"Somewhere Only We Know"
Cast: Park ChanYeol, Byun BaekHyun, Support Cast:Kang Jihyun, Lee Jina, Park SeHun, Wu YiFan, Kim JongIn, Xi LuHan, Do KyungSoo Genre: SINETRON Length: Chaptered Rating: M
Warning:
TYPO, MAINSTREAM, ABSURD
.
.
.
Rapat direksi telah berakhir lima menit lalu ketika Chanyeol mendapati ponselnya bergetar sekali di dalam kantung celana kain miliknya.
Sebuah pesan baru masuk.
Ia membacanya dalam diam lalu menghela nafasnya. Antara kesal juga melepas lelah selepas dua jam berdebat dengan kepala direksi di ruang rapat tadi. Chanyeol memasuki ruangannya dengan langkah lesu. Mendudukkan dirinya dengan malas pada kursi besar miliknya lalu memejamkan matanya setelah itu.
Pikirannya mulai melayang entah kemana. Ia pikir dirinya tengah sial saat ini. Atau lebih tepatnya beberapa hari belakangannya ini.
Anak tangga seolah menghujani kepalanya dengan leluasa. Menjatuhkan reputasi perusahaan binaannya dengan perlahan dan Chanyeol jelas merasa frustasi.
Bulan lalu mungkin menjadi awalnya. Ia hanya salah berucap satu kata dan berefek hilangnya jutaan dolar dalam sekejab. Lalu diikuti dengan kontrak kerja sama lainnya dengan perusahaan lain—ikut bernasib buruk juga.
Chanyeol… entahlah. Dirinya pun sebenarnya tak mengerti apa yang salah dengan dirinya saat ini. Tengah sial, mungkin. Namun ia sadar pula jika semua kesialan ini jelas berawal dari dirinya sendiri. Ia mulai menguras otak sekedar mencoba untuk mengingat dengan jeli, namun tak bisa ia lakukan.
Dengan satu helaan nafas yang keras, Chanyeol bangkit dari duduknya lalu meninggalkan ruangan kerjanya dengan langkah besar-besar.
…
Langit telah berwarna jingga ketika mobil mewah milik Chanyeol merayapi jalanan ibukota. Jalanan bising dan padatnya mobil yang lain membuat kepalanya semakin akan pecah terasa. Pria itu berakhir dengan mengendarai mobilnya dengan kecepatan di bawah rata-rata dan sampai ke rumah ketika jam makan malam telah berlalu.
Istri cantik pertamanya, Jina menyambut dengan sebuah ciuman mesra di bibir. Belah bibir yang saling berdempetan itu tak tau mengapa membuat ia tak segairah biasanya. Chanyeol menjadi orang pertama yang memutuskan kontak fisik mereka lalu melenggang masuk ke dalam rumah besarnya.
Jina mengikuti langkahnya sambil membawakan kopor hitam milik Chanyeol menuju kamar mereka.
"Jihyun sedang berada di Incheon saat ini, kau mengetahuinya bukan?" Jina bertanya sambil membantu Chanyeol membuka kemeja pria itu.
Chanyeol menganguk, "Ya, dia mengirimiku pesan tadi." Chanyeol mendesah sekali. "Bisakah kau siapkan air hangat untukku, aku ingin mandi."
Jina mengangguk cepat lalu masuk ke dalam kamar mandi mandi dan mulai menyiapkan air hangat untuk suaminya itu.
Chanyeol memutuskan untuk membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan mulai terlelap seorang diri, niatan awalnya selagi Jina selesai dengan air hangatnya. Namun Chanyeol malah mengabaikan suara wanita itu yang telah selesai dengan air hangat di bath updi kamar mandi—menyuruhnya segera membersihkan diri. Chanyeol bergeming dalam posisinya. Tetap tetap melanjutkan tidur dengan dada telanjang dan mulai mengarungi mimpi.
Tidak tau jika di belakangnya sang istri mencibir kesal kepadanya.
…
Hari masih berlanjut dan Chanyeol sadar betul akan mendapati pekerjaan kemarin ikut menemani hari barunya saat ini.
Ia terbangun ketika jam telah menunjukkan pukul delapan lewat beberapa menit dan tak mendapati Jina di sampingnya. Hanya ada secarik stick note merah muda di atas baju yang telah wanita itu siapkan di atas sofa untuk ia pakai hari ini.
~Aku ada jadwal di Osaka, maaf tak berpamitan secara langsung kepadamu. Aku mencintamu. Jina.~
Chanyeol menggeram kesal tanpa sadar. Kertas merah muda itu ia remas lalu ia lempar ke sudut lemari. Ia urung untuk mempersiapkan dirinya untuk bekerja hari ini. Alih-alih malah melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur, dan Chanyeol kembali mengarungi mimpi miliknya setelah itu.
