Kemunculan teknologi melalui komunitas maya memungkinkan artikulasi identitas bukan lagi menjadi ruang dimana subyektivitas tertundukkan oleh kolektivitas sebagaimana yang berlangsung pada ruang sosial fisik. Perkembangan teknologi informasi melalui internet bukan sekedar transformasi teknologi, melainkan transformasi kebudayaan yang di dalamnya memuat ideologi baru, yakni teknologi merupakan elemen mesin yang menyesuaikan dan memperluas jangkauan kehadiran fisik. Mesin tersebut bukan sesuatu yang semata-mata bersifat mekanis dan sepenuhnya menguasai. Sistem semacam ini bersifat dinamis bahkan jika sekalipun bersifat terbatas, memiliki kemampuan kecerdasan tinggi. Jaringan telepon, komunikasi satelit, sistem radar, video compact disk yang dapat diprogram, robot, rekayasa sel-sel biogenetik, sistem pengaturan roket, jaringan internet, seluruhnya yang mampu digerakkan melalui kinerja komputasi yang berisikan kapasitas untuk memproses informasi dan mengambil tindakan. Hal semacam itu tentu bisa dilakukan karena softwere yang terpasang di dalam komputer telah terhubung dengan satelit. Sehingga dapat menampilkan wilayah sebuah kota, jalan, gedung, dan bahkan bagian di dalam gedung tersebut. Ruang semakin menyempit dan datar. Interkasi face to face mulai bergeser ke ruang space to space. Sejak dipakai untuk keperluan militer (perang dan spionase) dunia teknologi informasi hingga saat ini tak berhenti berinovasi, hingga merengkuh kehidupan umat manusia.


.

.

.

Fanfiction ini di angkat dari sebuah film layar lebar yang sudah tayang cukup lumayan lama (sekitar tahun 2002) berjudul 'So Close'.

Fanfiction ini saya buat special untuk seseorang—ciyelah—special untuk heichou tersayang, Rei Masamune. I'm not gomen, heichou. Semoga cerita yang saya buat ini tidak melenceng terlalu jauh dari arus yah. Mungkin akan ada beberapa bagian di dalam cerita yang sedikit saya rubah atau saya tambahkan sendiri berdasarkan dari imajinasi saya.

Tolong dimaafkan kalo ternyata hasilnya masih kurang memuaskan atau sedikit mengecewakan.

I'm not a good writer anyway, but i love to write. That's an enough reason for me to always write.

Fanfiction ini saya buat hanya untuk kesenangan dan bukan untuk tujuan komersil.

.

.

.


Chapter 01: [Prolog]

.

.

.

Namaku Mikasa Ackerman.

Aku bukanlah seorang gadis baik-baik. Tapi itu bukan berarti aku ini orang jahat.

Aku memiliki seorang adik laki-laki, yang memiliki wajah lumayan tampan sedikit dipermanis, tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku, pigmen matanya berwarna emerald—sangat indah—hampir mirip dengan warna hijau rumput, kulitnya kecoklatan, warna rambutnya brunette, dan sifatnya sedikit keras kepala.

Adikku bernama Eren Jaeger.

Usiaku dengan adikku tidak terpaut jauh. Eren dua tahun lebih muda dariku. Sejak masih kecil, kami hidup bersama. Hanya berdua saja. Tanpa kasih sayang dari orang tua. Melangkah menitik kejamnya hidup, tanpa dua sosok malaikat pelindung disisi kami.

Kedua orang tua kami telah lama meninggal dunia. Mereka dibunuh dengan sangat keji. Secara sangat tidak manusiawi. Mereka di tembak mati di depan mata kami. Aku dan Eren menyaksikannya sendiri, dengan mata kepala kami sendiri.

Aku masih tidak dapat mengerti, mengapa sesama manusia bisa saling membunuh hanya untuk kepentingan dirinya sendiri?

Kenapa harus ayah dan ibu kami yang dibunuh?

Apa salah ayah dan ibu kami?

Ayah dan ibu kami bukan orang jahat!

Para pembunuh itu yang jahat!

Mereka semua bukan manusia!

Mereka semua lebih buruk dari binatang sekalipun!

Semenjak peristiwa mengerikan itu, Eren yang mendapat banyak dampak buruknya. Mentalnya sedikit terguncang. Dia menjadi mudah sekali marah. Emosinya mulai tidak stabil. Eren sering kali melakukan tindakan ceroboh yang membahayakan nyawanya sendiri. Dia tidak menyadari akan hal itu. Itulah sebabnya, aku sangat ingin melindunginya.

Aku sangat menyayangi Eren, lebih dari aku menyayangi diriku sendiri.

Aku tidak perduli sekalipun Eren menganggapku sebagai sosok kakak yang terlalu over-protective kepada adiknya, itu semua aku lakukan semata karena aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.

Aku telah bersumpah kepada diriku sendiri, untuk selalu melindungi Eren sampai kapan pun. Meskipun aku harus kehilangan nyawaku sendiri demi melindunginya. Aku tidak lagi perduli.

Bagiku saat ini, tidak ada yang jauh lebih berharga selalin adikku.

