Valvrave©Sunrise

Warning: AU, OOC, update tidak menentu.


Kabur Dari Istana

Haruto menatap jenuh ke arah halaman istana di beranda kamarnya yang berada di lantai 3. Dia ingin bermain keluar istana. Tapi, statusnya sebagai pangeran di Kerajaan JIOR, membuatnya tidak bisa bebas ke mana-mana. Semua kegiatannya terjadwal dan hampir tidak memberikannya waktu istirahat di siang hari. Dia baru bisa mendapatkan waktu luang bila ada kunjungan resmi yang memintanya untuk ikut. Biasanya keluar istana juga, tapi tetap tidak bebas ke mana-mana.

"Kenapa aku harus jadi pangeran?" keluhnya, semakin membenamkan wajahnya di kedua tangannya yang diletakkan di atas pagar beranda. Dia ingin melakukan sesuatu yang cukup menantang di waktu luangnya yang sekarang karena guru yang mengajarnya hari ini berhalangan hadir.

Dia memperhatikan halaman istana yang bersebelahan dengan kamarnya itu. Sepi. Bahkan para penjaga pun tidak terlihat. Bukan berarti mereka tidak bekerja. Mereka cuma belum terlihat lewat di sana. Ketahuan tidak bekerja, akan langsung dipecat.

Seringai usil terpasang di bibir Haruto. Dia segera kembali masuk ke kamarnya dan mengobrak-abrik lemari pakaiannya. Mencari pakaian yang tidak terlihat seperti pakaian kerajaan. Setelah memilah banyak pakaiannya yang kebanyakan mewah, keputusannya pun jatuh pada pakaian sederhana yang berupa kaos putih lengan panjang, hitam bergaris merah, celana hitam panjang, sepatu bot coklat gelap, dan sebuah jubah coklat polos pemberian temannya, Shoko, yang baru selesai belajar membuat pakaian sendiri. Cuma untuk hobi. Selera gadis itu sebenarnya aneh, dalam hal makanan dan gaya berpakaian, tapi untunglah jubah pemberiannya cuma jubah polos karena percobaan pertama.

Dia juga mempersiapkan sebuah tas yang diisi dengan sejumlah uang, pakaian ganti, dan beberapa perlengkapan lain seperti sebuah belati, botol air minum, korek api, dan perlengkapan menulis. Lalu sebilah katana kesayangannya. Dia berlatih teknik samurai karena menurutnya samurai itu menarik yang tak dilarang oleh orangtuanya asalkan itu dapat melindungi dirinya.

Setelah semuanya siap dan pakaiannya telah diganti, Haruto memulai aksinya. Aksi untuk kabur dari istana. Cuma beberapa hari saja. Dia tidak peduli kalau nantinya akan membuat satu istana heboh. Yang penting dia bisa berkeliaran di luar istana tanpa ada pengawasan. Dia juga tidak mungkin macam-macam. Cuma ingin jalan-jalan saja.

Pergi kabur di siang hari memang beresiko tinggi. Tapi, dia suka hal itu. Begitu menantang. Dia memastikan sekali lagi apakah ada orang atau tidak di jalurnya. Kemudian dia melompat dari beranda dan mendarat dengan mulus di atas tanah. Segera dia lari menuju halaman belakang di mana letak kandang kuda berada. Di sana memang ada penjaganya, tapi tanpa kesulitan, Haruto berhasil memasukinya.

Seekor kuda jantan hitam yang telah menjadi favoritnya sejak lama dipasangi pelana. Setelah semua beres, dia keluar dan melempar sebuah batu ke semak yang jauh dari jalur pelariannya. Para penjaga yang sedang berjaga segera ke tempat asal suara tersebut. Kesempatan itu digunakan Haruto untuk kabur dengan kudanya melalui pintu belakang yang jarang terkunci dan beruntung hari ini sedang tidak terkunci.

Kudanya dipacu untuk menjauh dari wilayah istana secepatnya. Dia mengambil jalur hutan untuk menghindari kecurigaan karena sebagian besar penduduk kota telah mengenal wajahnya.

