Hola Minna. Ada yang bosen ketemu fic baru (lagi-lagi) saya? Semoga nggak ya.
.
DISCLAIMER : TITE KUBO
.
RATE : M For Safe
.
Warning : OOC (banget), AU, Gaje, Misstypo (Nongol mulu), Gak karuan.
.
Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka. Apalagi terdapat kesamaan atau kemiripan situasi atau tokoh atau apapun itu dengan cerita lain dalam bentuk apapun itu, adalah tidak disengaja. Fic ini hanyalah inspirasi gak sengaja yang nongol setelah membaca artikel di internet. hehehe
.
.
.
Kuchiki Rukia, 18 tahun, menggenggam kedua tangannya dengan erat. Pilihannya datang ke kota besar ini adalah kesalahan terfatal dalam hidupnya. Tapi sungguh dia tak punya pilihan. Dia ingin sekali datang kemari. Karena sejak 10 tahun lamanya, merindukan seseorang yang tak pernah pulang untuknya. Bahkan sekadar menanyakan kabarpun tidak. Meskipun selalu mengirimkan uang dan segala sesuatu yang Rukia butuhkan, tetap saja Rukia tak bisa terima. Selain materi dia juga butuh kasih sayang. Dan satu-satunya orang yang bisa dijadikannya sandaran malah sama sekali tidak bisa memberikan itu. Pilihannya sulit memang. Segala resiko sudah ditangannya. Dia tak bisa mundur lagi. Dengan melihat Rukia, sudah pasti orang yang dirindukannya itu akan kembali datang menemuinya. Mungkin juga akan membawanya pergi. Rukia sudah lulus sekolah. Usianya sekarang sudah 18 tahun. Bukan lagi usia anak kecil. Dan dia sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Meskipun... kadar keluguan dan kepolosannya masih dipertanyakan. Apapun keputusannya untuk datang ke Tokyo ini adalah keputusannya yang sudah dipikirkannya sejak 3 tahun yang lalu. Rukia juga bukan gadis yang bodoh. Walaupun... dia belum paham benar... bagaimana beringasnya ibukota ini. Betapa bahaya ibukota ini. Dan betapa kerasnya ibukota ini.
.
.
*KIN*
.
.
"Diamlah Kulit Pucat! Kalau kau menelpon cuma untuk merecoki tugasku, maka jangan telepon aku sial!" rutuk pemuda berambut orange itu. Pria itu sekilas sangat tampan. Wajahnya mampu membuat ratusan gadis bertekuk lutut padanya. Dandannya juga tak salah. Dia benar-benar mirip pemuda kaya yang bisa mendapatkan apa saja. Tapi pemuda ini, malah tengah berdiri di balik dinding sebuah gang sempit sambil menggenggam ponselnya. Matanya begitu awas mengawasi targetnya kali ini.
Dan ini bukan tugas sembarangan. Dia tak peduli apa yang terjadi padanya. Asalkan dia bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka tak ada masalah yang akan datang. Dan selama ini, dia sudah cukup waspada dan sangat berhati-hati untuk tidak menimbulkan masalah yang berarti.
Pria yang diawasinya sejak tiga hari yang lalu adalah seorang bandar obat bius. Itu hanya pekerjaan sampingannya. Tapi pria gendut dengan dandanan mencolok, dengan kalung emas berantai-rantai di leher gemuknya itu adalah seorang politisi yang selalu melakukan korupsi. Meski memang selalu diberantas, tapi pria itu punya alibi. Dia begitu bersih melakukan kejahatannya. Hingga pihak kepolisianpun angkat tangan. Pria berambut orange itu memandang pria gemuk itu dengan mata penuh emosi. Menghabiskan uang rakyat dan menumpuknya sendiri. Benar-benar klise.
"Marechiyo Oumaeda. 55 tahun. Punya satu isteri sah dan lima istri simpanan. Punya tiga anak. Pekerjaan, politisi Jepang. Huh... apanya yang politisi? Lebih mirip pemain sumo!" ledeknya sambil menjentikkan sebuah kertas yang digenggamnya sedari tadi itu. Ini adalah korban selanjutnya dari setiap tugasnya. Mungkin siapapun yang melihat tahu pekerjaan ini, mungkin ini adalah pekerjaan mulia. Yah... pekerjaan mulia menyingkirkan parasit rakyat. Tapi sejak 8 tahun yang lalu, pria berambut orange ini sama sekali tidak mengerti lagi, apanya yang pekerjaan mulia.