…
Suara dentingan gelas kristal terdengar pelan di keremangan lampu bar. Alunan musik teduh sayup-sayup menemani kedua pria yang berprofesi sebagai pengusaha itu. Satu di antara keduanya, yang memiliki kulit tan, meletakkan gelas di tangannya setelah menyesap sedikit isinya. Pandangannya ia alihkan kepada pria lain yang berada tepat di sampingnya setelah itu.
"Jadi apa yang menjadi masalahmu kawan? Aku sudah melihat grafik pendapatan perusahaanmu dan yeah… itu menyedihkan." Jongin— si pria berkulit tan, hanya tengah berusaha menunjukkan rasa simpatiknya namun terdengar sedikit meremehkan Chanyeol rasa. Dirinya memang sedikit sensitive akhir-akhir ini.
Jongin hanya tak ingin sahabatnya itu terlalu bermuram durja. Mungkin mereka memang merupakan saingan di dunia bisnis, namun Jongin tak ingin licik pula dan memanfaatkan saat-saat seperti ini untuk mengeluarkan bisa ularnya.
Di depannya Chanyeol hanya menghela nafasnya berkali-kali. Ia menyesap cairan vodka-nya dalam kurun waktu sepuluh detik sakali dan gelasnya kini hanya terisi hampir seperempat saja.
"Entahlah." Jawabnya ambigu.
Kening Jongin berkerut.
"Masalah personal mungkin?"
Mata bulat milik Chanyeol meneliti satu per satu titik pada wajah milik pria bermarga Kim itu. Hatinya menjadi ragu tiba-tiba.
Chanyeol telah memikirkan segala permasalahannya seorang diri selama dua hari terakhir ini. Dan ia rasa ia telah mengetahui benar apa yang tengah melanda dirinya kini.
Walau merasa tak yakin namun yeah… Chanyeol tak memiliki clue lain selain hal itu.
"Jongin," panggilnya dengan suara rendah.
"Ya?" Jongin menyahut.
Chanyeol menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi lalu menangkupkan kedua tangannya pada badan gelas.
Sekali lagi ia tatap Jongin dengan ragu.
Walau sebenarnya merasa cukup penasaran, namun Jongin tetap mencoba untuk bersikap tenang. Ia kembali menyesap cairan vodka-nya sembari memperhatikan wajah bimbang Chanyeol di sampingnya.
"Kupikir aku ingin menikah lagi."
Jongin tersedak. Buliran cairan vodka di mulutnya menyembur keluar dan membasahi permukaan meja di bawahnya. Bartender di depan mereka hanya melirik sekali dan kembali melanjutkan pekerjaannya setelah itu.
Chanyeol hanya memperhatikan hal itu tanpa bereaksi sedikit mungkin. Tidak mendumal—mengatai betapa joroknya Jongin beserta respon yang sedikit berlebihan ia rasa.
"Park, kau pasti bercanda?!"
Jongin mengabaikan tumpahan vodka-nya di atas meja dan memilih untuk mempertegas kalimat sahabatnya itu. Chanyeol tak segera menanggapi. Ia berbicara singkat dengan bartender dan meminta beberapa lembar tisu lalu lempar kesal kepada laki-laki berkulit tan itu. Jongin menangkapnya dengan sigap lalu mulai membersihkan meja dengan gerakan yang cepat.
"Mungkin kali ini aku akan menikahi wanita rumahan saja." Chanyeol berujar setelahnya.
"Ow, apa ada masalah dengan Jina atau Jihyun mungkin?"
"Mereka terlalu sibuk."
"Kau memilih untuk menikahi dua orang model kawan. Bukankah kau hanya ingin menikmati tubuh langsing berdada besar mereka saja, huh?" Jongin menahan tawa mengatakannya. Bukan tak ingat bagaimana Chanyeol sibuk menceritakan bagaimana hebatnya malam pertama yang ia lakukan bersama istri-istrinya di awal-awal pernikahan mereka. Maksud hati, ingin mempengaruhi Jongin agar pria itu cepat melepas status lajangnya dengan menikah.
Tapi lihat bagaimana cerita itu malah berbalik menyerang Chanyeol kini.
Chanyeol membawa pandangannya kepada Jongin dan menatap tak suka kepada pria itu. Jongin menyengir melihatnya lalu meneguk isi gelasnya kembali hingga tak bersisa.
"Well, kupikir kau takkan mempermasalahkan kegiatan individual mereka." Jongin kembali berujar.
