Fuji Syusuke orang yang tahu aturan dalam dunia kerja.
Senyumanan itu perlu. Tanpa diingatkan, dia akan melakukannya.

Hampir setiap saat.

.

.

.

Prince of Tennis © Takeshi Konomi

A Long Time

Prolog

Pairing: TezuFuji. slight pair-pair lain untuk chapter mendatang.

Semi canon, shounen ai, boyxboy, drama, romance, dengan sedikit hurt comfort

Rate T akan berubah M seiring berjalan cerita.

Warning: Terkadang typo, EYD kacau, bahasa dan diksi seadanya, bahasa santai, gaya amatir, OC bertebaran.

.

.

.

Jauh dari negara asal bukan sesuatu yang mudah pada awalnya, tapi delapan tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk berbaur dengan orang-orang asing.

Rumor yang mengatakan kalau masyarakat Prancis tidak memiliki rasa kepedulian yang cukup terhadap sesama adalah salah besar. Setidaknya, begitu yang bisa dirasakan olehnya. Mereka semua, orang-orang Prancis itu, peduli dengan cara mereka sendiri. Hanya kebiasaan yang berbeda. Pola pikir yang berbeda. Tradisi yang berbeda.

Prancis.

Negara paling romantis bagi segelintir orang. Negara yang menjunjung tinggi sejarah kebangsaan mereka. Salah satu negera maju yang setia dengan tradisi.

Prancis. Salah satu negara dengan industry fashion terkemuka, kiblat bagi kaum pesolek dunia. Tujuan akhir bagi orang-orang pengejar cita, pengejar mimpi. Model catwalk, model majalah fashion, fashion desainer, makeup artist dan semua profesi lain yang berhubungan dengan industry ini.

Negara gemerlap dengan kemewahan fashion kelas atas.

Fuji beruntung bisa lulus merintis karir di sana. Dalam industry fashion. Bukan pada agency modeling. Wajah memenuhi kualifikasi jadi model androgyny, lebih dari cukup. Hanya tinggi tubuh yang tidak cukup bagi standar orang barat.

Bukan sebuah penyesalan. Tidak pernah sekali pun. Dari awal bukan itu cita-citanya.

Tujuh hari dalam seminggu. Rentang waktu pukul delapan pagi sampai lewat tengah malam. Di mana pun dan ke manapun. Tuntutan profesionalitas. Sangat berat kalau terlalu dipikirkan. Lakukan saja.

Fuji bukanlah orang baru dalam pekerjaannya. Terbiasa adalah kata yang paling tepat.

"Tidak kah kau pikir ini akan jadi pembahasan yang menarik, Syuchan?"

Fuji sama sekali tidak merasa terganggu saat namanya dipanggil dengan cara seperti itu. Beberapa orang asing yang ternyata menyukai Jepang. Mau tidak mau Fuji jadi merasa tersanjung.

"Saa… Memang melawan arus. Berbeda dari konsep dasar. Tapi bukan berarti ide buruk." Masih duduk dengan santai, Fuji lebih memberikan perhatian pada kamera DSLR di genggaman tangan. Helaian rambut warna coklat muda jatuh mengikuti tundukan kepala. Terlihat lembut.

Senyum masih terukir, walau dengan posisi itu hanya kamera tak bernyawa yang jadi lawan tatapan.

"Lalu apa yang jadi masalah?" Helaan napas keluar dari sela bibir berpoles lipstick warna merah terang. Memang berlebihan tapi terkesan mewah. "Kenapa banyak pertentangan?"

"Terlalu riskan, resiko tinggi. Itu saja." Pemuda dengan wajah feminin mendongak, menunjukkan senyuman awet itu pada lawan bicara yang sesungguhnya, mahluk hidup, seorang wanita lebih tepatnya. Bukan sebuah kamera. Atasannya.

Jentikkan ibu jari dan jari tengah terdengar menggema, tapi kalah dengan suara oktaf tinggi bersemangat yang menyusl, "Itu dia! Benar sekali!"

