Disclaimer : Kuroko no Basket bukan milik saya.

Rated : T

Pairing : AkaKuro

Genre : Poetry/Romance

Warning : Alternate Universe.

Summary : "Sekilas, dari sedikit celah aku memandang, menangkap sosok bayangan tak teralih." AkaKuro. Walt Whitman's Poem Drabble.

A/N : Entah kenapa akhir-akhir ini bawaan saya ingin menulis cerita dari puisi dan syair-syair indah abad 19. Walt Whitman untuk cerita ini. Entah kenapa dari beberapa puisi dan syair beliau yang saya baca, liriknya begitu mencorong ke homoseksualitas. Tapi perkara ia seperti Oscar Wilde yang ditahan karena orientasi seksualitasnya saya tidak tahu, ia mungkin lebih terkenal sebagai penyair dengan orientasi biseksual.

.


A Glimpse

(Memandang Sekilas)

Disadur dari syair puisi dengan judul serupa oleh Walt Whitman

Pair : AkaKuro

By Mikurira


.

.

Sekilas, dari sedikit celah aku memandang, menangkap sosok bayangan tak teralih.

Di antara suara tawa para pekerja yang duduk, dengan bir-bir di tangan, para pemabuk dan orang-orang dalam bar tua itu mengabaikannya. Tak bisa berhenti memandang—sosok di sudut pemanas tersenyum, tanpa niat yang tulus pada mereka.

Musim dingin malam itu, aku terduduk di ujung meja panjang bar, membenarkan cara dudukku dan kembali melirik, memandang sekilas, ke arah merah manik yang berjalan mendekat. Terus mendekat. Hingga duduk di sampingku.

Tangannya menggantung di udara, menyentuh sedikit punggung tanganku. Listrik mengejutkan syarafku.

"Vanilla Shake," ucapnya, tanpa memandang ke arahku. Aku suka. Aku suka Vanilla Shake. Sengaja? Wajahku memanas.

Pemilik bar tertawa, "kau bercanda, Akashi, tidak biasanya kau pesan itu,"

Pria itu tersenyum.

Akashi. Akashi namanya.

Sekali lagi, sekilas aku meliriknya, dengan segelas Vanilla Shake di tanganku, tak berniat memandangnya lama—mencuri lihat, hanya untuk menangkap sosok itu.

Suara teriakan para pecundang dan pemabuk menggelora. Tawa dan kata-kata kotor cabul mengudara. Menggelitik syaraf inosen yang tidak pernah mendengarnya. Aku masih di tempat, bergelut dengan suara-suara yang tak ingin kudengar. Pria di sebelah berdeham. Aku teralih padanya.

"Musim dingin minggu ini dingin," ucapnya memandang lurus. Bukan, bukan padaku.

"Dan para pemabuk barbar itu selalu kemari," sang bartender menjawab, "kotor—tapi apa boleh buat, keheningan dalam bar jauh lebih memusingkan," komplainnya menaruh minuman serupa milikku di hadapannya.

Tak ada lagi perbincangan kemudian.

Kami hanya duduk diam. Berdua. Mendengar celoteh kicauan yang datang dan pergi. Suara gelas-gelas yang dibanting ke meja, kursi-kursi yang terdorong ke depan dan ke belakang. Mataku tak lepas dari biru putih minuman di atas meja. Tak berniat memandangnya.

Kami hanya duduk diam. Berdua. Bahagia hanya dengan duduk bersama. Tidak berbicara sepatah dua patah kata. Memandang sekilas, aku melirik ke arahnya. Manik merah tertangkap. Mataku membulat.

Dia tersenyum, sedang memandangiku.

.

.


A/N : Sedikit catatan, bagi yang penasaran dengan puisi karya Walt Whitman dalam cerita ini, bisa dicari di google dengan judul yang sama. Untuk yang sudah pernah baca, anda pasti menyadari bahwa cerita ini berakhir berbeda dengan puisinya. Tentu, karena syair dan puisi yang menggantung kurang bisa diceritakan. Tapi juga tidak menutup kemungkinan untuk menuliskannya dengan menggantung. Dan rasanya saya kurang puas kalau menulisnya hanya sampai situ (?) jadi akhirnya malah membuat yang seperti ini. Sama saja sih, haha—tapi yasudahlah.

Review?