Hetalia: Axis Powers belongs to Hidekaz Himaruya
Inilah masa-masa sebelum terjadinya The Great War of Review yang didalangi oleh Union of Soviet-Socialist Republics dan United States of America. Di mana Prussia, Andalusia, dan Persia masih berjaya. Di mana United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland mencapai puncaknya. Di mana seorang Amerika... nonsense.
Disfunction between You and Me
(Amerika dan Inggris)
"Astaga Kak Arthur, Kakak hebat sekali!" Bocah itu jejingkrakan di depan monitor. "Baru setengah jam di-publish dan lihat apa yang kita dapat: 21 satu review! Belum termasuk hits dan visitors."
Mata mungil Alfred, bocah itu, jelalatan mengagumi setiap review yang terdaftar. Mulai dari "Akhirnya Anda bikin fic lagi", "Saya suka sekali dengan fic ini", dan "Saya fav, ya" atau "Ayo cepat di-update" sampai "Karyamu memuakkan".
Review membanjiri fic baru keluaran Arthur Kirkland. Sangat sedikit kecaman, dan terlalu banyak pujian.
"Mana, coba sini Kakak lihat." Arthur yang baru menyelesaikan ritual mandi junub-nya langsung mendekat. Alfred bisa merasakan harum sampo Arthur yang menguar menggoda. Rambutnya yang basah menetes-netes di pundaknya. Dan ah ya, pundak mereka saling menempel. Alfred merasa jantungnya menandak-nandak. Apalagi muka mereka begitu dekat, dan tarikan napas Arthur mendesah begitu lembut di tengkuknya.
Tarik. Embus. Tarik... Embus... Haah, huuuh... Haah..
Ah, sudah begitu lama mereka tidak saling berdekatan! Sejak si kakak mulai mengenal internet, sejak si kakak mulai mendaftar FairyTaleFiction, sejak si kakak mulai menjauh darinya. Berjam-jam Arthur habiskan hanya untuk memantengi layar, tidak lagi bersedia bermain layang-layang, gundu, atau petak umpet dengan adiknya.
"Itu mainan anak kecil, Alfred."
"Kau pikir aku apa? Aku anak-anak!"
"Ya, tapi aku tidak."
Atrhur kerap tertawa-tawa ketika mengetik dan matanya tak henti menatap layar. Membicarakan hal-hal yang tidak ia mengerti. Kalau sudah begitu, Alfred hanya dapat mengorek tanah di pojokan sambil tersedu, dan seperti kebanyakan orang stres lainnya, ia jadi senang sekali ngemil, terutama burger, apalagi dengan bacon di dalamnya. Euhm, sedap sekali.
Hingga ia mendapat ide itu. Bagaimana kalau ia pun bergabung dalam FTF? Ah, ide yang bagus. Kenapa tidak kepikiran dari dulu? Alfred pun lekas mendaftar.
"Jadi kamu sekarang gabung FTF juga?"
"Mm hmm."
"Wah, senangnya. Nanti aku review, deh, ya!"
Alfred nyengir. Sejak saat itu, paling tidak omongan mereka lumayan nyambung.
"Wah, nggak nyangka responnya bisa sebagus ini! Hmh!" Arthur mendengus puas. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Sekarang ia siap membalas satu per satu review yang masuk.
Alfred melirik kakaknya. Arthur Kirkland yang karangannya memukau orang banyak. Kata-katanya selaksa magis yang membangkitkan inspirasi. Peri-peri yang berkelebatan, kuda-kuda perang yang perkasa, ksatria-ksatria memesona, dwarf-dwarf kecil yang memancing senyum.
Semuanya ditulis dengan sepenuh hati. Ia tahu kapan harus memotong cerita dengan label TBC, kapan harus mengakhirinya dalam satu babak, kapan harus menaruh humor. Balasan reviewnya tak kalah sigap, sopan, lucu, dan anti jaga image, sehingga Alfred bahkan bisa membayangkan wajah-wajah para author yang menunggu-nunggu balasan kakaknya.
Tapi biar bagaimana, Alfred tetap membenci FTF. Ia tidak rela kakak sekaligus temannya ini menjadi konsumsi publik. Arthur miliknya seorang.
