THE WEDDING – Chapter 1

Threeshoot fanfic.

Pairing: Kakashi Hatake x Anko Mitarashi. Ibiki Morino. Kurenai x Asuma.

Anime/Manga: Naruto

Genre: Drama, Romance, Hurt/Comfort, Friendship, Fluff.

Disclaimer: Masashi Kishimoto-sensei

Rate: maunya si M, tapi Rate T jg boleh deh.

Warning: OOC, OTP, miss typo.

.

.

.

Anko Mitarashi sedang duduk dengan santai di ruangannya. Sebuah kursi kayu dengan meja di hadapannya. Pada meja berukuran sedang itu terdapat beberapa hal. Mulai dari buku, kertas-kertas yang bertumpuk, vas bunga kecil, dan –oh, rupanya tidak ada. Tidak ada sebuah pigura kecil yang biasanya berisikan sebuah foto.

Gadis itu kemudian menyandarkan punggung dan bahunya kepada sandaran kursi. Ah, benar-benar hari yang melelahkan sebagai seorang Jounin. Anko mengubah sudut pandangnya. Ditatapnya jendela yang cukup lebar yang terletak di belakangnya. Dari jendela itu terasa angin sejuk yang berdesir, benar-benar membuat nyaman dan terasa begitu menyegarkan.

Dari jendela lebar itu pula bisa terlihat pemandangan desa Konoha. Cukup indah. Apalagi jika otak sedang memerlukan refreshment seperti yang dirasakan Anko kali ini. Atap-atap rumah, bangunan tinggi, hijaunya pepohonan, bahkan birunya langit pun terlihat dari jendela itu. Memiliki ruang kerja di lantai tiga ternyata tidak terlalu mengecewakan.

"Hei, Anko! Kau di sini rupanya!" sapa Kurenai sumringah sambil berjalan cepat menuju arah Anko. Anko mengalihkan pandangannya dengan kedatangan temannya itu. Kurenai, cantik seperti biasanya. Dengan warna lipstick yang merah menyala, wanita itu kemudian berkata kepada Anko.

"Selamat ya, Anko!"

Apa? Anko bingung. Begitu datang kenapa Kurenai langsung mengucapkan selamat kepadanya? Apa ia baru saja masuk kandidat dalam pemilihan Hokage berikutnya?

"Selamat apanya?"

"Kudengar, malam ini ada yang akan melamarmu!"

Apa?! Melamar?!

"Gosip dari siapa lagi, kali ini?" Tanya Anko berusaha tetap tenang. Setenang para selebritis yang seringkali mendapati berita miring tentang diri mereka.

"Entahlah, bahkan Asuma juga mengetahuinya! Sekali lagi selamat ya, Anko! Kau harus melewati malam ini dengan tampil sempurna!"

Kata-kata Kurenai memang cukup membius. Anko terpaku. Hampir tidak percaya dengan cerita Kurenai. Benarkah ini?

"Pria yang kau idam-idamkan akhirnya datang juga! Aku berdoa semoga semuanya lancar, dan kau bisa berbahagia dengannya!" ucap Kurenai lagi masih penuh dengan keceriaan. Siapa yang tidak bahagia jika sahabatnya akan segera melepas masa lajangnya dengan pria yang sudah tidak asing lagi di mata mereka.

Kakashi. Kakashi Hatake. Kakashi Hatake akan melamar Anko. Sungguh sesuatu hal yang luar biasa. Ini adalah keajaiban tingkat tinggi!

Wajah Anko memerah. Membayangkan Kakashi yang datang kerumahnya, dan dengan gentle meminta Anko untuk menjadi istrinya. Oh, sungguh roman indah yang gila. Terlalu indah. Terlalu indah untuk jadi kenyataan.

Kakashi! Aku pasti akan menerima lamaranmu!

.

.

.

Burung-burung kecil bersiul dengan asyik di sekitar atap akademi Konoha. Tepat di dekat ruangan di mana terdapat dua orang manusia saling bercakap-cakap.

"Huwaaaaaaaaaaaaa! Aku tidak maauuuuuuuuuu!" sebuah jeritan yang heboh. Tepatnya, diselingi dengan tangisan. Tangisan yang hiperaktif. Dan itu tak lain adalah Anko Mitarashi.

