Satu, kita berjumpa.
Dua, ikatan persahabatan kita mulai terjalin.
Tiga, muncullah cinta di antara kita.
Empat, kita menjadi kekasih.
Lima, pengkhianatan muncul.
Enam, angkasa pecah.
Tujuh, hujan turun.
Delapan, kau lenyap.
Sembilan, ikatan kita terputus.
Sepuluh—
Satu.
Waktu itu musim semi—udara hangat, dan wangi kuncup bunga yang segar menyeruak.
Bebungaan sakura bermekaran dengan sempurna—menghiasi pemandangan halaman istana yang megah dengan kelembutan yang ditawarkannya.
Waktu itu pula—aku bertemu Sakichi untuk pertama kalinya.
Usiaku waktu itu sekitar sepuluh, dan dia tujuh tahun.
Aku tidak begitu ingat pastinya, namun satu hal yang terpatri dalam ingatanku dengan jelas hanya ada satu—
—perjumpaan kami.
Waktu itu, aku mengunjungi Kastil Osaka untuk pertama kalinya—sebagai calon kepala Tokugawa yang mengabdi pada Toyotomi.
Pemimpin klan Toyotomi—Hideyoshi—dan tangan kanannya—Takenaka Hanbei, menyambutku secara langsung.
"Selamat datang, Takechiyo-kun," sambut Hanbei-dono dengan ramah.
Di sampingnya, berdiri seorang pria besar dengan wajah garang.
Ia adalah Toyotomi Hideyoshi—menyambutku dengan senyum angkuh di wajahnya.
"Terima kasih atas kesempatannya, Toyotomi-dono, Takenaka-dono," balas pendampingku—yang bertindak sebagai wali—berhubung anak berusia sepuluh tahun belum dapat menyandang nama kepala klan secara resmi, mereka didampingi oleh wali.
"Terima kasih juga atas kunjungannya," balas Hanbei-dono sambil membungkuk, "Suatu kehormatan Tokugawa yang gagah dapat bersatu dalam lingkup kekuatan kami."
Aku tersenyum kecil—agak gugup.
"Tak usah sungkan, Takechiyo," kata Hideyoshi-dono, "Kita adalah keluarga sekarang. Sebaiknya kau perlu berkenalan dengan seluruh anggota keluarga kami."
"Tentu, Hideyoshi-dono. Suatu kehormatan bagi saya," balasku, sambil membungkuk penuh hormat.
"Panggilkan Otani dan Sakichi-kun," titah Hanbei-dono, kepada seorang pelayan wanita yang menunggu di sampingnya.
Setelah beberapa waktu, si pelayan muncul kembali dengan dua orang.
Yang satu orang dewasa—dengan perban membalut setiap permukaan tubuhnya yang tak tertutup kimono-nya, dan satu lagi seorang bocah—masih belia.
"Ini Otani Yoshitsugu, salah satu panglima kepercayaan kami yang setia," ujar Hanbei-dono, sambil memperkenalkan pria berperban yang agak menyeramkan.
"Salam kenal, Calon Pewaris Tokugawa," katanya—sopan, sambil membungkuk.
"Dan yang ini Sakichi—anak dari klan Ishida yang sudah lama mengabdi pada kami."
Si bocah tidak nampak—ia bersembunyi di balik kaki pelayan wanita yang bersamanya.
"Hei, Sakichi-kun, kenapa bersembunyi? Ayo, kemari, Takechiyo-kun dari Tokugawa ingin berkenalan denganmu," bujuk Hanbei-dono, agak geli dengan tingkahnya.
Si bocah mengintip dari balik pelayannya—menatapku dengan alis mengerinyit.
Perlahan, kuhampiri dia—sambil tersenyum lebar, mencoba memperlihatkan sikap ramah.
"Senang bertemu, Sakichi-dono. Aku Matsudaira Takechiyo, dari Tokugawa. Ayo, kita jadi teman."