"Kakak... Aku juga ingin jadi author..." Alfred menarik-narik handuk yang melingkar di pinggul kakaknya. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh sekaligus ragu.
(Tolong jangan berpikir macam-macam soal narasi di atas. Gini aja, kalau Arthur saat itu pake Polo, saya pasti tulis 'Alfred menarik-narik lengan polo yang lalalalala')
"Hm. Tinggal di-publish, kan? Apa begitu sulit? Tunggu, apa akunmu bermasalah, Alfred?"
Alfred menggeleng kuat-kuat. Sudah terlalu lama perasaan itu ia pendam. Kakaknya yang berbakat. Kakaknya yang dicintai banyak orang. Pengarang tunggal fovoritnya, yang cerita-ceritanya selalu ia review pertama kali, selalu ia fav setiap kali.
Lantas, siapakah dia? Alfred F. Jones hanyalah reader tak bernama. Draft-draftya memang berserakan di laptop, tapi tak satu pun berani ia publish.
"Kakakku Arthur, mungkinkah aku mendapatkan review sebanyak dirimu?" tanya Alfred sangsi.
"Hmm, mungkin belum akan sebanyak saya. Tapi kamu tahu," Arthur menoleh sebentar untuk memijit hidung adiknya penuh sayang. "Tidak pernah salah untuk mencoba."
Paras Alfred bersemu. Giginya mulai bergemeletuk ketika berkata, "Ka... kalau aku bisa—ehm, misalkan saja—mendapatakan review lebih banyak darimu, maukah kau, ehm, melakukan sesuatu untuk...ku?"
"Hmm, memangnya kau ingin apa?" Mata Arthur masih terfokus pada layar. Review seorang Gilbert Beilschmidt, saingan terberatnya. Fic-nya di-review puluhan orang di seluruh dunia. Sungguh orang Prussia yang menyebalkan. Dan sekarang ia me-reviewnya? Sungguh menarik. Dan apa dia bilang? "Karyamu memuakkan"? Baik, memangnya sebagus apa karyamu? Beraninya kau menantang seorang Kirkland! Arthur menggeram frustasi. Kebencian membuatnya lupa sekeliling, dan Alfred masih terus saja berbicara.
"A... aku ingin kau..."
[Arthur bukan konsumsi publik]
"Kau... ehm, berhenti jadi... author."
[Arthur milikku seorang]
"Ah ya, tentu saja kalau itu maumu!" jawab Arthur yakin. Ya, ia sungguh yakin kalau samar-samar adiknya berkata 'berpakaianlah dan belikan aku burger di Mekdi'. Masalah flame seorang Gilbert begitu mengganggunya, sehingga tidak diperhatikannya wajah Alfred yang terkejut sesaat, kemudian berubah dengan senyum puas dan lega.
"Okelah. Akan ku-upload malam ini juga!"
Overdomes with such Prussian. Arthur berpaling pada adiknya. Ia tersenyum dan katanya, "Bagus. Kau pasti bisa."
Alfred hanya bisa merengut ketika tangan besar itu mengacak-acak rambutnya. "Ingat janjimu, Ka—"
Tapi Arthur sudah berbalik dan menutup pintu kamar Alfred. Malam itu ia tidur dengan pulas, sedang dari kamar yang menjadi setting cerita barusan, kikikan bocah menggema menakutkan dari dalamnya.
Vote for Canada!
(Kanada yang Malang)
Sejam lebih ia mengotak-atik komputer. DSL sudah terpasang. Semua lampu petunjuk modemnya telah meyala. Semua kabel terpasang pada tempatnya. Bagaimana mungkin ia masih tidak dapat me-review satu fic pun?
Matthew terduduk lemas di kursi. Harusnya ia tahu akan begini jadinya. Harusnya ia tidak terlalu berharap. Harusnya dari awal... ia tidak usah mengenal FTF.
Siang itu begitu membosankan. Kalau boleh dibilang, tiada hari tanpa label 'bosan' bagi seorang Matthew Williams. Facebook tidak lagi menghiburnya, Kumajirou mengkhianatinya, dan sekolah mengolok-oloknya.