Tanpa aku, Eren tidak akan mampu bertahan hidup. Begitupun juga sebaliknya, aku tidak akan mampu bertahan hidup jika harus kehilangan Eren.

Hanya Eren satu-satunya harta paling berharga yang aku miliki saat ini. Satu-satunya keluarga yang aku punya. Dia lah alasan mengapa sampai saat ini aku masih terus betahan hidup.

Mengotori tanganku sendiri dengan menjadi pembunuh bayaran.

Aku melakukan semua ini, demi melindungi Eren.

Dan demi membalaskan dendam atas kematian kedua orang tua kami.


.

.

.

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

[ Cover is not mine ]

a RivaEre Fanfiction Written by Heichouxi

REVENGE

Action, Adventure, Crime, Drama, Romance, Thriller

Rate: M

Warnings: AU, Yaoi/BL/BoyXBoy/MaleXMale, deskripsi agak ngawur, EYD berantakan, bahasa tidak baku, OOC, alur cerita dan sudut pandang yang bergonta-ganti.

.

.

.

Don't Like? Don't Read, Don't Flame.

.

.

.

Enjoy Reading.

.

.

.


Grisha sedang berdiri menatap pantulan wajahnya di hadapan muka cermin datar yang menampilkan sosok bayangan dirinya sendiri. Pria itu terlihat begitu tampan, menggunakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja berwarna putih. Rambutnya yang sedikit panjang, diikatnya ke belakang. Dasi di lehernya sedikit dirapikan. Sebuah arloji dipasangkan pada salah satu pergelangan tangannya.

Selesai!

Sejenak pria itu terdiam.

Dia merasa masih ada sesuatu yang terlupa.

Kacamata!

Usianya memang sudah tidak lagi muda. Sudah lumrah jika orang yang telah berumur diserang oleh penyakit yang bernama pikun. Tangannya lalu menarik sebuah kotak laci kecil pada lemari yang ada disampingnya, dan mengeluarkan sebuah kotak kacamata miliknya. Dia lalu membuka kotak itu dan menggunakan kacamatanya.

Pria itu lalu tersenyum sangat mantap menatap pantulan wajahnya sendiri.

Tanpa disadari, ada sesosok kepala mungil yang menyembul dari balik pintu kamar ruangan itu. Menyaksikan sejak tadi ayahnya berdandan.

"Ayah, kok jam segini sudah cakep aja?" Bocah manis itu bertanya dengan wajah polosnya.

Grisha langsung menoleh ke arah pintu, tersenyum lalu berjalan mendekati jagoan kecilnya. Diusapnya lembut puncak kepala anaknya itu dengan penuh kasih sayang.

"Tumben anak ayah sudah bangun."

"Eren sudah bangun daritadi."

"Sudah mandi dan sarapan belum?"

Bocah manis itu menganggukkan kepalanya dengan sangat lugu. "Eren sudah mandi, dan sudah menghabiskan sarapan buatan ibu."

"Bagus. Itu baru jagoan ayah." Grisha mengusap lembut kedua pipi Eren.

"Ayah mau pergi?" Eren menatap ayahnya.

Grisha tersenyum, lalu mengangguk. "Iya. Ayah ada perlu sebentar."

"Ayah mau pergi kemana?"

Grisha terdiam, lalu berlutut di hadapan anaknya. Menatap Eren dengan penuh kasih sayang. "Ayah mau pergi ke kantor polisi."

"Bolehkah Eren ikut pergi bersama ayah?"

Grisha menggeleng dengan sangat lembut. "Tidak boleh, Eren."

Eren sedikit kecewa mendengar jawaban dari ayahnya itu. "Memangnya kenapa Eren tidak boleh ikut?"

"Karena Eren masih kecil." Grisha tersenyum kembali.

"Jadi kalo Eren sudah besar nanti, baru boleh pergi ke kantor polisi seperti ayah?"

Grisha hanya mengangguk saja mendengar pertanyaan polos dari anaknya itu.

"Kapan ayah akan berangkat?"

"Ayah akan berangkat sebentar lagi. Eren janji tidak boleh bertengkar dengan kakak. Eren tahu kan apa hukumannya kalo berani nakal sama kakak?" Grisha lalu berdiri kembali, sambil menuntun Eren berjalan keluar kamar.

"Dihukum disuruh berjongkok sambil melompat?"

"Nah, makanya Eren harus nurut sama kakak ya? Janji tidak boleh nakal sampai ayah kembali pulang nanti. Mengerti?"

Eren mengangguk mengerti. "Hum..."

"Pintar sekali anak ayah." Grisha mencubit dengan gemas pipi anaknya itu.

Setelah tiba di ruang tamu, Grisha menghentikan langkah kakinya dan menatap ke arah istrinya yang terlihat sedang sibuk menyisiri rambut anak perempuannya.

"Carla, tolong jaga anak-anak sampai aku kembali."

Carla segera menghentikan kegiatannya—menyisiri rambut Mikasa. Lalu berdiri menatap suaminya.

"Sayang, apa kau benar-benar serius ingin melaporkan hasil penemuanmu itu kepada polisi?" Carla sedikit khawatir.