Ia masih bersembunyi, sambil mengalihkan pandangannya ke tanah.
Wajahnya bersemu—persis warna kuncup bunga yang menghiasi halaman.
"Ya," jawabnya—singkat, dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar—tersaingi bunyi angin yang menderu.
Demikianlah perjumpaan kami yang pertama.
Dua.
Setahun kemudian, aku kembali mengunjungi Kastil Osaka—sambil membawa oleh-oleh untuk beramah-tamah.
Hanbei-dono kembali menyambutku di istana—ia mengenakan kimono putih ringan dari katun.
"Takechiyo-kun! Senang sekali melihatmu lagi," katanya—riang.
Aku tertawa, "Saya juga, saya sudah kangen dengan Kastil Osaka. Ini, saya bawakan oleh-oleh dari Mikawa."
Kukeluarkan bungkusan yang kubawa, dan kuberikan jajanan yang ada di dalamnya pada Hanbei-dono.
"Wah, tidak usah repot-repot, Takechiyo-kun. Terima kasih banyak."
"Kembali," jawabku—sambil tersenyum.
Kutengok sekeliling. Sepi sekali. Hanya ada beberapa pelayan dan prajurit di sekitar kastil.
"Maaf, Hanbei-dono," selaku, "Di mana Hideyoshi-dono?"
Hanbei-dono agak terdiam sebentar, lalu kembali menyunggingkan senyum di wajahnya.
"Ia sedang pergi ke Odawara—mempersiapkan pasukan untuk penaklukan klan Hojo," jawabnya.
"Anda tidak ikut?" tanyaku—penasaran.
"Tidak," katanya, menggeleng, "Aku juga ingin ikut, tapi Hideyoshi melarangku. Katanya, aku harus lebih banyak beristirahat, demi kesehatanku."
"Oh," gumamku—merasa agak tak enak hati. Cerita tentang penyakit yang diderita Hanbei-dono sudah menjadi rahasia umum. Aku jadi merasa agak menyesal telah mengungkit hal tersebut.
"Tak apa," katanya—sambil tertawa, "Setelah ini, aku pasti akan ikut lagi. Aku pasti akan ikut pada penaklukan Hideyoshi berikutnya."
Mau tak mau, aku nyengir lebar—lega akan lepasnya beban dari wajah Hanbei-dono.
"Oh, Takechiyo-kun," gumamnya, "Kenapa kau tidak temui Sakichi-kun? Dia akhir-akhir ini terlalu banyak belajar—sepertinya ia perlu sedikit bermain. Temani dia saja, ya."
"Eh, tapi—Hanbei-dono bagaimana?" gagapku.
Ia tersenyum, penuh arti.
"Tak apa-apa, aku baik-baik saja. Sana, cari Sakichi-kun. Dia pasti ada di halaman belakang kastil."
Aku mengangguk, lalu membungkuk—dan berlalu dari tempat itu.
Tak lama, aku menemukannya di belakang istana.
Ia duduk di teras—sendirian—sambil membaca buku-buku yang kumal di tangannya.
"Selamat siang," sapaku—agak berhati-hati.
Ia terkejut, lalu menatapku dengan pandangan dingin.
"Kau," ujarnya, "Sedang apa kemari?"
"Teganya," kataku—sambil terkekeh, "Aku datang ke sini hanya untuk bermain-main, kok."
Ia mendengus, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke buku kumal yang dipegangnya.
"Sedang apa? Membaca?" tanyaku, sambil menghampirinya.
"Ya."
"Kok kamu kuat sekali membaca? Aku sebentar saja sudah bosan."
"Ini kulakukan demi Hideyoshi-sama."
Aku tertegun sejenak—mendengar penuturannya.
Suatu penuturan yang tegas, lugas—jarang didapat dari seorang anak berusia tujuh-delapan tahunan.
"Hanbei-sama bilang," lanjutnya—tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari buku, "Kalau aku belajar dengan rajin, aku bisa jadi orang yang pandai. Kalau aku pandai, aku akan dapat menjadi orang yang berguna untuk Hideyoshi-sama."