Sekarang jam komputer. Lagi-lagi ia tidak di-absen dan gadis-gadis yang mengerubungi komputer di sebelahnya sungguh berisik. Semua mata mereka berbinar dan pekikan-pekikan girang tak hentinya mereka keluarkan. "Arthur-sama membalas review-ku!" atau "Astaga, dia membuatku melting!" atau "Kali ini pun aku ingin dipeluk olehnya!" Matthew mendesah. Dasar wanita.
Tapi ketika gadis-gadis itu beranjak satu-satu dan meninggalkannya, perasaan aneh menjalari Matthew. Ia menelengkan kepalanya. Apa sih, yang mereka ributkan? Oh, FairyTaleFiction. Ah, bukan selera—Tunggu. Karya orang ini menarik sekali. Ia membaca nama yang tertera; 'Arthur Kirkland, hm?'
Wah, kisah Buto Ijo dan Timun Emas! Matthew tertawa. Di sini dengan konyolnya, orang itu menjadikan Buto Ijo sebagai gadis hijau yang anti makan sayur. Kata-kata favoritnya adalah 'untuk apa makan sayur? aku kan udah hijau!'. Suatu hari, ia menemukan dirinya berubah jadi raksasa. Pacarnya kabur dan keluarga membuangnya. Buto Ijo sungguh sedih, hingga satu wahyu mendatanginya; 'makanlah sayur dan kau akan kembali seperti semula'. Saat itu sedang musim panceklik. Buto Ijo nyaris putus asa, sampai tiba-tiba ditemukannya timun bersepuh emas. Maksudku, benar-benar timun emas sungguhan. Buto menyentuhnya. Ah, dingin dan mahal sekali rasanya. Kemudian ia ingat keluarganya yang miskin. Mungkin dengan timun ini mereka dapat hidup bahagia.
Buto pun kembali ke kampung sambil membawa timun itu. Tapi wujudnya begitu mengerikan. Orang-orang desa memutuskan memburunya. Buto terus berlari dan berlari, hingga hilang jati diri. Dengan satu sabetan, seluruh penduduk mati mengenaskan. Menyisakan ayah-ibunya yang tergolek lemas, pingsan. Merasa bersalah, Buto bunuh diri dengan nyebur ke lumpur hidup. Sebelumnya, ia letakkan timun itu di samping ayah-ibunya. Ketika keduanya membuka mata, dari dalam timun muncullah anak perempuan yang cantik. Buto lahir kembali! Mereka saling berpelukan dan happily ever after.
Matthew tidak tahu harus tertawa atau meringis membaca fic orang ini. Yang jelas, sejak saat itu ia mulai rajin memantengi FTF. Hanya untuk mencari nama Arthur Kirkland di sana.
Ia sudah membuat akun, tentu. Tidak masalah meskipun e-mail verifikasinya baru dikirim setahun kemudian. Yang penting sekarang ia bisa menunjukkan dirinya di depan pengarang pujaan!
Setelah berbulan-bulan mencoba bersabar dengan anonymous yang—entah kenapa—tak bisa dipakai me-review sama sekali (access denied. access denied).
Sekarang setelah bisa log in pun... tetap tidak bisa. Tak ada perubahan.
Jangankan me-review. Fic-nya saja tak pernah direview. Mengirim PM apalagi. Menge-fav pun ia tidak diijinkan!
Ia bersabar. Lagi. Dengan malas diperhatikannya lusinan fic yang bertebaran. Mungkin aku harus mencoba membaca fic yang lain. Lamat-lamat ia sadar akan satu hal; perang review antara Gilbert Beilschmidt dan Arthur Kirkland. Iseng-iseng ia meng-klik salah satu fic Gilbert.
Kisah pertama. Badak Bercula Satu Mencari Ibu. Menceritakan seorang pria tampan bernama Badak. Selain tampan, Badak juga kaya raya. Selain kaya raya, rupanya Badak juga amat pintar. Selain pintar, rupanya Badak juga—Cukup, pikir Matthew. Fic ini membosankan. Ia langsung me-scroll mouse-nya. Membaca satu paragraf akhir sebagai ending:
Akhirnya Badak yang sempurna memperistri Ibunya yang sama sempurnanya. Mereka berlabuh dengan kapal yang terbuat dari cula Badak. Mereka hidup bahagia di kaki gunung Tangkuban Perahu.
