Hanya sebuah hari yang biasa di warung burjo depan bulevar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hari itu, Jogja sungguh terik. Panasnya yang membara membuat Uzumaki Naruto, mahasiswa tahun kedua di UGM itu, mampir sebentar di warung burjo itu untuk sekedar ngadem.

"A', es teh satu dong!" seru Naruto seraya mendudukkan diri di bangku panjang yang biasanya selalu ada di warung-warung burjo itu.

Aa' burjo yang memang selalu orang Sunda itu mengiyakan pesanan Naruto dengan sigap. Ia yang tadinya duduk-duduk santai sambil menonton siaran ulang acara joget-joget di televisi langsung mengikat rambut panjangnya dan mulai membuatkan es teh pesanan Naruto.

"Tumben sepi, A'," komentar Naruto, mengingat satu-satunya pelanggan di burjo itu hanya dia seorang. "Tambahin gorengan juga ya, Aa' Neji!" tambahnya.

Hyuuga Neji, pemuda perantauan dari Sukabumi itu meletakkan gelas es teh di depan Naruto, kemudian menyusulkan sepiring gorengan yang masih hangat; baru saja diangkat dari penggorengan. "Iya, sepi pisan ini mah. Mungkin masih pada kuliah," tanggap Neji dengan logat Sundanya yang begitu kental. Sebenarnya, usia Naruto dan Neji tidak terpaut terlalu jauh. Namun, betapa kejamnya hidup ini. Sementara pemuda yang satu bisa kuliah, yang lain harus bekerja untuk menghidupi keluarganya di Sukabumi.

Selang beberapa detik setelah Naruto meminum es tehnya dengan membabi buta karena terlampau kehausan, seorang pemuda lain dengan rambut merah dan eyeliner lebay memasuki warung burjo Neji juga.

"Oh, halo, Gaar!" sapa Naruto, mengenali pemuda yang baru masuk. Kalau Neji juga tidak kenal pemuda itu, mungkin ia akan mengira nama pemuda berambut merah itu adalah Togar.

Pemuda yang dipanggil 'Gaar' itu mendudukkan diri di sebelah Naruto. Sebagai catatan, namanya adalah Sabaku no Gaara dan ia bukan orang Batak. Ia adalah pemuda gaul yang lama tinggal di Jakarta. "Gila' panas beudh," celetuknya, "Nggak tahan gue kalo gini terus panasnya. Es jeruk satu dong, Ji!" tambahnya pada—bukan, tidak ada karakter bernama Aji atau Panji di sini—Neji. Warung burjonya memang warung terdekat di kawasan UGM, sehingga wajar saja baginya kalau ia akrab dengan mahasiswa-mahasiswa yang berlangganan di burjonya.

"Padahal harusnya kan udah musim hujan," ujar Gaara lagi, menyambar es jeruknya sebelum sempat Neji letakkan di meja di depan Gaara. "Gue pasang AC di kosan gue juga kagak mempan!"

"Bener banget lo, Gaar," sambung Naruto. Pemuda pirang ini sebenarnya adalah pemuda asli Semarang. Tapi ia tak mau dikatai udik oleh teman seangkatannya itu, jadi dia juga langsung menggunakan mode anak gaulnya, alias langsung menggunakan lo-gue. "Gue juga nggak tahan. Panasnya itu lho, ngenthang-ngenthang!"

Gaara cengo selama sepersekian detik, kemudian bertanya, "Ngenthang-ngenthang apaan, Nar?"

Naruto langsung gelagapan. Apalah dayanya. Ia yang sejak kecil tinggal di Semarang tentu tak bisa lepas dari logat Semarangannya, sekeras apapun ia berusaha untuk lo-gue. "Eh, itu, anu, panas banget maksudnya!" ia berusaha menjelaskan.

Gaara meng-oh tepat ketika dua pemuda lain memasuki warung burjo Neji. Yang satu pemuda berambut putih dengan masker, yang satu pemuda berambut jabrik yang mirip pantat ayam.

"Oh! Halo, dab!" sapa pemuda berambut putih dengan cerianya begitu melihat Naruto dan Gaara. Ia dan pemuda berambut hitam langsung mendudukkan diri di sisi lain Naruto.

"Lagi bar kuliah kalian? (Baru selesai kuliah kalian?)" tanya Naruto pada dua pemuda itu, meninggalkan mode lo-gue-nya begitu saja karena dua pemuda yang baru masuk, Hatake Kakashi dan Uchiha Sasuke, adalah pribumi Sleman dan Bantul. Tak perlu dijelaskan pun sudah kelihatan kalau Kakashi asli Sleman, dilihat dari kaos berkerah dan maskernya yang bertuliskan PSS Sleman.

"Ho'oh," jawab Sasuke dan Kakashi bersamaan.