Kurosaki Ichigo. 24 tahun. Pemuda berambut orange itu.
Begitu pria gemuk dengan nama Oumaeda itu telah selesai dengan urusannya, Ichigo bersiap bergerak dengan motor besarnya yang ada di depan gang kecil ini. Pria itu sudah naik ke atas mobil limosin hitamnya dengan beberapa bodyguard-nya. Dasar aneh. Dia sudah sebesar itu masih saja butuh bodyguard. Memang menggelikan!
Mobil limosin itu sudah melaju kencang. Ichigo segera melompat menuju motor besarnya, sampai...
Mata cokelatnya menangkap bayangan beberapa pria tengah menarik paksa seorang gadis kecil masuk ke dalam gang sempit di seberang gang tempat Ichigo berdiri.
Halah! Itu bukan tugasnya. Salah sendiri, kenapa gadis itu bisa sendirian di tengah malam begini. Sudah tahu bahayanya kota Tokyo! Tentu saja banyak pria hidung belang dan brengsek yang kapan saja bisa jadi maniak untuk memuaskan birahinya.
Ichigo bukan tipe orang yang peduli pada sekitarnya. Dia terkesan cuek dan dingin. Jika itu bukan urusannya, maka jangan harap kalau Ichigo mau menolongnya.
Ichigo bersiap menghidupkan mesin motornya, mengenakan helm-nya dan akan langsung beranjak. Ini adalah hari terakhir politisi rakus itu!
"Kyaaaaaaaaaaaaaaaaa! Tolooooooooooooooong!"
Argh! Sial! Kenapa harus suaranya terdengar sampai ke helm Ichigo! Keras sekali teriakan gadis kecil itu. Biarkan saja. Toh teriakan sekeras itu bisa didengar siapa saja. Masa sih tidak ada seorangpun yang mendengarnya. Jangan sampai Ichigo melakukan kesalahan karena suara teriakan itu. Hatinya... sudah lama mati.
.
.
*KIN*
.
.
"Kau yakin Ichigo bisa melaksanakan tugasnya dengan baik?" tanya pria berambut putih jigrak itu sambil menggoyangkan gelas wine-nya. Pria berambut putih itu tengah duduk di sofa single-nya sambil menatap jendela kaca besar yang mengarah pada pemandangan kota Tokyo di malam hari.
"Ya Kariya-sama. Tadi aku sudah menelponnya. Dia bilang, dia bisa lakukan itu." Kali ini gilirannya pria berkulit pucat dan berambut hitam yang berdiri di belakang sofa single itu sambil menunduk dengan hormat. Wajah pria berkulit pucat itu datar tanpa ekspresi.
"Oh ya? Kuharap begitu. Kau boleh keluar Ulquiorra."
"Baik Kariya-sama."
Kariya Jin. 44 tahun. Di usianya yang seperti itu masih terlihat segar dan berwajah menarik. Orang-orang pasti akan mengira dia adalah pria berusia 30 tahunan. Benar-benar berwajah menipu.
Sudah lama dia melakukan bisnis seperti ini. Bahkan dia juga salah satu bandar obat bius dan psikotropika terbesar di Jepang. Kenapa orang seperti dia bisa leluasa melakukan bisnis terlarang tersebut? Apalagi kalau bukan karena keluarganya berlatar belakang seorang Yakuza, mafia tersadis dari Jepang yang bersedia membantai siapa saja yang berani menentangnya. Sayang, kelompok Yakuza-nya tidak lagi seperti dulu. Sejak ketuanya menghilangkan diri dan menolak melanjutkan pekerjaan hina itu. Tapi Kariya tidak menyerah. Dengan uang, semua bisa jadi mungkin. Karena sekarang, Kariya bertekad untuk membawa kembali mantan ketua mereka, apapun yang terjadi.
