Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

WARNING: Mainstream, Typo, OOC

CxFxCxFxCxFxCxFxCxFxCxFxCxFx

Naruto memasuki gerbang sekolahnya dengan lesu—sendirian, tanpa sang kekasih di sampingnya.

Entah mau sampai kapan kekasihnya, Haruno Sakura, menjaga jarak darinya, kejadian itu berlangsung satu minggu yang lalu, awalnya Naruto berpikir itu cuma kebetulan ketika ia mengajak untuk berangkat sekolah bersama, Sakura ternyata sudah berangkat, dan itu terus terulang entah sudah berapa kali; rasa percayanya terhadap Sakura perlahan memudar berganti menjadi curiga dan akhirnya ia memberanikan diri menanyakan langsung karena sudah tidak tahan dijauhi oleh Sakura.

"Ya kau benar. Bisakah kita menjaga jarak untuk sementara waktu? Aku sedang tidak ingin bersamamu. Maaf."

Setelah mendengarnya Naruto mulai berpikir jika hubungan mereka berada di ujung tanduk.

"Psst, itu Naruto-senpai berangkat sendirian?" kata seorang gadis berbisik-bisik kepada temannya. "Sepertinya memang benar, gosip kalau mereka berdua putus."

"Katanya ada seseorang yang mendengar mereka bertengkar di lorong sekolah. Sakura-senpai bilang, dia membenci Naruto-senpai," temannya menyahut.

"Sungguh? Memang sejak awal mereka itu tidak serasi, aku heran, kenapa Sakura-senpai mengejar-ngejar Naruto-senpai selama dua tahun."

Naruto melirikan matanya tajam pada kedua gadis itu—dan seperti mengerti sinyal yang diberikannya, kedua gadis itu langsung kabur.

Ini gawat.

Padahal baru satu minggu pertengkaran berlalu, tetapi gosip yang beredar sudah sungguh keterlaluan.

Naruto mana mau melepaskan Sakura semudah itu; Sakura sendiri yang mengejar-ngejarnya dulu selama dua tahun, tentu saja karena cinta; dan sekarang setelah ia membalas cinta Sakura, gadis itu mengacuhkannya, bahkan mereka berdua tidak berbicara dan saling menyapa.

Kedua tangan Naruto terkepal di sisi tubuhnya.

Ini semua gara-gara pemuda berambut merah itu, hubungannya dengan Sakura jadi renggang begini...

Flashback on

Di hari yang panas, seorang gadis dengan rambut merah muda sebahu sedang jalan terburu-buru menuju salah satu kelas di konoha senior high school.

Haruno Sakura, nama gadis itu, ia ingin mengembalikan jas hujan yang dipinjamkan Gaara kemarin—pemuda yang cukup populer di kalangan para gadis di sekolah akan ketampanannya; kebetulan kemarin ketika ia sedang menunggu sendirian di depan sekolah, Gaara lewat di depannya dan menawarinya tumpangan serta jas hujan milik pemuda itu.

Sebenarnya, sebelum bertemu dengan Gaara, Sakura sedang membuat pesan untuk Naruto; memang nasibnya sedang tidak baik, baterai ponsel miliknya habis ketika ia sedang asyik mengetik pesan untuk kekasihnya itu, akhirnya ia malah terjebak sendirian di depan sekolah kemarin.

Mengenaskan? Memang, namun untungnya Gaara—yang memang cukup akrab dengannya sejak awal masuk sekolah karena saat kelas sepuluh dan sebelas mereka satu kelas—kebetulan lewat karena mungkin ingin pulang sekolah juga, melihatnya sendirian di depan sekolah; pemuda itu pun berhenti di depannya dan menawarkan tumpangan; tentu saja, ia tanpa pikir panjang langsung menerima tawaran Gaara.

Sakura menganggap Gaara dewa penolongnya waktu itu.

"Gaara-kun." panggil Sakura.

Pemuda dengan rambut merah dan mata panda yang seksi itu berhenti berjalan, dan berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya; melihat yang memanggil namanya adalah gadis yang cantik, ia mengembangkan senyuman kecil. "Hai, Sakura. Ada apa?"

"Bagaimana persiapan kelasmu untuk acara kelulusan minggu depan? Bukankah setiap kelas wajib menyumbangkan satu penampilan untuk di pentaskan?" Sakura bertanya sembari mengulas sebuah senyum simpul yang begitu manis membuat Gaara ikut menarik senyuman melihatnya.

"Ya begitulah, rencananya kelasku akan menampilkan sebuah dance, dan ini aku baru selesai latihan." sahutnya ramah. "Jadi, ada apa yang membuatmu sampai ke sini untuk mencariku, Sakura?"

"Huh! Memangnya aku tidak boleh menyapamu, ya?" tanya Sakura pura-pura marah, kemudian ia tersenyum. "Ya, aku mengaku deh, aku ke sini mau mengembalikan jaketmu. Aku tertolong sekali, kalau tidak ada kau mungkin aku akan terlambat pulang ke rumah dan diomeli ibu. Hontou ni Arigatou."—ia mengedipkan sebelah matanya kepada penyelamatnya.

Gaara sedikit terkekeh melihat tingkah lakunya.

Mereka tidak menyadari di seberang sana ada sepasang biru yang sedang memerhatikan dengan sedikit menyipit, tidak suka.

Naruto pikir Sakura kemana, sejak tadi ia mencari-cari gadis itu, ternyata Sakura menemui sang 'mantan'; tidak tahan, ia pun menghampiri kedua sejoli yang sedang tertawa bahagia—bahkan sesekali Sakura memukul pelan bahu Gaara; setelah jarak Naruto hanya berjarak beberapa meter dari Sakura dan Gaara, ia memanggil dengan nada agak keras. "Sakura-chan."

Sakura menoleh ke arah sumber suara—yang sangat dikenalinya itu, dan tersenyum mengetahui siapa orangnya. "Naruto?" ia akhirnya menyadari kehadiran kekasihnya, dan berjalan mendekati. "Ada apa? Maaf ya, tadi aku langsung menemui Gaara tanpa memberitahumu terlebih dahulu. Kau mencari-cari aku kemana-mana ya? Aku habis mengembalikan—"

"Mengembalikan apa?" Naruto menyipitkan matanya tidak suka ke arah Gaara. "Mengembalikan cintamu yang pernah hilang?"

Dan satu deretan kalimat dari Naruto yang menginterupsi kata-katanya membuat Sakura menaikan sebelah alisnya tidak mengerti; maksudnya apa? Naruto kan cinta pertamanya, bagaimana bisa ia mengembalikan cinta yang hilang? Memang ia pernah menjadi kekasih Gaara tapi kan itu dulu sekali ketika mereka masih kelas satu, sebelum ia mengenal yang namanya, Naruto—hubungan ia dan Gaara pun hanya sanggup bertahan enam bulan karena pada dasarnya ia tidak memiliki ketertarikan pada Gaara selama berpacaran; ia bertahan selama enam bulan karena Ino, yang menyuruhnya untuk tetap berusaha untuk mencoba mencintai Gaara—karena pemuda itu begitu hot di mata Ino—ya, di mata Ino, bukan di matanya; mereka berpacaran pun karena Ino, yang menyuruhnya untuk menerima cinta pemuda itu, bukan atas dasar 'suka sama suka'.