"Penemuanku itu bukanlah sebuah penemuan biasa. Alat yang telah berhasil aku ciptakan ternyata bisa menjadi spionase yang menggunakan bantuan teknologi satelit canggih. Alat itu mampu melihat seluruh isi di dalam dunia, karena softwere yang terpasang di dalam komputer telah terhubung langsung dengan satelit dan semua sistem CCTV di seluruh dunia, sehingga dapat melihat apa yang sedang orang-orang lakukan. Jika alat itu sampai jatuh pada tangan orang yang jahat, maka akan menimbulkan suatu masalah yang sangat besar, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan lebih oleh para penegak hukum."

Mikasa hanya terdiam mendengarkan ucapan ayahnya itu. Gadis kecil itu seakan mengerti dan paham dengan apa yang barusan dikatakan oleh ayahnya.

"Lantas dengan melaporkannya kepada polisi, nyawamu tidak akan terancam?" Carla semakin khawatir.

"Soal itu, aku tidak dapat memastikannya, Carla. Hanya ini satu-satunya cara yang dapat aku lakukan demi keselamatan anak-anak kita juga."

Eren menatap bingung ke arah ayahnya, bocah itu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya.

Carla menarik tangan Eren pelan, dan meminta bocah manis itu untuk ikut dengannya. "Eren, kemari. Ikut ibu. Ayahmu sudah harus pergi."

Eren menatap ke arah ibunya sebentar, lalu berjalan menghampiri ibunya dan berdiri di dekat kakaknya.

"Hati-hati di jalan, sayang. Aku berjanji akan menjaga anak-anak." Carla tersenyum menatap suaminya, sambil memeluk kepala Eren dan Mikasa.

Grisha mengangguk. "Ayah berangkat."

Grisha berjalan melangkahkan kakinya perlahan pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya. Perasaannya sedikit tidak enak. Tapi pria itu tetap memantapkan keyakinannya.

Dengan senyuman yang seolah tidak pernah sirna dari bibirnya, pria itu sekali lagi menoleh ke belakang menatap ke arah Carla, Eren dan Mikasa. Carla hanya dapat tersenyum menatap ke arah suami yang sangat dicintainya, sambil masih terus memeluk kepala kedua anaknya.

Perlahan Grisha mulai pergi meninggalkan ruangan rumah itu. Carla hanya bisa mengantar kepergian suaminya itu sampai ke depan pintu rumahnya saja, lalu kemudian wanita itu kembali masuk lagi ke dalam rumah bersama dengan Eren dan Mikasa.

Saat langkah kaki Grisha telah mencapai pintu pagar pekarangan rumahnya, baru saja pria itu ingin membuka kunci pagar rumahnya. Tiba-tiba saja muncul segerombolan orang-orang asing membawa pistol di tangan mereka. Orang-orang asing itu berjalan mendekati rumahnya. Grisha mengurungkan kembali niatnya untuk membuka kunci pagar rumahnya.

Orang-orang asing itu berdiri tepat di depan pagar rumahnya.

"Siapa kalian dan mau apa?" Grisha memberanikan diri untuk bertanya kepada orang-orang asing itu. Tangannya terlihat mengepal kuat. Keringat dingin perlahan turun dari pelipisnya.

Salah seorang pria bertubuh gempal mengangkat pistolnya, lalu mengarahkan ujung pistol itu ke hadapan Grisha. "Serahkan hasil penemuanmu itu kepada kami."

Grisha mengangkat kedua tangannya ke atas sambil menggeleng, pura-pura tidak tahu dengan apa yang barusan saja dikatakan oleh pria bertubuh gempal itu.

"Penemuan apa yang kau maksud?"

Cih!

"JANGAN BERLAGAK BODOH, KAU PRIA TUA! ATAU AKAN AKU HANCURKAN KEPALAMU ITU!"

Grisha mundur selangkah ke belakang.

Gawat!

Siapa mereka?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Darimana mereka tahu mengenai alat itu?

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Mereka jelas sekali bukan orang baik-baik.

Aku harus melakukan sesuatu.

Aku harus memberi tahu Carla untuk segera membawa anak-anak pergi dari rumah ini.

Sebelum semuanya terlambat!

Grisha lalu dengan cepat memutar badannya berbalik ke belakang, pria itu berlari sekuat tenaga kembali menuju ke pintu rumahnya.

"CARLA! CEPAT BAWA EREN DAN MIKASA PERGI DARI—"

Klik.

CTAR!

"Akh!"

Belum sempat Grisha menyelesaikan kalimatnya itu, kaki kanannya sudah lebih dulu di tembak oleh salah satu dari orang asing itu.

Sial!

Grisha masih terus berusaha berjalan meski kakinya telah tertembak.

Carla tiba-tiba muncul dari arah dapur rumahnya, dan berlari tergopoh-gopoh menuju ke arah pintu.

Wanita itu sangat terkejut bukan main melihat keadaan suaminya.

"Sayang? Ada apa? Apa yang terjadi?"

Carla menatap bingung. Wanita itu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan suaminya.

"CARLA! CEPAT BAWA ANAK-ANAK PER—"

Belum sempat Carla berhasil mendekati suaminya...