"Ah, kau ini," kataku, sambil menggaruk kepalaku, "Jangan gunakan kata 'berguna', dong. Itu berkesan seperti kau ini barang saja."
Ia hanya tersenyum kecil—dingin.
"Kenapa tidak kau gunakan kata 'berharga' saja?" timpalku.
Sakichi menatapku—agak terpana, kemudian pandangannya meredup.
"Tidak bisa," bisiknya.
"Kenapa?"
"Karena orang yang berharga untuk Hideyoshi-sama hanyalah Hanbei-sama. Dibandingkan Hanbei-sama, aku tidak berarti apa-apa."
Aku menggelengkan kepalaku—terkesan akan kerumitan jalan pikir anak ini.
"Aaaah, aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan," dengusku—sambil meregangkan tanganku, "Daripada kau terlalu banyak belajar dan pusing-pusing, bagaimana kalau kita bermain sebentar?"
"Tidak tertarik," tukasnya, ketus, "Aku tidak peduli dengan permainan."
Aku terkekeh, lalu kusambar lengannya—kutarik menuju halaman.
"Hei! Lepaskan—"
"Ayo, kita main, Sakichi!"
Ia nampak heran melihat tingkahku yang lepas dan bebas—seperti melihat sesuatu yang terlalu bersinar, hingga ia harus menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas apa yang sedang berada di hadapannya.
"Bisa naik pohon?" tanyaku, sambil melepas geta kayu yang kukenakan, lalu menggulung lengan kimono-ku.
"Jangan remehkan aku," katanya—agak jengkel, "Aku bisa melompati tembok itu kalau mau."
"Oya?" seruku, kagum. Di balik penampilannya yang luwes dan tenang itu, ternyata Sakichi mampu gerak badan juga.
Ia memutar langkahnya sedikit, lalu tubuhnya melayang—ringan, dan mendarat tepat di atas tembok kastil.
"Waaah! Hebat! Hebaaat!" seruku, kegirangan.
Ia mendengus—angkuh. "Cuma segini saja," katanya—bangga.
"Nah, karena kau sudah di sana, kita sekalian bermain di luar saja," ujarku, sambil mulai memanjat pohon—lalu melompat ke sampingnya.
"Apa? Jangan aneh-aneh! Aku tidak mau."
"Ayolah, sebentar saja. Nanti kita kembali lagi, kok."
Ia merengut, lalu mengangguk—patah-patah.
Kami berdua melompat keluar dari kastil, lalu berlomba lari sambil tertawa-tawa.
Ia tidak tertawa—tepatnya, hanya tersenyum.
Namun, baru kali ini aku tahu, bahwa senyumannya yang sangat langka itu bisa membekas dengan begitu jelas dalam ingatanku.
Setelah lama berlari, kami tiba di sebuah padang rumput yang luas—banyak bunga-bunga bermekaran di sekelilingnya.
Ia nampak terpesona dengan pemandangan tersebut—seolah baru pertama kalinya melihat padang rumput.
"Sini, kita duduk-duduk," seruku, sambil menjatuhkan diri di atas rumput yang tebal layaknya melompat ke atas kasur.
Sakichi agak kaget, mengira aku akan mengantam tanah dengan bunyi keras—namun ternyata, aku hanya jatuh dengan bunyi pluk teredam.
"Nggak apa-apa," sahutku, sambil nyengir, "Nggak sakit, kok. Ayo, kau juga, lakukan."
Ia malah duduk dengan perlahan, mungkin karena takut sakit akibat jatuh ke tanah.
"Ah, kau nggak seru."
"Biarin."
Kupetik beberapa tangkai bunga yang tumbuh di sana-sini, dan kurangkai menjadi untaian kelopak-kelopak warna-warni, dan kukenakan di atas kepalaku, seperti topi.