"Seharusnya memang tidak masalah," Chanyeol menghela nafasnya lagi. "Yang satu berada di Incheon dan yang satunya lagi berada di Osaka. Kutebak mereka bahkan tak tau dengan apa yang tengah kualami saat ini."
"Kau tidak menceritakannya."
"Harusnya mereka bisa lebih peka."
"Heol… siapa yang tengah berbicara disini? Anak sekolah dasar kah?"
Chanyeol mendelik lagi kepada Jongin dan mengeram kesal tanpa berniat ia tutupi. Jongin tak peduli. Ia mencondongkan dirinya pada Chanyeol lalu merangkul pundaknya.
"Menikah untuk ketiga kalinya kupikir itu bukan ide yang bagus. Kau hanya akan mengulang cerita seperti ini kembali. Mungkin kau hanya sedikit butuh hiburan."
"Dan pusat hiburanku malah tidak ada di rumah saat ini."
Jongin berdecih. "Bukan dalam hal itu Park. Mungkin kau butuh berlibur ke luar negeri. Otakmu tengah tersumbat dan kau butuh menjernihkannya kembali."
"Pergi berlibur sedangkan perusahaanku berada dalam titik terbawah. Kau pasti bercanda?"
"Lalu apa manfaatnya seluruh bawahanmu itu?"
Chanyeol melirik Jongin dan ia sedikit banyak mulai memikirkan saran sahabatnya itu.
"Kembalilah saat pikiranmu sudah kembali normal, sobat."
…
Setelah menghabiskan sebotol vodka bersama dengan Jongin, Chanyeol memutuskan untuk segera bertolak ke rumah. Dirinya benar tak masuk kantor hari ini. Saran Jongin merasuki pikirannya dan ia pun membenarkan dalam hati.
Ponselnya bergetar ketika Chanyeol tengah memasang selt bet pada tubuhnya.
Dari Jihyun.
"Ya sayang," Chanyeol menyapa pertama kali.
"Sayang maaf sepertinya aku harus menyusul Jina ke Osaka hari ini,"
Kening Chanyeol berkerut. "Apa?"
"Ya, kupikir jadwalku besok. Ternyata bersamaan dengan Jina. Tidak apa-apa ya?"
Chanyeol memutar bola matanya.
"Ya, bukan masalah. Hati-hati, dan jangan lupakan vitaminmu."
"Terima kasih sayang, kau pun jangan terlalu sibuk bekerja. Aku mencintaimu."
Chanyeol tertawa remeh mendengar kalimat akhir istri keduanya itu.
Apa yang ia bilang tadi pada Jongin. Istri-istrinya memang tidak ada satupun tau dengan apa yang tengah ia alami saat ini.
"Aku juga mencintaimu."
Chanyeol melempar ponselnya pada jok penumpang di sampingnya lalu membanting setir dengan keras setelah itu.
Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibukota dan pikiran Chanyeol lagi di penuhi oleh pembicaraannya bersama Jongin beberapa saat yang lalu.
Tangan panjangnya tanpa sadar meraba jok di sampingnya guna meraih ponselnya kembali yang tergeletak disana. Lalu mulai mengutak-atik benda pintar itu dan menghubungi seseorang.
"Sekretaris Jang bisakah kau pesankan tiket penerbangan ke Italia untukku hari ini? Sekalian dengan kamar hotel di Roma dan ah~ seluruh pekerjaan di perusahaan aku percayakan kepadamu."
…
Chanyeol masih saja tak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Ini tidak seperti dirinya. Ini tidak seperti Park Chanyeol yang biasanya. Bulan lalu semuanya berjalan lancar seperti biasa.
Ide-ide kontrak kerjanya selalu mendapatkan perhatian dari perusahaan lain. Keuntungan perusahaan yang ia hasilkan setiap bulannya bahkan tidak bisa di bilang sedikit. Namanya bahkan dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses. Intinya semuanya berjalan mulus di hari lalu.
Belum lagi dirinya terlahir tampan dan berasal dari keluarga yang kaya raya pula.
Daya pikatnya itu tinggi. Bahkan di umurnya yang baru menanjak dua puluh tujuh tahun, ia telah menyandang status suami dari dua orang wanita sekaligus.
Chanyeol menikah pertama kali ketika ia berumur dua puluh lima tahun. Diusia yang masih dapat di katakan muda bagi kebanyakan pria Korea—yang mayoritasnya memilih untuk melepas status lajang mereka ketika umur telah memasuki kepala tiga, Chanyeol bahkan telah berganti status menjadi seorang suami.