CTAR!

Slak.

Bunyi suara tembakan lagi.

Tembakan kedua berhasil menembus dada Grisha hingga pria itu jatuh limbung mencium lantai dengan darah mengalir deras dari lubang di dadanya.

Carla panik bukan main.

Wanita itu langsung menjerit.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

Eren dan Mikasa yang sedang asik menonton acara televisi di ruangan tengah rumahnya itu, medadak terkejut mendengar suara ibunya menjerit bersamaan dengan suara ledakan pistol.

"Itu barusan suara apa?" Eren mendelik menatap ke arah kakaknya.

Mikasa hanya menggeleng tanda bahwa dia tidak tahu.

"Aku ingin melihatnya."

Eren lalu bangkit dari tempat duduknya, dan hendak berjalan ke arah luar.

Mikasa segera menarik tangan adiknya itu.

"Jangan. Biar aku saja yang melihat. Kau tunggu saja disini."

Eren mengangguk. Walau bagaimanapun, Eren masih ingat pesan dari ayahnya tadi pagi, bahwa dia tidak boleh nakal atau membantah perkataan kakaknya.

Mikasa lalu berjalan pergi meninggalkan adiknya itu.

Gadis kecil itu dengan sangat hati-hati mengintip dari belakang lemari besar di dekat ruang tengah rumahnya.

Mata gadis kecil itu membelalak lebar saat melihat sang ayah telah tidak berdaya tersungkur mencium lantai dengan banyak sekali darah membanjiri rumahnya.

Gadis kecil itu mengigit bibirnya sendiri.

Mati-matian menahan diri untuk tidak bersuara, berteriak, atau menangis.

Padahal dia sangat ingin sekali menjerit. Matanya terasa perih menyaksikan apa yang ada di depan mataya.

Carla berjalan terseok-seok mendekati jasad suaminya yang sudah tidak lagi bernyawa. Dipangkunya kepala suaminya itu, sambil terus menangis dan menjerit sejadi-jadinya.

"SAYANG, BANGUN! APA YANG SEBENARNYA TERJADI? SAYANG, BANGUN! BANGUN!"

BRAK!

Bunyi keras itu berasal dari suara pintu pagar pekarangan rumahnya yang di hancurkan dan di buka paksa oleh seseorang.

Carla langsung melempar arah pandangannya keluar rumahnya. Dilihatnya ada banyak sekali orang-orang asing masuk memenuhi pekarangan rumahnya dengan membawa pistol di tangan mereka.

"SIAPA KALIAN SEMUA? DAN MAU APA KALIAN DATANG KEMARI?"

Carla melemparkan tatapan benci ke arah orang-orang asing itu.

"JADI KALIAN YANG TELAH TEGA MEMBUNUH SUAMIKU?"

Orang-orang asing itu hanya diam saja tidak ada yang mau menjawab.

"BEDEBAH KALIAN SEMUA! PERGI KALIAN DARI RUMAHKU!"

Carla terus-menerus menjerit mengusir para orang-orang asing itu untuk pergi.

"Diam saja kau wanita tidak berguna! Cepat serahkan alat itu kepada kami!"

Carla menatap orang-orang asing itu dengan tatapan bingung.

Apa yang mereka maksud?

Alat apa?

Atau jangan-jangan mereka menginginkan hasil penemuan suamiku itu?

"KALIAN TIDAK BERHAK UNTUK MEMILIKI ALAT ITU! CEPAT PERGI KALIAN SEMUA DARI RUMAHKU! SEBELUM AKU PANGGIL POLISI!"

Carla lalu bangkit berdiri.

Tangannya meraih vas bunga di ruangan itu, dan melemparkan vas bunga tersebut ke arah salah satu dari orang asing itu.

PRANG!

Vas bunga itu pecah!

Pecahan kacanya berhasl menyayat salah satu lengan tangan milik orang asing itu. Seketika orang asing itu langsung murka dan mengarahkan ujung pistolnya ke arah Carla.

"DASAR PEREMPUAN GILA! MATI SAJA KAU!"

CTAR!

Glup.

Mikasa menelan ludahnya sendiri.

Rasanya kelu dan pahit.

Gadis itu menggigit bibirnya dengan sangat kuat hingga mengeluarkan darah.

Matanya terasa perih sekali menyaksikan ibunya ditembak mati di depan matanya sendiri.

Peluru dari orang asing itu telah menembus dada ibunya hingga berlubang.

Carla langsung jatuh tersungkur di hadapan jasad beku suaminya.

Darah wanita itu mengalir deras, becampur dengan darah milik suaminya.

"I...ib...u...a...aya...h...ayah...ib...u...ibu..." Mikasa tidak sanggup lagi untuk tidak bersuara. Bibirnya bergetar hebat memanggil ayah dan ibunya.

.

.

.

Eren sudah bosan sekali menunggu kakaknya.

Bocah manis itu terlihat sangat gelisah.

Bola matanya terus bergerak tidak tenang.

"Lama sekali sih."

Bocah manis itu lalu nekat memberanikan diri berjalan keluar menyusul kakaknya.