Di sampingnya duduk sahabat dekatnya, Kurenai. Kurenai memandang Anko dengan tatapan prihatin dan penuh rasa bersalah.

"Sudahlah Anko, jangan berlebihan begitu…." Ucap Kurenai mencoba menenangkan Anko yang mulai gila. Gila karena tenggelam dalam kesedihan.

"Aku tidak mau menikah dengan Ibiikiiiiiiii!" jerit gadis itu lagi. Semakin memekakkan telinga. Beruntung, di sekitar sana sedang sepi. Jika tidak, bisa dibayangkan betapa terganggunya orang-orang dengan jeritan histeris Anko.

Kurenai tersenyum dengan penuh sesal. Kasihan Anko, batinnya.

"Kurenai, aku pikir yang kau maksudkan waktu itu adalah Kakashi! Kenapa malah Ibiki yang datang?! Kenapa? Kenaapaaaa!?" cerocos Anko masih dengan penuh air mata. Bagaikan menyemburkan api kepada Kurenai. Kurenai kewalahan menghadapi suara melengking yang begitu berisik dari mulut Anko itu. Wanita yang ganas seperti ular.

"Aku benar-benar minta maaf, Anko.. Aku juga berpikir kalau itu adalah Kakashi" Kurenai mencoba memberi penjelasan perihal informasi yang sempat ia beritahukan pada Anko beberapa hari yang lalu. Ya, saat itu ia datang dan memberikan ucapan selamat kepada Anko. Ia mendengar selentingan kabar burung jika akan ada pria yang melamar Anko. Dan ia mengira pria itu adalah Kakashi.

Siapa sih yang tidak mengira bahwa itu adalah Kakashi? Anko dan Kakashi adalah dua insan yang bisa dibilang cukup dekat. Keduanya memang kerap bersama. Jika Kakashi duduk pada suatu bangku, maka Anko akan menyusulnya untuk berada di sampingnya. Begitupun sebaliknya. Mereka memang dekat. Namun dari sisi sang wanita, kedekatan itu melibatkan sebuah perasaan. Ia bermain hati.

Anko menangis sesenggukan. Meratapi betapa malangnya nasibnya saat ini. Tepat tadi malam Ibiki datang kerumahnya dan mengatakan sebuah hal yang sangat indah. Tetapi bagi Anko, itu bukanlah sesuatu yang romantis. Ia tidak menginginkan pria itu. Ia tidak mencintainya!

"Lalu Anko, bukankah seharusnya kau bisa menolaknya?" Kurenai mencoba memberikan Anko sebuah opsi. Atau, paling tidak, gadis itu bisa berhenti menangis.

"Aku memang menolaknyaa…." Jawab Anko masih dengan kesedihan dan keputusasaan yang mendalam.

"Tetapi nenek menerimanya! Memaksaku juga untuk menerimanya!"

"Oh!" Kurenai sedikit kaget mendengarnya.

"Nenek bilang, jika aku tetap tidak menerimanya, ia akan membuatku pensiun sebagai seorang shinobi!"

Apa? Mulut Kurenai ternganga. Bagaimana bisa? Ancaman itu –sesuatu yang kejam!

Menjadi shinobi adalah sebuah keputusan. Sebuah jalan yang sulit untuk ditempuh. Namun konsekuensi yang ada padanya sebanding dengan rasa kecintaan yang tinggi terhadap perdamaian dunia. Menjadi shinobi bukanlah sebuah permainan! Anko tahu itu, dan sampai matipun ia akan memegang teguh jati dirinya sebagai seorang shinobi Konoha. Itu adalah harga mati.

Kurenai menelan ludah. Sepertinya jalan hidup Anko kembali mendapati sedikit kesulitan. Dijodohkan dengan Ibiki. Dipaksa menikah dengan pria tinggi besar menakutkan dengan goresan luka di wajah dan kepala penuh bekas luka mengerikan itu.

