The Silly and The Ice
.
A fiction by dearestnoona
Romance, Angst
Hunhan
((beware!Genderswitch, absurd, etc.))
Tak ada yang tahu bagaimana segalanya bisa terjadi. Bahkan mereka, tidak pernah merencanakan bagaimana bentuk alur yang akan mereka lewati, dimana titik perkenalan hingga penyelesaian tersusun secara rapi.
Mereka, hanya tidak tahu bagaimana semuanya terjalin begitu saja. Yang mereka perlukan hanyalah; jalani dan nikmati.
Untuk sekian kalinya Sehun berpikir jika hari itu akan berjalan lancar. Tapi, siapa yang dapat menduganya? Gadis bodoh—yang juga manis, ehm, terus mengganggunya. Sehun sadar jika keberadaan Luhan bukanlah ketidaksengajaan. Tentu saja semua orang berpikir jika Luhan benar-benar tertarik dengan Sehun. Tapi bukan dengan cara mengikutinya setiap hari juga kan?
"Tidak kusangka jika balok es bisa tahan di musim panas seperti ini!" Ya Tuhan, bisa-bisa Sehun mati muda karena mendengarkan celotehan gadis itu.
Sesungguhnya ini hal yang biasa, sehingga Sehun cukup kebal dengan keberadaan Luhan. Jujur saja, dari awal bertemu dengan Luhan, dirinya sudah menduga jika pertemuan tersebut membawa petaka yang terus berlangsung hingga kini.
Luhan, si gadis penggembala, jorok, dan juga bodoh; siapa yang mau dengan gadis seperti itu, huh?
Tapi dari segala kejelekan yang ada, Sehun tahu jika Luhan sebenarnya memiliki sisi yang sedikit baik. Luhan memang gadis yang jorok, kebiasaannya menggembala domba membuat orang-orang menatapnya jijik. Di usianya yang menginjak remaja, tentu saja Luhan seharusnya bergaul bersama tema-teman sebayanya, bukannya berkawan dengan sekumpulan domba bau itu.
"Dan tidak kusangka jika seekor domba tengah mengajakku berbicara," Sehun mencibirnya dengan kalimat yang menginjak-injaknya. "Oh! Siapa sangka jika balok es mengerti bahasa domba? Mengejutkan sekali!" Seakan tahu jika perang dunia ketiga akan berlangsung, Sehun menatap Luhan tajam.
Sejujurnya, Sehun ingin membalas perkataan Luhan, tetapi dia pikir hari ini bukanlah waktu yang tepat untuk melangsungkan perang dunia ketiga. Sehun bungkam, seolah-olah Luhan tidak dianggap.
Seketika hening menyergap. Hanya suara kicauan burung di musim panas. Luhan mengerucutkan bibirnya, merasa lelaki di sampingnya itu tidak menggubrisnya.
"Ada festival musim panas di balai kota, pasti akan sangat menyenangkan,"
Hening. Sehun tidak bergeming dari tidurnya. Luhan benar-benar kesal, segera dia melemparkan batu kerikil ke arah Sehun.
Tak! Kena. Dan sekarang, kau telah membangunkan beruang yang tengah menikmati tidurnya, Luhan.
Mata sipit yang terbuka, mengkilat bagaikan ada secercah kemarahan. Luhan langsung bungkam, tidak berani melihat kea rah mata Sehun yang menatapnya dengan tajam.
"Kau tahu, Luhan?" alunan suara serak mendominasi setiap kata yang diucapkannya, membuat Luhan sedikit merinding. "Ada dua hal yang paling aku benci,"
"Yang pertama, aku benci ketika waktu santaiku dikacaukan," sambungnya, lalu "yang kedua..,"
"Aku benci kenyataan jika kau ada di sini. Menggangguku, mengacaukan segalanya. Ya, aku membenci segalanya yang ada pada dirimu."
Hening. Luhan bahkan tidak bergeming dari tempatnya. Tetapi kemudian suara kecil itu membuka keheningan, bagai angin yang berhembus. "Jadi, kau tidak menyukaiku?"
Sehun mengangguk. "Jadi artinya aku tidak boleh dekat-dekat denganmu, begitu?"
Bingo! Akhirnya kau mengerti apa yang kurasakan, Luhan. Sehun tersenyum penuh kemenangan.