Saat itu, ia masih berumur dua puluh tiga tahun ketika perusahaan binaannya baru saja meluncurkan sebuah produk kosmetik terbaru. Memakai seorang model untuk bintang iklannya, Chanyeol di masuki saran oleh beberapa ketua direksi untuk memakai model Lee Jina saja.
Chanyeol setuju dan yeah… itu merupakan kali pertama ia bertemu langsung dengan Jina. Si model cantik yang tengah berada pada puncak popularitasnya. Gadis itu bertubuh proporsional dengan wajah cantik yang menjadi parasnya, dan Chanyeol jatuh cinta kepadanya.
Mereka menjadi teman yang akrab walau hubungan kerja sama itu telah berakhir. Saling bertukar pesan dan akhirnya Chanyeol menyatakan perasaannya kepada si gadis. Mereka berada dalam status berpacaran selama dua tahun dan Chanyeol meminangnya ketika umur mereka beranjak masuk pada umur dua puluh lima tahun.
Selama menjalani penghidupan rumah tangga yang romantis, Jina mengetahui fakta jika dirinya ternyata mandul—tak dapat memberikan keturunan kepada Chanyeol dan pria itu mengatakan tak apa. Ia masih akan mencintai Jina apa adanya.
Namun di tahun selanjutnya, Jina memperkenalkan seorang wanita yang menjadi temannya kepada Chanyeol. Wanita itu bernama Jihyun. Memiliki pekerjaan yang sama dengan dirinya dan istri cantiknya itu menawari Chanyeol untuk menikahi Jihyun.
Chanyeol menolak hal itu, tentu.
Namun Jina mendesaknya terlalu sering.
Ia tak sadar jika terus saja bertemu dengan Jihyun di waktu-waktu senggang dan yeah… harus Chanyeol akui. Wanita itu pun sama cantiknya dan dia pikir ia mulai jatuh pesona pada si wanita yang menjadi teman istrinya itu.
Orangtua Chanyeol sempat begitu terkejut ketika Chanyeol memperkenalkan Jihyun kepada mereka dengan niatan ingin melamar Jihyun menjadi istri keduanya. Menambahi juga yang menjadi permasalahan ia dengan Jina dan orangtua Chanyeol pun menemui orangtua Jihyun setelah itu.
Jina terlihat bahagia dan dialah yang menganjurkan agar mereka bertiga tinggal bersama di dalam rumah yang sama.
Polah pikir wanita yang rumit dan Chanyeol pun setuju saja.
Namun tampaknya, menikahi Jihyun tidaklah menjadi akhir agar Chanyeol dapat menimbun benih keturunannya. Jihyun hanya terlalu cinta pada pekerjaannya saja. Ia mulai mengutarakan beberapa efek samping yang akan mempengaruhi bentuk tubuhnya setelah dia melahirkan nanti.
Mungkin Chanyeol hanya terlalu baik (atau bodoh, lebih tepatnya) dan tak banyak protes dengan kehidupan absurd yang ia jalani. Lagi, nyatanya Chanyeol tak dapat merasakan menjadi seorang ayah dalam waktu yang dekat ini.
Pada kenyataannya Jina maupun Jihyun hidup dalam lingkupan rumah tangga yang harmonis. Mereka tidak pernah beradu mulut seingat Chanyeol. Setidaknya hal itulah yang menjadi fakta yang melegakan bagi pria bermarga Park itu.
Namun sepertinya berbeda dengan sekarang.
Memang percekcokkan mulut tak pernah terjadi, tetapi jadwal padat yang harus diemban kedua istrinya mungkin menjadi alasan mengapa paginya tak sebegitu menyenangkan seperti hari lalu. Chanyeol merasa kosong. Hampa.
Terlihat sedikit janggal karena biasanya Chanyeol cukup pengertian jika salah satu istrinya harus berangkat ke luar kota bahkan ke luar negeri sekalipun, karena Chanyeol pikir takkan merasa sepi—mengingat akan ada salah satu istrinya yang lain yang akan menemani dirinya sepanjang malam.
Mustinya sekarang pun masih seperti itu bukan? Namun kenyataannya tidak.
Rumah selalu saja sepi tiap kali ia kembali dari kantor. Saat mengaktifkan kembali ponselnya, ia mendapati sedikitnya ada dua pesan suara yang ditinggalkan oleh masing-masing istrinya. Isinya singkat saja, hanya merupakan pemberitahuan jika mereka takkan pulang dikarenakan jadwal lalu di akhiri dengan ucapan cinta—yang terdengar basa-basi bagi Chanyeol.
Belum lagi, gagalnya beberapa kesepakatan kerja sama ikut menambah 'deritanya' saja.