Ibiki memang pria yang tampak luar biasa. Berwibawa, dan samasekali tidak bisa diremehkan. Seorang shinobi penginterogasi yang memang memiliki aura cukup menakutkan. Sementara Kakashi yang fisiknya tidak sebesar Ibiki selalu tampil santai, sumringah dan membawa sebuah buku kecil kemana-mana. Tetapi jangan membandingkan keduanya. Kemampuan keduanya adalah sama hebatnya. Malangnya, Anko telah lebih dulu jatuh cinta pada pria bertopeng yang rambutnya berwarna perak itu, Kakashi Hatake.

Lelaki santai yang terkadang terkesan kurang macho. Bahkan lebih dekat dengan aura mesum. Namun semua orang tahu bahwa Kakashi adalah jounin elit terbaik Konoha yang hampir sempurna. Ya, buku Icha-Icha itulah yang mengurangi kesempurnaannya.

Anko masih menangis. Kali ini kembali bersuara dengan kencang.

"Huwaaaaaaaa! Pokoknya aku tidak maaaauuuuu!"

Kurenai kewalahan setengah mati. "Berhentilah menangis, Anko. Aduuuh…"

.

.

.

"Waah, Anko sensei akan menikah dengan Ibiki sensei! Benar-benar pasangan yang sama-sama sangar dan mengerikan! Hahahaha!" Naruto Uzumaki si bocah tengil mengeluarkan sebuah ledekan kepada Anko ketika gadis itu tengah lewat di depannya. Sontak saja anak berambut kuning itu menjadi pusat pelampiasan kejengkelan Anko. "Diam kau, dasar bocah jeleeek!"

Dan –duakk. Kepala Naruto pun benjol-benjol dengan parahnya. Rambut yang sama persis dengan milik mendiang Yondaime itu langsung dihiasi oleh bulatan-bulatan merah muda yang memprihatinkan.

"A-ampuun senseeei!" Naruto memohon ampun pada gurunya yang galak itu.

"Masih mau mengejek lagi, hah! Rasakan iniii!" Anko berniat menghadirkan jotosannya lagi pada Naruto. Anak itu benar-benar membuatnya kesal. Tetapi Naruto keburu lari.

"Apa? Jadi yang akan menikah dengan Anko itu si Ibiki?" Tanya Iruka setengah terkejut. Ia sedang bersama Asuma, rekannya yang juga merupakan teman seperjuangan Anko dan Kakashi. Dari kejauhan mereka masih bisa melihat Naruto yang dikejar oleh Anko yang sedang marah-marah.

"Yah, begitulah katanya. Apa kau baru mengetahuinya?" Tanya Asuma tanpa menghentikan kegiatan menghisap rokoknya.

"Iya. Wah, kalau begitu..bagaimana nasib Kakashi ya?" Iruka merasa simpati dan prihatin pada Kakashi.

"Aku juga tidak tahu!" sahut Asuma sekenanya.

.

.

.

Teringat dengan begitu jelas di kepala Kurenai, saat dahulu Anko masih mengejar-ngejar Kakashi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kunoichi satu itu memang menyukai dan mengagumi Kakashi. Kakashi yang –wibawanya kadang terlihat sangat kurang itu. Tiada hari bagi Anko untuk mencari dan segera berada di dekat Kakashi. Baginya, seniornya itu sangat memukau. Meskipun kerap memegang buku Icha Icha Paradisenya yang kurang sopan itu, Anko tidak pernah menyurutkan semangatnya dalam mendekati pria itu.

Terang saja, kegigihannya membuahkan hasil. Kakashi yang sering merasa jengah pada Anko yang selalu lengket padanya, akhirnya merelakan gadis itu untuk menjadi penggemar sejatinya. Sampai akhirnya Anko dengan terang-terangan menyatakan cinta. Dan apa jawaban Kakashi? Setelah terdiam cukup lama untuk berfikir, akhirnya ia hanya menjawab "Maaf Anko, sepertinya kita sekarang ini lebih baik berteman saja dulu". Sebuah jawaban yang cukup mengecewakan.

