Almarhum ayahku selalu mengatakan jadilah kuat hingga orang lain tidak mampu menghancurkanmu. Seperti air, ingin diapapun juga bentuknya akan tetap seperti itu.

Menurutku ini benar - benar mimpi buruk. Aku selalu berharap saat aku terbangun dari tidurku di pagi hari semuanya akan sama. Ya, aku membuka tirai jendela dan langit masih sama. Aku bernafas dan udara masih sama seperti yang aku hirup di hari - hari sebelumnya. Aku merasakan hangatnya matahari mencumbui tubuhku dan rasanya masih sama.

Namun, ketika aku membuka gagang logam pintuku, aku memergoki sosoknya lagi di meja makan. Sosok yang sama. Dan ternyata, ini lebih dari sekedar mimpi buruk. Harus sampai kapan?

Nenekku adalah dalang dari mimpi buruk ini. Aku tidak menyalahkan beliau, hanya saja aku membenci apa yang telah beliau lakukan padaku. Sudah setahun belakangan beliau didiagnosa menderita penyakit mematikan. Sel kanker bersarang di tubuhnya. Dengan alasan malaikat pencabut nyawa mengintai nyawanya setiap saat, beliau memintaku -atau lebih tepatnya- memaksaku untuk mengabulkan keinginannya. Sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya, nenek ingin bahagia melihatku bahagia dengan orang pilihannya. Kala itu lava panas dari bola matanya bercucuran, ia menangis tersedu - sedu diiringi isakan memilukan hati. Lantas, apa lagi yang bisa aku perbuat selain menyetujuinya?

Sebenarnya bisa saja aku mencintai pria bermarga Jung itu. Dia tampan, latar belakangnya bagus, dia pintar dan dia bersahaja. Aku juga bukan anti penyuka sesama jenis. Itu tidak masalah karena dulu pun aku pernah menyukai seorang pria berkewarganegaraan Skotlandia. Akan tetapi, alur peristiwa pertemuan kami yang buruk, membuat kemungkinan itu sirna seketika. Aku tidak membencinya. Aku hanya benci pada keadaan. Aku mengutuki garis takdir ini. Sungguh.

"Kenapa kau diam saja? Kemarilah, bibi Frangag mengantarkan Haggis barusan" ia menegurku dari tempatnya. Ia melemparkan senyumnya dan aku hanya berdecih pelan.

Sial, ia memergokiku sedang melamun. Aku berjalan mendekatinya dan membuka pintu kulkas. Kuambil sekotak jus leci dan meminumnya dalam satu kali tegukan. Sekilas aku menatap makanan yang tengah dikunyahnya tersebut.

"Aku sedang dalam program diet. Paru - paru domba mengandung kolestrol tinggi. Sedangkan.. kentangnya tidak buruk juga" kucomot satu buah potongan kentang lalu mengunyahnya. Setelah itu, kuambil sereal dan menaruhnya di mangkuk. Aku bergegas duduk berhadapan dengan Yunho.

Aku benci dengan keadaan ini. Awal pagi cerah seperti ini seharusnya aku nikmati dengan suasana hati yang damai. Sialnya, antara hati dan keinginanku selalu tidak bertemu bagaikan dua sisi keping uang koin.

"Kau diet? Untuk apa? Tubuhmu

sudah cukup ringkih"

Aku tidak menyahut, berusaha fokus pada acara mengkunyahku.

"Jaejoong...? Itu tidak bagus. Kau cukup menjaga pola makanmu saja. Makan sereal setiap hari juga tidak baik. Itu mengandung pengawet" suara itu, nadanya, banyak tanyanya mulai mengusik pendengaranku. Kuhentakkan sendokku dan seketika suasana mulai menegang.

"Yunho-ssi, bisakah kau tutup mulutmu? Bualanmu membuat telingaku panas dan kau tahu kan kita sedang sarapan?"

Sial, darahku mulai mendidih dan amarahku sudah terpancing.

"Apa salah kalau aku bertanya dan menasehatimu? Itu artinya aku peduli padamu. Tidak bisakah kau melihatku sedikit saja? Bahkan kita sudah terikat selama tiga bulan dan kau tetap menyiksaku dengan tingkahmu, dengan cara bicaramu?" ia berkata dengan tenang, bola mata jernihnya menatapku dalam.

Namun justru, argumensinya membuatku semakin geram. Aku menggebrak meja sekuat tenaga hingga mangkuk serealku terlompat dari meja. Nafsu makanku sudah menguap entah kemana.