Hal itu berdampak kepada dirinya yang mulai malas bekerja. Menyerahkan seenak perut pekerjaannya kepada sekretarisnya dan ia putuskan untuk menerima saran Jongin. Pria itu benar, mungkin dirinya memang butuh liburan.
Italia menjadi pilihannya untuk melepas penat.
Hanya seorang diri.
Tanpa Jina atau Jihyun yang ia ajak untuk menemani.
...
Italia ternyata lebih dingin dari yang Chanyeol bayangkan.
Buliran salju tidaklah turun. Matahari hanya tertutupi oleh awan di puncak langit sana namun berada di daratan tinggi inilah yang menjadi alasan betapa sejuk negara ini.
Desauan angin dingin menerpa kulit wajahnya begitu ia baru saja keluar dari Bandara. Menyeret travel bag-nya dengan santai lalu menghentikan sebuah taksi.
Sebenarnya ini merupakan kali pertama ia menginjakkan kakinya di negeri peninggalan Yunani itu. Mengandalkan uang yang banyak dan bahasa Inggris yang lancar, jelas membuat Chanyeol cukup percaya diri untuk memulai perjalanan wisata kesendiriannya ini.
Chanyeol mendatangi sebuah hotel di kota Roma yang salah satu kamarnya telah dipesankan oleh Sekretarisnya kemarin.
Tubuhnya segera ia rebahkan di atas tempat tidur dengan nyaman. Dengan satu tangannya meraba-raba kantung mantel dan menarik keluar ponsel miliknya dari sana.
Ia aktifkan benda pipih itu dan segera mendapatkan hujanan email baru masuk. Dari kedua istrinya lebih mendominasi. Menanyai perihal dimana dirinya saat ini menjadi inti dari setiap pesan yang mereka kirimkan untuk dirinya. Chanyeol memilih untuk mengabaikan pesan-pesan elektronik itu. Ia letakkan ponselnya di atas nakas lalu ia berjalan menuju kamar mandi.
…
Chanyeol menghabiskan hari pertamanya di Italia dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di Roma. Tak lupa pula membawa sebuah kamera yang tergantung pada lehernya.
Di sekolah menengah dulu, Chanyeol memang menyukai dunia photography. Ia membawa kemanapun benda itu pergi bersamanya. Membidik objek apapun yang ia suka—kadang hasilnya ia tempelkan di dinding kamar, kadang hanya ia simpan pada folder di komputer.
Di kelas menengah dulu, Chanyeol sempat menyukai seorang gadis di kelasnya. Hampir setiap hari, yang ia lakukan hanyalah mengambil gambar si gadis. Melihat si gadis pun tak keberatan, Chanyeol tetap melanjutkan hobi bodohnya itu sampai mereka berpisah di hari upacara kelulusan.
Chanyeol hanya mengatakan jika ia menyukai si gadis, namun tak sampai meminta ia untuk menjadi kekasihnya. Baru ketika ia lulus di Universitas, memegang jabatan sebagai Direktur di perusahaan keluarga, untuk pertama kalinya Chanyeol meminta seorang gadis yang bernama Jina—si model iklan untuk produk kosmetik luncuran terbaru perusahaannya untuk menjadi kekasihnya.
Well, kembali lagi pada Chanyeol dan Italia.
Nyatanya Roma menjadi tempat yang menyenangkan dan ada banyak sekali objek yang menarik untuk ia jadikan sebagai titik bidikan kamera miliknya. Chanyeol menikmati dengan benar liburannya.
Benar kata Jongin. Mungkin yang Chanyeol butuhkan hanyalah sebuah perjalanan liburan. Terbukti betapa ringannya kepala yang ia tegakkan selama berada di Negara benua Eropa ini. Beban perusahaan dan juga masalah personal ia dengan para istri yang sedikitpun terlintas pada pikirannya.
…
Lalu di hari kedua ia berada di Italia, Chanyeol memutuskan untuk mengunjungi kota Venezia. Vanice dalam bahasa Italia yang berarti air. Chanyeol mengangumi benar setiap sudut Negara tua itu dengan penuh kekaguman yang berlebihan. Menaiki perahu di atas sungai beriak tenang sambil tetap mencari objek menarik untuk lensa kameranya tangkap.
Chanyeol tertegun selama beberapa saat.
Ia melepaskan tautan lensa kamera dengan retinanya. Memandangi dengan mata telanjang pada seseorang yang berdiri pada pinggiran pembatas jembatan. Sosok asing yang berdiri pada pinggir jembatan itu tak tau mengapa menarik minatnya.