"Maksudmu apa sih, Naruto? Kenapa kau jadi melantur begitu?" Sakura akhirnya membuka suaranya, heran.

Naruto makin kesal mendengarnya; yang ada dipikirannya—kenapa Sakura bisa berpura-pura memasang wajah polos? Bukankah kadang cemburu itu memang membutakan? "Lupakan. Ayo cepat kita pulang, Sakura-chan."

Sebelum Sakura sempat menjawabnya, tangannya sudah ditarik oleh Naruto—sepertinya Naruto cemburu lagi dan baginya kali ini lebih parah.

Apakah harus, Naruto menarik pergelengan tangannya dengan kasar? Kenapa pemuda itu bisa sekasar ini padanya? Kemana perginya sifat kekasihnya yang hangat, yang begitu dicintainya—?

"Naruto, apa sih yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" Sakura memprotes sambil terus berontak berusaha melepaskan genggaman kasar tangan Naruto di pergelangan tangannya.

"Tidak," Naruto menolak. "Apa-apaan itu tadi? Kau mau bermain di belakangku, hah?"

Sungguh, kali ini Sakura sudah tidak bisa menahan lagi amarahnya; kalimat yang dilontarkan Naruto membuatnya benar-benar merasa dikhianati—perasaan cintanya yang tulus selama tiga tahun ini masih tidak dipercaya oleh Naruto? Cemburu buta ini terjadi bukan satu dua kali, sudah berkali-kali, dan berkali-kali juga ia meyakinkan Naruto agar percaya bahwa yang dicintainya hanyalah Naruto—cinta pertamanya.

Habis sudah kesabarannya.

Dengan satu kali sentakan yang kuat, Sakura berhasil membebaskan tangannya. "Naruto-baka! Kau tidak mempercayaiku? Kau selalu begini! Bersikap kekanakan! Aku membencimu!"

Dan setelah itu Sakura pergi meninggalkan Naruto.

Kesokan harinya Naruto berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka yang memburuk, mulai dari panggilan teleponnya, yang tidak pernah satu kali pun ada yang diangkat, ia tidak mau menyerah, ia memberanikan diri menjemput Sakura di depan rumah dengan beralasan berangkat sekolah bersama.

Usahanya gagal juga.

Flashback off

Otak Naruto berputar kenapa saat itu Sakura bisa marah sekali? Sampai mengatakan membencinya segala, bukankah wajar jika seorang kekasih itu cemburu? Kata orang, perasaan cemburu itu tanda cinta, lalu kenapa Sakura bersikap seperti ini padanya? Kalau memang ini semua salahnya, harusnya dibicarakan baik-baik kan? Seperti masalah yang dulu-dulu.

Sakura mengatakan bahwa ia kekanakan. Sekarang, Sakura meminta padanya untuk menghindarinya, itu termasuk kekanakan bukan?

"Kau sendirian lagi?" tanya seseorang kalem.

Naruto menoleh. "Kiba, Shikamaru. Selamat pagi."

"Selamat pagi juga," sahut Kiba nyengir. "Kau sendirian lagi?"

Naruto mengangguk.

"Masih bertengkar?" kali ini Shikamaru bertanya.

Naruto mengangguk, lagi—yang disambut gelak tawa dari mulut Kiba. "Hoi! Jangan ketawa! Kau tidak tahu apa aku ini sedang tersiksa!?"

"Tidak tahu tuh," sahut Kiba mengejek, lanjut tertawa lagi.

"Kurang ajar kau Kiba—!"

"Dari pada kalian bertengkar," kata Shikamaru melerai. "Bukankah lebih baik kau mencari dan berbaikan dengan Sakura, Naruto? Kau pasti tahu pertengkaran kalian sudah terlalu lama kan? Kau tahu tidak hari ini, hari apa kan?"

Naruto terdiam.

Memang benar.

Hari ini kelulusan kelas tiga jadi sudah satu minggu berlalu dan mereka berdua masih belum berbaikan, di hari terakhirnya sebagai siswa SMA? Yang benar saja! Pokoknya ia bertekad akan menemukan Sakura.

"Kalau begitu aku mau mencari Sakura-chan dulu. Sampai jumpa, Shikamaru, Kiba!" kata Naruto, kemudian berlari ke dalam sekolah.

"Hoi! Jangan sampai lupa acara pemotretan kelas kita, Naruto!" teriak Kiba.

Naruto tidak menjawab tetapi ia mengacungkan jempolnya, mengerti.

Pokoknya ia harus bertemu Sakura. Harus.

"Sakura-chan, kau di mana sih." Naruto terus bergumam sendiri, sejak tadi ia tidak bisa menemukan Sakura di mana pun. Di kelas tidak ada, di aula tidak kelihatan, di toilet tak muncul-muncul, bahkan di perpustakaan yang merupakan tempat favorit Sakura belajar pun tidak ada; ia benar-benar cemas, sudah satu minggu ini, ia memang tidak tahu kabar apa pun tentang Sakura, hanya lewat Shikamaru yang tahu dari Ino—yang mengatakan jika Sakura baik-baik saja, hanya itu.

Pilihan terakhir Naruto mencari Sakura adalah di kantin. Ya, mungkin ia sedang di sini karena di aula memang sangat panas dan sesak; sampai akhirnya mata birunya itu menemukan seseorang berambut pink—hanya ada satu yang memiliki warna rambut yang mencolok itu di sekolahnya, yaitu Sakura, kekasihnya tentu saja.

Tanpa Naruto sadari, bibirnya mengukir sebuah senyum yang lebar, lega akhirnya bisa melihat kekasihnya—ia baru saja ingin menyapanya ketika tanpa sengaja matanya menangkap siapa—yang menjadi lawan bicara Sakura.

Gaara. Iya. Gaara. Pemuda berambut merah itu lagi.

Hatinya menjadi panas kembali melihat adegan tawa bahagia keduanya itu tidak jauh darinya; padahal ia terus-terusan kepusingan dijauhi oleh Sakura tapi gadis itu justru kelihatan bahagia—bahagianya karena Gaara lagi.

Merasa marah bukanlah cara yang terbaik untuk memperbaiki hubungan yang buruk, Naruti menghirup udara sebanyak-banyaknya, menurunkan kadar rasa cemburunya yang membuat dada sedikit sesak; merasakan sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, ia pun langkahkan kaki ke tempat Sakura berada. "Sakura-chan." panggilnya ramah ah—tepatnya mencoba ramah dan terkesan biasa.

Sakura yang pada dasarnya masih jengkel pada Naruto menyipitkan matanya tidak senang. "Ada apa? Mau marah-marah lagi? Pergi saja sana." katanya acuh tak acuh; meskipun sejujurnya dalam hatinya ia senang, Naruto masih berusaha menemuinya.

