkingan panjang Baekhyun menggema di sekeliling ruangan saat aku memaksakan penis besarku masuk ke lubangnya. Tubuhnya menegang dan lehernya makin tertarik ke belakang. Aku melihat cairan merah mulai menetes dari lubangnya—tidak hanya tempat itu, leher dan tangannya juga mulai berdarah karena ikatanku.

"Aam-ampun, Park! Sa-sakit sekalii..."

Kalau saja tak ingat dia ini adalah penyebab kematian Rose, mungkin aku akan terenyuh mendengar isakannya. Sayangnya aku sudah terlalu marah. Lubang sempit itu kusodok dengan gerakan brutal dan tak teratur—memang sengaja ingin menciptakan rasa sakit, meski sejujurnya penisku merasakan nikmat dari tindakan itu.

Baekhyun terus menjerit minta ampun saat pantatnya kuhajar. Dia berulang kali tersedak isakannya sendiri, tapi rasa kasihanku seperti menguap entah kemana.

"Sakit, kan? Inilah yang Kyungsoo dan Rose rasakan saat kalian memperkosa mereka!" Aku mati-matian menahan desahanku agar tidak terlihat terlalu menikmati. Sebagai gantinya, aku melampiaskan rasa nikmat itu dengan bergerak semakin kencang.

"Ampuuun—sakit sekaliii..." Baekhyun terus merintih dan berulang kali tubuhnya seperti akan ambruk. Oke, aku sedikit kasihan. Kukeluarkan penisku yang sedang tanggung dan kubuka rantai motor yang melilit tubuhnya.

"Sa—kit...Park."

"Rasakan! Biarkan aku menyelesaikan ini dan aku akan mengirimmu ke neraka setelahnya." Aku membalikkan tubuh Baekhyun yang basah oleh keringat bercampur tetesan darah dari lehernya, kemudian merenggangkan kedua kaki lemasnya itu lebar-lebar.

"Jangan la-gi...kumo-hon, Park. Bunuh saja aku seka-rang..."

Baekhyun si berandal sok jago itu menangis di bawahku. Urat-urat di pelipisnya menonjol dan wajahnya sudah basah oleh airmata. Keadaannya mengenaskan, tapi aku sama sekali tak merasa iba.

"Saat Kyungsoo dan Rose minta kalian agar tidak memperkosa mereka, apa kalian mengabulkannya? Tidak, kan? Karena itu, diam dan nikmati saja, sialan!"

"Aaakhhhh!"

Dia kembali tersentak saat penisku menerobos masuk. Baekhyun terlalu lemas untuk menggerakkan tubuhnya, kedua tangannya terkulai lemah di lantai dan matanya terpejam rapat. Tubuhnya terhentak mengikuti tiap hujamanku. Hanya ada airmata yang menandakan kalau perbuatanku itu sangat menyakitinya. Aku bergerak semakin cepat karena kurasakan puncakku sudah semakin dekat.

Dan aku menyemburkan maniku di dalam tubuhnya.

Mungkin benar menurut cerita yang kudengar. Orang yang diperkosa sangat jarang bisa mendapatkan orgasme karena dia tidak menikmati persetubuhan secara paksa itu –begitu juga dengan Baekhyun. Penis berukuran sedang miliknya memang berdiri tegak, tapi sama sekali tak ada tanda-tanda akan meraih klimaks seperti yang kualami. Hanya cairan precum bening yang mengalir deras keluar dari ujung penisnya yang memerah.

"Ahhh—ssstt, kau nikmat sekali, sialan. Bagaimana kalau kupanggil teman-temanku untuk merasakan tubuhmu juga?" Ujarku ketika mengeluarkan penis dari dalam tubuhnya. Kedua kakinya langsung terkulai lemas dan cairan putihku mengalir keluar dengan derasnya sampai menggenangi lantai. Oh, bercampur sedikit darah.

Aku berdiri dan membenarkan celanaku kembali. Saat itulah kudengar ponsel Baekhyun berbunyi. Lelaki itu tak bergerak sedikitpun, mungkin saja sudah pingsan atau apa. Aku merogoh saku celana sekolahnya yang teronggok dekat kakiku dan melihat ada sebuah pesan masuk.

Anggap saja aku lancang, tapi bisa jadi kan pesan ini dari teman-temannya yang ada hubungannya dengan kasus Kyungsoo dan Rose?

From: Bitch 1

Kudengar ada kerusuhan di sekolahmu. Kudoakan kau mati dihajar seseorang dan tak akan pernah kembali ke rumah ini lagi.

Aku melirik Baekhyun setelah membaca pesan yang termasuk kasar itu, dari seseorang bernama Bitch 1. Ponselnya berdering lagi dan kali ini ada dua pesan yang masuk berturut-turut.

From: Bitch 2

Polisi mencarimu ke rumah. Tunggu saja kalau ayah tahu. Kau akan mati, brengsek.

Polisi? Ayah? Mati?

Aku cepat-cepat membuka pesan ke-tiga.

From: My Angel

Baekkie, kau baik-baik saja kan? Bersembunyilah dimana saja—asal jangan pulang. Nuna takut kau akan dipukuli ayah lagi. Kau tidak melakukan hal itu kan, Baekkie? Nuna percaya padamu.

