.

.

.

Title: Tredici

Genre: Romance

Rating: T

Summary: Tiga belas tahun. Tiga belas tanggal penting. Tiga belas pengalaman pertama Byakuran dan Mukuro Rokudou. 10069.

Prompt(s): Cokelat.

Warnings: kemungkinan OOC, gay marriage, kemungkinan typo.

Disclaimer: Kateikyoushi Hitman Reborn © Amano Akira

.

.

.

.: 6 Juni, usia 11 tahun :.

~ First Encounter ~

.

.

.

"Byakuran, ini Mukuro. Dia lebih tua dua tahun darimu, tapi karena kalian sama-sama anak lelaki, kalian pasti bisa cepat akrab."

"Salam kenal."

Bukannya membalas sapaan ramah yang dilontarkan padanya, ia malah bengong. Mata sewarna lembayung milik bocah lelaki yang dipanggil Byakuran itu mengerjap beberapa kali. Pandangannya tertuju pada anak kecil di hadapannya yang terlihat sebaya dengannya. Orang tuanya tadi mengatakan namanya adalah Mukuro, dan ia lebih tua. Tapi ia sama sekali tidak terlihat lebih tua darinya.

Dan juga tidak terlihat seperti anak lelaki.

Lihat saja. Anak bernama Mukuro itu kurus dan lebih pendek darinya. Tampangnya juga manis dan mudah membuat orang menyangka kalau dia adalah anak perempuan jika tidak mendengarnya berbicara.

"Byakuran?"

Bocah dengan rambut putih jingkrak itu tersentak kaget, berhenti membayangkan yang aneh-aneh. Buru-buru ia memasang senyum polos dan mengulurkan tangan untuk menjabat teman barunya.

"Salam kenal juga."

Selama beberapa detik tangannya yang terulur tidak dijabat. Mukuro seperti ragu-ragu apakah ia harus menyentuh tangan itu atau tidak, tapi toh pada akhirnya mereka berdua bersalaman juga.

"Ajaklah bermain, Mukuro."

"Yang sopan dengannya, ya, Byakuran."

Kedua orang tua mereka berpesan, lalu tanpa menoleh ke arah mereka lagi para orang dewasa itu mulai mengobrol, membicarakan entah apa. Yah, Byakuran sendiri juga tidak tertarik untuk mendengarkan isi pembicaraannya. Paling-paling urusan bisnis. Orang tuanya memang tidak pernah melepaskan kesempatan untuk membuat diri mereka semakin kaya.

Bahkan, ia curiga mereka mengajaknya ke pesta ulang tahun Mukuro dengan harapan agar ia bersedia berteman dengan bocah yang merayakan ulang tahun ke-13-nya itu, dan jika nantinya orang tuanya butuh bantuan keuangan, Byakuran bisa meminta tolong Mukuro untuk membujuk orang tuanya untuk meminjamkan uang.

Tukang aji mumpung.

Well, Byakuran sama sekali tidak berminat memenuhi harapan orang tuanya, tapi ia merasa bosan berada di dalam acara pesta ulang tahun yang, anehnya, mayoritas dihadiri oleh orang dewasa. Sejauh mata memandang yang bisa ia lihat hanyalah pria dan wanita dengan pakaian formal. Sepertinya hanya ia dan Mukuro anak kecil yang berada di aula megah tersebut. Dan karena ia bosan, tidak ada pilihan lain selain bermain dengan si senior.

"Mukuro-kun, bagaimana kalau kita—lho?"

Menoleh ke kanan dan ke kiri, namun yang hendak diajak bicara tiba-tiba sudah menghilang entah ke mana. Byakuran nyaris mengira teman barunya itu adalah hantu jika saja ia tidak berbalik dan menemukan Mukuro berdiri di dekat meja hidangan, mengambil sejumlah kue dan makanan kecil lain yang disediakan untuk para tamu undangan. Anak lelaki dengan surai biru tersebut tampak seperti mewaspadai sesuatu, meski Byakuran tidak mengerti kenapa. Memangnya akan ada yang memarahi Mukuro, yang sedang berulang tahun, kalau ia mengambil banyak makanan?

Byakuran tetap diam mengamati dari tempatnya berdiri. Bola matanya bergerak mengikuti Mukuro kala sang senior menyelinap keluar gedung, menuju taman di luar sana. Adalah ide yang buruk untuk meninggalkan ruangan tanpa izin dari orang tuanya, tapi Byakuran terlalu penasaran dengan tingkah laku Mukuro sampai-sampai ia rela menerima resiko dimarahi ayah dan ibunya.

Berlari kecil sembari berhati-hati agar tidak menubruk tamu-tamu dewasa, bocah dengan surai putih salju itu mengikuti Mukuro ke arah taman. Awalnya Byakuran mengira Mukuro hanya ingin makan sendiri—hal yang lumrah, mengingat betapa ramainya suasana di dalam aula tadi dan ia sendiri juga tidak tahan, 'kok, mendengar ocehan para orang dewasa itu—namun kenyataan berkata lain.

Makanan yang Byakuran kira hendak Mukuro santap sendirian ternyata dibawa untuk dinikmati oleh beberapa orang bocah.

Lebih tepatnya, 'sih, dinikmati oleh tiga orang bocah. Dua di antaranya adalah anak lelaki; yang satu berambut pirang mengkilat dan penampilannya sedikit urakan, sementara yang satu lagi tampak kalem dengan beanie dan kacamata. Bocah terakhir adalah gadis kecil dengan rambut ungu yang—Byakuran nyaris tidak mempercayai matanya—mirip dengan Mukuro. Tapi jelas bahwa gadis kecil itu perempuan, karena ia memakai gaun pesta. Mereka berempat duduk di bawah pohon kecil di taman itu.