Kursi digeser mundur. Wanita berbalut pakaian kerja nyentrik semi formal sewarna lipsticknya itu berdiri, melangkah anggun memutari meja.

Permukaan meja mahogany jadi pengganti tempat duduknya. Paha putih mulus terekspos di hadapan Fuji. Sekali lagi, dia tidak merasa terganggu. Itu beberapa hal yang menjadi kebiasaan wanita bernama Alex ini.

"Kalau aku bisa menyakinkan semua orang tentang proyek baru majalah kita, seperti menjelaskan resikonya minim dan menjanjikan sukses besar, apa menurutmu mereka akan setuju?"

"Saa…" Tidak merasa tergoda sama sekali dengan paha atau belahan dada, dua manik biru milik Fuji bertatap langsung dengan bola mata sewarna rerimbunan daun milik atasannya.

"Oh ayolah…"

"Aku bisa apa? Anda atasan di sini." Senyumnya kembali terlihat.

Alex sedikit berpikir. "Benar juga. Apa menurutmu tidak apa-apa kalau aku sekali-kali membawa hasrat pribadi dalam pekerjaan?"

Lagi-lagi permintaan pendapat. Fuji sudah dipercayai penuh. Sense-nya diakui.

"Aku akan mengikuti apapun keputusan anda, Miss." Sebuah jawaban, persetujuan tidak langsung.

Alex tersenyum, bisa menangkap maksudnya.

"Kau pimpinan photographer untuk proyek ini. Segera pilih beberapa orang sebagai tim, lalu atur jadwal dan berangkat secepatnya. Deadline semakin dekat!" Tepukan tangan terdengar sekali, mengakhiri keputusan.

Fuji meninggalkan ruangan dengan kamera yang menggantung di leher.

.

.

.

Alex memberi konsep. Fuji akan mengatur sisanya.

Pengaturan jadwal, pengaturan kontrak, pemilihan busana, pemilihan tempat pemotretan. Semua sisanya.

Berkas-berkas itu lah yang berserakan di atas meja kerjanya saat ini.

Dalam satu edisi majalah, Fuji mengisi satu rubik bertema fashion.

Sungguh, dulu tidak pernah terpikir sekalipun untuk terjun ke industry ini. Photography hanya untuk hobi, itu pun photo bertema alam. Bukan photo untuk menonjolkan lekuk tubuh seseorang atau pakaian bermerek dengan harga di luar nalar.

Photography kedudukannya tidak lebih dibandingkan tenis. Takdir memang misteri tak berbatas.

Tenis yang dilakukannya ketika masa sekolah ataupun pekerjaan photographer yang dilakoni sekarang tidak bisa dilakukan seorang diri. Team work.

Fuji memiliki beberapa anggota yang bergerak di timnya. Tiga orang asisten photographer, dua orang makeup artist, dua orang penata busana.

"Bisakah? Ah tidak apa-apa. Biar saya yang akan menjelaskannya nanti." Suara lembut berbicara dengan seseorang di sebrang telepon, bahasa inggris fasih untuk ukuran orang Jepang. "Baik. Terimakasih." Dengan tambahan senyum di akhir kalimat. Walau pada kenyataan, lawan bicaranya tidak bisa melihat itu.

Berbarengan dengan telepon yang ditutup, seseorang membuka pintu ruangan, pelan. "S─senpai…"

"Hn?"

Merasa dipersilakan masuk, seorang pemuda dengan tinggi sekitar 170 cm berjalan mendekat setelah menutup pintu terlebih dulu. Salah satu dari asistennya, juga salah satu dari beberapa orang asing yang gila dengan pop culture Jepang. Fuji masih sangat ingat bagaimana pemuda yang lebih muda tiga tahun darinya itu kegirangan ketika Fuji setuju untuk dipanggil 'Senpai'.

"Apa benar…aku salah satu orang yang akan ikut dalam proyek pemotretan kali ini?"