Eren sudah tidak perduli lagi dengan pesan dari kakaknya tadi, untuk tetap diam menunggu disini.

Saat langkah kaki Eren hampir mencapai ruang tengah rumahnya, bocah itu melihat kakaknya sedang berjongkok di belakang sebuah lemari besar di ruangan itu.

Sedang apa dia berjongkok disitu?

Dengan tatapan bingung, Eren berjalan mendekati kakaknya.

"Kau sedang ap—"

Eren langsung memutus kalimatnya.

Kedua matanya membelalak lebar menyaksikan apa yang tengah dilihat oleh kakaknya.

"Sssh!" Mikasa langsung menarik tangan Eren dan menutup mulut adiknya itu dengan telapak tangannya yang mungil.

"Jangan bersuara! Jangan menangis! Orang-orang itu datang untuk mencuri hasil penemuan milik ayah!"

Tidak mungkin Eren tidak menangis.

Tidak ada satupun anak di dunia ini yang tidak menangis saat menyaksikan kedua orang tuanya tewas.

Terlebih, mereka tewas karena dibunuh!

Eren menangis sejadi-jadinya.

Bocah manis itu sangat terpukul mendengar ucapan kakaknya barusan.

Jika dia bisa bicara.

Jika dia diperbolehkan untuk bicara.

Eren sangat ingin berkata: 'Kau bohong kan? Ayah dan ibu tidak mungkin mati!'

Namun suaranya tidak mampu keluar.

mulutnya ditutup rapat oleh kakaknya.

Eren hanya dapat mengeluarkan air matanya sampai begitu banyak.

Sampai pandangan matanya menjadi buram.

Sampai kedua matanya terasa berat sekali untuk dapat dibuka.

Benarkah ayah dan ibu telah tiada?

Mereka semua telah mati?

Dibunuh oleh orang-orang asing itu?

Lalu dengan siapa aku akan hidup?

Dengan cara apa aku akan mampu bertahan hidup?

Padahal aku sudah berjanji tidak akan menjadi anak yang nakal.

Padahal aku sudah berjanji tidak akan membantah perkataan kakakku.

Aku juga sudah berjanji akan menjadi anak penurut sampai ayah kembali pulang.

Senyuman dari ayah tadi pagi.

Usapan sayang di pipiku dari ayah tadi pagi.

Belaian lembut di kepalaku dari ayah tadi pagi.

Pelukan hangat dari ibu tadi pagi.

Semuanya itu adalah yang terakhir?

Yang terakhir di dalam hidupku?

Yang terakhir sepanjang hidupku?

Aku tidak akan pernah lagi dapat merasakan itu semua?

Aku telah kehilanga kedua orang tua yang sangat aku cintai untuk selama-lamanya.

Bagaimana aku akan mampu menerima semua kenyataan pahit ini?

Aku masih butuh kasih sayang dari mereka!

Cinta kasih dari mereka!

Perlindungan dari mereka!

Perhatian dari mereka!

Kenapa mereka tega pergi secepat ini?

Pergi meinggalkanku... dan juga kakakku...

.

.

.

Mikasa merasakan tubuh Eren bergetar hebat.

Adiknya menangis.

Ya, Mikasa tahu adiknya sangat ketakutan sekarang.

Tidak ada yang bisa dia lakukan selalin hanya bersembunyi bersama adiknya.

Gadis kecil itu hanya bisa terus memeluk adiknya dengan sangat erat.

Mikasa hanya dapat berdoa di dalam lubuk hati terkecilnya: semoga saja semua yang dilihatnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir setelah ibunya membangunkan tidurnya, dan memberikannya sebuah pelukan hangat sambil berkata 'Tidak ada yang perlu kau takutkan, semuanya baik-baik saja.'

Akan tetapi...

Pada kenyataannya...

Semua ini bukanlah sebuah mimpi buruk!

Melainkan sebuah kenyataan pahit yang memang telah menjadi sebuah takdir yang digariskan oleh Tuhan untuknya dan adiknya.

Kenapa Tuhan begitu kejam?

Mungkinkah Tuhan membencinya?

Apakah ini semua adalah hukuman untuknya?

Apa yang telah dia perbuat sampai Tuhan menghukumnya seperti ini?

Tidak!

Tuhan tidak mungkin jahat!

Ibunya selalu berkata bahwa Tuhan akan selalu melindungi siapapun yang tidak bersalah.

Gadis kecil itu percaya, bahwa Tuhan saat ini pasti akan melindungi dirinya dan juga adiknya.

"Jangan takut. Aku akan melindungimu." desisnya pelan, nyaris tidak dapat terdengar.

Mikasa sacara perlahan melepaskan dekapan tangannya di mulut Eren. Lalu menatap kedua bola mata milik adiknya itu. "Eren, dengar. Aku adalah kakakmu, percayalah padaku."

Eren mengangguk. Air matanya masih terus mengalir keluar dari kedua mata indahnya.

"Berhentilah menangis." Mikasa mengusap pelan pipi lembut adiknya.

Sekali lagi, Eren hanya dapat mengangguk.

Mikasa menoleh kembali ke arah orang-orang asing itu.