Ok, Sakura benar-benar masih marah padanya, membuatnya sedikit sedih. "Siapa bilang, Sakura-chan? Aku kemari ingin meminta maaf." katanya, dan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu, ia langsung duduk di dekat Sakura tapi gadis itu sendiri masih mengacuhkannya, masih ingin memberikan pelajaran.

Gaara terdiam sesaat, baru melanjutkan perkataannya tadi. "Bagaimana penampilanku barusan? Aku benar-benar keren, kan?" tanyanya, sedikit menggoda—ia melirikan matanya dengan senyum mengejek yang kasat mata kepada pemuda beranmbut pirang di sebelahnya.

Naruto menyipitkan mata birunya, ia tahu arti dari senyuman yang dikirimkan Gaara untuknya—sinyal mendeklarasikan perang, berani sekali, ia mau saja meladeni, namun tujuannya ke sini bukan untuk mencari masalah, ia kemari untuk memperbaiki masalah.

Seakan tidak mengerti situasi yang memanas di antara kedua pemuda di sampingnya, ia pun berkata antusias. "Iya Gaara-kun! Kau keren sekali tadi, aku bahkan tidak menyangka kau bisa sekeren itu!"

Naruto diam saja—sabar. Sabar—

"Tentu dong maka dari itu kan dulu kau sangat tergila-gila padaku, hm."

Sakura sweatdrop; sejak kapan ia pernah bilang tergila gila pada Gaara? Ia hanya tertawa garing.

Tidak seperti Sakura, Naruto marah besar. Cukup! Gaara keterlaluan! Apa maksudnya tadi itu? Pemuda berambut merah itu terang-terangan menggoda kekasihnya di depannya? Ingin benar-benar perang rupanya!

"Sakura-chan," panggil Naruto serius sambil memegang tangan Sakura erat, memberitahu pada pemuda di sampinya itu, siapa kekasih seorang Haruno Sakura. "Sebenarnya aku mencari-carimu, hari ini ada yang ingin aku bicarakan padamu, jadi bisa tidak membicarakannya jangan di sini? Maksudku tempat yang lebih nyaman, berdua saja."

Sakura terdiam sesaat, barulah ia mengangguk dan berdiri dari kursinya. "Baiklah," katanya. "Maaf, Gaara-kun, pembicaraan kita sampai sini dulu."

"Hn,"—padahal ia masih ingin bercerita, tetapi situasinya sebagai seorang teman, tidak memungkinkan baginya menahan Sakura.

Naruto tersenyum bahagia mendengarnya—ia ikut berdiri, sebelum pergi, ia melempar senyuman penuh kemenangan pada Gaara yang masih duduk.

Hah! Beginilah jika berani mengajaknya berperang masalah Sakura! Karena sampai kapan pun ia yakin Sakura akan tetap memilihnya.

Naruto menggandeng tangan Sakura keluar dari kantin penuh rasa percaya diri—gosip murahan itu akhirnya hancur setelah para gadis melihat mereka berdua berpegangan tangan bersama.

"Mereka masih berpacaran?"—itulah komentar para siswi yang berpapasan dengan mereka berdua.

Naruto cuma diam sementara Sakura tertawa pelan di sampingnya.

"Kenapa tertawa Sakura-chan?" tanya Naruto heran; padahal gosip itu membuatnya marah besar sampai-sampai Shikamaru dan Kiba harus turun tangan menenangkannya—ini Sakura justru tertawa?

Sakura menggeleng. "Tidak ada apa-apa kok," jawabnya.

"Hm,"—Naruto masih penasaran, tapi ya sudahlah—itu tidak penting—ia melanjutkan lagi langkahnya—menuju entah kemana—semua tempat di sekolah ramai semua, tak ada yang sepi—ditambah lagi ada grup musik sedang tampil di gedung olahraga menambah berisik suasana sekolah.

"Naruto, sebenarnya kau mau membicarakan apa?" Sakura membuka suaranya setelah Naruto berhenti karena kebingungan mencari tempat yang sepi.

Naruto kebingungan sekarang—ia tadi membawa Sakura karena Gaara memancing amarahnya—ia tak memiliki alasan kuat berbicara apa pun. "Um, apa—ya, um,"

Mata hijau Sakura menyipit tidak senang; mulai lagi—ia paling tidak suka dengan sifat Naruto satu ini; ia pun membalikan tubuhnya. "Seharusnya aku tetap bersama Gaara-kun." katanya jengkel lalu pergi meninggalkan Naruto sendirian di tengah keramaian.

"Sakura-chan, tunggu sebentar."—tangan Naruto terangkat, menyentuh bahu Sakura—menghentikan, namun Sakura menepisnya perlahan. "Ini soal Gaara, bisakah kau tidak mendekati dia?"

Sakura berhenti, "Kau bicara berdua denganku—hanya ingin mengatakan sesuatu tentang Gaara-kun dan aku? Lebih baik aku tak ikut denganmu." katanya. "Aku pikir, kau sudah memahami kenapa aku menjauhimu tapi ternyata aku salah. Kau tetap kekanakan, tidak mempercayaiku, sudah, aku mau ke tempat Gaara-kun lagi, mau membayar makanan pesananku tadi,"—katanya panjang lebar, lalu melanjutkan lagi langkah kakinya yang sempat terhenti.
Kali ini Naruto tidak menghentikan langkah Sakura—"Sakura-chan."

Sakura mendengar tapi tidak berhenti.

Dicuekin, Naruto frustasi. "Tentu saja, tentu saja aku kekanakan! Karena ini baru pertama kalinya, pertama kali bagiku benar-benar mencintai seseorang! Dan karena aku kekanakan, kau seharusnya mengerti sifatku Sakura-chan!"

Sakura tetap tidak berhenti.

Naruto semakin frustasi—tidak tahu jika Sakura sengaja atau memang tidak mendengar kata-katanya sebab di sini berisik sekali. "Sakura-chan! Kau bahagia membuat aku cemburu buta kan!? Aku sudah tidak kuat lagi begini! Lebih baik kita menikah saja agar lelaki lain tidak mendekatimu!"

Sakura menghentikan langkahnya, berbalik dan mendekati Naruto lagi dengan rona merah yang kentara.

Naruto ikut melangkah mendekat. "Sakura-chan, aku mencintaimu, jadi jangan ke tempat Gaara lagi, ya?" katanya lembut, setalah berhenti tepat di depan gadis itu.

"Kau—sungguh-sungguh menyatakan hal yang tadi, Naruto?" tanya Sakura sedikit ragu dan malu.

Naruto terdiam; menyatakan? Tadi? Oh. Ia mengerti arah pertanyaan Sakura, dan tanpa berpikir panjang ia menjawab. "Tentu saja aku ini bersungguh-sungguh Sakura-chan, jadi—eh?"—belum selesai bicara, Sakura sudah memeluk tubuhnya erat—ia senang sekali tetapi—"Err, Sakura-chan?"

"Kalau kau sungguh-sungguh mengatakannya, aku mau menikah denganmu, Naruto," kata Sakura tersenyum bahagia.