"Dengar Yunho-ssi, dari awal aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Aku menerimanya karena kasihan dengan kondisi nenekku. Kau jangan terlalu percaya diri dan menuntutku untuk menjadi seperti apa yang kau mau. Kau tahu? Aku muak! Sangat muak! Setiap malamnya aku hanya menyesali mengapa pernikahan menjijikan ini harus terjadi..."

Aku menumpahkan amarahku dengan sangat cepat dan setelahnya nafasku tersengal - sengal.

Yunho sudah mati kutu di tempatnya, ia tidak mengatakan apa - apa lagi. Kulihat tangan kirinya yang lumpuh periodik bergetar hebat di atas meja. Mungkin luapan amarahku terhadapnya mempengaruhi sistem sarafnya dan berimbas pada tangannya juga. Tapi aku tidak ingin memikirkan itu sekarang. Aku marah, aku muak dan aku benci melihatnya sekarang.

Aku berlari secepat kilat menuju kamarku. Kutanggalkan pakaianku dan masuk ke dalam kamar mandi. Kuharap, guyuran air dari shower bisa mendinginkan kepalaku dan meredupkan amarahku yang menggila. Tiba - tiba, wajah memelasnya, tangan lumpuhnya yang bergetar, matanya yang terluka berkelabat liar di kepalaku. Sayangnya, egoismeku mendominasi di atas segalanya.

Tidak terasa, air mataku berderai beriringan dengan aliran air shower. Kurasakan mataku panas, dinginnya air entah pergi kemana berganti dengan panasnya air mataku. Kelopak mataku terasa lengket, bahkan untuk kubuka pun rasanya sulit. Aku menangis. Aku mendadak membenci diriku sendiri. Aku yang sebenarnya tidaklah begini. Kemana aku yang hangat dan aku yang tulus? Aku pun tidak tahu. Yang jelas, luka di balik dadaku sedikit demi sedikit membentuk jurang yang dalam.

Aku sudah berpakaian dengan rapih. Gaya casual ala anak muda parlente di Skotlandia menjadi andalanku. Bagaimanapun, aku tidak boleh membolos kerja. Aku mencintai pekerjaanku dan aku menghargainya. Kubuka pintu kamar dan disapa oleh pemandangan Yunho yang tengah membersihkan pecahan kaca mangkukku. Hatiku sedikit mencelos melihatnya. Ia berjongkok dan tangan kirinya yang lumpuh menggantung tak bernyawa. Sementara tangan kanannya telaten memunguti serpihan beling. Kutatap arlojiku, seharusnya ia sudah berada di kantornya semenjak setengah jam yang lalu. Aku tidak peduli lalu memakai sepatuku asal - asalan. Aku tidak pamit padanya karena masih kesal dan aku memang tidak pernah pamit padanya. Kututup pintu apartemenku. Mungkin ia mendengarnya tapi persetan dengan reaksinya.

Dengan menumpang bus bertingkat, aku mencapai tempat kerjaku. Letaknya di Edinburgh juga sama seperti apartemenku, hanya saja bangunan unik berlantai tiga itu berdiri kokoh di kawasan Royal Mile. Hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai tempat kerjaku. Callestum boutique, tempat kerja yang aku banggakan. Fashion sudah menjadi bagian dari separuh jiwaku. Aku mencintai fashion.

Lima tahun yang lalu adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bumi Skotlandia. Aku menuntut ilmu fashionku di sini, mendapatkan pekerjaan yang aku cintai dan di sini juga aku menyatukan janji suciku dengan Yunho. Negara yang bisa menikahkan sesama jenis. Terkadang aku tidak mengerti maksud nenek menjodohkan aku dengan dia. Nenek bilang Yunho itu Jung, dia terhormat dan kedua belah pihak keluarga kami saling mengenal. Masih segar di ingatanku, cara ibu mertuaku menyalurkan kasih sayangnya kepadaku. Aku menyukainya, maklum saja aku tidak pernah merasakan sentuhan seorang ibu semenjak ibuku meninggal ketika mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanku ke dunia. Ibu mertuaku juga terlihat bahagia karena aku bersanding dengan Yunho, putra semata wayangnya. Tapi bagiku, itu semu.

"Good morning, Jaejoong. How have you been in this period?" sapa Earlene ramah saat aku memasuki gedung butik. Bandana bunga kain menghiasi rambut panjangnya yang pirang menyala.