Tetapi tidak di telinga Anko. Itu adalah awal dari sebuah harapan. Ia yakin, karena ia sudah tahu bahwa begitu banyak bukti otentik dari kehidupan sekitarnya bahwa dua orang berlainan jenis yang awalnya berteman dan bersahabat kemudian akan melanjutkan ke dalam sebuah hubungan yang disebut dengan cinta. Aku tidak akan menyerah, Kakashi! Kira-kira begitulah isi benak Anko saat itu.

Yah, mirip dengan Sasuke Uchiha. Pria muda itu digemari wanita. Terutama Sakura yang sangat menggilainya. Ah…tetapi Kakashi tidak setingkat dengan anak tampan itu. Masih berada pada level sedikit di bawahnya, soal wajah, pesona, dan popularitas.

Dan kemudian, terjadilah hingga seperti sekarang ini. Anko dan Kakashi tidak bisa dipisahkan. Meskipun agak meragukan memang –jika Kakashi tidak memiliki perasaan spesial pada gadis itu. Lelaki dingin itu terlalu meladeninya, tidak seperti pada saat awal-awal mereka bertemu.

"Kurenai!" sapa Anko lagi di hari ini, menghentikan lamunan Kurenai mengenai sahabat uniknya itu.

Hari ini keduanya bertemu lagi. Semoga tidak ada tangisan dahsyat seperti yang kemarin-kemarin, batin Kurenai cemas. Ia kasihan pada Anko. Juga merasa kasihan pada dirinya sendiri yang telinganya hampir pekak karena jeritan Anko pada waktu menangis semalam.

Anko duduk di sebelah wanita berlipstick menarik itu. Keduanya berada dalam gazebo tua di taman Konoha. Pepohonan yang rindang di sana terasa sangat menyenangkan. Ah –Anko ingat, ia dan Kakashi pernah berada di sana. Tetapi hanya sebentar. Tidak, tidak untuk berkencan. Pada waktu itu mereka hanya mengobrol.

"Bagaimana keadaanmu, sudah agak baikan sekarang?" Tanya Kurenai pada sahabatnya yang baru datang itu.

Anko menghela nafas. Wajahnya agak sayu, ia nyaris kehilangan semangatnya belakangan ini. Terkecuali semangat untuk menjerit meratapi nasib malangnya.

"Hei, aku kan bertanya padamu, Anko! Jawablah! " tegur Kurenai yang merasa tidak begitu diperhatikan oleh Anko.

"Ah –maaf.. aku –yah seperti yang kau lihat. Masih seperti ini" Anko memotong ucapannya sendiri dengan nada sendu.

"Apa Kakashi sudah datang?" Tanya Kurenai lagi.

Anko menggeleng. "Belum" jawabnya lemas.

Ya, Kakashi memang sedang menjalankan misi. Dan hal itu makin melambungkan kegalauan Anko. Tidak bisa bertemu dan bersama Kakashi adalah sebuah siksaan mental baginya.

"Oh iya, Anko. Ini kubawakan dango. Makanlah!" ucap Kurenai yang baru saja ingat jika ia tadi sengaja membawakan makanan kesukaan Anko itu, sekedar untuk menghiburnya.

Anko menatap lemas dango di tangan Kurenai. Beberapa tusuk dango dalam bungkusan kertas cokelat muda segiempat. Entah mengapa, air liur di dalam mulutnya terasa kering. Terlalu kering untuk memiliki semangat mengecap manisnya penganan kecil itu hari ini.

"Aku letakkan di sini saja ya, tetapi kau tetap harus memakannya" perintah Kurenai sambil meletakkan benda di tangannya. Anko meresponnya terlalu lambat.

Kini Anko menatap kosong ke depan. Hamparan rumput hijau yang setengah kering tersapu mata cokelatnya. Rambut ungu gelapnya tertiup angin yang sejuk. Kurenai di sebelahnya ikut-ikutan menerawang ke depan.

"Ah…kenapa nasibku seperti ini ya, Kurenai?"

"Malang sekali. Aku tidak mencintai Ibiki, tetapi malah dipaksa menikah dengan pria itu…." Anko memulai curahan hatinya hari ini. Sama seperti kemarin, hanya saja, tidak ada tangisan. Atau hanya belum? Dan Kurenai masih merasa was-was karenanya.