Matthew terdiam.
Apa ini yang dinamakan Marry Sue? Atau Derry Sue? Yang manapun, fic ini sungguh tidak jelas. Merasa tertipu, ia berniat menge-flame. Jemarinya bergerak gesit merealisasikan makian-umpatan-cacian dalam bentuk huruf-huruf. Ya, selesai, batinnya. Ia pandangi hasil karyanya. Lumayan. Orang ini pasti akan merasa terhina sekali. Mungkin akan syok? Atau malah stay cool karena sudah biasa? Peduli setan. Matthew baru saja hendak meng-klik 'send' ketika satu pikiran jail melintas di benaknya.
Telunjuknya menekan tombol 'backspace' sampai seluruh kalimat itu dilalap habis. Ia ketik ulang review-nya. Cukup satu paragraf. Simpel, dan ia sudah terkikik geli membayangkan reaksi orang bernama Gilbert ini di seberang sana. Bagus sekali.
KLIK. Tombol 'send' terpijit.
Awawa... Voila! Ini pertama kalinya review seorang Matthew Williams terkirim dengan sukses.
Gilbert memandang lekat monitornya dengan takjub. Betapa gembiranya! Inilah... inilah yang dia tunggu sekian lama! Setelah bertahun-tahun membohongi publik dengan me-review karya sendiri lewat akun-akun palsu dan berpura menjadi anonymous, akhirnya seseorang selain dirinya me-review. Me-re-view! Dan lagi, review orang bernama Matthew Williams ini begitu amat sangat sungguh terlihat terlalu indah:
Hai. Senang kenalan denganmu. Aku Matthew dan eh, aku tidak percaya kau bisa buat fic sekeren ini. Ya Tuhan, maksudku, ini mahligai! Sungguhan. Baru pertama kali aku baca fic sampai terpesona begini. Gilbert-san, Anda sungguh berbakat. Teruslah berkarya dan aku akan setia membaca fic-fic milikmu. Dengan tulus, Matthew Williams.
Kata-kata pujian macam itu jelas bisa di-copy/paste. Mudah diterapkan pada fic mana saja yang kau suka. Karena isinya yang general, dan ketahuan kalau belum baca semua isi kisahnya. Tipe review yang 'review dulu baru baca'. Tapi Gilbert tidak peduli. Ia langsung jatuh sayang pada orang ini. Persetan dengan gender. Aku padamu, Williams!
Malam itu juga, Gilbert meng-e-mail Matthew dan membuat janji bertemu.
"Jadi... kau suka dengan ceritaku?" tanya Gilbert sambil mengaduk-aduk gelasnya dengan sedotan. Matanya tak henti memandang Matthew lekat, tak lupa ditambah senyuman maut orisinil.
"E...eh, em.." Di seberang sana Matthew gelagapan. Bahunya gemetar dan ia terus-terusan meremas beruangnya. "A... aku suka, iya."
"Oh, benarkah? Di bagian Badak 'nembak' ibunya. Tidakkah itu terribly awesome and sweet? Kamu juga menyukainya, kan?" senyum Gilbert makin lebar.
"Y...yah, lumayan." Matthew hanya mengangguk sekilas. Ia sungguh bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa pula ia menjawab 'iya, saya akan datang' saat itu? Kenapakah! Sekarang ketika ia sudah bertemu Gilbert... Orangnya lumayanlah, tapi ya ampun, dia kelewat narsis!
Begitu-begitu juga, Matthew rupanya merasa lega. Akhirnya... akhirnya keberadaanya diakui.
"Hei, kamu tahu nggak?" kata Gilbert tiba-tiba.
Matthew mendongak kagok. "I... iya?"
"Kamu dan review-mu adalah dua hal terindah yang pernah lewat di hidup saya." Gilbert tersenyum dan matanya memejam. Menikmati wine yang diteguknya. Ia terlihat santai, seakan kata-kata itu telah diucapkannya ribuan kali.