Tubuhnya kecil berbalutkan mantel berwarna biru gelap dengan sebuah syal yang berwarna hitam yang ia lilitkan pada lehernya. Ia memakai sebuah celana berbahan kulit dan sepatu boot berwarna hitam yang hampir mencapai lutut.
Chanyeol tidak mengerti apa yang salah disini.
Bahkan sosok itu hanya diam mematung dengan pandangan ia lempar jauh pada aliran sungai. Wajahnya terlihat murung dan dapat Chanyeol lihat dengan sangat jelas bibir tipis merah itu melengkung ke bawah.
Chanyeol beberapa kali menatap jempretan gambar pada kamera di tangannya dan pada sosok itu bergantian. Ia lagi merasa tertarik untuk mendapatkan gambar sosok yang tak di kenalnya itu. Melalui lensa kameranya, Chanyeol sempatkan diri untuk menatap kepada mata si sosok bermantel biru.
Ow, Chanyeol baru sadar jika mata itu terlihat sipit dan ada lukisan hitam tipis yang mengelilingi kelopak mata miliknya.
Chanyeol tanpa sadar menghasilkan begitu banyak jepretan dan ia terlihat begitu menikmatinya. Hingga di menit selanjutnya, Chanyeol harus menelan kecewa.
Seseorang yang lain datang menghampiri si mungil bermantel biru. Ia berbicara singkat dan si mungil ikut langkahnya setelah itu. Keduanya melangkah berdampingan menjauhi pinggiran jembatan dan memasuki sebuah mobil yang terparkir disana.
Mungkin kekasihnya, Chanyeol membatin.
Tak tau mengapa, setitik perasaan janggal merasuki dirinya. Ia hanya dapat menghela nafas kecewa berkali-kali hingga akhirnya pun ia memutuskan untuk menyudahi pariwisatanya di kota air itu.
…
"Bos akan marah jika ia tau kau datang kesini." Kalimat itu terdengar bersamaan dengan debuman pintu mobil yang di tutup kembali. "Kutebak, kau tak meminta persetujuannya untuk kesini, bukan?"
"Jika kau bisa menjaga mulut besarmu itu tentu Yifan ge takkan tau." Jawaban sarkastik itu membuat si pria berwajah Eropa itu tertawa.
"Aku akan merahasiakan hal ini jika kau memintanya."
Teman bicaranya itu hanya memutar bola mata tak peduli lalu memejamkan kelopak matanya.
"Sepertinya kau akan punya 'klien' baru lagi hari ini." Mata Eric—si pria Eropa, terarah ke luar kaca mobil dan menatap sejurus pada seorang pria lain yang tengah tenggelam seorang diri pada dunia photography-nya. Senyuman tipis yang tersungging pada bibirnya menyimpan banyak artian disana namun malah di abaikan oleh teman bicaranya itu.
"Aku melihat dia keluar dari hotel J.K Place Roma pagi tadi, dia berkantung tebal tentu saja. Bagaimana menurutmu?"
"…"
"B!" Panggilnya.
"Apa?!" Yang di panggil B menyahut ketus. Kelopak matanya ia paksa buka kembali dan melotot tak suka pada pria yang memanggilnya.
"Ayolah, aku hanya sedang berusaha membantumu."
Decihan pelan terdengar. Ia ikut meneliti sosok pria yang sempat di tunjuk Eric, hanya sesaat dan tak menampakkan raut wajah excited sama sekali.
"Asal bukan pria tua gendut saja." Ia berujar sembari memejamkan matanya kembali. Kedua tangannya ia lipat pada dada.
"Aku ingin tidur."
…
"Hai dude!" Jongin menyapa terlampau semangat di depan kamera laptopnya.
"Hm, hai Jongin." Chanyeol balas menyapa.
Ia meletakkan laptopnya begitu saja di atas meja sedangkan ia kembali berbenah diri.
"Bagaimana liburanmu? Menyenangkan?" Suara Jongin kembali terdengar.
Chanyeol memakai mantelnya dengan sungkan lalu mulai mengancingi kancing pada bagian lengan mantelnya.
"Ya, aku merasa lebih baik. Thanks."
"Sepertinya kau akan pergi ya?"
Dari Seoul sana, Jongin dapat melihat dengan jelas kegiatan Chanyeol yang tengah pria bermarga Park itu lakukan melalui layar laptop miliknya.
Chanyeol mengangguk. Lalu beranjak lagi menuju nakas—mengambil dompet juga ponselnya yang terletak disana. Sebuah brosur perjalanan menyenangkan yang ia dapat dari guide menarik perhatiannya.
"Petugas resepsionist hotel memberikan beberapa rekomendasi restoran terkenal disini. Aku berpikir untuk menikmati makan malamku disana."