"Kita tunggu saja kedatangan Kakashi, lalu kau minta pendapat atau bantuannya saja!" Kurenai mencoba memberikan jawaban.

Anko menghela nafas. Ia belum tahu kapan Kakashi akan datang. Dan ia juga tidak yakin akan respon positif Kakashi.

"Bagaimana?" tuntut Kurenai lebih lanjut.

"Tidak perlu merasa ragu begitu! Kakashi itu pria baik, kan?" tegur Kurenai.

Ya, Kakashi memang baik. Selalu baik, meladeni dirinya selama ini. Meladeni dirinya yang cerewet untuk selalu dekat dengannya.

Akhirnya dengan pelan Anko mengangguk. "Iya, baiklah Kurenai…"

Kurenai tersenyum. Lalu ia teringat perihal dangonya yang belum tersentuh tangan Anko.

"Ayo, dimakan dangonya, Anko!"

Anko terkesiap. Dango? Lagi-lagi ia belum merasakan adanya nafsu untuk memakan makanan bulat-bulat yang ditusuk lidi tersebut.

"Ayo!" desis Kurenai setengah memaksa. Dengan malas akhirnya Anko mengambil setusuk dango di dekatnya.

Anko memakan makanan itu dengan sangat perlahan. Bagaikan orang yang tidak memiliki nafsu makan. Apa? Kurenai sedikit terkejut karenanya. "Kenapa gaya makanmu seperti itu? seperti bukan Anko yang biasanya saja!"

Dango dan Anko. Biasanya gadis itu selalu memakannya dengan ceria dan penuh semangat. Wajah gadis itu selalu berseri-seri ketika sedang memakannya, sama persis ketika Kakashi berada di sampingnya. Bagi Anko, mungkin Kakashi sama manisnya dengan makanan itu.

Kurenai geleng-geleng kepala. Stress tingkat tinggi nih, si Anko. Pikirnya. Tak lama kemudian ia melihat setitik air mata mulai menetes lagi di pipi Anko. Anko mulai menangis lagi.

Dengan sedikit bergidik Kurenai terus memperhatikan Anko yang baru menciptakan sebuah gigitan kecil pada dango di tangannya. Anko menangis. Anko menangis lagi. Mungkinkah akan terulang lagi?

"Kurenai…" desis Anko lirih dan pelan.

"Percintaanmu dengan Asuma beruntung sekali…. Aku iri pada kalian berdua…"

Kurenai menelan ludah. Ia masih merasa iba pada gadis itu. Bahkan untuk makan dango saja sekarang Anko sudah tidak ingin, kasihan sekali gadis Mitarashi ini.

"Kurenai…" kali ini sebuah kata-kata yang masih perlahan. Air mata bening kembali menetes. Sepertinya Anko memang benar-benar merasa sedih.

"Ku..re..NAAAAAAAIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII! Huwaaaaaaaaaaaaaaaa!" tangisan dahsyat itu lagi.

"Anko, berhenti!" teriak Kurenai yang suaranya masih kalah nyaring dari tangisan kunoichi Anko Mitarashi.

.

.

.

"Bagaimana misimu?" Tanya Genma Shiranui sang shinobi pengawal elit Hokage kepada Kakashi yang baru saja tiba dari perjalanannya. Shikamaru yang juga baru datang bersama pria bertopeng itu lebih memilih berjalan meninggalkan mereka berdua dan berlari menuju gerbang akademi, untuk menemui seseorang.

"Yah…sudah selesai. Semuanya lancar" ujar Kakashi dengan nada santai seperti biasanya.

"Ngomong-ngomong…kau sudah dengar?" Tanya Genma kini. Rambut cokelat lurusnya masih panjang sebahu layaknya dulu. Jounin yang umurnya diperkirakan setara dengan Kakashi itu mulai menanyakan perihal kabar panas terbaru di desa mereka.

"Apa?"

"Itu –gadismu" jawab Shiranui masih dengan seruas senbon khas di mulutnya.

Kakashi mengerutkan dahinya. Siapa? Pikirnya heran.

Beberapa detik kemudian ia tersadar. Oh –mungkin maksud Genma adalah Anko.

"Kenapa memangnya?"