Ulquiorra Schiffer. 27 tahun. Kaki tangan Kariya. Hampir seluruhnya mengenai organisasi di bawah Kariya, Ulquiorra tahu. Karena segala sesuatu pasti akan melalui Ulquiorra. Selain Ulquiorra ada beberapa orang lagi yang aktif di dalam organisasi ini. Tapi mereka tengah melakukan tugas penting. Bagi organisasi ini, segala permintaan klien adalah hal yang harus dilakukan. Tidak pandang bulu. Sayangnya... Ulquiorra lebih memiliki aura yang lebih mengerikan dari Kariya. Itu karena tatapannya yang seakan ingin menelan hidup-hidup orang lain dan terkesan seperti pembunuh berdarah dingin.
.
.
*KIN*
.
.
BRAAK!
Pintu kayu yang lapuk itu langsung hancur seketika. Rupanya di belakang gang sempit ini ada sebuah gudang tak terpakai. Ichigo membersihkan jaket kulit hitamnya dari debu menyebalkan yang langsung menempel setelah secara membabi buta dia menghancurkan pintu lapuk itu. Ichigo meregangkan otot lehernya dan lengannya. Lalu memandang rendah pada tiga pria tidak tahu diri yang tengah mengikat seorang gadis kecil di belakang gudang itu. Gadis kecil itu nampak ketakutan dan menangis histeris. Mulutnya disumpal oleh saputangan usang dan kedua tangannya diikat kuat ke tiang lapuk itu. Pakaiannya sudah berantakan, dia nyaris setengah telanjang karena pakaian atasnya sudah robek memperlihatkan pakaian dalamnya. Gadis itu masih menangis histeris dan gemetaran.
"Astaga. Apa sebegitu banyaknya penjahat di Tokyo ini?" keluh Ichigo sambil menghela nafas panjang.
"Heh! Siapa kau ini! Mau cari mati ya!" teriak salah satu pria itu. Pria berambut cepak dengan warna mencolok―hijau terang―itu menghentikan aksinya yang ingin membuka lebar kedua kaki gadis kecil itu. Hijau? Betapa menjijikannya style kampungan orang-orang ini.
"Apa kalian begitu miskinnya, sampai tidak sanggup melakukan seks dengan pelacur saja? Kalau kalian begitu ingin seks, pelacur banyak, dan mereka bahkan sukarela memberikan tubuh mereka pada kalian, yah itu kalau kalian punya uang. Tapi tampaknya di sini... kalian bahkan tidak punya uang yang cukup untuk membayar seorang pelacur untuk kalian gilir ya?" ledek Ichigo.
"Apa kau bilang! Kau benar-benar ingin mati ya! Bunuh saja langsung!"
Ketiga pria itu bergerak bersamaan untuk menyerang Ichigo.
"Ooo, langsung serang ya? Kalau begitu jangan salahkan aku ya!"
Ichigo cepat menangkis serangan ketiga orang ini. Mereka tak lebih dari cacing kecil di tanah yang baru belajar keluar dari tanah. Ichigo membalas setiap serangan mereka. Meski Ichigo sendirian dan mereka bertiga, itu bukanlah hal sulit untuknya. Satu persatu Ichigo mematahkan kaki dan tangan mereka tanpa ampun. Yah... ini adalah salah satu keahliannya. Tak ada siapapun yang bisa melawannya kalau dia sedang berniat menyerang seperti ini.
Dan tangan terakhir dari pria-pria lemah dan sok itu sudah berhasil dipatahkan Ichigo. Kejadiannya begitu cepat. Tapi ini adalah waktu terlama untuk Ichigo menghabisi mereka bertiga sekaligus. Seharusnya bisa saja lima menit. Dan Ichigo barusan, baru saja menghabiskan 6 menit karena sedikit kendala kecil. Kepalanya agak berdarah karena awal serangannya yang tidak diduganya. Ichigo menyeka darah kecil yang keluar dari pelipisnya itu. Ini masih sangat kecil. Bahkan tak terasa. Kalau saja darahnya tidak mengalir menyentuh kelopak matanya, Ichigo tak akan sadar kalau dia terluka.