"Ah, sayang sekali. Padahal aku masih ingin mengobrol denganmu."
Jongin terlihat cemberut. Chanyeol tertawa pelan melihat tingkah laki-laki itu.
"Ada lagi yang ingin kau katakan sebelum kuputus sambungan kita Kim?" Tanya Chanyeol disela fokusnya pada deratan tulisan latin pada brosur.
"Ya, sebenarnya istrimu menghubungiku sekitar satu jam yang lalu. Mereka menanyaimu, omong-omong."
Fokus Chanyeol segera teralihkan. Ia mengabaikan brosurnya begitu saja lalu bertemu pandang dengan Jongin di depannya.
"Ohya? Lalu apa yang kau katakan?"
"Kukatakan kau berangkat ke Jeju karena urusan pekerjaan."
"Lalu?"
"Lalu?" Kening Jongin berkerut dan Chanyeol pun sama. Yang lebih tua akhirnya menegahi dengan menghela nafasnya pelan.
"Baiklah, kupikir aku harus pergi sekarang."
"Uh, oke. Selamat malam Park."
"Ya, selamat pagi Kim."
Gelak tawa kecil terdengar pada masing-masing sebelum akhirnya Chanyeol memutuskan sambungan web cam mereka. Setelah mematikan laptopnya, Chanyeol segera beranjak bangkit dari duduknya dan melenggang pergi ke luar kamar.
Sedikit mengulum senyum samar begitu mengetahui, setidaknya walau sibuk kedua istrinya itu masih memberikan sucuil perhatian untuk dirinya.
Chanyeol senang mengetahui hal itu.
…
Chanyeol berkenalan dengan seorang pribumi bernama Eric ketika hendak memasuki restoran. Pria berdarah asli Italia itu cukup ramah dan ia memperkenalkan dirinya pertama kali.
Eric cukup bersenang hati mengetahui Chanyeol datang dari Seoul. Katanya ia pun hendak pergi ke negeri ginseng itu awal bulan depan, wajar jika dirinya cukup exciteddan menanyai banyak hal kepada Chanyeol tentang negara asalnya itu.
Chanyeol berpikir daripada ia harus menghabiskan waktunya seorang diri saja, kedatangan Eric setidaknya tak terlalu buruk juga.
"Aku memiliki tempat yang menyenangkan untuk kau kunjungi," Eric berujar setelah keduanya keluar dari dalam restoran.
"Oh benarkah? Dimana itu?"
Jam di tangan masih menujukkan pukul tujuh lewat beberapa menit. Ia masih memiliki waktu yang panjang sebelum jam tidur menjemput. Maka ajakan Eric pun ia setujui.
Eric membawa dirinya masuk ke dalam sebuah kafe yang berjarak sekitar dua kilometer dari restoran. Chanyeol tak berujar apapun dan masuk dengan patuh mengikuti langkah-langkah Eric ke dalam kafe itu.
Sebenarnya kafe ini tak jauh berbeda dengan kafe-kafe kebanyakan.
Suasana hangat dan tenang diiringi oleh suara musik klasik tetap mendominasi setiap sudut ruangan. Mungkin interiornya saja yang berbeda antara budaya Asia dan budaya Eropa. Selebihnya sama saja.
Eric menempati sebuah kursi dengan meja tinggi di samping kanan. Merupakan meja kedua yang paling dekat dengan sebuah panggung kecil dan ada sebuah piano yang berada disana. Chanyeol ikut menempatkan dirinya di samping pria Eropa itu.
Eric memanggil seorang pelayan dan memesan sebotol minuman dan si pelayan mengangguk paham. Chanyeol tebak, pasti Eric sering berkunjung ke tempat ini.
Lima belas menit berlalu, dan Chanyeol masih belum mendapati apa yang menjadi hal yang menyenangkan seperti Eric katakan kepadanya. Chanyeol mulai menghela nafasnya dengan pelan. Rasa bosan mulai melingkupi dan Chanyeol pikir ia ingin kembali hotel saja.
"Oh dia datang." Bisik Eric tiba-tiba.
Chanyeol tak jadi beranjak. Pupil matanya mengikuti arah pandang Eric ke arah panggung kecil.
Seseorang naik ke atas panggung.
Chanyeol tak dapat menebak dengan tepat, laki-laki atau perempuan kah orang yang baru saja menaiki panggung itu. Dia memakai mantel panjang sampai bawah lutut berwarna putih, dan ada sebuah syal yang melilit di lehernya. Bagian belakang rambutnya sedikit bergelombang, mungkin rambut panjangnya sedikit menggembung karena syal di lehernya—Chanyeol pikir.