-x-x-

Kota tak dikenal menjadi persinggahan Haruto setelah hampir seharian berkuda. Langit juga sudah mulai gelap sehingga membuat Haruto memilih untuk mencari penginapan saja di kota tersebut. Biarpun tidak dikenal karena ini juga pertama kalinya Haruto bepergian jauh tanpa tujuan, kota itu sudah ditandai di petanya. Ilmu pemetaan yang dipelajarinya dengan kejenuhan tingkat tinggi karena gurunya kaku sekali mengajarnya, benar-benar tidak sia-sia saat ini. Justru akan sia-sia kalau dia tidak keluar dari istana.

Bangunan bertuliskan "Penginapan & Bar" langsung didatanginya. Kudanya dia parkirkan di tempat parkiran kuda yang terletak di sebelah bangunan tersebut di mana sudah ada beberapa ekor kuda di sana. Tali kekangnya diikat di tiang agar kudanya tidak kabur. Setelah memastikan ikatannya cukup kuat, Haruto berjalan memasuki penginapan. Tudung jubahnya dia buka. Dia tidak khawatir sekarang kalau akan dikenali karena kota tempatnya berada sekarang berada jauh dari wilayah kerajaannya.

Bagian dalam bangunannya sederhana saja. Hanya ada beberapa meja bundar dengan empat kursi di setiap mejanya. Meja bar yang tidak terlalu panjang berhadapan langsung dengan pintu masuk. Pengunjungnya cukup banyak walaupun bukan tempat yang mewah.

Haruto segera menghampiri meja bar. "Permisi, apakah masih ada kamar kosong di sini?" tanyanya langsung pada bartender tersebut.

"Kau beruntung. Masih ada satu kamar yang kosong di sini," jawab si bartender.

Haruto segera mengambil beberapa keping uangnya untuk membayar biaya penginapan.

"Saki!" Si bartender memanggil seseorang yang tengah mengantar minuman barusan. Seorang gadis berambut hitam keunguan yang panjang dan bermata ungu. Tubuhnya ramping. Sangat pas dengan gaun berwarna krim yang dikenakannya. Gadis yang menurut Haruto cantik dan anggun. Tidak kalah dengan gadis-gadis bangsawan yang biasa ditemuinya. Gadis itu segera menghampiri meja bar.

"Tolong antar tamu kita ini ke kamarnya."

"Baik." Gadis yang dipanggil Saki itu menghadap Haruto yang masih terpukau padanya. "Mari."

Haruto pun tersadar. "A-ah... Iya." Dia segera mengikuti Saki menuju lantai 2, letak kamar yang akan dihuninya semalam.

-x-x-

"Kalau ada apa-apa, panggil saja," ucap Saki sebelum kemudian dia pamit pergi meninggalkan Haruto di kamar yang disewanya sambil menutup pintu.

Kamar yang dihuni Haruto tidaklah besar dan hanya ada sebuah tempat tidur kecil dan meja lampu dengan sebuah lampu minyak di atasnya. Berkali-kali lipat lebih kecil dari ukuran kamarnya di istana. Kamar itu juga sangat bersih dan terawat. Tas dan jubahnya digantung di gantungan yang terdapat di pintu. Sedangkan pedangnya dia letakkan di pojok kamar. Haruto segera berbaring di atas tempat tidur karena sudah merasa sangat lelah akibat perjalanan panjangnya. Biarpun cuma tempat tidur kecil, terasa sangat nyaman sehingga tak butuh waktu lama bagi Haruto untuk terlelap.

Mungkin baru sekitar sejam Haruto terlelap ketika dia tiba-tiba terbangun karena merasakan adanya orang di dekatnya. Dia membuka mata dan melihat Saki yang telah berada di sampingnya dengan sebilah pisau di tangannya yang siap ditikamkan padanya. Haruto segera berguling menghindari tikaman pisau gadis itu.

"A-apa yang kau lakukan, Nona Saki?" tanyanya panik.

Saki mencabut pisaunya yang tertancap di kasur. Matanya menatap tajam pada Haruto yang berada di seberang tempat tidur. "Kau... bangsawan, 'kan?"