Orang-orang asing itu perlahan melangkahkan kaki mereka masuk ke dalam rumahnya. Jumlah mereka ada sekitar sepuluh orang. Dan mereka semua memegang pistol.

"Sudah cukup bersembunyinya, dua kutu kecil. Aku tahu sejak tadi kalian disana."

Salah seorang dari orang asing itu membuka mulut. Pria itu bertubuh sangat tinggi, memakai sebuah topi koboi, dan dari sudut bibirnya dia terlihat sedang menghisap sebuah puntung rokok.

Mikasa memberanikan diri melihat ke arah pria itu. Gadis kecil itu perlahan mengintip. Pandangan mata gadis kecil itu langsung berpapasan dengan mata pria itu. Mikasa langsung menyembunyikan arah pandangan matanya lagi. Jantungya berdetak tidak karuan. Tangannya memeluk Eren semakin kuat.

"Keluarlah. Aku berjanji tidak akan menyakiti kalian berdua." Ucap pria bertopi koboi itu.

Mikasa tetap tidak mau keluar dari tempat persembunyiannya.

Gadis kecil itu sama sekali tidak sudi untuk mempercayai perkataan dari pembunuh kedua orang tuanya.

"Bunuh saja mereka juga."

"Iya, buang-buang waktu saja."

"Mau sampai kapan kita akan ada di tempat ini?"

"Perutku sudah mulai mual, tidak tahan mencium bau amis darah."

"Cepat bunuh saja dua bocah tengik itu, lalu kita segera pergi dari sini membawa alat itu."

Para orang-orang asing itu terus-menerus beradu mulut meminta pria bertopi koboi itu untuk segera membunuh Eren dan Mikasa.

"Berisik kalian semua, dasar babi sampah!" Pria bertopi koboi itu menggertak.

"Apa maksud perkataanmu barusan?" Ucap salah seorang berbadan gempal, menatap pria bertopi koboi itu dengan tatapan sengit.

"Sebenarnya aku tidak butuh bantuan kalian semua kalo hanya untuk mendapatkan alat itu, aku bisa melakukannya sendiri. Lalu mencuri alat itu untuk diriku sendiri." Ucap pria bertopi koboi itu.

"Cih! Apa maksud dari perkataanmu?"

Para orang-orang asing itu sejenak saling berpandangan, dan secara bersamaan langsung mengarahkan ujung pistol mereka ke arah pria bertopi koboi itu. "Jadi kau ingin menjadi penghianat?"

Pria bertopi koboi itu hanya terkekeh. Membuang puntung rokoknya ke lantai. Menginjaknya sampai api dari rokok itu mati. Tangannya lalu terangkat ke atas, dan menatap ke arah semua orang-orang itu—yang semula adalah rekannya sendiri.

"Tembak saja aku. Ayo tembak aku sebanyak mungkin!" Pria bertopi koboi itu mengangkat wajahnya, lalu tersenyum bengis. "Tapi jangan salahkan aku jika aku ledakan kepala kalian satu per satu."

Para orang-orang asing itu kemudian saling berpandangan lagi, dan salah satu dari mereka memberi kode dengan tangannya seolah berkata: 'Bunuh saja!'

Temannya yang lain menyetujui.

"DASAR PENGHIANAT! PERGI SAJA SANA KAU KE NERAKA!"

CTAR!

CTAR!

CTAR!

CTAR!

Bunyi suara tembakan terdengar beruntun.

Mikasa menutup kedua telinga Eren dengan sangat kuat. Berharap adiknya tidak merasa semakin ketakutan.

Pria bertopi koboi itu dengan gerakan sangat cepat menghindari satu per satu peluru dari pistol yang mengarah pada dirinya. Berguling. Merunduk. Dan bersembunyi di belakang sofa besar di ruangan itu sebagai alat pertahanan.

"Menyerah saja. Kau sendirian, tidak akan mungkin mampu melawan kami." Ucap salah seoarang pria bertubuh gempal tadi.

Ha

"Babi memang selalu banyak bicara."

CTAR!

Slak.

Peluru yang ditembakan oleh pria bertopi koboi itu langsung tepat mengenai sasaran.

Pria bertubuh gempal itu langsung tewas dengan lubang dikepalanya.

Beberapa rekannya yang menyaksikan hal tersebut langsung mundur selangkah ke belakang.

CTAR!

CTAR!

CTAR!

Slak. Slak. Slak.

Tiga tembakan secara beruntun diberikan oleh pria bertopi koboi itu.

Tiga rekan pria bertubuh gempal tadi ikut tewas juga dengan lubang di dada dan perut mereka.

Sisa lima orang lagi yang masih hidup.

Pria bertopi koboi itu menyeringai. "Maju kalian semua, babi sampah!"

Para orang-orang asing itu semakin bergidik ngeri. Mereka semua perlahan mundur dan semakin mundur ke belakang.

"H-hei, ada apa denganmu? Bu-bukankah kita sepakat akan mencuri alat itu untuk kepentingan bersama? K-kenapa kita malah jadi saling membunuh? Haha."

CTAR!

Slak.

Satu lagi rekannya mati.