Kini, setelah mengusir pergi ketiga pria brengsek tidak tahu diri itu pergi, Ichigo beralih melihat gadis kecil itu yang masih menangis dengan suara tersendat. Ikatan tangannya belum dilepas. Juga sumpalan mulutnya. Tampaknya gadis itu masih ketakutan.
Ichigo menghembuskan nafas panjang lalu berlutut mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu. Karena gelap dan remang, Ichigo tak bisa melihat wajah gadis ini dengan jelas. Tapi dia bisa tahu gadis ini menangis. Ichigo melepaskan sumpalan mulutnya pertama kali. Kini suaranya terdengar lebih jelas.
Lalu beralih kedua tangannya yang diikat itu. Ikatan yang begini kencang. Apa pria brengsek itu sama sekali tidak kasihan melihat tangan yang begini kecil malah diikat kencang begitu. Setelah tangannya lepas, gadis itu buru-buru menggerakan tangannya dan menutupi tubuh atasnya yang terbuka itu. Ichigo baru sadar bajunya hancur.
"Hei! Bagaimana bisa gadis kecil sepertimu ditangkap mereka? Dasar bodoh! Tidak tahu apa seberingas apa Tokyo di malam hari? Pokoknya aku tidak mau melihatmu lagi! Mengerti!"
Ichigo melepaskan jaket kulit hitamnya dan melemparnya kepangkuan gadis itu. Kaus putih ketatnya menempel erat di tubuhnya mencetak lekuk otot indahnya. Gadis itu tetap hanya menatap Ichigo bingung. Ichigo berdiri lalu menggaruk rambut jabriknya dengan kesal.
"Aku pasti kena marah! Mana si sialan Oumaeda itu sudah pergi jauh! Hhh!"
Ichigo keluar dari gudang menjijikkan itu sambil merutuk-rutuk dalam hati. Seharusnya dia langsung saja pergi. Kenapa repot-repot kembali? Belum pernah dia begini bodohnya. Menolong orang? Hah! Memangnya dia pikir menolong orang sekali bisa menghapus semua dosanya selama delapan tahun ini? Mana bisa~
Apa yang akan dia katakan pada manusia berkulit pucat tampang stoic itu?
Maaf aku gagal, lain kali aku akan berusaha~
Mana ada kalimat menjijikan seperti itu bisa menebus kebodohannya malam ini. Yang jelas, dia besok harus mencari info lagi. Mengulur waktu lagi. Benar-benar!
Ichigo sudah keluar dari gang sempit itu dan mengambil helm di atas spion motornya. Ichigo bersiap naik ke atas motornya ketika tanpa sengaja matanya melihat dari kaca spionnya itu, gadis kecil yang memakai jaket kulitnya itu berdiri di belakang motornya dengan tatapan linglung. Hah?
Secepat kilat Ichigo kembali turun dari motor besarnya dan berdiri tepat di depan gadis kecil itu. Kini Ichigo bisa melihat dengan jelas wajah gadis kecil yang ditolongnya ini. Tubuhnya memang mungil. Hanya setinggi dada atasnya saja. Rambutnya ikal pendek dan berwarna hitam. Wajahnya putih. Jika diperhatikan dengan seksama, dia memang cantik. Walau kelihatannya masih kecil. Jaket kulit Ichigo yang dipakainya untuk menutupi pakaiannya yang hancur itu, menutupi hampir seluruh tubuhnya. Dia tampak tenggelam dalam jaket kebesaran itu. Wajahnya sedikit memar dengan sudut bibirnya yang berdarah. Tangan kecilnya yang sedari tadi menggenggam ujung jaket itu juga membiru karena ikatan tali yang kencang tadi. Kakinya yang hanya ditutupi rok di atas lutut itu juga nampak lusuh dan luka di lututnya. Darimana sebenarnya gadis ini muncul?
"Kau... kenapa mengikutiku?" tanya Ichigo bingung. Tapi gadis itu hanya menunduk dalam.
"Kau... tidak pulang ke rumahmu? Pulang sana. Keluargamu pasti cemas tahu!"
Gadis itu kembali bungkam. Ichigo bisa gila kalau begini!