"Tutupen botolmu~ tutupen oplosanmu~"

Melodi dan lirik yang terdengar familiar itu berkumandang ke seluruh penjuru burjo ketika Neji meletakkan dua gelas es teh lain di hadapan Kakashi dan Sasuke. Sasuke meminum es tehnya dulu sebelum akhirnya merogoh kantong celananya untuk mengeluarkan ponselnya—sumber dari lagu oplosan.

"Halo?" ucap Sasuke. "Ho'o iki aku lagi ning burjo Neji. Kowe rene wae rak wis. Ana Naruto, Kakashi, Gaara barang kok. Ndang gage. Yo. Tak pesenke. Oke (Iya ini aku lagi di burjo Neji. Kamu kesini ajalah. Ada Naruto, Kakashi, Gaara juga kok. Buruan ya. Iya. Aku pesenin)."

"Sapa, Sas?" tanya Naruto pada—bukan, bukan Sasa—Sasuke begitu pemuda itu mengakhiri pembicaraannya di telepon.

"Kiba," jawabnya singkat. "A'! Nasi telor satu sama es teh sekalian," tambah Sasuke ke Neji.

"Siap!" jawab Neji, langsung menyiapkan penggorengan. "Ini teh pesenannya Kiba bukan?" tanyanya lagi sebelum mulai menggoreng. "Kalo iyasaya bikinkan seperti yang biasa Kiba pesen."

"Iya," jawab Sasuke singkat.

Tak berapa lama, tiga pemuda lain datang. Yang satu dengan tato segitiga di wajah, yang satu dengan rambut dikuncir ala nanas, yang satu juga dikuncir tapi ada bekas luka melintang di wajahnya. Kenapa tampilan anak UGM semuanya aneh-aneh?

Tiga orang yang baru datang itu tak lain adalah Inuzuka Kiba si Surabaya, Nara Shikamaru si Klaten dan Umino Iruka si Solo. Lengkap sudah geng burjo Neji.

"Aku kok ditinggal," sungut Kiba dengan suara medhok khas Surabayanya setelah ia menyeruak di antara Naruto dan Gaara, sementara Shikamaru dan Iruka mendudukkan diri di sisi lain Gaara.

"Lha aku mau wis ngomong 'aku sikik' lho ya (Lho kan aku tadi udah bilang mau duluan)," Kakashi membela diri.

"Tapi yo gak ngono iku (Tapi ya nggak gitu juga)," Kiba belum terima. Ketika ia membuka mulut hendak protes lagi, Iruka menengahi, "Uwis to, cah. Awan-awan panas ngene iki ora elok padu (Udahlah, guys. Siang-siang panas gini nggak bagus berantem)," ujarnya dengan gaya kalem khas Solonya yang biasa. "Ji, es jeruk satu ya," tambahnya ramah ke arah Neji.

"Shikamaru apa?" tanya Neji pada Shikamaru sebelum ia membuatkan pesanan Iruka.

"Es teh aja deh," sahutnya malas.

"Oke. Ini tadi nasi telor-nya Kiba sama es tehnya," ujar Neji lagi, meletakkan sepiring nasi telur dan segelas es teh di depan Kiba yang langsung disambut dengan antusias, kemudian pemuda berambut panjang itu langsung mengurus pesanan Shikamaru dan Iruka.

"Ngapain lo lari-lari ke sini tadi? Ada perlu apa nyariin kita-kita?" tanya Gaara pada Kiba. Walaupun ia tidak berbahasa Jawa, setidaknya setelah dua tahun kuliah di UGM, ia jadi bisa menangkap pembicaraan teman-temannya meskipun mereka menggunakan bahasa Jawa.

"Kui lho," jawab Kiba setelah menelan sesuap besar makanannya, "Sesuk kan prei to, rek. Ayo ning pantai! (Gini lho, besok kan libur, guys. Ayo ke pantai!)"

"Panas ngene ning pantai? Malesi tenan ik (Panas gini ke pantai? Males banget)," keluh Naruto.

"Ho'oh males ah. Sesuk ana pertandingan PSS Sleman je. Mending nonton kui lah (Iya males ah. Besok ada pertandingan PSS Sleman juga lagian. Mending nonton itu)," tak usah disebut lagi siapa pemilik suara ini.

"Eh, tapi nggak apa-apa kali. Daripada ujan-ujan ke pantai? Kena tsunami bisa berabe. Gue juga udah dua taun di Jogja tapi belum pernah ke pantai," sambut Gaara. "Lumayanlah buat tanning," tambahnya, yang langsung disambut dengan seruan Naruto dan Kakashi secara bersamaan.

"Koe mah pucet kaya mayit! (Kamu mah pucat kayak mayat!)"