"Heh?" Tentu saja Haruto kaget. Bagaimana gadis itu bisa tahu kalau dirinya bangsawan. Padahal penampilannya sama sekali sudah tidak mirip bangsawan.

"Pedangmu." Saki melirik ke pedang Haruto yang diletakkan di pojok kamar di belakangnya. "Ada simbol kerajaan pada ujung ganggangnya."

Akhirnya Haruto tesadar pada kecerobohannya yang satu itu.

"Eh... tapi, simbol itu bisa dibuat oleh siapa saja, 'kan?" Haruto mencoba menyangkalnya agar identitasnya tetap tersembunyi.

"Memang. Siapa pun bisa membuatnya. Tapi, simbol kerajaan milikmu merupakan yang asli. Aku sudah pernah melihatnya. Penulisan hurufnya begitu khas. Tidak ada yang bisa meniru bagian itu."

Haruto tidak bisa menyangkalnya. Memang yang membuat simbol kerajaannya tidak mudah ditiru adalah bagian tulisannya. Sehingga segigih apa pun orang mencoba membuat tiruannya, tidak akan berhasil membuat tulisan yang mirip.

"Baiklah, aku mengaku. Aku memang dari kerajaan. Tapi, kenapa kau membenci kaum bangsawan?"

"Aku tidak kaget kalau kau menjawab begitu karena para bangsawan memang tidak akan pernah mau menunjukkan wajah aslinya."

"Apa maksudmu? Aku benar-benar tidak tahu. Ini pertama kalinya aku keluar dari istana."

"Jangan bohong!"

Haruto termundur selangkah.

"Gara-gara kalian... Gara-gara kalian... aku berakhir di Pasar Budak!"

Haruto semakin kaget saja. Pasar Budak? Dia pernah mendengar mengenai tempat itu, tapi yang dia dengar setahunya cuma kabar angin. Tidak diketahui pasti kebenaran tempat itu.

"Aku cuma ingin menjadi penyanyi." Wajah Saki tertunduk. Bahunya bergetar. "Tapi, kalian membohongiku. Mengatakan akan membawaku ke tempat di mana bakat menyanyiku bisa lebih dikembangkan. Tapi, ternyata aku malah dijual di sana!" Dia kembali menatap Haruto dengan mata yang sudah berlinang air mata. Kali ini juga tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. Semakin penuh dengan kebencian.

"Pasar Budak itu... bukannya cuma kabar angin?" tanya Haruto.

"Tempat itu ada. Itu merupakan tempat terburuk yang pernah kukunjungi," jawab Saki. Sama sekali tidak terlihat kalau itu adalah kebohongan. "Di sana banyak orang-orang yang tidak berdaya diperdagangkan seperti barang. Aku berhasil kabur dari sana karena aku bukan hanya bisa menyanyi, tapi juga bertempur!"

Dengan kecepatan yang terduga, Saki melesat sambil menghunuskan pisaunya ke arah Haruto yang segera bergerak menghindarinya. Haruto berlari dan mengambil pedangnya. Tanpa membuka sarungnya, dia gunakan pedangnya itu untuk menahan setiap hunusan pisau Saki yang jujur sangat cepat. Hampir tidak terlihat. Terlalu sibuk dengan pisau Saki, Haruto hampir tidak menyadari kalau kaki gadis itu melayang ke arah kepalanya. Dia berhasil menghalau tendangan itu dengan tangannya, tapi itu tidak membuatnya tetap berdiri di tempat. Dia tetap terpental dan menabrak dinding sampai dinding yang berupa kayu itu mengeluarkan bunyi retak. Padahal tubuh Saki tergolong kurus, tapi tidak disangka kalau kekuatannya sangat besar. Kalau seperti ini, rasa-rasanya gadis itu bukan cuma sekedar mengetahui teknik bela diri. Melainkan jauh lebih dari itu. Siapa gadis itu sebenarnya?

Saki kembali berlari melesat sambil menyerang dengan pisaunya yang sudah dia pegang dengan posisi terbalik. Mata pisaunya kini mengarah ke bawah. Dia tebaskan dengan cepat, tapi Haruto masih dapat menghalanginya dengan pedangnya. Mereka berdua saling mendorong.