"Kau belum tahu? Ia sudah dilamar Ibiki. Mereka akan segera menikah"

Lalu keduanya terdiam. Tidak ada ekspresi terkejut dari Kakashi. Dan –ekspresi wajah Shiranui masih tampak datar.

"Oh" hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Kakashi.

"Kau tidak terkejut, Hatake? Dasar kau ini! Ya sudah, aku tinggal dulu" sahut Genma Shiranui yang berpamitan meninggalkannya. Seulas senyum tipis terlihat di bibir rekan Kakashi itu. Dan Kakashi Hatake hanya memperhatikannya. Tak ada respon. Tak ada ekspresi. Entah apa yang dipikirkan oleh sang jounin bertopeng itu dalam benaknya.

.

.

.

Dua hari setelah kedatangan Kakashi di desa. Memang ada yang sedikit berbeda. Anko, gadis itu tidak terlihat mengerubungi Kakashi lagi. Dari yang Kakashi dengar, gadis itu tengah sibuk memeriksa amat sangat banyak data murid-murid baru akademi. Sesibuk itukah Anko?

"Anko…." Panggil Kakashi pelan ketika tanpa sengaja ia melihat Anko yang berlalu di belakangnya.

"Ah, Kakashi!" ucap Anko dengan senyum kecil yang Kakashi tahu –itu adalah palsu.

"Kau sudah kembali? Sejak kapan?"

Kakashi mengangguk. Dipandanginya wajah Anko yang sedikit terlihat lesu. "Dua hari yang lalu" sahut jounin bertopeng itu.

"Kau sibuk sekali, sepertinya?" Tanya Kakashi kemudian.

"Ehm…iya, lumayan" jawab Anko kali ini dengan senyuman asli yang tulus. Gadis itu bahagia akhirnya bisa bertemu dan mengobrol dengan Kakashi hari ini.

"Ada waktu? Kau tidak ingin pergi denganku, seperti biasa?" Tanya Kakashi lagi. Menawarkan sebuah hal yang menggoda akal sehat Anko.

Anko mau. Sangat mau menerima tawaran itu. Tetapi ia masih sibuk. Banyak pekerjaan yang sedang dilakoninya.

"Maaf, Kakashi, sepertinya hari ini masih belum bisa. Pekerjaanku cukup banyak. Kalau tidak selesai, Tsunade-sama akan memarahiku" jawab Anko akhirnya dengan berat hati menolak ajakan Kakashi.

"Oh, baiklah kalau begitu. Kabari saja aku secepatnya" Kakashi maklum, sambil menampilkan senyuman tipis yang terlihat dari garis di permukaan topengnya.

Anko mengangguk, kini tersenyum lagi.

"Ah -maaf, aku harus cepat-cepat menemui Shizune" pamit Anko kemudian. Kakashi mengiyakan. Dan Anko pun bergegas melesat pergi meninggalkan Kakashi, menuju lantai dua untuk mencari Shizune.

Kakashi memperhatikan gadis itu dengan sudut matanya. Ada sedikit aura tidak rela di hatinya. Tetapi –ah, ini bukanlah apa-apa baginya.

Tanpa sengaja, Anko yang tengah berjalan dengan buru-buru dikejutkan dengan kehadiran Ibiki yang hampir ditabraknya ketika hendak menaiki anak tangga.

"Ah! I-Ibiki-san!" ucap Anko sedikit gugup.

Entah apa yang tengah mereka bicarakan. Namun yang pasti Anko tidak terlibat pertemuan yang lama dengan lelaki menakutkan itu. Dari mata Kakashi terlihat jelas gadis itu buru-buru pergi meninggalkan Ibiki.

Hhh..pantas saja tadi rasanya ada yang sedang mengawasi, batin Kakashi. Kemudian pria itu tersenyum lebar pada Ibiki Morino yang kini menatapnya dari kejauhan. Sementara Ibiki tidak membalas senyumannya. Pria itu kini tampak mengerikan. Lebih mengerikan dibanding dahulu.

.

.

.

Kakashi menyelesaikan acara makan mie ramennya. Pria itu baru saja makan di rumahnya sendiri. Dilihatnya kearah luar jendela, langit masih cerah, meskipun hari sudah beranjak sore.