"Lucu, 'kan?" ujarku—sambil tertawa.
Ia hanya tersenyum kecil.
"Kau kelihatan bego dengan itu," balasnya—sambil tersenyum makin lebar.
"Eeeh, kau jahat, Sakichi. Ah, sini, kuajarkan kau cara membuatnya."
Kuambilkan ia beberapa tangkai, lalu menggenggam tangannya—mengarahkannya untuk membuat untaian bunga.
"Begini, kau ikat simpulnya dengan tangkai-tangkainya, lalu kau arahkan supaya bunga-bunganya menonjol keluar."
"Begini?"
Tangannya gemetaran, namun ia piawai merangkaikan tangkai-tangkai itu dengan jari-jarinya.
Tak lama, sebuah rangkaian bunga yang halus telah jadi.
"Keren, keren! Kau hebat, Sakichi!" pujiku.
Ia hanya mendengus.
"Aku ingin membuat ini lagi, untuk Hideyoshi-sama dan Hanbei-sama."
"Biar aku bantu."
"Tidak, tidak usah. Biar aku sendiri yang membuatnya."
Dengan sabar, kutunggui ia merangkai untaian bunga berwarna putih dan jingga, sambil sesekali memandang ke langit yang mulai berwarna senja.
"Sudah mau malam, pulang, yuk," ajakku.
Ia mengangguk, sambil menggenggam bunga-bunga tersebut dengan hati-hati—seolah mereka akan pecah kapan saja.
Begitu berjalan pulang menuju kastil, sebuah angin kencang berhembus—meniupkan awan hitam yang tebal, berpetir, dan mengancam akan menurunkan badai.
"Ah, sial," bisikku, "Kita harus cepat."
Ia mengangguk, lalu tertatih-tatih mengikuti langkahku.
Sontak, suara guruh yang keras menggetarkan langit—memancarkan cahaya putih membutakan.
Ia terpekik—lalu melompat ke arahku, dan mencengkeram lengan-lenganku, erat-erat.
Kugenggam tangannya, lalu berbisik, "Tidak usah takut."
Padahal, aku sendiri sebenarnya juga agak takut dengan kedatangan badai yang medadak seperti ini.
"Kita akan pulang," kataku, "dan menghadiahkan bunga-bunga itu untuk Hideyoshi-dono dan Hanbei-dono."
Sakichi mengangguk perlahan, lalu menggandeng tanganku erat-erat.
Sialnya, badai makin ganas—hujan lebat mengguyur bumi tanpa ampun.
Sekeliling kami gelap, dingin, dan kejam.
"Takechiyo, aku tidak bisa lihat apa-apa," pekiknya, ngeri.
"Tidak apa-apa! Sedikit lagi, kita pasti sampai—"
Belum selesai aku berbicara, ia terpeleset, lalu jatuh menggelincir.
"Aduh!"
"Sakichi!"
Kuraih tubuhnya, dan mendapati ternyata tali geta miliknya putus.
"Ah, sial. Sini, kugendong saja kau."
Ia terperanjat, dan nampak jengah, "Tidak usah! Aku jalan saja, tidak apa-apa kakiku kotor!"
"Sudahlah, ayo!"
Kunaikkan ia ke punggungku, dan ia dengan terpaksa menggenggam pundakku.
Tangan-tangannya yang kecil mengeratkan pegangannya di kimono-ku.
"Sialan, hujannya makin deras saja."
"Takechiyo…aku—pusing."
"Apa?"
"Aku pusing."
"Sabarlah, sedikit lagi saja!"
Tak lama kemudian, kudengar suara riuh.
Memanggil nama-nama kami.
Lalu, Hanbei-dono muncul—masih mengenakan kimono putihnya, nampak terperanjat melihat kami berdua.
"Sakichi! Takechiyo-kun!"
Ia menghambur ke arah kami—wajahnya nampak begitu khawatir melihat keadaan kami yang kotor dan basah.