"Tapi, aku tidak bisa," Sehun mengernyit kemudian, "Karena aku suka melihat wajah es-mu. Aku suka suaramu ketika kau membentakku. Aku suka cara kau mengusirku. Aku suka segalanya yang ada padamu, Oh Sehun."
Entah, kali ini Sehun merasa wajahnya memanas. Padahal Luhan bukan menyatakan cinta padanya, dan lagipula Sehun tidak mencintainya, tapi kenapa wajahnya jadi merona seperti ini?
"Tetapi, aku tidak suka ketika kau bilang kau tidak menyukai keberadaanku. Kau membenciku. Benar 'kan, Oh Sehun?"
Mata rusa yang biasanya bersinar bagaikan sinar bulan, sekarang malah berubah menjadi mata sayu, mata penuh kesedihan.
"Maaf." Maaf untuk terus berada di dekatmu, maaf untuk kebenciamu padaku.
Dan siang itu, di musim panas ditutup dengan aura mendung di sekitarnya.
Luhan yang menutupnya. Menutupnya dengan satu kata yang membuatnya pergi dengan perasaan sedih.
Musim panas telah berlalu, tetapi tidak ada tanda-tanda si pengganggu itu. Entah sejak kapan Sehun merasa kesepian karena tidak mendengar celotehannya yang sangat mengganggu itu. Dulu, Sehun membenci suara itu, dan sekarang? Entah, dia merindukannya. Merindukan suaranya. Sehun merindukan Luhan.
Oh, benarkah? Sehun yang selama ini menyatakan dengan tegas jika dirinya membenci keberadaan Luhan, sekarang berbalik dirinya merindukan keberadaan Luhan.
Apa ini yang disebut benci berubah menjadi perasaan yang disebut…cinta? Ugh, ini terdengar sangat klise, karena banyak roman yang mengisahkan cerita dari benci menjadi cinta.
Tetapi untuk saat ini Sehun tidak ingin memutuskan perasaannya begitu saja. Tentu saja itu semua butuh proses untuk meyakinkan jika dirinya memiliki perasaan itu kepada si pengganggu.
Pada musim gugur pertama, Sehun memilih untuk pergi keluar untuk menjernihkan pikirannya. Berjalan-jalan sebentar ke taman tidak ada salahnya bukan? Selain itu, pemandangan daun-daun yang berguguran menjadi pendukung musim penuh arti ini.
Hei, sejak kapan Sehun menjadi gloomy seperti ini? Perasaan tak karuan menderunya, menghempaskan ingatannya akan segala kejadian di setiap musimnya.
Dan musim panas yang mengingatkannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu.
"Hei, balok es!" lengkingan suara itu menyambar Sehun yang terjebak dalam ilusinya. Suara itu, sangat familiar. Bahkan, Sehun masih ingat seberapa cepat tempo dan intonasi dari suara yang dikeluarkan.
Sehun menatapnya sekilas, dilihatnya pakaian panjang yang melekat di tubuhnya, dengan syal biru melingkar di lehernya. "Tenang saja, aku hanya berjalan-jalan di sini. Tidak lebih," ucapannya seakan-akan mengisyaratkan jika dia tidak bermaksud menguntit Sehun lagi.
"Tapi aku tidak bisa menyangkal jika aku merasa senang kau ada di sini. Maaf," lanjutnya dengan kalimat yang menyiratkan sesuatu di baliknya. Sehun mengerjap, dia masih bungkam. Sejurus kemudian, lontaran kalimat yang dikeluarkan membuat Luhan tersedak. Entah, tapi kali ini darahnya berdesir, membuat wajahnya merah merona.
"Hei! Sejak kapan pemandangan di sini menjadi sangat menawan? Whoa! Kupikir musim gugur ini akan menjadi musim yang sama seperti musim-musim yang lalu." Luhan mengalihkan pembicaraan, tentu saja untuk menutupi suasana yang menegangkan itu.
Sehun hanya tersenyum tipis. Membuat Luhan merasa ribuan kupu-kupu terbang di dalam tubuhnya. Sehun tersenyum? Pemandangan yang sangat jarang. Apalagi untuk Luhan.