Tapi Matthew tidak. Jantungnya tergojlok hebat. Napasnya tahu-tahu mampet dan... dan ia terpekur bersimbah darah. Kepalanya menghantam sisi meja yang terbuat dari bijih besi asli.
"Astaga, Williams. Anda nggak apa-apa?"
Fall or Autumn
(Matinya Kaisar)
Musim gugur itu "Autumn", kata Britton. Kalau kamu American, kamu akan menyebutnya "Fall". Jatuh. Gugur. Daun-daun yang lengser oleh cuaca minus 30-an derajat Fahrenheit. Mungkin itu ada sejarahnya, setidaknya mirip dengan... yang satu ini.
"Ti... Ini tidak mungkin!" Pria itu menjambak rambutnya yang keemasan. Keringat dingin mengaliri pelipisnya yang pucat. Angin musim gugur menggaungkan gumamannya;
'Tidak mungkin'
'Tidak mungkin'
'Mustahil'
'Tidak mungkin yang begini benar terjadi'
"Kakak sudah berjanji, bukankah begitu?" Bocah di hadapannya bertelekan pintu dengan pandangan angkuh. Tangannya tersilang di dada dan senyumnya terpulas mengerikan.
"Aku tidak ingat pernah berjanji seperti itu!"
"Liar." Bocah itu tersenyum lagi. Ia langkahkan kakinya dengan tenang menuju si pria—yang tertunduk lesu dan pandangannya menegang.
Tap. Ketika berdiri, bocah itu nyaris sejajar dengan pria yang menekuk lutut di depannya. Lengannya menjuntai. Merengkuh penuh kasih punggung si alis tebal. Pria itu tidak merespon. Bocah itu semakin menguatkan pelukannya. Ia benamkan mukanya dan katanya nyaris seperti bisikan, "Berhentilah menjadi author, Kakak."
Monitor itu menatap mereka dengan diam. Dalam diam pun ia masih sempat bercerita lewat cahaya remang-remang:
Dahulu di mana tiga raksasa berjaya; Cirrus, Stratus, dan Kumulus yang bahagia. Mereka senang membantu warga desa. Menimba air, memotong kayu, atau menangkap kijang. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Nimbus yang cantik jelita. Dalam sekejap para raksasa dilanda asmara. Nimbus yang terlalu takut memilih, mengajukan tiga permintaan berbeda pada masing-masing pria; cahaya, kegelapan, dan api.
Berahi membutakan mereka. Cirrus tidak ragu mencuri setiap lampu dan obor dan lentera warga desa. Stratus rela memotong-motong warga untuk digunduli setiap rambut di sekujur badannya. Kumulus sendiri terlalu malas untuk mencari api. Ia membunuh kedua kakaknya. Mengambil cahaya dan kegelapan sekaligus untuk kemudian datang pada si mojang 'aku tidak bisa membawakanmu api, tapi aku bisa membawakanmu cahaya dan kegelapan'. Mendengar tingkah bodoh ketiganya, Nimbus tertawa. Ia membunuh Kumulus dan berencana menjadi penguasa.
Dewa tidak tinggal diam. Ia mengutuk Cirrus menjadi awan yang terentang tipis di langit. Stratus menjadi gumpalan bersih yang menutupi Cirrus. Sedang Kumulus adalah awan gemuk yang berombak dengan berbagai bentuk menghiasi Putri Langit. Nimbus sendiri? Kedatangannya menggilir ketiga awan adalah penanda hujan. Terciptalah Nimbocirrus, Nimbostratus, dan Kumulonimbus. Ya, Nimbus itu. Nimbus si poliandri jalang.
Angkatlah kepalamu dan tolaklah langit. Bila kegelapan mulai melingkup, sedang cahaya tertutup seketika, segeralah berlindung. Karena Nimbus dan salah satu pasangannya akan datang, mengguyurmu dengan bergalon-galon air disertai api yang menyambar-nyambar.