"Heh gadis kecil. Kumohon... katakan sesuatu. Kau bisa membuatku gila tahu! Atau aku antarkan kau ke kantor polisi saja biar―"
"Jangan!" teriak gadis itu memotong kalimat Ichigo. Sesaat setelah berteriak itu, dirinya meringis karena sudut bibirnya yang terluka itu.
"Kenapa!" tanya Ichigo penasaran sambil bersedekap dada.
"Ka-karena aku... bukan dari Tokyo," lirihnya.
"Bukan dari Tokyo? Hah~ pantas saja kau diserang pria hidung belang! Tidak tahu bahayanya Tokyo! Lalu kau darimana!"
"A-aku... dari Seireitei... ta-tasku dicuri. Aku tidak punya ap-apapun. Aku juga... tidak tahu dimana ini. Dan aku... tidak punya tempat tujuan ataupun orang... yang kukenal," jelasnya dengan nada tersendat.
"Hei... kau jangan bercanda. Kau tidak punya tempat tujuan dan tidak kenal siapapun kenapa kau datang kemari!"
"Ka-karena aku mau... bertemu... kakakku."
"Kau punya Kakak di sini? Bagus! Katakan siapa namanya dan―"
"Tapi aku tidak yakin... dia ada di sini. Karena... terakhir kali dia menghubungiku... dia ada di... Osaka..."
"Kalau begitu kau harusnya pergi ke Osaka! Bukan ke Tokyo! Bodoh sekali kau ini..."
"Ha-habisnya... tasku... dicuri waktu a-aku mau naik kereta ke Osaka..."
"Lalu kenapa kau mengikutiku? Aku tidak mungkin menolongmu mencari kakakmu."
"Aku juga tidak ingin seperti itu. Karena kau sudah menolongku... aku hanya ingin kau... membantuku mencari... tasku."
Astaga! Mimpi apa Ichigo semalam?
.
.
*KIN*
.
.
"Tasnya... tas jinjing berwarna ungu cerah dengan gambar kelinci. Yah... kalau bisa besok sudah harus kau temukan. Apa? Seminggu? Kau gila!"
Ichigo membawa gadis itu―yang akhirnya dia bawa juga karena tidak tega membiarkannya sendirian di malam hari tanpa mengenal siapapun. Apalagi dia baru saja mengalami insiden tragis. Gadis kecil ini nampak tidak takut padanya. Ichigo membawanya ke sebuah flat di tengah kota Tokyo. Flat ini adalah flat pribadinya. Memang sih kecil. Tapi cukup untuknya. Hanya ada ruang tamu yang bergabung dengan ruang makan dan ruang santai. Satu kamar mandi dan satu kamar tidur. Ichigo tak terlalu suka tinggal di tempat mewah. Gadis kecil itu masih bingung dengan keadaan ruangan Ichigo yang super berantakan itu. Maklum saja, dia memang tidak pernah beres-beres. Dia 'kan laki-laki. Isi flatnya juga Cuma kotatsu, lemari kecil dan TV lengkap. Juga dapur kecil yang berada di samping kamar mandi itu.
Setelah memutuskan telepon dari rekannya yang dia minta tolong carikan tas aneh itu, kini Ichigo melihat gadis itu sudah duduk di kotatsu-nya sambil memandang mengelilingi flat-nya.
"Jadi gadis kecil―"
"Kuchiki Rukia. Dan aku bukan gadis kecil! Umurku 18 tahun!" potongnya karena tidak suka mendengar Ichigo memanggilnya begitu. Kini mereka duduk berhadapan. Ichigo memejamkan matanya sambil menahan emosi untuk kembali bicara dengan gadis menyebalkan ini. Rupanya dia sama sekali tidak terlihat shock, ketakutan atau merasa trauma dengan kejadian itu!
"Baiklah. Rukia... apa kau tidak takut kuajak kemari? Kau bahkan tanpa berpikir ikut denganku. Kau tidak takut kejadian tadi terulang lagi?"
"Kalau kau mau menyerangku seperti orang tadi, harusnya kau lakukan dari tadi 'kan? Aku percaya kau orang baik. Karena dari tadi aku berteriak, tidak ada yang peduli kecuali kau."