Sebuah tanda tanya yang besar muncul di atas kepala Naruto—setuju menikahi dirinya—? What the he—sepertinya karena suara musik yang berisik, Sakura hanya menangkap perkataannya yang terakhir, gawat, salah paham, ini salah paham yang besar.

Sakura melepaskan pelukannya. "Aku akan memberitahukan tou-san dan kaa-san,"

Mendengar hal tersebut, Naruto berusaha membuka suara, mencoba memberi penjelasan yang sebenarnya. "S-Saku—"—kenapa di saat-saat darurat tingkat dewa begini, suaranya malah jadi gagap? Dan tidak mau keluar!?

"Kenapa Naruto? Kau masih tidak percaya apa yang aku katakan?" tanya Sakura antusias. "Mau aku ulangi, ya? Naruto, aku mau, sangat mau! Aku mau memulai kehidupan bersamamu, Naruto!"

"Hah—?"

Benar.

Naruto tidak percaya, sangat, sangat tidak mempercayai dengan apa yang sedang terjadi saat ini—Sakura yang salah menangkap perkataannya yang terakhir, membuat gadis itu berpikir bila ia sedang melamar bukan sedang berusaha meyakinkan—ia merutuki kebodohannya kali ini, kenapa juga ia bisa mengeluarkan kata 'menikah' tadi sih?

"Kenapa 'hah?' kau tadi tidak main-main, kan?" kontan Sakura langsung menatap Naruto dengan tatapan yang tajam—seperti singa betina yang sedang mengamati mangsanya.

"Tentu saja, tidak," kata Naruto tertawa garing; dalam hati kecilnya, ia benar-benar merutuki cemburu butanya yang melebihi batas ini, jelas-jelas menikah bukanlah perkara mudah dan, anehnya... Sakura malah menyetujuinya dengan semangat? Apa gadis itu tidak berpikir panjang terlebih dahulu? Masa depannya? Masa depan Sakura?

Sakura kembali tersenyum. "Kalau lelaki lain, aku pasti menolaknya dengan alasan terlalu cepat, tapi kalau Naruto—mana mungkin aku menolaknya." katanya merona merah, malu.

Naruto hanya cuma bisa tertawa garing; kenapa tidak ditolak saja? Ia jauh lebih senang dari pada terima; ia harus mencari alasan yang kuat agar Sakura mengurungkan niatnya. "Tapi Sakura-chan, aku kan belum punya uang untuk uang resepsi—"

"Jangan dibicarakan itu di sini dong," kata Sakura menasehati, lalu ia memeluk Naruto sekali lagi. "Aku mau ke tempat tou-san dan kaa-san dulu ya?"

"Ah, itu—"—dan itulah masalahnya yang lain; kedua orang tua Sakura tepatnya, ibunya—Mebuki menjadi tidak menyukainya setelah Sakura memperkenalkannya sebagai seorang kekasih, Mebuki hanya senang ketika ia masih memiliki 'status teman' Sakura.

"Aku akan berada di sampingmu ketika berbicara dengan kedua orang tuaku," kata Sakura lembut. "Aku pikir, menjauhimu tidaklah buruk juga,"

"Itu buruk bagiku, Sakura-chan," sahut Naruto tidak terima.

"Aku tahu," sahut Sakura, "Aku merasakan apa yang kau rasakan Naruto, aku juga sangat frustasi ketika berjauhan denganmu, Ino sampai-sampai mengomel padaku karena berkali-kali aku ingin menjawab teleponmu."

"Sakura-chan,"—Naruto tidak mempercayai ini—Sakura yang selalu bisa mengontrol emosinya pun bisa frustasi karenanya? Kedudukan mereka seimbang rupanya.

"Kalau begitu aku pergi dulu ya? Jaa ne,"

Naruto teringat lagi dengan masalahnya saat ini, "Sakura-chan tunggu sebentar—" namun sayang, Sakura sudah pergi meninggalkannya.

Sepi...

Naruto membatu di tempatnya berdiri—kakinya tidak mau bergerak menyusul Sakura.

Bagaimana ini—? Sakura sudah pergi ke tempat orang tuanya—mengatakan jika ingin menikah dengannya...

"Kami-sama, tolonglah Namikaze Naruto ini..."

x C and F x

"Apa? Menikah dengan Sakura?"

Naruto mengangguk kecil—sekarang ini ia dan teman-temannya sedang bermain basket di halaman rumah Sasuke—setelah selesai merayakan kelulusan, ia menyarankan ke rumah Sasuke, selain bisa berkumpul dan di rumah Sasuke itu bebas karena pemuda itu tinggal sendirian, ini juga agar bisa berdiskusi mengenai permasalahnya—mungkin mereka bisa memberi solusi untuknya, apalagi Shikamaru dan Sasuke terkenal akan kepintarannya—belajar bukan pintar dipercintaan.

Saat ini Naruto hanya bisa berharap penuh pada teman-temannya.

"Mau bagaimana lagi? Terima saja kenyataanmu," kata Kiba menggaruk kepalanya acuh tak acuh, merebut bola basket dari tangan Naruto. "Kau tahu kan Sakura itu jika sudah marah bagaimana?"

"Hey, solusimu itu tidak membantuku," kata Naruto mengomel, merebut kembali bola basket yang dipegang Kiba—kemudian memasukannya ke dalam ring—dengan tepat. "Aku menang, dattebayo."—dan tentu ia tahu Sakura kalau marah bagaimana.

Kiba tertunduk lesu—kalah lagi ia—susah sekali melawan sih Naruto!?

"Naruto, kurasa lebih baik kau menyerah saja," Shikamaru angkat bicara, setuju dengan Kiba.

Bibir Naruto manyun seketika. "Shikamaru, kau jangan ikutan juga."

"Aku bukannya mau ikutan," Shikamaru memprotes, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu menunjukan isi email Ino kepada Naruto.

Naruto dan Kiba membacanya bersamaan. "Aku dan Sakura sedang dalam perjalanan ke rumah Sasuke, menemuimu dan ah... bertemu Naruto juga."—etelah selesai membaca, Kiba tertawa terbahak-bahak sementara Naruto menjadi canggung.

Setelah Sakura menemui kedua orang tuanya, Naruto mengajak teman-temannya main ke tempat Sasuke, menghindari menemui kedua orang tua kekasihnya karena ia belum siap bertemu mereka dan tidak mau di ceramahi di tempat umum—setelah itu pun Sakura mengirim email yang begitu banyak, menanyakan ia sedang berada dimana.

Naruto senang jika hubungan mereka berdua membaik lagi, tetapi bukan begini caranya—situasinya jadi seperti dulu lagi, saat Sakura mengejar-ngejarnya. "Hah," ia menghela napas berat; ia tidak mau menikah, bukan karena ia tidak mencintai Sakura tetapi karena ia kan belum sukses dan masih muda—yang harusnya masih bersenang-senang bermain.

"Jangan berwajah murung begitu," kata Kiba menyikut tangan Naruto pelan, "Istrimu datang tuh."