"Bisakah kau hentikan?" pinta Haruto. "Begitu aku kembali, aku akan menyelidiki lebih lanjut mengenai masalah ini."

"Percuma! Aku tidak pernah percaya kaum bangsawan lagi. Yang waktu itu adalah yang pertama dan terakhir kalinya!"

"Kalau kau membunuhku pun percuma juga. Yang ada malah kau akan jadi buron."

Saki tersenyum sinis. "Kau pikir bila kau terbunuh di sini, akan ada yang tahu? Kau lupa kalau tempat ini jauh dari pusat kerajaan? Tempat ini begitu terpinggir. Para bangsawan bahkan enggan melewatinya."

"Lalu, bagaimana denganku? Aku bangsawan, tapi aku mau saja ke tempat seperti ini. Aku pun tidak keberatan dengan fasilitas di sini."

"Yah, kau memang berbeda dengan yang lain. Aku akui itu. Tapi, itu tetap tidak akan mengubah pandanganku mengenai kalian!"

Tangan Saki yang bebas menarik keluar satu pisau lagi yang dia sembunyikan di balik roknya dan menghunuskannya tepat di wajah Haruto. Haruto menghindarinya dengan menggeserkan kepalanya sehingga pisau itu tertancap dalam di dinding. Saki pun jadi kesulitan mencabutnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Haruto. Dia menangkan tangan gadis itu yang berada di sebelah kepalanya dan mendorong lebih kuat sampai gadis itu terbaring di lantai dengan cukup kasar. Pisaunya terlempar dan sarung pedang Haruto menempel di leher si gadis pelayan.

"Tolong hentikan," pinta Haruto dengan sangat. "Aku memang bangsawan. Tapi, aku sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai masalah ini. Bahkan biarpun pernah keluar istana sekali pun, aku tetap tidak tahu apa-apa mengenai dunia luar. Aku mengerti mengenai kebencianmu, tapi tolong bersabarlah karena aku juga ingin masalah ini selesai. Aku tidak ingin ada masalah seperti ini lagi saat aku menjadi raja nanti."

Saki menatap bingung. "Raja?"

Haruto bergerak mundur menjauhi Saki. "Aku Putra Mahkota Kerajaan JIOR, Haruto Tokishima." Haruto tidak ada pilihan lain selain memberitahu identitasnya. Daripada keadaannya jadi lebih kacau.

Saki malah tertegun. Lama. Dan mendadak dia malah bersujud yang membuat Haruto kaget.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak tahu kalau Anda adalah pangeran Kerjaaan JIOR."

"HEEEEH?! Be-berdiri! Tidak perlu bersujud seperti itu!"

-x-x-

Saki akhirnya lebih tenang sekarang. Haruto pun lega luar biasa. Sebab baru kali ini dia mengalami hal semacam ini. Makanya dia ikut-ikutan panik tadi.

"Biarkan hamba memperkenalkan diri dengan benar. Nama hamba adalah Saki Rukino. Hamba berasal dari Divisi Keamanan Kerajaan. Tugas hamba adalah mengawasi dan menyelidiki tentang para bangsawan yang lewat di sini." Saki memperkenalkan diri sambil menunjukkan simbol kerajaan yang biasa dibawa oleh petugas-petugas kerajaan yang setelah dilihat memang asli.

"Bahkan dengan cara seperti tadi?"

"A-ah... Maaf, itu cuma cara menguji apakah orang yang diselidiki bisa bela diri atau tidak. Kalau dia ternyata menyembunyikan kemampuannya, bisa-bisa dia menggunakannya tiba-tiba saat sedang menginterograsi dan kabur."

Haruto melirik ke arah lain dengan kesal. "Tapi, tadi kau seperti benar-benar ingin membunuhku."