"Kalian tidak apa-apa?" tanyanya, "Ayo, kita ke kastil sekarang."
Aku mengangguk, "Tapi, Sakichi…"
Suara ringkikan kuda terdengar, berat.
Sesosok pria besar turun dari kuda—menguarkan bau amis pekat.
Setelah kuperhatikan, pria itu Hideyoshi-dono—tubuhnya berlumuran darah.
Namun, ia tidak terluka. Darah itu sepertinya bukan darahnya. Darah seseorang, entah siapa.
"Hanbei," gumamnya, "apa yang kau lakukan? Kau bisa sakit lagi."
"Hideyoshi," kata Hanbei-dono, "Aku mencemaskan anak-anak ini. Mereka menghilang, dan kutemukan di luar kastil."
"Hideyoshi-sama….." erang Sakichi di punggungku.
"Hanbei-sama…ini…"
Ia mengulurkan untaian-untaian bunga berwarna putih dan jingga, membuat Hideyoshi-dono dan Hanbei-dono terpana.
"Sakichi membuatnya, untuk kalian," kataku, menambahkan.
Hanbei-dono mengambil Sakichi dariku, dan menggendongnya.
"Kau panas sekali," gumamnya, sambil menyentuh dahi Sakichi, "Kau sampai kena demam begini, bagaimana, sih, kau."
"Selamat…..atas penaklukan Odawara…" bisik Sakichi, pelan.
Hideyoshi-dono kemudian mengalungkan untaian tersebut di kepalanya, lalu mengusap rambut Sakichi.
"Terima kasih, 'Nak," ujarnya.
"Ah, aku—" gagapku—agak takut, "Ini semua salahku, aku mengajak Sakichi untuk bermain keluar kastil. Ini semua terjadi karena aku. Jangan salahkan dia, salahkan aku saja."
Hanbei-dono menggeleng, dengan mata berkaca-kaca, "Tidak, Takechiyo-kun. Ini membuktikan bahwa kalian adalah anak-anak yang baik. Itu saja. Ayo, kita pulang."
Badai makin memburuk.
Beberapa hari kemudian, badai yang mengamuk di Osaka berangsur lenyap—digantikan cahaya matahari yang hangat.
Begitu pula dengan demam Sakichi.
"Ini semua gara-gara kau, menyeretku keluar—membuatku bolos belajar dan membuatku demam," omelnya, sambil merengut.
"Maaf, maaf. Tapi, kau senang, 'kan? Sesekali kita harus jadi anak nakal. Bosan jadi anak baik terus, 'kan?" jawabku, sambil nyengir lebar.
Ia menggeleng, jengkel.
Aku jadi salah tingkah.
"Ini," bisiknya, sambil merogoh kantung bajunya.
Sebuah untaian bunga berwarna kuning muncul di tangannya.
Aku bengong.
"Hei!" tukasnya, sambil membentak.
"Y—ya?"
"Buat kamu!"
"Buat aku?"
Sakichi memalingkan wajahnya—bersemu merah.
"Terima kasih, waktu ini…kalau kau tidak ke sini, Hideyoshi-sama dan Hanbei-sama mungkin tidak akan seperti sekarang."
Aku tertegun, "Memangnya, apa yang berbeda dari mereka?"
Ia bersemu lagi, "Mereka sekarang memperlakukanku makin lembut. Entahlah."
Aku tertawa lepas, menepuk pundaknya—membuatnya terlonjak sedikit.
"Selamat, Sakichi!"
Ia hanya menunduk—wajahnya makin merah.
"…Takechiyo…"
"Hmmm?"
"Kita…jadi teman?"
"Ngomong apa sih, kau, dari dulu, kita kan sudah jadi teman sejak awal!"
Kukenakan untaian bunga kuning lembut tersebut di kepalaku, lalu berseru.
"Teman sampai mati!"
Ia tersenyum sedikit, lalu meraih tanganku—dan meremasnya.
"Teman sampai mati."
Akhir dari bait kedua.