"Eh?"—istri? Jangan-jangan—Naruto menolehkan kepalanya ke belakang, dan sesuai dugaannya—ada Sakura, tengah berjalan menuju ke arahnya, di sampingnya ada Sasuke dan Ino. Matanya menyipit saat memandang Sasuke, tidak senang; dasar, sahabat yang jahat.

Sasuke hanya melempar pandangan ke lain arah, bibirnya mengukir senyum kecil—yang mengejek; ia ingin memberikan pelajaran pada Naruto karena telah menghancurkan harapannya memiliki Sakura, ia memang menaruh sedikit rasa ketertarikan sebab ibunya sakit parah, menurutnya hanya Sakura yang tepat menjadi pendampingnya untuk merawat ibunya, Mikoto. Demi ibunya, bukan demi cintanya, karena baginya, perasaan cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu jika menghabiskan waktu bersama-sama.

"Naruto," panggil Sakura ceria.

"Ah, i, iya, Sakura-chan?" Naruto menyahut canggung; kenapa jadi begini situasinya?—Kiba tertawa tertahan di sampingnya. Dasar.

"Aku mencari-carimu kemana-mana," kata Sakura menggembungkan pipinya jengkel. "Emailku juga tidak dijawab."

"Maaf, aku punya banyak masalah akhir-akhir ini," jawab Naruto sekenanya.

"Masalah?" tanya Sakura penasaran. "Kau bisa menceritakannya padaku, Naruto." lanjutnya disertai senyuman manis.

Naruto ingin cerita tetapi tidak bisa—bagaimana bisa ia mengatakan masalahnya jika itu berhubungan dengan Sakura?

"Aku sudah dengar loh, kalian mau menikah," kata Ino sambil tertawa menggoda. "Selamat ya!"

Naruto tertawa canggung sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Oh, ya. Aku juga belum mengucapkannya, selamat ya Naruto! Selamat menempuh hidup yang baru," kata Kiba tersenyum lebar, mengejek.

Naruto menyipitkan matanya; senang sekali si Kiba ini menggodanya, tidak tahu kenapa ia sedang stress—ia menoleh merasakan tangannya bersentuhan dengan—tangan Sakura—yang mengukir sebuah senyum penuh arti, penuh arti yang membuatnya merasakan firasat buruk dari senyuman tersebut. "Ada apa, Sakura-chan?"

"Kedua orang tuaku mengundangmu untuk makan malam bersama hari ini," kata Sakura antusias.

Naruto meneguk ludahnya dengan susah payah—orang tua Sakura, ah, masalahnya itu—ia tidak bisa menghindar lagi. "B-begitukah?" tanyanya, pasrah.

Sakura menyadari ada sesuatu yang tidak beres, "Kau baik-baik saja, Naruto?" tanyanya cemas.

"Aku baik-baik saja, Sakura-chan," sahut Naruto 'semangat'.

"Kalau memang mau makan malam," Ino membuka suara. "Kenapa kalian berdua tidak siap-siap? Ini sudah sore loh," lanjutnya malas.

Sakura menepuk keningnya, "Aku lupa," katanya; ia kemari kan untuk membawa Naruto bukan bermain, "Ayo, Naruto kita pergi."

Naruto tidak menjawab—pasrah ditarik oleh Sakura keluar rumah Sasuke.

"Naruto berhenti sebentar," kata Shikamaru pelan.

Naruto berhenti, diikuti Sakura—dalam hatinya ia berharap Shikamaru mau menolongnya.

Shikamaru berjalan mendekati kedua pasangan bahagia itu.

"Shikamaru ada apa sih? Kau tahu aku sedang terburu-buru dan, sedang banyak pikiran,"—Naruto menekankan kata 'banyak pikiran' yang berarti meminta tolong.

"Aku tahu, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu—" sahut Shikamaru datar. "—tidak apa-apa kan Sakura?" tanyanya.

Sakura menaikan alisnya. "Hm, tentu."

Naruto menunggu dengan degub jantung yang berdebar-debar.

Shikamaru kembali menatap Naruto, "Selamat ya." katanya singkat sambil menepuk bahu Naruto pelan.

Satu tanda tanya besar di atas kepala Naruto, sebelum ia sempat berkata-kata, Shikamaru sudah kembali ke tempatnya duduk, dan memandang langit sore.

Naruto membatu.

Tidak!

Shikamaru—harapan satu-satunya—kenapa jadi ikut-ikutan dengan Kiba? Jahil begini.

"Ayo, Naruto." kata Sakura lembut—sekarang sudah tidak ada yang menghalangi mereka berdua lagi.

Naruto menghela napas suram; ya sudahlah, cepat atau lambat ia pasti akan menghadapi kedua orang tua Sakura juga—ia kan tidak bisa terus-terusan lari dari masalah, mungkin karena itulah teman-temannya tidak ada yang membelanya atau pun memberi solusi.

"Ha'i,"

x C and F x

Naruto yang masih tidak mengerti kemana Sakura akan membawanya pergi, menurut ketika Sakura menyuruhnya masuk ke dalam taksi yang sudah diberhentikan oleh gadis itu.

"Sakura-chan, kita mau kemana?" Naruto menoleh ke sebelah kanannya dimana Sakura sedang duduk dengan senyum yang terus mengembang.

Dalam hati, Naruto bertanya-tanya; kenapa Sakura bahagia sekali dengan lamaran salah paham ini?

"Kenapa kau masih bertanya sih, Naruto? Tentu saja bersiap-siap untuk bertemu dengan orang tuaku, kan?" Sakura balik bertanya. "Pak ke mall konoha ya!"

"Baik," kata sopir ramah, dan mulai menjalankan kendaraannya.

"Iya aku tahu itu lalu kenapa malah ke mall? Kenapa arahnya tidak ke apartemenku saja?" kali ini Naruto lebih heran; memangnya kalau mau bersiap-siap mereka harus kemana? Apa Naruto terlalu tidak mengerti jalan pikiran seorang perempuan?

"Ck, kau ini Naruto. Kau harus tampil mempesona di hadapan orang tuaku jadi kita harus beli baju baru untukmu kalau perlu kita ke salon untuk merapikan rambutmu." jelas Sakura.

Ah! Kenapa Naruto tidak tahu? Seorang gadis kalau mau bersiap-siap jika ada janji yang penting, pasti arahnya ke salon atau mall kan?

"Apa tidak berlebihan, Sakura-chan? Aku masih ada beberapa baju bagus kok di lemari." Naruto bersuara pelan; hati-hati, takut gadis itu salah paham.

"Kenapa kau berkata begitu, Naruto? Ini kan makan malam khusus yang diadakan di restoran tou-san apalagi kita juga mau meresmikan masalah pernikahan kita, karena kedua orang tuaku masih belum percaya dengan berita ini. Jadi harus spesial! Padahal aku bersemangat sekali loh."—tuh kan!

Pernikahan—kedua orang tua Sakura ternyata masih belum percaya ya? Jangankan kedua orang tua gadis itu, Naruto pun masih tidak percaya ia akan menikah.