Dan kala itu, mereka menutupnya dengan ucapan selamat tinggal, walaupun Sehun masih bungkam seribu bahasa.
Serta meninggalkan kalimat yang terus saja terngiang di otaknya.
Hari ini kau terlihat cantik, Luhan. Dan selamanya akan terus diingat Luhan. Selamanya.
Sejak tadi, Sehun masih terus dibuat sibuk dengan tumpukkan kertas yang menganggunya belakangan ini. Tugasnya sebagai pengurus perpustakaan di balai desa, membuatnya tidak bisa beranjak dari kursinya.
Secangkir susu coklat menemani malam begadangnya. Mata sipitnya tak henti-hentinya menatap ribuan kata di buku tebal itu. Seserius apapun Sehun membaca rangkaian kata itu, sesekali dia menggerakkan otot-ototnya agar tidak terasa pegal. Mau bagaimana lagi, tugas seperti ini pun tidak boleh didiamkannya begitu saja, karena ini sudah merupakan kewajiban dirinya mengabdi pada tempat dimana dia dilahirkan.
Suara ketukan jendela menjadi pengiring heningnya malam. Angin yang berhembus sekonyong-sekonyongnya, membuat ranting pohon di dekat rumah Sehun bergerak, lalu menggesekkannya ke arah jendela miliknya.
Dengan diterangi lampu meja, Sehun sudah bisa melihat jelas apa isi buku tersebut. Halaman demi halaman telah dilewatinya, namun perjalanan itu membutuhkan waktu yang lama. Sehun sendiri tidak yakin jika dia bisa menyelesaikan koreksian naskah cerita yang telah dibuat oleh salah satu warga desanya.
Merasa lelah, Sehun akhirnya memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya sementara waktu, atau mungkin dia juga bisa melanjutkannya esok hari. Dia beranjak dari tempat duduk, kemudian membereskan buku-buku yang tergeletak di atas meja.
Usai itu, lekaslah dia mematikan lampu, kemudian menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjang. Tadinya Sehun memang merasa letih, tetapi sesaat membereskan pekerjaannya, rasa letihnya hilang begitu saja. Dan tentu saja, perasaan itu sangatlah menyebalkan.
Matanya kini melirik ke arah secarik kertas putih yang tergulung oleh potongan daun tua yang kemudian terikat di sekeliling kertas. Sejenak, dia merasa penasaran apa isi dari kertas itu.
Segera, dia menghampiri kertas itu, lalu membuka ikatan di sekitarnya. Dengan perlahan, jemarinya membuka kertas itu, seolah-olah tidak ingin kertas itu rusak sedikitpun.
Dahinya mengkerut, melihat isi dari kertas itu. Mengejutkan sekali. Bahkan, rasanya Sehun benar-benar tidak percaya.
"Apa dia hanya main-main denganku?" gumamnya setelah melihat angka 1 yang tergambar jelas di sana. Masih dengan ketidak percayaannya, Sehun membuka matanya jelas-jelas, siapa tahu matanya jadi buram karena terus-menerus membaca buku tebal tadi.
Namun, matanya tidak berbohong, dan matanya juga tidak rusak. Angka 1 jelas-jelas terpampang di tengah kertas. Sehun mendengus, "Dasar bodoh. Lagipula seharusnya aku sudah mengira jika gadis itu hanya menjahiliku. Tsk,"
Tetapi, mana mungkin hanya karena angka itu, Luhan harus membungkusnya dengan pelindung agar kertas itu tidak rusak? Pasti ada arti di balik semua itu.
Hanya saja, Sehun perlu waktu untuk mengerti apa yang dimaksud dari isi kertas itu.
Ya, hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Tidak seperti biasanya Sehun pergi ke peternakan paman Han di pagi buta ini. Bukan terlalu pagi, tetapi hanya sangat jarang Sehun berkunjung ke tempat tersebut, dan lagi pada pagi hari pula. Paman Han yang saat itu tengah membereskan jerami di depan kandang, mengeryit sebentar karena kehadiran Sehun di sana. Sehun kala itu tersenyum tipis seraya memberi salam kepada pria paruh baya itu.
Dengan mata yang dibuka lebar-lebar, Paman Han mencoba memastikan, "Oh Sehun?" dilihatnya sesosok pria tinggi dengan kulit putih susunya itu tengah berdiri di luar pagar.