"Maaf saja ya. Walau keinginanku ada untuk menyerang gadis, tapi sepertinya aku tidak akan tertarik dengan gadis kecil yang bahkan tidak punya apapun untuk dilihat!"
"Itu bagus! Jadi aku tidak perlu khawatir lagi."
"Astaga. Kau ini. Jadi apa rencanamu? Aku tidak bisa membiarkanmu tinggal di sini selamanya. Besok kau harus―"
"Sudah kukatakan padamu, tasku hilang dan aku tidak kenal siapapun di sini. Kalau kau mengusirku besok... apa itu artinya aku akan mengalami hal seperti tadi lagi?" lirih gadis itu sambil menundukkan kepalanya. Matanya terlihat basah lagi. Ichigo paling tidak bisa berhadapan dengan yang seperti ini. Sumpah demi apa juga, dia paling tidak tahan melihat gadis menangis. Huh! Ternyata hatinya begini lemah ya!
"Baiklah! Baiklah! Sampai tasmu ditemukan. Setelah itu aku tidak mau bertanggungjawab untukmu lagi. Kau mengerti."
"Baik! Ehh... namamu siapa?"
Ichigo diam. Nama? Nama...
"Panggil aku Ichigo. Bersihkan dirimu. Aku mau keluar sebentar. Dan ingat! Jangan buka pintu ini untuk siapapun kecuali aku!"
"Baik!"
.
.
*KIN*
.
.
Astaga! Baik sekali hatimu Ichigo!
Setelah memberikan pakaian ganti pada gadis itu, dan tentunya baju kaus dan celana pendek yang sudah tidak muat lagi untuknya itu, Ichigo keluar dari flatnya.
Duduk di atas motornya yang ditepikan di taman kota. Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, Ichigo jadi berpikir banyak.
Kenapa dengan mudahnya dia menolong gadis itu?
Apakah karena dia... sempat mengingatkan Ichigo pada seorang wanita yang Ichigo rindukan?
Sudah delapan tahun berlalu. Dan itu bukan waktu yang sebentar. Meninggalkan semuanya demi menjaga keselamatan keluarganya. Sebesar itukah dosa yang harus ditanggung oleh Ichigo? Benarkah sebesar itu?
.
.
*KIN*
.
.
Rukia selesai membersihkan dirinya. Tapi dia belum mengobati luka-luka di tubuhnya. Setelah mandi, Rukia jadi melihat isi flat yang berantakan ini. Tempat tinggal laki-laki memang menyeramkan.
Rukia membersihkan ruangan tengah itu. Meletakkan DVD-DVD yang entah film apa itu. Sekitar satu jam, ruangannya beres. Rukia menghela nafas lega.
Entah kenapa juga, tadi Rukia begitu percaya pada pria bernama Ichigo itu. Entah keyakinan darimana dia bisa percaya pada orang yang pertama kali ditemuinya. Harusnya Rukia bisa lebih waspada pada orang-orang yang tidak dikenal. Tapi... Ichigo mengingatkannya pada seorang pria baik di desanya. Rukia awalnya ragu pria ini mau menolong Rukia. Tapi... akhirnya, dia mau saja menolong Rukia. Bahkan mencarikan tas Rukia yang Rukia sendiri tidak yakin bisa ketemu lagi. Sial sekali dia, melamun di stasiun menunggu kereta ke Osaka. Tasnya malah kena jambret. Ketika mencari-cari tasnya itu, dia malah tersesat di kota ini dan dibawa paksa oleh ketiga pria menakutkan yang sudah memaksa dan memukulinya itu. Sebenarnya Rukia juga cukup takut dan masih syok hingga kini. Trauma juga ada. Tapi Rukia bukanlah orang yang dengan mudahnya menunjukkan kelemahan. Dia hanya berpura-pura tegar agar tidak dipandang sebagai gadis cengeng oleh pria orange itu.
Rukia yakin Ichigo memang pria baik. Meski penampilannya agak nyeleneh. Rambut orange. Tapi Rukia justru suka pada warna itu.
Tanpa terasa airmatanya mengalir turun.