"Good morning, Earlene. I am as fine as your smile. And still, I really am handsome" balasku. Earlene langsung tertawa renyah mendengar gurauan picisanku. Gadis Eropa bermata hijau ini sudah menjadi partner kerjaku selama dua tahun. Kami berdua sudah seperti saudara dan menurutku kami adalah tim perancang yang hebat. Walau tak ayal, Ms. Garcia kerap menggoda kami sebagai sepasang kekasih. Aku hanya akan menanggapinya dengan candaanku sambil merangkul Earlene mesra dan pipi gadis berlesung pipi itu memerah seketika. Tak ada seorang pun di tempat kerjaku tahu mengenai statusku sebagai pasangan hidup Jung Yunho. Mereka hanya tahu kalau aku single dan bebas.

"Ms. Garcia absen hari ini karena ada diskusi panel seputar pagelaran busana di Glasgow" jelas Earlene sambil membuntutiku dari belakang memasuki ruang kerja kami. Banyak kertas bertumpukkan di mana - mana. Marker warna - warni tercecer di lantai dan bahan kain katun silk berwarna mustard serta soft white nampak berhamburan di lantai.

"Mengapa mendadak seperti itu?"

Menyadari kerutan di dahiku ketika mendapati kondisi ruangan, Earlene justru tidak menggubris pertanyaanku, "Ah, maaf Jaejoong kalau kau risih dengan ruangan ini. Aku merancang gaun swan musim dingin sebelum kau tiba barusan. Jadi ya berantakan seperti ini"

"Kau sudah datang dari tadi? Mengapa cepat sekali? Pantas saja"

"Iya. Setelah Ms. Garcia meneleponku pagi - pagi buta, aku lekas bersiap - siap lalu melesat kemari"

"Oh begitu. Jadi tema musim dingin kali ini adalah angsa?"

Aku berjalan ke tempat dispenser air dan meyeduh dua coklat hangat untukku dan Earlene. Aku melihat di atas meja tidak ada cangkir dan berasumsi bahwa Earlene belum membuat minuman paginya. Sementara Earlene duduk manis dan aku memunggunginya, "Iya begitulah yang dijelaskan Ms. Garcia tadi. Pertunjukkan busananya sendiri akan dilaksanakan tiga bulan lagi tepat pada saat musim dingin. Apa kau tahu? Pihak panitia akan menyelenggarakannya di Loch Lomond Lake selama dua hari. Ahh itu sangat menyenangkan. Kita bisa sambil refreshing, bukan?"

Aku tahu danau itu. Aku pernah mengunjunginya sekali saat jaman kuliah dulu. Air yang jernih, pohon yang rindang, udara yang sejuk dan ada beberapa bangunan hotel berbentuk kastil.

"Wah, itu terdengar menakjubkan. Kita bisa sekalian berlibu gratis" Aku menyunggingkan senyumku sambil menyimpan gelas coklat hangat di atas meja.

Earlene terbahak mendengarnya dan berkata, "Kenapa sempat - sempatnya kau berpikir seperti itu? Astaga, kau ini benar - benar. Dan ngomong - ngomong, terima kasih atas coklatnya, tampan"

"Yah aku cuma mengungkapkan apa yang kupikirkan. Apa itu salah? And You are welcome beauty. Si tampan ini senang melayanimu" balasku berkelekar.

Dan Earlene tertawa lagi. Aku tidak tahu ini hanya perasaanku saja atau bukan tapi dugaanku Earlene terlihat nyaman ketika di dekatku.

Setelah cukup dengan acara merumpi, kami mulai konsentrasi memikirkan konsep gaun angsa yang akan kami buat. Aku dan Earlene saling bertukar pikiran dan mengemukakan pendapat kami satu sama lain. Kami berdua memang tim yang secara khusus di tempatkan di divisi gaun dan season session. Jadi, setiap ada pergantian musim, kami dijawibkan untuk merancang kolesi busana sesuai tema musimnya.

Setelah menyatukan pikiran kami, kami mulai mengerjakan bagian kami masing - masing. Earlene menggambar bentuk gaun yang tadi baru setengah jadi. Sementara aku menggambar rancangan formasi payetnya untuk daerah leher dan bagian bawah gaunnya. Batu rubi merah dan batu zamrud terlintas di benakku. Dan senyumku merekah lebar.

Dengan bekerja seperti ini, aku bisa melupakan sejenak kepenatanku dan masalah yang membelengguku. Tidak ada Yunho, tidak mendengar suaranya dan tidak melihat wajahnya. How a life. Bertemu dan bercengkerama dengan rekan kerjaku menjadi alternatif yang paling manjur mengusir bayangan pria memuakkan itu.

Setelah selesai bekerja, kami membereskan ruangan dan Ebeth masuk ke dalam ruangan ini tak berapa lama.

"Oh ya ampun mataku. Gadis tadi sangat menyilaukan" serunya histeris. Aku menggeleng - gelengkan kepalaku memaklumi dan Earlene mendecak sebal.