"Bukan begitu, Sakura-chan. Maksudku, kalau ke salon itu berlebihan kan? Aku yakin kau bisa mendandaniku sedikit—?" Naruto menjawab dengan suara pelan lagi, takut kembali salah berbicara dan membuat gadis itu malah makin salah paham. "—lagipula uangnya kan lebih baik ditabung?" ia melanjutkan sebelum Sakura menjawab satu patah kata pun.

"Ah, maaf Naruto aku terlalu antusias," kata Sakura garing. "Kau benar. Lebih baik kita tidak menghamburkan uang! Baiklah, bagaimana kalau kita hanya membeli pakaian untuk kita berdua saja?" tanyanya disertai kedipan sebelah mata yang jahil.

Naruto mengembangkan senyumnya.

"Kita sudah sampai," kata sopir ramah.

Naruto dan Sakura menoleh secara bersamaan keluar jendela.

Benar.

Akhirnya mereka sampai di mall konoha.

Sakura keluar disusul oleh Naruto, ia memberikan beberapa lembar uang kepada supir, lalu menoleh pada Naruto. "Ayo, nanti kita terlambat."

Naruto tidak menjawab hanya mengikuti langkah Sakura yang berada di depannya menelusuri bagian dalam pusat perbelanjaan—dan menuju ke tempat pakaian yang bermerek cukup ternama; padahal belum lama ia bilang untuk tidak menghabiskan banyak uang. Bad mood; ia duduk di kursi kecokelatan yang sudah disediakan oleh pekerja di toko ini—cuma memerhatikan Sakura yang sibuk memilih-milih pakaian atau setelan jas yang cocok untuknya.

"Aha! Menurutku ini cocok untukmu Naruto. Bagaimana?" tanya Sakura antusias.

"Ini? Kau yakin ini cocok untukku?" tanya Naruto gugup melihat setelan jas yang berada dihadapannya; ah, dulu ia sering memakai ini, dan tidak terlalu menyukainya sebab terlalu formal. "Baiklah..." katanya setelah ia melihat Sakura menganggukan kepalanya, ia pun mengambil setelan jas berwarna hitam tersebut dari tangan gadis itu, kemudian melangkahkan kaki ke kamar pas yang kebetulan berada di dekat mereka berdiri.

Sakura yang mengikuti Naruto dari belakang—duduk di kursi setelah pemuda itu masuk ke ruang ganti, untuk mengusir jenuh ia membaca majalah yang tersedia di sampingnya.

"Selesai."

Sakura melirikan matanya ke Naruto yang berdiri di pintu ganti—jas yang dipilihkannya benar-benar cocok untuk pemuda itu.

"Bagaimana?" tanya Naruto. "Aku pantas tidak?"

Sakura menaikan majalah yang dipegangnya sampai sejajar dengan pucuk kepalanya, untuk menyembunyikan rona merah di pipinya.

Naruto terlihat tampan sekali di pantulan mata hijaunya saat ini!

Naruto menaikan alisnya tidak kunjung mendapat jawaban dari gadis itu, malah terus bersembunyi di balik majalah—sejurus kemudian bibirnya mengukir sebuah seringai lebar. "Kenapa Sakura-chan? Kau kehilangan kata-katamu melihatku seperti ini?"—sedikit menggoda gadis itu boleh kan? Ia tahu betul tingkah laku Sakura yang diam tanpa sebab seperti ini.

"Tidak ada apa-apa kok. Kau keren, Naruto. Sudah kubilang kan ini cocok untukmu?" Sakura mencoba bersikap biasa saja, uh, sebenarnya ia tahu jika kekasihnya itu pasti sudah menyadari rona merah di pipinya saat ini.

Menyebalkan.

"Dan juga hot kan Sakura-chan?" tanya Naruto lagi, menggoda.

"Apa-apaan sih? B-baka." kata Sakura gugup; ekspresi wajah Naruto tidak berubah sama sekali, membuatnya akhirnya berkata jujur juga. "Iya, ya, ya, kau memang hot. Puas? Senang?"

"Beneran? Sebagai pujian darimu, aku berikan ciuman sebagai ucapan terima kasih," Naruto ketagihan menggoda.

Sakura melengos pergi. "Aku mau mengambil pakaian pesananku ah."

"Eh! Sakura-chan! Jangan kabur dong." kata Naruto mengikuti dari belakang. "Aku belum ganti baju nih!"

"Siapa yang kabur sih? Tidak usah ganti, langsung dipakai saja," Sakura bertanya balik; ia berhenti di depan meja kasir. "Aku ingin mengambil mini dress pesananku, Tenten-neechan." katanya ramah—lalu ia teringat sesuatu, dan menarik kerah jas Naruto hingga membuat tubuh pemuda itu menempel di meja kasir. "Aku mau bayar ini juga ya,"

"Baiklah," sahut Tenten.

"Apa?" Naruto tidak percaya apa yang baru didengarnya. "Sakura-chan, aku masih sanggup buat membayarnya kok! Uangku memang recehan sih tapi aku yakin cuk—"

"Kita tidak punya waktu buat menghitungnya Naruto," potong Sakura cepat sambil mengeluarkan uang di dompetnya. "Ini,"

Naruto menurunkan tangan Sakura yang terulur perlahan. "Aku sudah bilang padamu, aku akan membayar barangku sendiri kan?" ulangnya serius.

Sakura tidak menjawab; mereka berdua saling memandang satu sama lain—sudah lama ia tidak melihat ekspresi wajah Naruto yang serius, terakhir kali ia melihatnya ketika pemuda itu mengatakan ingin menjadi kekasihnya. "Baiklah... kau menang. Aku mau ganti baju saja dulu."—ia akhirnya mengaku kalah, dan membawa satu kantung plastik yang berisi bajunya menuju ruang ganti.

Naruto tersenyum; syukurlah Sakura mau mengerti—setelah yakin gadis itu sudah benar-benar tak tertangkap matanya, ia segera mengeluarkan dompet dari kantung belakang celananya. "Um, aku tidak tahu apakah ini masih aktif, tapi tolonglah coba dulu." katanya pelan sambil mengulurkan sebuah kartu kredit.

Tenten menerimanya. "Aku akan mencobanya."

Naruto menunggu dengan jantung yang berdegub kencang.

"Ini masih aktif kok," kata Tenten ramah setelah selesai mengecek.

Naruto menghela napas lega—padahal ia sempat berpikir kalau kartu kredit itu masih di blokir ternyata sudah tidak—ia menaruh lagi kartu kredit ke dalam dompetnya lagi, pikirannya melayang; sudah tidak di blokir, berarti—

"Apa kau sudah selesai, Naruto?" tanya Sakura.

"Hm," sahut Naruto sekenanya.

"Kalau begitu ayo kita pergi," kata Sakura.

Naruto mengangguk, ia meminta plastik pada Tenten untuk menaruh pakaian miliknya, barulah berbalik dan meraih tangan—"Ayo, Saku—ra-ch—an?"—ia membatu di tempatnya melihat penampilan Sakura yang begitu anggun dan cantik berbalut gaun berwarna baby pink bermodel punggung yang terekspos. "Apa ini benar-benar kau—Sakura-chan?"