Chapter 1. Myth/Legend. K+. Complete. Review(s): 28
Pada era penjelajahan samudera, tersebutlah tiga petualang paling tersohor di muka bumi. Hubungan mereka lebih dekat ketimbang saudara, dan lebih mesra dibanding pasangan terlanggeng manapun.
Satu. Kaukasoid cakap yang selalu memancarkan aura keemasan di manapun ia berada, karena itu ia dipanggil GOLD. Kedatangannya selalu di puja-nantikan tiap pulau yang disinggahi mereka. Donatur utama perjalanan. Primadona Kapal, itulah dia.
GOSPEL yang malang. Kehadirannya kerap tak terasa, tapi tanpanya trio itu bukan apa-apa. Sikapnya yang tenang, canggung, dan selalu berpikir panjang adalah modal utama ketiganya sukses di darat dan lautan.
Tersisa negroid yang tak kalah memesona. Ialah lambang kejayaan yang tiada tara. Pemimpin yang tak bakal jatuh, kapten yang cakap. Percayakah kau bila kubilang ia tidak bisa mati tertembus peluru? Oh, lihat, sekarang pun mereka mengelu-elukan namanya penuh hormat. GLORY. Glory yang dijanjikan Abadi.
Wanita, uang, kekuasaan, pemaksaan kepercayaan. Itulah yang mereka lakukan tiap menaklukan daratan primitif. Tempat orang-orang hanya bisa melongo dengan tololnya. Tiga Serangkai yang Agung menguasai semua.
Hingga Gospel terbunuh.
Hal terakhir yang dilihatnya adalah kedua temannya, berdiri mengerikan dengan senjata dan amunisi di tangan. Membantainya tanpa ampun di tengah malam dan membuang jasadnya ke tengah lautan.
Hal kedua terakhir yang dilihatnya adalah Gold dan Glory, sepasang sejoli yang bercumbu di bawah papan tingkap kapal dengan kalap. Napas keduanya saling susul menyusul. Memburu dalam keremangan dek.
Mereka. Mengkhianati. Gospel.
Itulah pembuktian abadi.
Gold dan Glory memang ditakdirkan bersama. Selamanya.
Memiliki satu berarti kau bukan penguasa.
Milikilah keduanya, dan kuasailah Dunia Fana.
Tahukah kau kenapa Gospel mati? Karena dia tidak dibutuhkan. Pahlawan tidak butuh keyakinan. Yakinlah pada dirimu sendiri. Sebarkan ideologimu ke seluruh penjuru dunia. Buat orang-orang menjadikanmu sebagai gospel mereka. Kau yang memiliki seluruh gold dan glory di muka dunia. Itulah pahlawan yang sebenarnya.
Chapter 1. Legend/Phylosophy. T. Complete. Review(s): 45
As The Order of Roman Empire
(Prusia dan Kanada)
Gilbert tidak bisa mempercayai penglihatannya. Demi segala mahluk paling awesome di muka bumi, kenapakah akunnya yang tidak kalah awesome di-banned?
"Anjing. Tega benar aki-aki itu melakukan hal ini padaku!" Ia menjejak bumi penuh teror. Satu-dua bening terempas dari matanya ketika ia memukul-mukul keyboard tanpa henti. Ia tidak terima. Sungguh, ia benar-benar tidak bisa terima.
(Prusia, saya rasa Anda harus bereksperimen sesekali dengan memberi.)
"Matthew!" Ia hampiri pria yang baru saja memasuki kafe itu dengan langkah tergesa.
"Kau ribut sekali, Gilbert. Ada—akh!" Orang Kanada itu tak sempat menyelesaikan salam. Gilbert telah mengunci kerahnya, mendorongnya ke dinding di belakang mereka dengan tenaga penuh. Tembok itu menerima mereka dengan bunyi mengerak. Orang-orang mulai melihat penuh minat. Tak ada yang berniat melerai.
"Anjing. Berani amat kau mengadukanku ke tua bangka itu. Ngaku! Pasti kamu yang melakukannya, kan?" Ia membuang ludah tak terima. Matanya menyalang penuh amarah.