"Kau membuka pesanku tanpa izin." Aku tersentak dan melirik Baekhyun yang masih terbaring lemah, tapi sekarang matanya terbuka. Wajahnya terlihat sayu dan tak ada sedikitpun tampang preman seperti yang biasa ia tunjukkan. Semuanya seperti hilang begitu saja dan menyisakan raut tersiksa yang membuatku sedikit—iba.

"Apa itu dari kakakku?" Ujarnya lemah, nyaris berbisik. Dia bersusah payah menelan liur dan aku merasa nyeri sendiri saat melihat lehernya yang berdarah. Luka itu terbentuk karena lehernya yang kujerat dengan rantai motor.

"Kau akan membunuhku, kan?" Satu airmata lolos dari sudut mata sipitnya. "Bisakah aku minta sesuatu padamu?"

Aku tak menjawab ucapannya. Lelaki yang terlihat lemah ini—benarkah dia orang yang sudah menikam Rose sampai meninggal?

"Tolong jangan balas pesan dari siapapun yang bernama Bitch 1 dan Bitch 2—mereka itu jahat sekali padaku." Dia terkekeh tapi airmatanya kembali jatuh.

"Kau terlalu banyak bicara, Byun. Kata siapa aku akan menuruti permintaanmu?"

Tanganku meremas ponsel mewahnya kuat-kuat. Tidak—aku tidak boleh lengah hanya karena melihat dia menangis.

"Kalau ada pesan masuk dari My Angel, tolong katakan padanya, 'Aku baik-baik saja. Jangan lupa makan obatmu'—bisakah kau melakukannya, Park?"

Aku mendecih dengan sinis lalu mencampakkan ponselnya ke lantai begitu saja. Benda mahal yang aku tahu untuk membelinya saja akan menghabiskan gajiku selama berbulan-bulan itu langsung pecah berhamburan.

"Sayangnya tidak, Byun."

Dia hanya melirik ponselnya kemudian mengalihkan pandangan padaku. "Kalau begitu, tak ada yang bisa kulakukan lagi. Bunuh aku sekarang juga, Park."

"Tanpa kau suruh juga aku akan melakukannya."

"Hm—benar. Kau memang seharusnya membunuhku. Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?"

Aku tersenyum sinis sambil berjongkok di sebelahnya. Rantai motor yang selama ini digunakan Baekhyun untuk menyiksa murid-murid sekolahku itu kuambil lagi dan kumainkan di tanganku. Mungkin dia akan kuhabisi dengan cara mencekiknya saja.

"Tentu saja tahu. Aku melecehkanmu—supaya kau mati dalam keadaan hina seperti yang kalian lakukan pada Rose."

Dia tersenyum samar dan itu membuatku benar-benar kesal. "Aku ini istimewa, kau tahu? Kalau kau membiarkanku tetap hidup, mungkin aku akan menyusahkanmu di masa depan. Kau tak akan pernah tahu." Ujarnya pelan.

Yah, seandainya saja aku mengerti apa yang dia maksud istimewa.

"Kau terlalu banyak bicara, Byun."

Aku kembali melilitkan rantai besi di lehernya yang sudah luka itu. Baekhyun meringis saat aku melakukannya, tapi dia tak melawan sedikitpun. Matanya yang selama ini berkilat remeh setiap memandangku kini terlihat sayu dan tergenang airmata. Tangannya yang selama ini selalu ringan saat memukuli murid-murid lain kini bergetar lemah sambil mencengkeram rantai yang membelit lehernya.

"Nu—na..." Dia mengerang pelan sebelum matanya berbalik dan nafasnya tersengal. Tangannya tergolek lemah dan aku memperkuat jeratanku. Tanpa kusadari, tanganku juga ikut bergetar saat memegangi untaian besi dingin itu.

Aku tahu kalau aku ini tak benar-benar tega.

Saat itulah aku mendengar sirine polisi dari arah luar gedung. Tertangkap basah karena membunuh Baekhyun atau menuntaskan balas dendam teman-temanku?—aku berada dalam pilihan yang sulit. Aku melirik wajah Baekhyun yang nyaris sepucat mayat dengan mata yang hampir putih seluruhnya. Dia masih bernafas.

Keraguan menghampiriku.

Syukurlah aku masih punya otak saat itu. Kalau saja aku tidak mengendorkan jeratanku dan terus memaksa ingin membunuhnya—mungkin kami tak akan bisa bersatu seperti sekarang. Karena seperti yang ia katakan, dirinya itu istimewa. Hm—tentang yang ini akan kuceritakan lain kali saja.

Aku meninggalkan Baekhyun dan menyelinap keluar saat kudengar langkah kaki berderap mendekati ruangan. Sebelum aku melompati jendela, aku sempat menoleh ke belakang dan memandang Baekhyun yang masih tak mengenakan apapun untuk menutupi bagian bawahnya.

Aku tak pernah menduga kalau jalinan takdirku dan takdir lelaki itu akan dipertemukan di suatu persimpangan—membuat kami berdua terjebak di dalamnya, mungkin untuk selamanya.


Happy New Year.

Yeah, another rubbish ff. I know that the theme is so mainstream, but... just read it okay? Haha . Please dont bash me for publishing new story. The others are on the way now, i promise kkk. I was so bored, frustrated and stuck-and finally ended up writing this story. It was originally a long oneshoot, but i changed it into ficlets ?. See you next time. Love you.