"Pertanyaan bodoh macam apa itu?" tanya Sakura balik, jengkel. "Tentu saja ini aku."

"Aku kan cuma bertanya saja, tidak usah pakai marah segala," kata Naruto.

Sakura membuang muka—yang tanpa sengaja mata hijaunya melihat jam dinding digital bertuliskan 18:30—"Aaaah... kita bisa terlambat nih! Kau sudah membayar bajunya belum Naruto!?"

"Sudah bayar kok Saku—e-eh! Sakura-chan!" Naruto belum selesai menjawab, Sakura sudah menarik pergelangan tangannya terlebih dahulu dan membawanya keluar toko—lalu keluar dari mall.

Sakura memberhentikan taksi—sebelum masuk, ia melirik alroji pink yang berada di pergelangan tangannya. "Naruto cepat!" serunya.

Naruto pun masuk ke dalam. "Sakura-chan, memangnya orang tuamu mengundang kita jam berapa sih?" tanyanya ikutan cemas, takut-takut jika mereka telat; Bahaya kalau sampai kedua orang tua Sakura marah, terutama Mebuki yang memang secara terang-terangan tidak pernah menyukainya, kalau terlambat mungkin akan menjadi alasan lain bagi Mebuki untuk memisahkan mereka berdua.

"Pak, ke restoran Midnight Dinner ya!" kata Sakura sedikit keras. "Jam tujuh malam dan sekarang sudah setengah tujuh. Aduh! Bagaimana ini? Bagaimana kalau kita terlambat, Naruto!?"—ekspresi wajahnya cemas; apakah mereka bisa sampai tepat waktu? Itulah yang ada dipikirannya sekarang ini.

"Baiklah," kata sopir sopan.

"Tenang saja, semua akan baik-baik saja." kata Naruto menggenggam lembut tangan Sakura. "Kita pasti sampai tepat waktu Sakura-chan,"

Refleks, Sakura langsung menoleh—mata biru di seberangnya sedang menatapnya lembut juga meneduhkan. Entah kenapa itu seperti sihir yang membuatnya kembali tenang; tanpa sadar sebuah senyum kecil terukir di bibirnya. "Arigatou."

"Karismaku memang hebat kan? Kau langsung tenang," kata Naruto penuh percaya diri.

Senyum di bibir Sakura menghilang; sudah lama ia tidak melihat sifat Naruto yang suka memuji dirinya sendiri seperti ini. Ia tidak memiliki ketertarikan untuk berbicara lagi, jadi ia cuma diam memandang keluar jendela.

Naruto yang merasa dicuekin cuma bisa terheran-heran.

Apakah ia sudah mengatakan sesuatu yang salah?

"Sakura-chan?" panggil Naruto.

"Hm?" Sakura menyahut tidak tertarik.

Jelas sekali Sakura sedang tidak mood berbincang denganya; mencoba mengerti, ia pun memandang keluar jendela—melamun.

Membosankan sekali.

Tidak adakah sesuatu yang menarik perhatiannya—?

"Kita sudah sampai di restoran Midnight Dinner," kata sopir ramah.

Tanpa disadari, taksi sudah berhenti di depan mall konoha bahkan sang sopir pun sudah membukaan pintu khusus untuk Sakura.

Sakura keluar, lalu mengecek arloji di tangannya lagi; masih ada waktu lima belas menit lagi—ia pun menghela napas lega.

"Aku bilang juga apa kan? Kita pasti sampai tepat pada waktunya." kata Naruto yang sudah berada di samping gadis itu.

Sakura mengangguk.

"Ayo kita masuk," ajak Naruto sambil mengulurkan tangannya.

Sakura menerimanya, dan masuk ke dalam restoran—yang langsung disambut oleh para pegawai—bahkan semua koki di sana.

"Selamat datang nona Sakura," kata seluruh pegawai bersamaan sambil membungkukan tubuhnya penuh rasa hormat.

"Hahaha... iya," kata Sakura. "Sudah cukup, kalian sudah boleh bekerja." selalu seperti ini jika ia kemari padahal sudah berkali-kali dibilang untuk tidak bersikap formal padanya.

"Baik, nona Sakura."

"Sakura-chan aku baru pertama kali melihat semua pegawai menyambut besar-besaran seperti itu loh!" kata Naruto terkejut bukan main.

"Yah, aku sudah bilang untuk tidak seperti ini lagi," kata Sakura. "Tetapi, mereka tetap tidak menurut karena memandang aku adalah puteri dari pemilik restoran ini."

"Eh!?"

"Kau terkejut?" tanya Sakura disertai tawa kecil.

"Tentu saja aku terkejut!" sahut Naruto. "Kau tidak pernah cerita padaku, kalau orang tuamu mengelola restoran bintang lima, dattebayo."

"Kau tidak bertanya soal pekerjaan tou-san," sahut Sakura.

"Nona Sakura, izinkan aku mengantar ke meja yang sudah dipesan oleh nyonya Mebuki," kata seorang pelayan lelaki berambut hitam sopan.

Sakura mengangguk. "Baiklah," sahutnya. "Kau sudah pandai bekerja di sini Inari!" katanya mengelus kepala pemuda berambut hitam tersebut.

"Tentu saja, aku berusaha keras belajar!" kata pelayan bernama Inari itu tersenyum lebar. "Lewat sini, nona Sakura."

Sakura dan Naruto mengikuti Inari dari belakang, menaiki tangga menuju lantai dua—yang ternyata bukan di situ tempatnya, mereka tetap menaiki tangga menuju lantai tiga, lantai paling atas—paling mahal.

Sakura sudah menduga jika kedua orang tuanya akan bermakan malam di lantai paling atas, karena memang paling pas membicarakan masalah keluarga—bahkan ketika ia masuk tidak ada siapa pun di sana sepertinya sengaja dikosongkan.

"Nona Sakura ingin memesan sesuatu?" tanya Inari mengeluarkan buku beserta bolpen dari saku celananya. "Minuman misalnya."

"Minuman yang biasa saja," kata Sakura.

"Pina-rita?" tanya Inari.

Sakura mengangguk.

Inari menulis pesanan Sakura, lalu ia menatap Naruto. "Dan kau tuan?"

"Aku juga sama ya," sahut Naruto sekenanya; semua menu minuman yang dilihatnya sama sekali tidak ada yang diketahuinya—kalau menu makanan hampir semuanya ia mengetahuinya—semuanya makanan perancis yang pernah dicobanya dulu.

Setelah mencatatnya, Inari pun pergi ke menuju ke lantai satu.

Naruto bangkit berdiri dari duduknya, dan berjalan-jalan sekeliling, dan berhenti melihat pemandangan kota—indah sekali jika dilihat dari atas.

"Sepertinya kau menikmatinya sekali ya?" tanya Sakura.

"Tentu saja," sahut Naruto tanpa menoleh. "Ini kan gratis."

