Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.
Can't you tell just by looking at him?
[ He has a sly smile, and eyes that seem to see my essence as they explore my soul and implore my spirit to enter him. I look at him and I see love. ]
"Kau tidak pernah merasa kesal sama sekali berada di sampingnya setiap saat?"
"Aku tidak tahu berapa besar dia membayarmu hingga kau masih tetap setia bekerja dengannya."
"Naruto. Kurasa telingamu sudah tuli, hatimu sudah mati, dan urat kesalmu sudah putus."
"Sejujurnya aku merasa kagum padamu, tapi aku juga merasa bodoh telah merasa kagum padamu ketika melihat apa yang dia lakukan."
Tidak pernah mengelak, kesal, atau memprotes. Mereka bisa berkata seperti itu karena memang kenyataannya bisa terlihat oleh siapa saja.
Bekerja sebagai pengawal pribadi dari seorang Uchiha memang terlihat tidak mudah. Bos Mafia yang satu itu mungkin terlihat tampan dan sangat memesona, tetapi di sisi lain dia memiliki sifat yang sangat buruk.
Pendiam, dingin, keras kepala, perfeksionis, dan itu semua dibingkai dengan harga diri yang tinggi.
Tidak jarang dia melimpahkan semua kekesalannya pada Naruto. Jika ada pekerjaan yang berjalan tidak sesuai keinginannya, satu atau dua memar bisa dipastikan menghiasi tubuh si pirang karena kebiasaan si Uchiha melempar barang. Tidak jarang juga si pirang terluka karena harus 'menyelesaikan' beberapa masalah yang membuat pekerjan pria itu terhambat.
Mungkin orang lain akan merasa aneh dan berpendapat sama, setelah mendengar apa yang Naruto katakan.
'Mengapa Naruto selalu ingin bersamanya?'
Tentu saja karena Naruto mencintainya. Jadi kurasa semua itu sudah cukup, sebagai alasan untuk memutuskan mengapa si pirang selalu berada di samping Sasuke seburuk apa pun diperlakukan.
.
"Naruto-san, Sasuke-sama datang berkunjung."
Si pirang melirik ke arah pintu dan mengangguk perlahan, menghiraukan rasa nyeri yang menjalar di seluruh tubuh saat seorang pria paruh baya yang telah dikenal baik membungkuk sopan sebelum pria berkulit pucat yang berada di belakangnya mendekat.
Tersenyum lembut, Naruto memaksa tubuhnya duduk di atas futon—sedikit menyandar ke arah lemari yang berada di sisi kiri.
"Apa yang kau lakukan selarut ini? Kau harusnya berada di kamarmu dan istirahat."
"Kudengar kau terluka," Sasuke menyahut dengan datar, sejak tadi dia menunduk, dan tidak mau menatap langsung si pirang.
Naruto tahu Sasuke merasa bersalah, karena itu dia memamerkan barisan gigi yang rapi ke arahnya, mencoba mencairkan suasana kaku yang berada di sekeliling mereka.
"Ini bukan masalah besar, hanya beberapa goresan dan memar," ujar si pirang.
Sasuke mengangkat wajahnya lalu menatap tajam.
Berbohong, adalah satu-satunya cara yang Naruto kira akan selalu berhasil membuat pria itu percaya. Nyatanya kali ini tidak berhasil. Wajah yang memar, kepala dibalut perban, serta tangan kanan yang patah. Kondisinya saat ini memang tidak bisa dikatakan 'baik baik saja'.
"Apa yang terjadi dengan kepalamu?" tanya Sasuke.
"Hanya terbentur," sahut si pirang.
"Apa anak buah mereka yang melakukan ini padamu?"
Naruto menyahut pelan, dia bisa mendengar sedikit nada khawatir dan kesal dari perkataan si Uchiha. "Sudahlah Sasuke, lagi pula semua masalah sudah kuselesaikan, bukan?"
"Tidak seharusnya kau memaksakan dirimu. Kau bisa meminta bantuan anak buahku yang lainnya, Naruto," jelas Sasuke, menatap tidak suka.
Dengan senyuman lebar, tangan Naruto mencoba menggapai surai hitam si Uchiha. "Jika aku tidak melakukannya, pekerjaanmu tidak akan selesai. Lagi pula aku yakin dengan kemampuanku, jadi kurasa, aku tidak akan membutuhkan bantuan."
Sasuke tidak menyahut, hanya menatap lirih.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Ayolah Teme, aku baik-baik saja."
Sasuke tidak merespon, lalu memalingkan wajah.
Jika sudah seperti ini, terpaksa Naruto harus meyakinkan pria itu dengan paksa. Dia bisa melihat dari sepasang netra jika si Uchiha masih tidak percaya, tapi dia tidak ingin pria itu terlalu khawatir dengan kondisinya.
"Kau percaya padaku bukan?" ujar Naruto. Menyentuh pundak Sasuke masih menunggu sahutan dari bibir pucat itu.
"Hn," gumam pelan terdengar.
Naruto tersenyum lembut. Dia menarik tubuh si Uchiha ke dalam pelukan, untuk menghirup aroma mint yang berasal dari perpotongan leher dan pundaknya sebelum berbisik lembut. "Karena kau di sini bagaimana jika kau menemaniku?"
Sasuke berusaha mendorong Naruto menjauh, tapi si pirang tidak akan melepas tubuhnya semudah itu. "Dasar bodoh. Kau sedang terluka saat ini."
Naruto tertawa kecil melihat wajah si Uchiha yang kini menjadi merah padam. Dengan gerakan halus dia mencoba mendorong tubuh pucat itu ke atas futon lalu mengecup bibirnya.
"Aku mencintaimu Sasuke."
Sasuke menatap tajam. Namun tidak lama kemudian dia memalingkan wajahnya untuk memberi Naruto akses lebih. Pada akhirnya dia menyerah dan berbisik pelan. "Aku juga mencintaimu, Naruto."
Mendengar pernyataan yang terlontar dari Sasuke sudah cukup untuk mengenyahkan semua rasa sakit yang sedari tadi membuat Naruto tidak nyaman. Dengan senyuman lebar si pirang kembali memeluknya. Tidak berniat untuk melepaskan, sampai kapan pun.
.
Tidak keberatan jika harus terluka terus menerus, karena baik tubuh dan hati Naruto telah menjadi milik Sasuke sejak lama.
.
End