"Hentikan Ebeth. Kau dan gossipmu itu" hardik Earlene.

Ebeth yang merupakan pelayan butik tempat kami bekerja mengerucutkan bibirnya lucu. Menimbulkan tawa nyaringku. Gadis bermata biru ini sangat kekanakkan terkadang.

"Jaejoong, kau pasti mau mendengarkan ceritaku kan?" wajahnya memelas seperti anak kucing kelaparan.

"Tentu, aku mau mendengarkannya, Ebeth. Ceritakanlah" jawabku dengan senyum lebar.

"Yeay! Kau yang terbaik!" Ebeth dengan gaya manjanya langsung menggelungkan kepalanya di lenganku dan memeluknya erat. Sementara Earlene mendengus sambil kembali menekuni bahan kain gaun.

"Coba katakan padaku apa gossip terbarumu"

"Apa kau tahu Jaejoong tentang Kimberly SooAe?"

"Eksekutif muda sekaligus model majalah dan katalog DePerfumè berdarah Korea - Inggris itu?"

"Iya! Tadi dia berbelanja di sini dan astaga di sangat cantik! Kulitnya seputih susu, rambutnya hitam legam, tubuhnya langsing dan tinggi. Ya ampun menyilaukan mataku"

"Haha, benarkah? Tapi kurasa kau lebih cantik. Rambutmu pirang, posturmu bagus seperti bintang iklan susu WRP"

"Ah Jaejoong jangan mulai lagi candaanmu yang menjemukan itu. Tolonglah. Dan aku tahu aku kan memang cantik"

"Kau seperti tidak tahu saja, Jae. Si gadis Scottish satu ini terobsesi dengan gadis - gadis Asia" Earlene menimpali.

"Ya! Kau tepat, Ear. Dan Sooae memiliki darah asia", Ebeth besemangat lalu melanjutkan, "Eh, kau ternyata menguping pembicaraan kami. Oh, astaga my fan", cengiran keledai Ebeth mengundang tawaku lagi.

"Tutup mulutmu Ebeth. Itu terdengar sangat menjijikan. Astaga, bagaimana aku tidak mendengarkannya? Demi Tuhan, jarak kalian berbicara denganku hanya terpaut dua meter" tangkas Earlene gemas.

"Lalala dasar kau fan"

"Yah!"

"Kalian ini, sudahlah. Jangan seperti dua kutub magnet" aku menengahi mereka karena jika dibiarkan terus - menerus, tidak akan ada buntutnya.

Seolah tidak peduli, Ebeth melanjutkan sabda klasiknya, "Ia membeli koleksi sweater rajutan kita. Kau tahu Jaejoong, sweater yang kau rancang tempo lalu? Nah, dia membeli itu"

"Sweater rajutan berwarna khaki dengan garis - garis merah dan biru? Wah! Benarkah dia membelinya?"

Ebeth mengangguk semangat.

"Astaga itu koleksi male milikku. Aku merasa tersanjung ia membeli hasil rancanganku"

Tidak bisa kupingkiri, ada rasa bangga menyelinap di balik dadaku. Seorang Kimberly Sooae. Catat!

Setelah bertukar sapa sampai jumpa kepada Earlene, Ebeth, Jacqueline, Marco dan lain - lain aku angkat kaki dari tempat kerja. Kali ini, aku memilih pulang dengan berjalan kaki sambil ingin menikmati suasana senja Edenburgh. Semilir udara sore menguar, menggelitik hidungku. Barisan pohon menciptakan suasana rindang dan sejuk. Edenburgh tidak banyak terkontaminasi kendaraan berasap dan aku menyukainya.

Aku meraba tas selempang kulitku dan mengecek ponselku. Ada beberapa pesan masuk, dua di antaranya dari Yunho.

'Jae, aku mohon maafkan aku atas kejadian pagi ini. Aku memang salah padahal aku tahu kalau kau benci aku yang terlalu banyak bicara. Kita lupakan, okay? Dan aku tidak akan mengulanginya lagi'

'Jae kau sudah di mana? Kau pulang telat?'

Aku menggeram kesal membaca pesan masuk darinya. Sok perhatian. Aku tidak suka. Tidak bisakah sehari saja ia tidak mengusikku dengan pesan - pesan memuakkannya? Melihat nomor dan nama kontaknya tertera di ponselku saja sudah cukup membuatku hampir muntah.

Lalu aku mengecek pesan masuk lainnya. Dari ibu mertuaku, ibunya Yunho.

