A/N : Akhirnya saya tulis juga fic IrukaHarem yang selama ini sudah saya impikan... Namun demikian, fic ini akan ber-rating T karena pikiran mesum beberapa karakternya, tapi tidak akan ada adegan yang lebih dari light kissing (mungkin)... Sebagian besar fic ini adalah fluff, humor dan drama... sedikit action mungkin... Kenapa dibawah pairing KakaIru? Karena saya suka KakaIru...

Chap ini agak singkat karena baru prolog...

Disclaimer : Me no own. Lagunya juga bukan punya saya...

Warning : AU, Light shounen-ai, strong bromance, Iruka yang kelewat polos dan manis... Kalau nggak suka yang beginian, silahkan tekan tombol back... jangan di-flame, ya? saya memiliki jiwa yang sensitif~


PROLOG


Kepada Ayah,

Aku pergi. Jangan cari aku.

-Asuma-

Sarutobi Hiruzen mengerutkan keningnya membaca surat itu. Bukan... bukan surat... Lebih tepatnya bungkus rokok lecek yang dibuka dan ditulisi dengan pensil. Hiruzen nyaris tidak bisa membaca tulisan yang tertera di sana, bahkan dengan kacamatanya. Ia menemukan "surat" itu di selipkan di bawah pintu kamarnya (nyaris saja ia buang karena ia pikir, putranya itu yang tidak sengaja membuang bungkus rokok sembarangan) pagi ini. Hiruzen menghela nafas.

"Tolong panggilkan Jiraiya dan Minato... Ada sesuatu yang ingin ku diskusikan dengan mereka berdua," kata Hiruzen memerintahkan pelayannya. Pria tua itu memijat keningnya melihat perkembangan yang sudah ia duga ini. Memang tidak ada jalan lain. Ia sudah mengira semuanya akan kacau sejak putranya, Asuma terang-terangan menolak posisinya sebagai calon penerus keluarga Sarutobi.

Beberapa menit ia menunggu, dua sosok telah muncul di pintu ruang kerjanya. Sosok pertama adalah Jiraiya, seorang pria dengan rambut putih kelabu panjang dan di sisi Jiraiya adalah seorang pria yang lebih muda dengan rambut pirang dan mata biru cemerlang. Jiraiya dan Minato, dua orang kepercayaannya sekaligus penasehat keluarga Sarutobi.

"Anda memanggil kami, Sandaime-sama?" tanya Minato sambil membungkuk dengan sopan.

"Ah, ya, Minato-kun, Jiraiya..." kata Hiruzen tersenyum. "Aku baru saja menemukan ini," Hiruzen mengangkat pembungkus rokok yang ditemukannya, "Di depan pintu kamarku pagi ini. Sepertinya dugaanku tepat," Hiruzen menghela nafas.

"Boleh saya lihat?" tanya Minato. Hiruzen menyerahkan bungkusan itu pada Minato dan Jiraiya. Alis Jiraiya terangkat sementara kening Minato berkerut setelah ia menganalisis situasi mereka saat ini.

"Bukankah ini berarti...?" Jiraiya tidak menyelesaikan pertanyaannya.

"Memang harus seperti itu," kata Hiruzen. "Aku sendiri sebenarnya tidak mau. Tapi Asuma telah pergi, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali menjalankan Rencana B."

"Sandaime-sama... Aku rasa dia tidak akan siap... Dia tidak dibesarkan untuk semua ini... Kita bisa menunggu hingga Konohamaru..."

"Tidak ada waktu lagi, Minato-kun," potong Sandaime. "Lagi pula, keluarga ini punya aturan. Konohamaru tidak akan menjadi kepala keluarga selanjutnya selama dia masih hidup. Itu aturan yang sudah jelas."

"Tapi saya tidak bisa membiarkan hal ini... Dia—"

"Minato-kun, aku tahu apa yang terbaik untuk keluarga ini. Asuma telah melanggar batas kali ini. Namanya akan dicoret dari silsilah keluarga," kata Hiruzen getir. "Hubungi Kakashi dan jelaskan apa yang terjadi. Ia tahu apa yang harus dilakukannya."

Minato tidak dapat membantah perkataan Hiruzen. Makan, pria berambut kuning itu mengangguk dan bergegas keluar dari ruangan. Jiraiya masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Jiraiya mendekati meja sang kepala keluarga Sarutobi dan meletakkan "surat" Asuma di atas mejanya.

"Sensei... ini sebuah keputusan besar yang harus kita ambil," kata Jiraiya. "Kau baru saja mengambil langkah ekstrem dengan mengangkatnya menjadi kepala keluarga..."

"Ah, Jiraiya... Menurutku bukankah sudah waktunya kita meninggalkan tradisi lama?" tanya Hiruzen. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah sebuah gramofon klasik yang terletak di sudut ruangan, di samping sebuah jendela Perancis yang terbuka lebar. Semilir angin meniup lembut kerai jendela putih, sementara sinar mentari pagi menyeruak masuk. Hiruzen meletakkan jarum gramofon pada sebuah piringan hitam yang berputar. Serta merta, alunan musik yang familiar mengisi telinga mereka.

"Lagi pula, Jiraiya, aku merasa senang dengan keputusan ini..."

Dari gramofon yang berputar, sebuah lagu terus mengalun.

"It's a new dawn... It's a new day... It's a new life for me... And I'm feeling good..."


A/N : Aaah... lega udah masukin prolognya... silahkan review~ kalau ternyata ada fic yang serupa, saya tidak bermaksud plagiat loh... silahkan bilang pada saya melalui review atau PM, oke?