The Blue Butterfly : The Warmth of Life

Chapter 1

Fate Of The Unknown


'Aku tau

Semua yang terjadi di dunia ini

Adalah takdir yang telah ditentukan oleh Langit

Apakah itu takdir yang didapati itu menyakitkan

Atau bisa juga menyenangkan

Terima atau tidak menerima takdir itu kita tak bisa

Melakukan apapun selain menghadapinya

Karena semua itu akan jadi kenangan yang memiliki arti besar dalam hidup.'


Normal POV

Begitu putih...

Sepasang manik merahnya yang besar itu tertuju kepada benda putih dari langit. Ia tidak dapat menghitung berapa banyak butiran salju yang turun. Tetapi bibir merah jambunya memunculkan senyuman. Dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya dan butiran salju itu berjatuhan di atas tangannya yang lembut dan hangat.

"Indah sekali..." gumamnya. Suaranya begitu lembut dan kecil.

Ia mendengar suara tawa anak-anak yang sedang bermain salju, mereka mengumpulkan benda putih itu sehingga mereka bisa membuat boneka salju yang besar. Wanita muda itu berjalan perlahan mendekati anak-anak itu dengan senyuman di wajahnya.

Namun...

"..." Anak-anak itu berhenti dan menatap wanita itu ketakutan. Ia berhenti, dengan sekejap senyumannya menghilang. Anak-anak itu pun berlarian untuk menjauhi wanita itu.

Ia menurunkan matanya, tak bisa mengatakan apapun. Lalu ia menatap boneka salju yang setengah jadi. Dia mendekat dan menyentuhnya. Dia mengumpulkan salju disekitarnya dan menyelesaikan boneka salju itu hingga siap.

"Maaf." gumamnya.

Angin yang dingin berhembus ke arah wanita tersebut, tapi dia masih menikmatinya, dia tidak terganggu sama sekali. Sambil menyelesaikan boneka salju, ia bersenandung dengan lembut. Tiada orang satu pun yang mendengar suara merdunya.


Wei Territory

Seorang pria melipat tangannya sambil menatap tetesan salju yang turun dari langit dari dalam ruangan. Dipenuhi dengan rak buku serta meja dan kursi yang tersedia di ruang kerja tersebut.

TOK TOK

"Tuanku. Saya sudah membawakan apa yang Tuan perintahkan pada saya." Pria itu yakin kalau orang itu adalah prajurit.

"Masuklah." sahutnya.

Prajurit tersebut pun masuk ke dalam dan kembali menutup pintunya. Dia membawakan beberapa gulungan yang dimasukkan ke dalam kotak tanpa penutup diatasnya dan menaruhnya di atas meja.

"Maafkan hamba bila informasi yang hamba dapat tidak memuaskan."

"Tak apa. Kau sudah bekerja keras. Kembalilah." Pria itu mengambil salah satu gulungan sambil tersenyum puas.

Prajurit itu memberi hormat dan keluar meninggalkan ruangan.

Ruang kerjanya kembali tenang. Ia menatap gulungan yang ada di tangannya, penasaran informasi apa yang didapat oleh prajuritnya itu. Ketika ia hendak membuka gulungan, pintu ruangannya terbuka.

"Tuanku, hamba sudah membawakan arak yang Tuan minta." Seorang dayang muncul memasuki ruangannya dan menaruh teko dan cawan diatas mejanya.

"Tidak."

Dayang itu menatap bingung pria itu. "...?"

"Aku tidak mau meminumnya hari ini karena kehilangan selera. Lalu, kenapa kau tidak mengetuk pintu terlebih dahulu?"

"...! M-Maafkan hamba, Tuanku!" Dayang itu langsung berkowtow meminta ampun. "Maafkan atas kelancangan saya!"

Pria itu hanya menghela napas. "Bawa arak itu dan pergilah."

"B-Baik..." Dayang itu bangun dan membawa teko dan cawan diatas baki. Ia memberi hormat lalu kembali meninggalkan ruangan.