"Hamba benar-benar minta maaf soal itu!" Saki membungkuk dalam beberapa kali dengan cepat. "Hamba belum pernah bertemu dengan Anda karena hamba baru diterima belum lama ini di istana. Sudah begitu, hamba sendiri juga bukan berasal dari Kerajaan JIOR. Hamba cuma pengelana yang baru memutuskan untuk bekerja di JIOR."

Haruto menghela nafas. "Sudahlah. Tidak apa-apa. Kau cuma menjalankan tugas," ucapnya. "Kalau kau berasal dari Divisi Keamanan Kerajaan, itu artinya apa yang kau katakan tadi cuma bohong?"

"Tidak sepenuhnya," sangkal Saki cepat. "Mengenai Pasar Budaklah yang benar walaupun aku sendiri masih belum tahu tempatnya. Tapi, mengenai hamba yang pernah ke sana hanyalah bohong. Yang hamba selidiki adalah kasus penculikan yang berbuntut perdagangan manusia. Belakangan ini tingkat orang hilang di sejumlah wilayah pemukiman meningkat. Juga banyak bangsawan yang melakukan perdagangan di luar daerah dengan barang dagangan yang tidak jelas. Apa yang hamba lakukan tadi untuk memastikan apakah bangsawan tersebut mengetahui tentang Pasar Budak yang selama ini diperbincangkan atau tidak. Tapi, sejauh ini belum ada perkembangan. Menurut orang-orang yang telah diinterogasi, mereka hanya diminta untuk ikut sebuah kereta kuda yang akan menghampiri mereka yang ingin ke Pasar Budak. Orang yang memberi informasi itu juga tidak diketahui jelas identitasnya. Hanya saja mereka menyebut diri sebagai Dewan 101. Lalu, cara mereka bisa ditemukan pun, informasi yang didapat hanyalah mereka akan datang dengan sendirinya. Tidak masuk akal, tapi... itu benar."

Cerita Saki memang terdengar seperti mengada-ada, tapi gadis itu tidak tampak berbohong. Haruto tersadar kembali. Tadi juga saat Saki menceritakan mengenai dirinya yang pernah dibawa ke Pasar Budak, dia benar-benar tidak terlihat berbohong. Aktingnya begitu alami. Apa kali ini gadis itu juga bohong? Maunya tidak percaya, tapi Haruto sendiri tidak bisa membuktikan apakah cerita itu bohong atau tidak.

"Yang Mulia?"

Haruto berdehem. "Bagaimana kalau aku juga ikut menyelidikinya?"

"Tapi, Yang Mulia, ini bisa saja berbahaya," Saki memperingatkan dengan serius.

"Seperti yang kubilang tadi, aku tidak ingin ada masalah seperti ini saat aku menjadi raja nanti. Ayahku jelas tidak tahu apa-apa mengenai masalah ini, jadi biar aku menyelidikinya langsung. Bila aku menyaksikan sendiri kebenarannya, aku bisa menyampaikan dengan akurat mengenai masalah ini."

Saki terdiam beberapa saat, sebelum kemudian berucap, "Baiklah, terserah Anda saja, Yang Mulia."

"Bagus. Kalau begitu, berkemaslah. Kita akan berangkat besok," titah Haruto.

"Heh?"

"Kita akan mencarinya secara manual kalau memang tidak dapat-dapat juga informasi lebih lanjut mengenai hal itu. Kalau kita gigih mencari, pasti kita akan mendapatkan petunjuk yang lebih akurat di perjalanan."

"Tapi, bukannya itu akan memakan waktu lama?"

"Daripada menunggu, bukannya lebih baik mulai mencarinya saja?"

Saki tidak lagi mengatakan apa-apa. Dia tertunduk, pasrah saja pada keputusan Haruto.

"Oh, ya. Satu hal lagi."

Saki mengangkat kepalanya.

"Panggil saja aku Haruto dan bicaranya tidak perlu formal. Kita ini tidak berada di istana," Haruto mengatakannya sambil tersenyum lebar.

Senyum tipis terkembang di bibir Saki. "Kalau begitu, panggil ham— maksudku, panggil aku juga dengan nama Saki."

"Mohon kerja samanya, Saki."

Saki mengangguk. "Mohon kerja samanya juga, Haruto."