Matthew selalu menyukai warna merah lembut iris Gilbert. Seperti mata kelinci, pikirnya. Kelinci yang menangis karena selalu sendirian. Kelinci yang mengerjap bingung ketika dihampiri aura manusia.
Sekarang kelinci itu menampilkan mata merah padam. Menusuk. Seakan-akan air mata yang sama merahnya dapat meleleh keluar kapan saja.
"A... aku tidak... Bukan aku, Gil!"
"Halah, bullshit. Kalau bukan kamu siapa lagi! Saya sudah cerita segala hal padamu. Rahasia-rahasia saya. Segala ide-ide saya ke kamu. Dan... dan kamu tega melakukan ini padaku, Canadian?"
Matthew bisa melihat pelupuk mata Gilbert berair. Ia memalingkan wajahnya. Saat ini terlalu menyakitkan bagi keduanya. Kedua orang yang dipertemukan oleh perasaan sama-sama kesepian. Yang masing-masing bagi yang lainnya adalah orang yang berarti, orang pertama yang mengakui keberadaan dia dan dia.
[Awawa... Voila! Ini pertama kalinya review-nya terkirim dengan sukses.]
[Betapa gembiranya! Inilah... inilah yang dia tunggu sekian lama.]
"A.. percaya...lah, G..gi..l..." Matthew sudah mulai kehabisan napas. Pandangannya menggelap.
Gilbert mencermati wajah lawannya. Kalau saja... kalau saja kita
tidak
pernah
ber-
te-
mu!
DUAGH. Pipi kiri Gilbert terhantam benda keras. Ia jatuh terjungkal ke samping. Tekanan yang begitu kuat mendorongnya hingga tergeser sampai menabrak salah satu meja bersamaan. Matanya mengerjap-ngerjap dan dilihatnya Alfred F. Jones. Remaja Amerika sombong yang mengepalkan kedua tangannya penuh kebencian. "Saya. Yang mengadukannya ke moderator, ke Empire. Sekarang kamu jelas?" tantangnya.
"Ka... kakak, sudahlah. Aku—" Matthew mencoba melerai, tapi langsung ditampik oleh Alfred dengan geram.
"Kamu diam saja, Matt. Orang nggak tahu sopan macam ini harus diberi satu-dua pelajaran. Biar otaknya yang busuk itu ngerti. Kamu dengar itu, Prussian?" Ia mendelik lagi ke Gibert yang masih memegangi pipinya yang lebam.
"Cih, ngomong sesukamulah, Babi." Gilbert terkekeh meremehkan.
Alfred yang terbakar langsung menghampiri Gilbert. Ia tendang sekuat tenaga perut itu. Ia injak dan diempaskannya ke sisi lain ruangan. Kemudian ia menunduk, dan tangannya tak henti meninju wajah si orang Prussia. Tonjok pipi kanan. Ganti pipi kiri. Begitu terus. Bosan dengan pipi, ia tarik sisi kepala lawannya dan menghantamkannya dengan telak ke lantai keramik. Ganjil, yang dipukul justru terus terbahak, nantangin.
Gibert benar-benar terlihat mengenaskan sekarang. Bibirnya robek dan mukanya hancur. Matthew hanya bisa menatap dengan mata menggenang.
["Williams, kamu menangis terus. Nggak awesome, ah."]
BUGH. Alfred melayangkan tinjunya untuk yang kesekian kali.
["Jadi... kamu suka ceritaku, huh?"]
Gilbert mengerang.
["Kamu...]
Alfred menarik kerah Gilbert dengan satu tangan, tangan yang lain menghadiahkan bogem mentah ke perut lawannya.
[...dan review-mu...]
Gibert menyemburkan darah.
[...adalah dua hal terindah dalam hidup saya"]
"GILBEEEERRRT...!" Matthew lari menerjang kedua kubu yang sedang baku hantam. Dagunya tak sengaja terhentak oleh pukulan Alfred. Ia menamengi sahabatnya. Matanya menyalang ganas dan air itu tak hentinya mengalir. "Pukul dia sekali lagi dan kau mati, Alfred."
Alfred tertegun. Adik kembaranya menatap galak dari bawah. "C...cih. Segitu cintanya kamu sama dia, Matt?" Ia meludah jijik. "Sekarang, MINGGIR!"