Pria berambut pirang itu menaruh telapak tangan kanannya di dahi dan menggeleng kepala. "Ada apa denganku hari ini..." Ia menghela napas.

Kemudian ia membuka tali gulungan tersebut dan mulai membaca. Dia menaikkan kedua alisnya. "...dari desa Xi Jiang? Bukankah desa itu sudah lenyap...? Apa hanya dia yang satu-satunya yang selamat?"

Ia tersenyum sedih dan kedua matanya tertutup. "Gadis yang malang." Ia kembali membuka matanya dan menatap langit-langit.

Tiba-tiba, rasa nyeri yang amat sakit menusuk dadanya. "Ugh...!" Ia bahkan sempat juga terkekeh. "Waktuku memang tidak banyak ya..."


Besoknya...

Angin mengibarkan rambut indahnya yang berwarna merah kecoklatan. Ia bersenandung sambil menatap para prajurit yang sibuk untuk bersiap-siap perang nanti.

"Sepertinya nona menyukai hadiah yang kuberikan ya. Nona Xujie."

Gadis yang dipanggil 'Xujie' itu menoleh. Ia tersenyum kecil. "Um. Aku akan menyimpannya dengan baik." Ia menyentuh ornamen yang dipasang pada rambutnya yang diikat ekor kuda tinggi.

Wanita itu tersenyum. Ia berdiri di samping gadis itu.

"Uhm... Nona Diao Chan, bolehkan aku bertanya?"

"Tentu." Wanita itu menatapnya

"...Apakah nona tau kapan perang akan usai?"

Wanita bernama Diao Chan itu menghindari kontak mata dengan gadis itu. Ia menurunkan kepalanya. "Itu... pertanyaan yang sulit."

"Ah. Maaf... Aku tiba-tiba menyanyakan hal yang aneh."

"Tidak apa kok. Dan juga, kenapa nona terus berkata 'Maaf'?"

"Eh ah... S-Soalnya aku takut..." Xujie menggeleng kepalanya. "...aku takut dibenci..." bisiknya.

Tetapi suaranya yang begitu lembut dan kecil dapat didengar oleh wanita anggun itu. Ia tertawa kecil. "Nona jangan sensitif seperti itu. Dan tidak mungkin kan kalau aku membenci nona hanya karena bertanya tentang itu." Ia memegang kedua bahunya. "Tapi, walaupun kita tidak tau kapan perang ini akan usai. Berdoa saja kepada Tian agar semuanya dapat berakhir dengan cepat. Aku pun juga tak ingin melihat tumpahan darah."

"...um." Xujie mengangguk pelan.

.

.

.

"Hah, dimana musuh-musuhku. Kenapa mereka belum muncul juga. Ini sungguh membosankan."gerutu pria yang memiliki armor berat hitam, Lu Bu.

"Saya yakin mereka sudah sampai. Dan... sebentar lagi akan dimulai." sahut pria yang merupakan strategis pasukan Lu Bu, Chen Gong.

"..." Xujie hanya diam seribu kata, dia tak berani menatap atasannya. Dia memegang dagger-axe nya erat.

"Nona Xujie? Kalau nona tidak kuat, nona boleh di sini saja."

Xujie menggeleng. "T-Tidak. Aku juga mau bertarung, aku ingin membantu."

Chen Gong menghela napas. "Nona, jangan memaksakan diri. Jika kau masih ragu, kau bisa mati di medan perang nanti."

Xujie ketakutan untuk menjawab dan masih tak berani mengangkat kepalanya. "A-aku akan berusaha agar tidak membebani Tuan. Maafkan aku..."

"Kau yakin, Nona Mei Xujie?" tanya Zhang Liao untuk meyakinkan jawabannya.

"Ya, tuan..." Xujie mengangguk.

"Hmph. Apa, semua semut yang akan muncul aku yang akan menghancurkannya. Aku akan selalu berada di garis depan."