Tak lama kemudian pria itu sudah sampai di gazebo tua-dimana Kurenai dan Anko terakhir bertemu. Kosong. Di sana kosong. Tidak biasanya.

Anko Mitarashi belum juga datang. Padahal, kedatangannya yang sudah telat 1 jam ini biasanya menemui amarah dari gadis itu. Tetapi kali ini, rupanya Anko-lah yang telat dari waktu pertemuan yang telah mereka sepakati.

"Maaf, Kakashi, aku terlambat!" sebuah suara yang sangat familiar di telinga Kakashi akhirnya muncul juga. Anko berjalan dengan gontai mendatangi teman lelakinya itu.

"Tumben, kau terlambat. Biasanya, selalu tepat waktu"

Anko lalu duduk di samping Kakashi.

"Tadi aku terpaksa menolong seorang wanita tua…." Ucap Anko masih dengan semangat yang entah hilang kemana.

"Kau menyindirku?" tebak Kakashi tersenyum dari balik topengnya.

Anko terdiam dan menatap Kakashi, lalu tertawa kecil. "Tidak, bodoh! Tsunade-sama! Maksudku dia!"

"Wanita itu tadi membuatku kerepotan" jelas Anko pada kesalahpahaman Kakashi.

Kakashi mengangguk-angguk.

"Bagaimana kabarmu, Anko? Kau terlihat kurang sehat" Tanya Kakashi kini sambil terus memperhatikan kunoichi di sampingnya.

"Ah –apa iya?" Anko berusaha tersenyum. "Tidak, aku baik-baik saja. Aku sehat!"

Tipuan macam apa itu, pikir Kakashi. Ia tahu Anko sedang tidak baik-baik saja.

Angin yang lembut berhembus, menyaingi keheningan yang kini meliputi Anko serta Kakashi. Sepertinya keduanya sibuk dengan pola pikirnya masing-masing.

"Kakashi….." ucap Anko perlahan. Berusaha memulai sebuah cerita suram akan kisah hidupnya.

"Aku akan dinikahi Ibiki"

Kakashi terdiam. Tidak, ini tidak seperti mendengar petir yang nyaring di siang bolong. Ini adalah kata-kata Anko yang ia tunggu sedari tadi. Curahan hati gadis itu, ia menunggunya.

"Ya, aku tahu"

Anko terkesiap. Ia pikir Kakashi belum tahu. Ia lupa kalau Kakashi itu adalah jounin terhebat di Konohagakure. Ia lupa kalau Kakashi adalah seorang shinobi yang pintar lagi jenius.

Kakashi sudah tahu, bahkan sebelum Genma memberitahunya. Kalian lupa, Kakashi itu mantan anggota Anbu. Bahkan Kakashi sedang santer diberitakan akan menjadi seorang –ah, lupakan. Lebih baik membahas pertemuan dua insan ini.

"Lalu? Apa pendapatmu?" Tanya Anko memberanikan diri.

Kakashi mengambil nafas. Ia bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Anko barusan.

"Kakashi….apa kau –rela?"

Rela? Batin Kakashi bertanya-tanya.

"Apa kau rela jika aku menikah dengan orang itu?"

Angin kembali berdesir lembut mengarah pada mereka berdua. Sejuk. Nyaman. Namun pembicaraan mereka ini terasa kurang nyaman. Rambut ungu gelap Anko dan rambut perak Kakashi bergoyang pelan akibat tiupan angin ringan tersebut.

Sejujurnya Kakashi merasa pertemuan kali ini ada yang ganjil. Ganjil karena Anko tidak lagi bercerita dengan manja seperti dulu, tidak lagi memandangnya dengan hangat seperti dulu. Semuanya terasa aneh. Ia tidak biasa dengan perubahan ini. Dan semua itu adalah karena –Ibiki.

"Aku….tidak menginginkan hal itu. A-aku tidak ingin menikah dengan Ibiki-san" ucap Anko tercekat tanpa menunggu jawaban Kakashi atas pertanyaannya sebelumnya.