"Banyak mulut! Sudah aku katakan tadi. Aku mampu meskipun hanya sendiri untuk mendapatkan alat itu. Kalian tidak lagi aku butuhkan." Ucap pria bertopi koboi itu.

CTAR!

CTAR!

CTAR!

Slak. Slak. Slak.

Tiga orang rekannya mati sekaligus!

Tinggal sisa satu orang lagi yang masih hidup.

"BAJINGAN KAU!"

"Tch. Baru tahu kalo aku ini bajingan?"

CTAR!

Slak.

Pria bertopi koboi itu menembak ke arah orang itu. Tapi tembakannya hanya mengenai tangan kanan orang itu saja. Sehingga orang itu tidak lagi mampu memegang pistol.

"ARRGGHHH!"

Orang itu memekik kesakitan. Pistol yang digenggamnya langsung terjatuh ke lantai. Orang itu masih terus berusaha mengambil pistol itu dengan tangan kirinya.

CTAR!

Slak.

Lagi-lagi pria bertopi koboi itu menembak ke arah tangan kiri orang itu.

"ARRGGHHH! KEPARAT!"

Pria bertopi koboi itu hanya terkekeh.

"Diam saja kau disitu. Aku tidak akan membunuhmu."

"APA MAKSUDMU?"

"Karena hanya kau yang tersisa, semuanya sudah aku habisi."

"LANTAS KENAPA KAU TIDAK BUNUH AKU JUGA?"

Pria bertopi koboi itu tidak mau menjawab, dia malah berjalan mendekati sebuah lemari besar di ruangan itu.

Pria bertopi koboi itu tahu bahwa sejak tadi di balik lemari besar itu ada dua bocah kecil yang sedang bersembunyi dengan sangat ketakutan.

"Kau tenang saja, aku pasti akan membunuhmu juga." Pria bertopi koboi itu berbicara pada orang itu. "Tapi sebelumnya, aku ingin yang membunuh adalah anak ini." Pria bertopi koboi itu lalu memberikan pistolnya kepada Mikasa.

Mikasa terkejut.

Gadis kecil itu tidak mau mengambil pistol itu.

Kedua tangan Mikasa masih terus memeluk Eren dengan sangat kuat.

"Ambilah. Kau atau adikmu. Menurutku sama saja."

Mikasa menggelengkan kepalanya.

"Kenapa kau tidak mau?"

Kedua tangan gadis kecil itu mengepal.

Tatapan matanya penuh kebencian menatap ke arah pria bertopi koboi itu. "Kau adalah pembunuh!"

"Pembunuh siapa?"

"Kau pembunuh kedua orang tuaku!" Mikasa setengah memekik.

Pria bertopi koboi itu lalu berjongkok di hadapan dua bocah kecil itu.

"Hey, nak. Yang telah membunuh kedua orang tuamu, menembaknya sampai mampus, bukan aku. Tapi orang itu!" Pria bertopi koboi itu menunjuk ke arah orang yang sengaja dia biarkan tetap hidup.

Mikasa menatap bengis ke arah orang yang ditunjuk oleh pria bertopi koboi itu.

"Sekarang ambil pistol ini, dan tembak orang itu sampai mampus. Dia adalah pembunuh kedua orang tuamu." Ucap pria bertopi koboi itu.

"Ta-tapi... a-aku... tidak... bisa." Mikasa tetap menolak.

"Kalau begitu, biar adikmu saja yang melakukannya." Pria bertopi koboi itu lalu menyodorkan pistolnya kepada Eren.

"Adikmu sepertinya lebih berani dari dirimu."

Mikasa mendelik melihat Eren yang berniat ingin mengambil pistol itu.

"Tidak! Jangan berikan pistol itu kepada adikku! Biarkan aku saja yang melakukannya!" Mikasa lalu dengan cepat merebut pistol tersebut dan mengarahkan ujung pistolnya ke arah kepala orang asing yang telah membunuh kedua orang tuanya.

Pria bertopi koboi itu tersenyum. Sebelah alisnya terangkat.

"Bagus. Kau pasti bisa melakukannya."

"TIDAK! JANGAN TEMBAK AKU!" Orang itu menjerit ketakutan dan mulai berusaha untuk melarikan diri.

Kedua tangan Mikasa terasa bergetar sangat hebat.

Tangannya terasa kaku dan tidak mau bergerak.

Jari tangannya seperti mati rasa.

Kedua telapak tangannya terasa dingin sekali.

Dia belum pernah melakukan hal semacam ini.

Dia belum pernah diminta untuk membunuh seseorang.

Dia belum pernah mengerti bagaimana caranya memegang pistol.

Dia tidak pernah tahu bagaimana caranya menembak.

Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Dia tidak mau kalo Eren yang harus melakukannya.

Dia tidak ingin Eren menjadi pembunuh.

Dia hanya perlu fokus.

Orang itu yang telah menghabisi nyawa kedua orang tuanya.

Menembak mati ayah dan ibunya di depan matanya sendiri.

Ya, orang itu adalah pembunuh!

Hutang nyawa, harus dibayar dengan nyawa!

"KAU HARUS MATI!"

CTAR!

Slak.

Satu peluru mendarat mulus di kepala orang itu.