"Pokokke sesuk ning pantai yo. Mangkat isuk, bali sore. Gawa bal nggo bal-balan opo voli pantai ngono. Gawa salin barang nek misale arep jejeguran. Sapa ngerti akeh mbak-mbak berbikini (Pokoknya besok ke pantai ya. Berangkat pagi, pulang sore. Bawa bola buat main sepakbola atau voli pantai gitu. Bawa baju ganti juga siapa tahu mau nyemplung. Siapa tau juga banyak cewek-cewek berbikini)," ucap Kiba, masih belum menyerah untuk mengajak teman-temannya berlibur ke pantai.

"Ning kene ora ana mbak-mbak berbikini, Kib. Isa digrebek FPI ngko (Di sini nggak ada cewek-cewek berbikini, Kib. Bisa digrebek FPI)," balasa Sasuke.

"Numpak apa rana ne? Males aku yen motoran. Marmos. Suwe tur kesel (Naik apa kesananya? Aku males kalau naik motor. Marmos a.k.a marai emosi . bikin emosi. Lama dan capek)," Shikamaru menyuarakan pendapatnya.

"Pake mobil gue nggak masalah," Gaara menawarkan.

"Ra cukup, dab (Nggak cukup, bro)," Sasuke mencoba rasional. Mobil Gaara kapasitas maksimalnya hanya lima orang, kalau digunakan untuk menampung mereka semua, bisa-bisa mobil Gaara dikira angkot.

"Nganggo mobile Kakashi barang to. Ya? (Pakai mobilnya Kakashi juga dong. Ya?)" Iruka mengusulkan, seraya memandang Kakashi yang duduk di ujung lain dengan penuh harap.

Ditatap seperti itu, Kakashi mendadak lupa kalau besok seharusnya dia menonton pertandingan PSS Sleman kesayangannya. "Oke! Sesuk lunga pantai, nganggo mobilku karo mobile Gaara! (Besok pergi ke pantai, pakai mobilku dan mobil Gaara!)"

Naruto membelalak kesal pada Kakashi, merasa kehilangan satu-satunya teman yang menolak, tapi pelototannya diabaikan begitu saja karena sekarang pemuda bermasker itu sedang bertukar pandang malu-malu dengan Iruka.

"Yoweslah," desah Naruto akhirnya, pasrah karena ia kalah suara. "Manut wae aku (Aku ngikut aja deh)."

Kiba bersorak senang.

"Neji ikut ndak?" tanya Iruka ramah pada pemuda yang sering melayani kebutuhan makan mereka itu.

"Eh?" celetuk Neji kaget. "Saya mah di sini saja."

"Ikut ajalah, Ji. Cukup juga kalo bawa dua mobil. Mobil gue bisa empat, mobil Kakashi bisa muat empat juga. Kita berdelapan pas," Gaara juga ikut membujuk dengan nada persuasif.

"He'eh," tambah Naruto, "nek mung pitu kan ganjil. Ngko sijine isa diculik Nyi Roro Kidul. Makane wolu wae ben genep. Ngancani Gaara, Ji (Iya, kalau cuma bertujuh kan ganjil. Yang satu bisa diculik Nyi Roro Kidul. Makanya berdelapan saja supaya genap. Nemenin Gaara, Ji)," ucap Naruto jahil yang berbuah tampolan di belakang kepalanya dari Gaara.

Neji tertawa, kemudian mengangguk. "Iya deh. Saya ikut."

Persetujuan Gaara disambut dengan sorakan Kiba, Iruka, Kakashi dan Naruto.

"Sesuk mangkat jam enem yo! Ojo telat! Kumpul ning burjo Neji wae (Besok berangkat jam enam ya! Jangan telat! Kumpul di burjo Neji saja)," Kiba memutuskan.

"Oke! Saiki madhang sikik, dab! (Oke, sekarang makan dulu, guys!)" ucap Kakashi semangat, yang langsung disambut dengan seruan setuju dari teman-temannya.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Oke, akhirnya jadi walaupun gaje setengah mati orz Kalau ada yang orang Jogja atau malah anak UGM, pasti tau burjo bulevar mana yang saya maksud. Haha. Dan kalau lagi makan di situ, biasanya ada saya! *terus?*

Buat yang nggak tahu burjo, burjo itu kependekan dari bubur kacang ijo. Tapi di Jogja sini, kata itu sudah mengalami pergeseran makna. Burjo itu semacam warteg gitu lah. Menu utamanya ada nasi telur, nasi sarden, nasi telur orak-arik, dll. Harganya yang murah meriah membuat anak kuliahan Jogja menjadi kaum burjois sejati. Dan memang semua burjo di Jogja, yang jual selalu orang Sunda. Entah kenapa.

Maap yak kalau garing. Maap juga kalau bahasa daerahnya tidak sesuai orz Tapi yang penting utang saya ke ambudaff dan Sabaku no Ghee lunas! Huahaha~ Dari fanfic ini, keliatan jelas kalau saya sama sekali tidak bisa bikin humor orz