Memang seharusnya dia tidak seceroboh ini. Apa yang ada dalam pikirannya? Hanya karena ingin bertemu kakaknya dia rela mendapatkan ini semua. Hanya karena begitu merindukan kakaknya. Hanya karena hal itu.
Rukia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Mencoba meredam isakan tangisnya lagi. Kesal sekali.
.
.
*KIN*
.
.
"Ya... maafkan aku karena gagal. Tadi ada hal mendesak. Oh... ayolah. Siapa saja kalau dihadapkan pada situasi seperti itu pasti akan jadi aku―aku tidak cari alasan! Ya... aku mengerti!"
Ichigo menekan tombol 'akhiri' dengan kasar di ponselnya. Sambil menaiki 4 tangga menuju flatnya Ichigo kembali mendesah kesal. Dia kena marah si Kulit pucat itu! Entah kenapa Ichigo lebih suka memanggilnya kulit pucat daripada namanya sendiri.
Sebelah tangannya menggoyang-goyangkan kantung berisi obat-obat memar. Dia tidak pernah terluka atau memar. Kalaupun demikian, Ichigo tak akan mengobatinya. Dia lebih suka sembuh alami.
Ichigo membuka pintu flatnya. Astaga. Tidak dikunci. Gadis itu!
Ichigo masuk dengan membabi buta hendak memakinya lagi. Benar-benar tidak takut―
Ruang tamunya jadi sebersih ini. Bahkan sampah-sampah sudah pergi. Kemana? Siapa?
Seakan jawabannya sudah diberikan, Ichigo melihat seorang gadis kecil yang duduk tertelungkup di kotatsu-nya. Tampaknya gadis itu sudah tidur. Kenapa dia tidur di sini?
Sekali lagi dengan mendesah kesal, Ichigo berlutut dan mencoba membangunkannya. Tapi begitu melihat wajahnya yang tersingkap itu, Ichigo tak jadi membangunkanya. Apalagi kalau bukan karena melihat wajah gadis itu basah dan sembab! Merasa tak punya pilihan, Ichigo membopong gadis berambut hitam itu masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya juga sudah lumayan rapi. Wah... ternyata... gadis ini cukup tahu diri.
Setelah menyelimutinya dengan pelan, Ichigo kembali beralih ke kantong obat yang belum dipakainya ini. Ichigo hanya meletakkannya di samping meja kecilnya saja. Sepertinya gadis itu tampak lelah karena syok. Tentu saja. Gadis mana yang tidak syok dengan kejadian barusan. Ichigo mengambil selimut dan bantal dari lemarinya. Karena sekarang kasurnya sudah ada yang menempati.
Ichigo tak tahu, sampai dimana dia sanggup meladeni gadis ini. Dan sampai dimana dia bisa bertahan dengan keadaan seperti ini.
.
.
*KIN*
.
.
TBC
.
.
Hola Minna. nih saya update fic baru. hehehe mau nimpukin saya? boleh kok. hehehe cuma kepengen aja ngepublishnya. karena udah lama jamuran di file saya. takut ilang kena virus. terus karena saya gak tahu kapan bisa update lagi. mid udah di depan mata sih. hehehe
idenya sih sederhana. tapi konfliknya lumayan. mau coba-coba bikin genre yang belum pernah saya geluti. heheh kayaknya seru juga sih.
fic ini rada mirip City Hunter gitu. emang inspirasi dari sana. oh ya, tambahan lagi mirip sama komik kesukaan saya, Electric Daisy. tokok utamanya beneran mirip IchiRuki. hehehe jadi yaa... emang gitu sih.
kalo ada yang gak suka dan gak minat sama fic ini, silahkan kasih tahu saya ya, biar segera saya hapus kalo gak layak lanjut hehheeh
Oh, saya bakal publish fic baru lagi hehhe, pasti pada kaget kalau tahu seperti apa fic baru satu itu. hehhe yang ini cuma refreshing aja karena beberapa fic saya udah mau tamat. hehehe
Ok deh, kalo ada yang minat nanti saya lanjutin, kalo gak ada, bakal saya segera hapus tanpa pemberitahuan. saya emang suka gitu kalo ngapus fic.
Jaa Nee!