Melubangi kepalanya sampai bolong.

Orang itu langsung tewas seketika dengan darah yang mengalir deras dari lubang di kepalanya.

Pletak.

Pistol yang dipegang oleh Mikasa langsung terlepas dan terjatuh ke lantai.

Apa yang baru saja aku lakukan?

Aku baru saja menembak seseorang?

Aku baru saja menjadi pembunuh?

Mikasa terus memandangi telapak tangannya sendiri.

Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.

Prok. Prok. Prok.

"Luar biasa! Ternyata benar dugaanku. Kau dan adikmu mungkin saja memang ditakdirkan untuk menjadi seorang pembunuh."

Mikasa menatap penuh ketakutan ke arah pria bertopi koboi itu. "Apa maksudmu?"

"Jangan takut padaku. Aku berjanji tidak akan menyakitimu ataupun adikmu."

Mikasa tetap tidak mau mempercayainya.

"Dengarkan aku. Ayahmu adalah orang yang sangat hebat, dia telah berhasil menemukan teknologi super canggih yang dapat merubah sejarah dunia. Ayahmu telah menciptakan sebuah alat yang luar biasa, sebuah softwere yang terpasang di dalam komputer yang terhubung langsung dengan satelit. Sehingga dapat menampilkan wilayah sebuah kota, jalan, gedung, dan bahkan bagian di dalam gedung tersebut. Aku akan mengajarimu dan juga adikmu bagaimana caranya menggunakan alat itu. Mulai sekarang, kalian akan aku latih untuk menjadi pembunuh bayaran agar kalian tetap bisa beratahan hidup. Karena mungkin akan ada banyak sekali orang jahat diluar sana yang sangat menginginkan teknologi hasil penemuan ayahmu itu. Kalo kalian tidak ingin mati konyol, kalian tentu saja harus mengerti bagaimana caranya agar kalian tetap mampu bertahan hidup."

"Atas dasar apa aku harus mempercayai ucapanmu?" Mikasa menatap pria bertopi koboi itu masih dengan tatapan curiga.

"Kau boleh saja tidak mempercayaiku. Aku tidak akan membunuh kalian berdua. Aku bisa saja pergi meninggalkan kalian berdua disini. Setelah aku pergi, apa yang akan kalian lakukan? Bagaimana jika ada penjahat lain yang mungkin saja datang untuk mencuri alat itu? Lalu membunuhmu? Dan juga adikmu? Apa yang dapat kau lakukan?"

Mikasa hanya terdiam.

Gadis kecil itu tidak tahu harus menjawab apa.

Walau bagaimanapun, yang dikatakan oleh pria bertopi koboi itu ada benarnya juga.

Tapi Mikasa tidak ingin kalo Eren harus menjadi pembunuh.

"Aku tidak mau adikku menjadi pembunuh."

"Lalu?"

"Biar aku saja yang menjadi pembunuh."

Eren mendelik menatap kakaknya. Tapi bocah manis itu tidak berani berbicara.

"Baiklah. Aku akan mengajarkan adikmu menjadi seorang hacker sekaligus specialis spionase, sehingga dia dapat menggunakan teknologi penemuan ayahmu itu dan bisa membantumu ketika dirimu dalam bahaya. Kalian berdua dapat saling bekerja sama nantinya. Bagaimana?"

Mikasa nampak berpikir sejenak.

Gadis kecil itu lalu kemudian mengangguk. "Baiklah."

"Tapi untuk berjaga-jaga, aku tetap akan mengajari adikmu bagaimana caranya menembak. Walau bagaimanapun, adikmu tidak akan selalu bergantung pada kemampuanmu."

Mikasa awalnya sedikit ragu, meski pada akhirnya dia setuju.

"Percayalah padaku."

"Dengan apa aku harus memanggilmu?"

"Panggil saja dengan namaku."

"Aku tidak tahu siapa namamu."

"Kau sendiri, siapa namamu?"

"Mikasa."

"Lalu adikmu?"

"Eren."

"Hm."

"Lalu kau, siapa namamu?"

Pria bertopi koboi itu lalu berdiri.

Mengambil beberapa puntung rokok dari dalam saku bajunya.

Menyulut ujung rokok itu dengan korek api.

Menghisap asap beraroma tembakau, dan menghembuskannya lagi keluar dari mulutnya.

Menyelipkan rokok itu di antara jari tengah dan telunjuk.

Pria itu lalu melepas topi koboi miliknya.

Dan tersenyum ke arah Eren dan Mikasa.

"Panggil saja aku, Kenny."

.

.

.

To be continued.


Ini baru prolog.

Cerita yang sesungguhnya masih belum dimulai.

Tadinya mau saya bikin jadi oneshoot tapi takut terlalu panjang, jadinya saya bikin prolognya dulu tidak apa-apa ya? Chapter selanjutnya mungkin akan lebih panjang dan masih dalam proses pengetikan(?)

Saya mohon maaf jika masih banyak terdapat kesalahan kata atau kalimat.

Semoga di chapter selanjutnya bisa jauh lebih baik lagi xD

Kritik atau saran saya terima dengan senang hati.

Salam manis.

Heichouxi-