'Jaejoongku, Yunho hari ini akan menjalani terapi tangannya. Ibu dengar, kamu tidak pernah menemaninya terapi ya? Ibu tahu kamu sibuk tapi ibu mohon sempatkanlah waktumu sesekali. Berikan Yunho dukungan moril. Ibu jauh di Korea sini tidah bisa menemaninya. Terima kasih sayang'

Aku tersenyum kecut dan membalas pesannya. Merasa bersalah pada ibu mertuaku. Aku seperti seorang kekasih yang sedang berkhianat di belakang pasanganku. Selama ini di depan ibu aku selalu bersandiwara kalau aku tulus terhadap Yunho. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan dan keegoisannku sepenuhnya mengendalikanku. Dan sial, si brengsek Yunho pasti sudah besar mulut kepada ibu. Buktinya, ibu bisa tahu aku tidak pernah menemaninya terapi. Cih, dasar cacat!

Aku membanting pintu apartement lalu menjatuhkan pantatku ke atas sofa. Kulepas kedua sepatuku dan menyalakan televisi, mencari channel yang bagus. Otak dan badanku lelah, sungguh. Tatapanku berpendar ke sekeliling, mencari pria bermarga Jung itu. Ia pasti sudah pulang dari kantor karena aku tadi melihat sepatunya tergeletak di dekat pintu.

Benar saja, selang beberapa detik kemudian ia keluar dari kamarnya. Rambutnya basah. Pandangan kami bertubrukan dan aku buru - buru membuang mukaku. Benci.

"Jae..." dia mendekat dan duduk di sebelahku. Wangi shampo menyeruak dari rambutnya ditambah aroma after-shave yang segar.

"Cukup. Aku memaafkanmu, okay? Lupakan saja!" aku menutup mataku barang sejenak. Entah kenapa, amarahku seperti akan tersulut lagi. Sial.

"Baiklah" ia menyahut.

Aku membuka mataku dan menatapnya sinis.

"Jung, bisakah kau tidak perlu besar mulut? Kau tidak usah menceritakan hal - hal minus tentang rumah tangga kita kepada umma, aboji ataupun nenekku! Bukankah kita sudah menyepakati ini dari awal? Terlihat baik - baik saja di depan mereka"

"Maksudmu?"

"Cih, jangan berlagak bodoh! Untuk apa kau bilang ke ibu kalau aku tidak pernah menemanimu terapi? Huh, kau sengaja ya agar ibu membujukku untuk menemanimu? Kau tahu kan aku luluh oleh ibu"

"Tidak. Sungguh, bukan itu maksudku. Ibu mendesakku dan aku tidak bisa berbohong" sialan mendengar suara tenangnya menimbulkan gemuruh di dadaku.

"Tutup mulutmu! Kau ingat baik - baik perkataanku. Kau mengemis padaku pun aku tidak akan pernah sudi menemanimu, kau tahu? Urus saja tangan lumpuhmu itu sendiri!" aku meneriakinya, tepat telak di depan wajahnya.

Aku memperhatikan rahangnya mengetat dan matanya mengabut. Tidak, aku belum puas mencacinya.

"Jae kenapa kau berbicara seperti itu? Hatiku sakit mendengarnya"

"Persetan! Aku menyesal menikah denganmu. Aku benci satu atap denganmu. Melihat wajahmu setiap hari saja seperti melihat kotoran binatang. Dasar kau pria sialan!"

Aku sadar perkataanku kejam. Tapi aku tidak peduli. Aku beranjak dengan langkah seribu dan kurasakan badanku sempat menyenggol kasar tangan Yunho yang lumpuh periodik. Itu tidak sengaja kulakukan tapi detik itu juga Yunho meraung kesakitan.

"ARGHH TOLONG TANGANKU! YA TUHAN SAKIT SEKALI"

ia meringis, menjerit - jerit pilu. Persetan, bukan urusanku. Lagipula aku tidak sengaja melakukannya. Aku melanjutkan langkah kaki dan sebelum kututup pintu kamar, aku menatap Yunho yang tersiksa dalam rasa sakitnya.

Ia menggertakkan giginya sambil memegang tangannya. Ia meraung, matanya terpejam dan berulang kali menundukkan kepalanya. Entahlah, aku ini iblis atau setan macam apa akan tetapi tidak ada sedikit pun perasaan bersalah merundungku. Kemudian, aku menutup dan mengunci pintu kamarku. Ya, kami tidur dengan kamar yang terpisah.

"TUHAN TOLONG SAKIT SEKALI! TUHAN AKU TIDAK BISA BERGERAK SAMA SEKALI!"

Sialan, ribut sekali dia. Aku menulikan pendengaranku dan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Selanjutnya, mataku terasa berat...

tbc