Hanya saja langkahnya anggun gemulai, membuat Chanyeol cukup yakin jika sosok itu Ya… berjenis kelamin perempuan. Mungkin rasa bosannya mulai berkurang karena hal itu.
Sosok itu berjalan mendekati piano dan duduk di kursi kecil sebelum akhirnya menatap para pengunjung kafe malam ini.
"Fyi, kafe ini terkenal karena dirinya. Dia seorang primadona." Eric berujar dengan pandangan mata yang terus saja terarah kepada sosok itu.
Primadona… Ya sepertinya panggilan itu tidak berlebihan juga.
Senyumannya terlihat menawan terlempar untuk para pengunjung. Dari sana, Chanyeol menangkap ada lukisan eyeliner pada kelopak matanya.
Oh, primadona ini cantik sekali. Eyeliner dimatanya terlihat menantang namun penuh kehangatan.
Chanyeol mendengar kalimat yang Eric lontarkan, namun ia tak memberikan respon apapun untuk menyahuti. Matanya masih terfokus kepada sosok itu saja. Mengikuti dengan benar kearah si primadona—seperti yang Eric katakan kepadanya.
Hingga…
DEG
Sebuah dentuman mengenai sudut hati Chanyeol tiba-tiba. Irisnya bertubrukan dengan tepat dengan iris primadona itu. Semuanya seolah berhenti. Bernafas pun terasa seperti reflek saja bagi Chanyeol.
Terhitung hanya tiga detik berlalu, sebelum iris primadona itu akhirnya teralihkan pada piano di depannya… Chanyeol rasakan hatinya menghangat.
"Siapa…?"
Suara tuts piano mulai terdengar menggantikan suara musik klasik dari speaker.
"Hm? Kau mengatakan sesuatu?"
Eric menoleh pada Chanyeol dan menatap pria berdarah Korea itu dengan bingung. Ia menepuk sekali lengan Chanyeol dan segera setelah itu dunia khayalan Chanyeol pun buyar.
"Tidak. Tidak apa-apa."
Chanyeol segera meneguk minumannya dengan canggung.
Eric hanya mengangguk kecil sebelum mengalihkan kembali pandangannya kearah panggung.
"Dia… mempesona bukan?" Eric setengah berguman mengatakannya.
Chanyeol di sampingnya hanya mengangguk pelan—menyetujui.
"Sebagian besar dari pelanggan disini datang hanya untuk melihat pertunjukkannya. Dengar… suaranya merdu sekali."
Ketika bait pertama mulai terdengar, darah Chanyeol nyatanya berdesir.
Suara si primadona itu memang merdu seperti yang Eric katakan. Intonasi nadanya terdengar lembut mengalun searah bersamaan dengan suara dentingantuts piano. Ia menyanyikan sebuah lagu dengan lirik bahasa Inggris.
Setidaknya Chanyeol mengetahui apa yang tengah si primadona itu nyanyikan saat ini.
"Siapa namanya?" Chanyeol bertanya tanpa sadar.
"Tidak ada orang yang mengetahui dia secara pribadi. Tapi orang-orang disini memanggilnya dengan sebutan B (dalam penghafalan alphabet Inggris)."
Hm menarik. Chanyeol pikir. Gadis cantik dan misterius akan menjadi gadis idamannya mulai saat ini.
Satu huruf itu nyatanya terdengar lebih bermakna bagi Chanyeol. Ia menggumankan huruf itu berulang-ulang dalam hatinya dan ia tersenyum mempesona tanpa sadar.
'B. Panggilan yang bagus. Nama aslinya pasti akan mengangumkan. Sama seperti parasnya yang… cantik.'
"B… dia adalah wanita Eropa paling cantik yang pernah kulihat."
Eric sontak mengalihkan pandangannya kepada Chanyeol. Mata hijau pria itu membesar—terkejut tapi tetap diiringi dengan raut kebingungan pada wajah Eropa miliknya.
"Sebenarnya… B adalah seorang laki-laki."
TINGG
Suara dentingan keras terdengar dari arah sudut kanan di meja kedua yang paling dekat dengan panggung.
Chanyeol baru saja menjatuhkan gelas kacanya pada permukaan meja tanpa sadar.
"A-apa?"
PS: Jadi sebelum tamat aku sempat merombak alur cerita ff ini termasuk untuk nama cast istri Chanyeol. Jina yg dulunya adalah Nana dan Jihyun yang dulunya aku pake Soyou. Tolong maklumin kalo nama lama sama yg baru kecampur2 sipp.
Happy reading~ :D