"Aku mengerti…." Sahut Kakashi akhirnya.

"Lalu, apa yang bisa kubantu, Anko?" Tanya Kakashi kemudian dengan santainya. Seolah tak ada beban dipikirannya.

Menjelaskan mengenai betapa ia mencintai Kakashi sekarang pun percuma saja. Bagi Anko, lelaki itu tahu –paham betul akan hal itu. Lagipula, mengulang hal yang tidak penting seperti itu mungkin hanya akan membuat Kakashi tidak suka. Kakashi itu orang yang cukup tegas, dan tidak suka hal yang bertele-tele ataupun diulang-ulang.

Keduanya terdiam. Keheningan yang sedikit suram. Cinta, masa depan, seolah semuanya bukan sesuatu yang pasti lagi bagi mereka berdua. Sampai di sinikah semuanya? Ini adalah hal terberat yang dirasakan Anko Mitarashi.

"Kakashi…." Ucap Anko setelah keheningan yang cukup lama.

"Apakah kau, mau membawaku?"

Kakashi mendengarkan ucapan-ucapan Anko dengan seksama.

"Bawalah aku pergi, Kakashi!" tegas Anko dengan nada getir.

"Bawa aku pergi bersamamu! Aku…aku hanya ingin menikah denganmu!" pekik gadis itu penuh harap dan dengan kegetiran yang masih ia rasakan.

Mata Kakashi sedikit terbelalak. Ini sungguh mengagetkan. Tidak –seharusnya ini sudah bisa ia prediksi. Ia tahu Anko sangat mencintainya selama ini.

"A-apa? Apa aku tidak salah dengar, Anko?" entah kenapa Kakashi merasa sedikit gugup.

Anko mengangguk pelan dengan mantap. Ia yakin. Ia sangat yakin dengan ajakannya tadi. Meminta Kakashi untuk pergi bersamanya. Jauh, jauh meninggalkan takdirnya yang akan berubah drastis dalam waktu dekat ini.

"Aku serius, Kakashi! Bawalah aku pergi jauh dari sini! Aku tidak ingin berada di Konoha lagi!"

Kakashi makin merasa kaget. Kali ini semakin bertambah karena tahu-tahu Anko sudah menubrukkan dirinya di dadanya. Gadis itu menangis, dan sedang meminta dipeluk oleh Kakashi. Berusaha untuk meminjam bahu Kakashi agar bisa menenangkannya.

Kakashi terdiam, membiarkan Anko menangis sejadinya. Perlahan dibelainya lembut rambut Anko. Ia merasa amat sangat kasihan pada shinobi wanita itu. Ia tahu Anko sangat mencintai dirinya, tetapi ia tidak tahu persis mengenai perasaannya sendiri terhadap kunoichi itu.

"Sudahlah, Anko" ucap Kakashi mencoba membesarkan hati Anko.

Tak seberapa lama kemudian Anko menghentikan tangisnya. Ia kemudian menatap wajah Kakashi dengan sendu, mencoba menagih jawaban dari shinobi berambut perak didekatnya itu.

"Ah….a-aku…" sahut Kakashi sedikit tertahan.

"Aku-aku perlu waktu Anko, aku harus memikirkannya dulu baik-baik" jawab Kakashi akhirnya. Sebuah jawaban yang ambigu. Tentu saja, tidak cukup untuk membuat Anko merasa puas.

"Pernikahan akan berlangsung satu minggu lagi" lanjut Anko lemas. Ia seakan tak berdaya. Namun berada dalam dekapan Kakashi ini sedikit menguatkannya. Menenangkannya.

"Aku percaya padamu, Kakashi"

Kakashi menatap hamparan rumput di hadapan mereka. Layu. Hampir semua rumput itu layu. Entah kenapa, mungkin sinar matahari sudah berlaku terlalu kejam terhadap mereka semua.

Sore yang makin dingin. Semakin dingin dengan kebisuan di antara dua manusia yang sedang galau tersebut.

.

.

.

T B C

A/N:

Review dari kalian sangat saya harapkan. Well, lagi-lagi Kaka Anko. ah, saya tergila-gila pada pasangan ini.

See you soon.

Alize Indigo