"Kalau kau tidak salah dengar ketika tadi aku meneleponmu." Dia juga masuk dalam daftar orang yang Fuji sukai untuk digoda. Sifatnya yang kenakan itu rasanya sedikit mirip dengan Eiji. Hanya sedikit. Kadang-kadang.

Petter, asistennya itu, duduk dengan menekuk wajah. Sedikit kesal karena tidak mendapat jawaban pasti. "Siapa lagi?"

"Tambahan satu orang makeup artist. Ini pemotretan di luar Prancis. Jerman, atau bisa jadi di Jepang. Aku rasa tidak membawa banyak orang adalah pilihan yang tepat."

Fuji menyerahkan beberapa lembaran kertas. Berkas-berkas pemilihan busana.

"Eh? Jepang? Bukankah dia di Jerman?"

"Tadi aku sudah menghubungi club tempatnya di Jerman. Pihak pengurus bilang kalau dia pulang ke Jepang untuk dua bulan ke depan. Musim kejuaraan sudah berakhir."

"Wah, wah, senpai bisa sekalian pulang ke rumah… beruntung sekali."

"Kita tidak perlu repot mengurusi reservasi hotel. Rumahku cukup untuk tambahan kita berdua."

"Aku juga tinggal di tempatmu?"

"Keberatan tidur satu kamar denganku?"

Seketika semburat kemerahan berkumpul di daerah pipi. Petter salah tingkah. Entah kenapa rasanya dia tidak akan terbiasa dengan cara menggoda senpai-nya. Terlebih lagi karena gossip aneh yang beredar di dalam kantor. Gosip yang mengatakan kalau Fuji tidak keberatan diajak tidur oleh lelaki mana pun yang jadi modelnya. Gosip yang sudah pasti petter yakini kalau itu bohong belaka. "T-tentu saja tidak! Eh… maksudku, i-itu…"

Fuji terkekeh. Bukannya dia tidak tahu soal gossip yang beredar itu. Dia hanya tidak peduli.

"T─tapi konsep kali ini lumayan beresiko…." Petter berusaha mati-matian mengalihkan pembicaraaan. Fuji membiarkannya. "Memakai seorang atlet untuk jadi model fashion itu rasanya sedikit agak…"

Jeda.

"Sembarangan?" Fuji menebak.

"Benar. Majalah kita bukan majalah yang asal memakai orang sedang tenar untuk jadi model kan? Aku yakin pengalaman jadi model pun dia tidak punya."

"Tidak perlu khawatir. Aslinya, dia lebih tampan dibanding gambar bergerak di televisi ataupun potret di majalah olahraga. Bahkan ketika diam, dia sudah bisa jadi model yang sempurna." Bukan bohong.

"Hahaha apa-apaan perkataan barusan… Seperti senpai kenal dia saja."

"Aku kenal."

"Eh?"

"Aku kenal Tezuka Kunimitsu dengan sangat baik."

.

.

.

TBC

Prolog ini aku tulis dalam waktu dua jam. Sambil memikirkan jalan cerita ke depannya, mengabaikan fanfic-ku yang lain (Hanya untuk sementara. Aku belum nemu mood yg bagus untuk melanjutkan. Revisi di sana-sini).

Garis besar cerita sudah terbayang, entah butuh waktu berapa lama untuk lanjut chapter selanjutnya. Mungkin satu atau dua bulan.

Aku tahu dan merasakan sendiri kalau fandom PoT indonesia sudah terbilang sepi. Sempat ingin pindah fandom tapi ada seorang teman yang berkata "Fandom itu jangan banyak-banyak. Satu aja asal sampai ke akar-akarnya. Itu udah cukup." Dan entah kenapa kata-kata itu bikin aku ingin nulis lagi untuk fandom kebanggaanku ini.

Ternyata aku memang ga bisa mengabaikan PoT.

TezuFuji hanya salah satu dari banyaknya pair favoritku di fandom ini xD