Diao Chan tersenyum akan ucapan Tuannya. 'Aku tau Tuan Lu Bu juga mencemaskan keselamatannya.' Lalu ia menoleh ke arah gadis bermanik merah itu. "Kalau begitu, Nona Xujie akan ikut bersama kami 'kan?" Diao Chan tersenyum lembut untuk menghiburnya. "Percaya pada kami dan juga jangan ragu pada diri, Nona..."

"..." Kedua matanya melebar. Ia mengeratkan genggamannya pada senjatanya tersebut. "Ya!" Xujie tersenyum.

Tiba-tiba seorang prajurit pembawa pesan berlari untuk menghadap Tuannya. Ia berkowtow, "Tuanku! Pasukan Cao Cao dan Liu Bei sudah menyerang beberapa markas! Lalu kami mendapat laporan bahwa mereka akan menghancurkan bendungan untuk membuka gerbang kastil!"

"Bagaimana menurutmu, Tuanku?" tanya Chen Gong dengan nada tenang.

"Biarkan mereka lakukan apa yang mereka suka. Aku tidak peduli asalkan aku bisa menghancurkan mereka semua."

"Saya mengerti. Kalau begitu, perintahkan semua pasukan untuk berdiri pada posisi mereka." Perintah Cheng Gong.

"Baik!"

"Baiklah, kita juga harus langsung berada di posisi. Nona Xujie, berhati-hatilah."

"Ya. Nona Diao Chan juga." Xujie mengangguk.


"Nona. Apakah nona baik-baik saja?" tanya salah satu prajurit cemas.

"Aku tidak apa. Hanya saja... pikiranku terasa mengganjal. T-Tapi tidak perlu cemas." Ucap Xujie agar tidak mengecewakan pasukannya.

'Apa ini... kenapa perasaanku jadi tidak enak... Aku terpisah dari Nona Diao Chan, aku jadi tidak tau bagaimana keadaannya. Tuan Lu Bu dan yang lainnya...'

Xujie menggeleng kepalanya.

'Tidak, Nona Diao Chan bilang aku harus percaya pada mereka.'

Ia menghela napas.

'Tian... Kumohon."

DRRRRRRR

ZRAAAASSSSSHHH

Tiba-tiba, suara air yang begitu amat deras mengenangi depan gerbang timur dimana Xujie beserta pasukannya berada.

"Bendungannya sudah dihancurkan...!"

"Nona! Kita harus berlindung di tempat yang aman!"

"Y-Ya!" Xujie berlari menuju gerbang atas dimana ballista dan pasukan panah mengambil posisi. Ia berusaha untuk berlari secepat yang ia bisa.

"AH!" Xujie tersandung membuatnya sulit berdiri.

"Nona!"

Arus air semakin kencang dan segera menghancurkan gerbang timur.

"...Tidak."


A/N : Halo! Scarlet dan Blossom kembali hidup! *dibunuh* Kami udah selesai magangnya, tapi dua minggu lagi mau Ujian Semester. Ampun, jadwalku sempit tapi akhirnya bisa juga angsurin fic baru ini.

Oh iya, ini bukan rewrite dari TBB yang original. Tapi bedanya disini gak ada supernaturalnya. Dan mengikut jalan cerita di game atau sejarah. Tapi aku dan readers juga yakin kalau ceritanya bakal ada yang melenceng... /walah

Dan juga saya sempat bikin doujinshi di akun facebook saya. Kakternya? Tentu saja Xujie x Guo Jia pastinya dong. Ngeheheh, kalau penasaran boleh add saya. :3

Okeh, sekian saja dari saja. Kalau ada apa-apa kirim dari review bawah ini langsung atau secara private juga boleh~

Yak, sampai jumpa di chapter depan! Mungkin akan disambung bulan baru nanti.

Oh ya, saya lupa. Ini sebagai hadiah ulang tahun saya kepada diri saya sendiri tapi ini baru tanggal 4! Harusnya besok! Apa boleh buat.

Kali ini beneran, see ya! Jangan lupa review!