"Apa kau akan mewawancaraiku mengenai peternakan domba?" tanyanya ragu. Sehun hanya terkekeh pelan kemudian, "Tentu saja tidak, Paman. Jika aku membutuhkannya untuk apa aku datang di pagi buta ini,"
Seakan mengerti dengan tatapan Paman Han, Sehun kembali menjelaskan tentang kehadirannya di sana. Paman Han mengangguk pelan seakan-akan dia telah mengerti dengan apa yang dijelaskan Sehun.
Paman Han kemudian membukakan pintu pagar rumahnya, lalu diikuti dengan langkah kaki jenjang milik Sehun. "Maaf telah merepotkanmu, Paman." Sehun masih tersenyum manis kepada sang pemilik rumah.
Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam dapur untuk menyiapkan sajian untuk sang tamu. Dengan tatakan sederhana tersebut, ditaruhnya dua cangkir teh hangat. Sejurus kemudian, Paman Han segera keluar dari dapur, lalu berjalan menghampiri Sehun.
"Maaf, hanya ini yang bisa kusajikan. Selamat menikmati," kata Paman Han dengan senyuman jenakanya. Sehun kemudian berdiri lalu menundukkan sedikit kepalanya, "Tidak apa-apa, malah aku yang telah merepotkanmu, Paman Han."
"Soal itu…—kutanyakan tadi, bagaimana?" Sehun bertanya dengan nada ambigu. Paman Han membalasnya dengan menganggukkan kepalanya, "Ah, itu. Yang kutahu dia sudah jarang menggiring domba-dombaku lagi,"
Sehun mengernyit, "Jadi, dia sama sekali tidak tinggal di sini?" terdengar kekehan pelan, "Waktu itu dia pernah meminta izin untuk menginap selama dua hari di sini, tetapi setelahnya dia langsung berpamitan untuk pergi," Paman Han menghela nafasnya, "Dia tidak pernah bercerita kepadaku dimana dia tinggal. Setiap harinya dia hanya menyapaku, dan menggiring domba-dombaku ke padang rumput, dan setelahnya dia hanya bercerita mengenai pengalaman menakjubkannya ketika dia menggiring domba-dombaku."
Sehun terlihat murung, helaan nafas terdengar dari inderanya, "Ah, begitu. Dia benar-benar sulit ditebak," jemarinya memutuskan untuk mengambil secangkir teh hangat.
"Kukira selama kau bersamanya, dia sudah menceritakan segalanya padamu. Jadi dia tidak pernah mengatakan apapun, huh?" pria paruh baya itu mengerutkan dahinya seakan tidak percaya, "Jadi apa yang kaulakukan bersamanya setiap hari?" pertanyaan Paman Han membuat Sehun mati kutu. Entah dia juga tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, karena seingatnya tidak ada kalimat penting yang diucapkan dirinya kepada sosok itu, dan begitu juga sebaliknya. Mereka hanya mengabiskan waktu sebagaimana kedua rival bekerja.
"Aku juga…—tidak tahu." Dan aku juga tidak mengerti.
"Kalau begitu, jika aku bertemu dengannya lagi, aku akan menanyakan dimana dia tinggal, oke?" Sehun mengangguk, lalu tersenyum kepada pria paruh baya itu.
"Terima kasih, Paman Han." Sehun yang setelah itu langsung beranjak dari tempat duduknya. Sebelumnya dia memberi salam kepada sang pemilik rumah yang sudah menjamunya dengan baik.
"Kau pasti akan tahu, Oh Sehun." Pria paru baya itu masih berdiri namun dengan tatapan yang sulit diartikan, mengingat sosok Sehun yang makin lama menjauh dari kediamannya.
Kau akan mengerti nanti, dan kuharap kau tidak menyesal.
To be continued…
Haihai! Aku newbie di sini, mohon bimbingannya!^^
Eniwei, ini project yang ketiga, setelah project-project yang dulu sempet gagal (tapi emang gagal sih.) jadi untuk para readers, mohon review dari kalian. Aku mau tau seberapa banyak respon dari kalian. Kalo emang sedikit yang respon, yaudah fanfic ini akan berakhir dengan ngegantung /apasih.
So, mind to RnR?