Byakuran ingin tahu siapa bocah-bocah itu dan kenapa mereka tidak masuk ke dalam aula, namun sesuatu menghentikannya dari bergerak mendekati kelompok kecil itu. Dan sesuatu itu adalah senyum Mukuro.

Ya, Mukuro sedang tersenyum.

Senyuman yang tidak sama dengan yang dilontarkan padanya saat mereka berdua berkenalan di dalam aula tadi. Senyuman yang tulus, tidak dipaksakan, dan, yang paling penting, membuatnya terlihat lebih manis dari sebelumnya. Senyuman yang membuat Byakuran begitu terkesima sampai-sampai tidak bisa berbicara maupun bergerak.

Namun, ketika si gadis kecil berambut ungu menoleh, menyadari keberadaannya, dan menunjuk ke arahnya agar Mukuro dan dua temannya yang lain ikut menyadari kehadirannya, Byakuran otomatis tersadar. Segera ia menguasai diri agar tidak terlihat gugup lalu berjalan mendekati empat orang anak tersebut.

"Aku tidak tahu ada teman-temanmu di sini, Mukuro-kun."

Byakuran bisa melihat pelipis Mukuro sedikit berkedut ketika ia bersikap sok akrab dengan memanggilnya 'Mukuro-kun', meskipun sang senior tidak memprotes sedikitpun. "Aku tidak punya kewajiban untuk memberitahukannya padamu, 'kan?"

"Memang, 'sih..."

"Mukuro-san." Suara si rambut pirang membuat Mukuro berhenti menatap Byakuran dengan pandangan tak suka. "Memangnya dia siapa, byon?"

"Anak kolega dua orang dewasa yang menyebut diri mereka sebagai orang tuaku."

Sebelah alis Byakuran terangkat naik. Aneh rasanya mendengar seorang anak menyebut orang tuanya seperti itu. Apa Mukuro membenci kedua orang tuanya? Byakuran hendak memberi komentarnya mengenai hal itu ketika tiba-tiba saja perutnya berbunyi.

"Whoops. Aku baru ingat aku belum makan apa-apa sejak siang tadi." Si surai putih salju itu terkekeh pelan sembari melirik kue-kue yang masih belum disantap oleh Mukuro dan kawan-kawan. "Boleh aku minta satu?"

Mukuro memutar bola matanya secara imajinatif dan segera menukas. "Ambil satu. Anggap sebagai upah tutup mulut. Kalau sudah kau makan, kembali ke tempat orang tuamu dan jangan bilang pada siapa-siapa kalau kami ada di sini."

"Memangnya kalau aku bilang pada orang dewasa di dalam sana kalau kalian ada di sini apa yang akan terjadi."

"Tutup mulutmu dan cepat pilih satu!"

Byakuran merengut, tidak senang dibentak tapi toh tidak bertanya lagi. Mukuro terlihat marah, dan, meskipun sudah menjadi bagian dari sifat pemberontaknya untuk tidak mengikuti aturan, untuk kali ini saja ia akan mematuhi perintah sang senior.

Maka ia mulai menimang-nimang kue yang mana yang akan ia lahap. Ada cheesecake, shortcake, fruitcake, eclair... Yang terakhir cukup menarik perhatiannya. Jarang-jarang ia melihat eclair dihidangkan sebagai makanan pesta. Tangannya hendak meraih roti satu itu namun sepasang tangan kecil buru-buru menyambar sang eclair, menggagalkan usahanya. Ketika ia mendongak, rupanya tangan kecil itu adalah tangan si gadis berambut ungu. Ia tampak tidak rela kalau eclair itu diambil oleh Byakuran.

Mukuro menatap gadis itu, sedikit heran. "Nagi, berikan padanya. Sebagai gantinya kau boleh memakan choux yang diincar Ken sedari tadi."

"GEH? Kenapa harus choux yang ku—hmph!" Protes dari Ken diredam oleh tangan kawannya yang berkacamata.

Namun gadis bernama Nagi itu menggeleng. "Tidak."

Dahi Mukuro berkerut. "Kenapa?"

"Karena Onii-sama sudah mengincar eclair ini sejak awal."

Byakuran mengerjap beberapa kali. Well, dia tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata adik Mukuro. Memang wajah mereka mirip, tapi karena perangainya sama sekali tidak mirip, Byakuran menerka mereka adalah saudara jauh atau paling tidak saudara sepupu.

"Aku bisa mengambil yang lain lagi. Berikan saja itu pada—"

"Aku ambil choux-nya saja, kalau begitu."

Mukuro, yang ucapannya disela, menoleh ke arah Byakuran yang tangannya sudah menyambar choux. Ken, yang bahunya dipegangi erat oleh si kacamata, terlihat depresi karena makanan yang ia incar dilahap orang lain. Byakuran mengunyah lalu menelan kudapan manis itu, menjilati sisa-sisa di jemarinya, lalu berbalik.

"Terima kasih upahnya." Byakuran menatap ke arah keempat bocah itu melewati bahunya. "Tapi aku tidak jamin akan benar-benar tutup mulut, ya."

Usai berkata seperti itu ia langsung berlari ke arah aula, tersenyum sementara ia mendengar Mukuro berdecak tak senang dan berseru bahwa ia akan mencelakai Byakuran jika Byakuran melanggar janji. Ia hanya membual, sebenarnya. Melanggar sumpahnya sendiri bukan hal yang tidak biasa bagi bocah dengan surai seputih salju itu. Tapi untuk kali ini saja ia akan menahan diri untuk tidak ingkar.

Karena ada sesuatu yang membuatnya tertarik pada Mukuro, dan untuk sementara ini, ia tidak ingin menjadi musuh seniornya yang manis itu.

.

.

.

Bersambung...

.

.

.

Komentar?