"Pukul dia sekali lagi dan kau mati, F. Jones."
Alfred tertegun. Kali ini lebih lama dan tegang. F. Jones. Entah sudah berapa lama Matthew tidak memanggilnya begitu. Terakhir kali ia begitu... ya, itu benar-benar ingin Alfred yakini sebagai yang 'terakhir'.
Pemuda Amerika itu memandang Matthew dan Gilbert yang terkapar untuk yang terakhir kalinya. Dengan penuh rasa tidak puas, ia lekas angkat kaki. Orang-orang sudah banyak berkerumun. Hari ini ia bermaksud bertindak sebagai hero, tapi akhirnya malah seperti ia yang vilain.
Setelah punggung kembarannya tak lagi terlihat, Matthew terkekeh pelan. Ia pandangi muka Gilbert. "Kamu nggak apa-apa, Beilschmidt?"
"H...huh. Impas ya kamu, lihat saya belepotan darah," kata Gilbert sok cool dengan muka kontras.
Tawa Matthew bergemerincing pelan. Tau-tau ia merasakan dagunya telah ditarik lembut oleh jemari Gilbert, medekatkan bibir mereka pelan-pelan.
Tidak peduli seberapa banyak orang menonton mereka, menjepret mereka berdua, menjadikan headline di kolom "jagad gila" dengan judul "gay in town", Gibert dan Matthew telah menautkan bibir mereka dengan mesra. Lembut dan agresif, lidah mereka saling memeluk dan melilit. Mata mereka memejam membuka. Saliva keluar dengan penuh minat, dan tak sampai seminggu kemudian, penname Gilbert Beilschmidt dan Matthew Williams hilang dari peredaran.
Di ujung bar, seorang Soviet duduk dengan kalem. Daritadi ia melihat seluruh kejadian kontroversial itu dengan matanya yang lembut dan senyumnya yang hangat tapi penuh makna. Aura hitam menari-nari disekelilingnya seperti melodi orang mati. Tanpa melihat, jemarinya menelusuri track pad. Klik. Logo sign-up terpencet sudah. Kalau kau mengintip ke layarnya—itupun jika kamu bernyali—kolom address di sana menyiulkan alamat yang sama sekali tidak asing: FairyTaleFiction. Net
Buto Ijo dan Timun Emas: Parody Version by NatureMature
Badak Bercula Satu Mencari Ibu by NatureMature
Asal Mula Terjadinya Awan by NatureMature
3G by NatureMature
Ahh, Nami nggak tahu gimana merepresentasikan Alfred dkk kalo mereka nulis fanfic. Maaf kalo malah keliatan OOC dan Hetalia-nya malah kurang keliatan *sedih* Terus... tolong koreksi kalau ada salah ya. Krn saya nggak terlalu kenal Hetalia. Masuk fandom pun karena diajak si.. ehm.. itu tuh.. *piiip* ga mau sebut merk ah. Terus... kenapa jadi keliatan kaya Arthur sodaranya Alfred dan Matthew-lah temannya gini, sih. Tidakkah itu terbalik! Terus... perlu nggak sih sebenernya saya tulis penname masing2? Nggak ada ide deh. Sungguh. Jadi ya... human name sajalah. Hidekazu-san udah susah2 bikin, nggak baik kalau saya buang begitu saja.
Terulur maaf, saya belum bisa jadi author sekarismatik Arthur atau semenarik Alfred, dan lebih banyak senarsis Gilbert.
Oh iya, ini nggak maksud nyindir siapa2 kok. No offense yap. Dan seperti biasa ini produk gaje. Saya bener2 makasih buat yg ngereview. Ingat kata Gilbert! "Kamu dan review-mu, adalah dua hal terindah yang pernah lewat di hidup saya" :,))
Eniwei, dedekku tercinta Akazora no Darktokyo, makasih banyak ya buat koreksinya. Ampuni keterbatasan vocab saya yang memalukan. AUTUMN JADI AUNTUMN! Saya juga nggak tau ini hurup "n" nyempil dari mana. *ngeles* #plak!