"Memangnya memandang panorama kota ada yang bayar?" tanya Sakura lagi, ikut memandang kota—kepalanya sedikit pusing ketika tanpa sengaja ia melihat ke bawah.

"Sakura-chan." panggil Naruto pelan.

"Hm?"

"Apa kau serius denganku?"

Sakura menoleh saat itu juga. "Apa yang kau katakan sih? Tentu aku serius padamu. Kenapa bertanya hal seperti itu padaku? Hah?" tidak pernah dalam kehidupan cintanya—ada lelaki yang menanyakan hal tersebut padanya; biasanya perempuan yang bertanya tentang itu.

Aneh sekali.

"Aku lelaki yang belum sempurna sepenuhnya Sakura-chan," kata Naruto. "Saat ini aku masih 'belum baik' bagimu."

"Lalu kenapa kamu melamarku?" tanya Sakura. "Apa itu hanya lelucon?"

—kalau aku menjawab iya, ini hanyalah sebuah lelucon, salah paham, apakah kau akan memutuskan hubungan kita?—itulah kata-kata yang ingin Naruto ucapkan pada Sakura. "Aku mengatakannya karena tidak mau kehilanganmu, Sakura-chan. Kau terus mengejar-ngejarku tanpa mengenal lelah, tapi setelah berhasil, kau malah berusaha mendekati lelaki lain."

"Aku mendekati mereka karena mereka kan teman-temanku! Kenapa kau masih tidak mengerti?" tanya Sakura.

"Aku tahu," kata Naruto. "Tapi tetap saja... ada yang mengganjal setiap kali aku melihatmu bersama mereka—aku bertanya-tanya: 'kenapa kau tidak menjadi gadis yang lebih penurut setelah kita resmi berpacaran?' Tetap menjadi gadis liar yang selalu membuatku cemas setiap kita tidak bersa—ah—lupakan, ini memalukan."

Penjelasan tadi menjawab semua pertanyaan yang ada di dalam benak Sakura selama ini—kecemburuan Naruto—ia mengerti sekarang. "Kalau begitu, mulai sekarang, kita harus menghadapi masalah bersama-sama, ya? Kita tidak boleh mencurigai satu sama lain, harus berbicara terlebih dahulu berdua. Kita harus mempercayai perasaan satu sama lain. Ok?"

"Aku sudah mencoba hal itu sebelumnya kan?" tanya Naruto tidak semangat.

"Kau meminta penjelasan selalu di depan orang lain! Sumber masalah!" seru Sakura tidak terima. "Dan jangan lupa satu hal, cemburu, cemburu! Kau selalu cemburu duluan sebelum aku menjelaskan apa yang terjadi."

"Apakah terlihat seperti itu?" tanya Naruto malas. "Itu berarti aku lelaki yang normal kan? Tidak rela kekasihnya dekat dengan orang lain."

"Kau tidak pernah berpikir sebelum bertindak ya?" tanya Sakura sweatdrop.

"Hey. Hal yang berhubungan dengan gadis yang kucintai mana mungkin sempat berpikir dahulu sebelum bertindak kan?" tanya Naruto, membela diri.

Gadis yang dicintai—pipi Sakura merona memerah; ini pengakuan cinta! Padahal Naruto tidak pernah mengatakan secara terus terang padanya! Jika pemuda itu mencintainya; ini pertama kali baginya mendengarnya.

Jika saja Sakura mendengar lamaran Naruto di sekolah tadi; sebenarnya ini sudah kedua kalinya pemuda itu menyatakan cinta.

"Naruto, aku—"

"Kalian sudah datang?"

Satu kalimat dari bibir Mebuki membuat ucapan Sakura terhenti.

Naruto dan Sakura menoleh bersamaan; di belakang mereka ada Inari, Mebuki, dan Kizashi sedang berjalan menuju meja yang mereka pesan.

Sakura melangkah mendekati, di saat itu juga Naruto menggenggam tangannya—ia tertunduk melihat tangan mereka berdua yang bertaut satu sama lain barulah menatap penuh tanda tanya pada Naruto.

"Kau sudah berjanji untuk menyelesaikan masalah bersama-sama kan?" katanya Naruto dengan senyum kecil.

Sakura tersenyum, dan mengangguk.

"Cepat sekali ya kalian berdua datangnya. Lima belas menit sebelum acara dimulai." kata Mebuki lagi. "Dan... sepertinya kalian bersenang-senang sedikit sebelum kami datang,"—lanjutnya sedikit tajam setelah melihat tangan puteri kesayangannya digenggam oleh tangan Naruto.

"Mebuki, jangan berkata seperti itu," kata Kizashi. "Wajar kan? Mereka masih muda. Kau seharusnya mengerti masa muda itu seperti apa."

"Tentu saja, aku harus tepat waktu di acara sepenting ini kan?" tanya Naruto penuh senyuman—menebar karismanya. "Ya, kami bersenang-senang sedikit," lanjutnya, menatap penuh arti Sakura yang berada di sampingnya.

Mata Mebuki menyipit. "Begitukah? Baguslah," katanya. "Sudah cukup membicarakan masa mudanya. Bagaimana kalau dimulai saja makan malamnya?"

Naruto mengangguk dan tersenyum penuh kemenangan—kehilangan kata-kata untuk menyindirnya, eh? Hah. Jangan pernah meremehkan Namikaze Naruto ini.

—mereka berempat duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Bisa aku mencatat menu yang ingin tuan, nyonya dan nona inginkan?" tanya Inari sopan.

"Jadi benar kau ingin melamar anak kami, Naruto?"—bukan menjawab pertanyaan Inari, Mebuki justru kembali menyerang Naruto.

"Mebuki, jangan begitu setidaknya biarkan tamu makan terlebih dahulu." Kizashi memperingati, lagi. Tidak habis pikir dengan perkataan istrinya.

"Iya, kaa-san," sahut Sakura menyetujui perkataan ayahnya; ibunya selalu saja seperti ini jika bertemu Naruto.

Mebuki menghela napas. "Aku mau makanan yang biasa saja,"—mengalah sebentar. Sebentar.

"Beef bourguignon." Inari mencatatnya. "Tuan Kizashi?"

"Sama," sahut Kizashi. "Tapi dessert-nya blueberry sweet rolls, ya!"

"Siap," sahut Inari—selesai mencatat, ia menatap Sakura. "Kalau nona Sakura?"

"Aku ingin gratin dauphinois saja." kata Sakura.

Inari mencatatnya. "Dan kau tuan—err?"

Apa? Tuan err? Kurang ajar. "Naruto. Pesananku sama seperti Sakura-chan," sahut Naruto pelan. Sabar. Sabar.

Inari mencatatnya, barulah pergi ke lantai satu lagi.

"Nah, sudah selesai soal menu makanan." Mebuki membuka suara lagi.

Ini dia—'perang' sesungguhnya.

"Apa kalian berdua tidak terlalu terburu-buru? Kau memang sudah punya apa berani melamar puteriku? Hah?" tanya Mebuki tanpa basa-basi. "Kau baru lulus sekolah, biaya hidupmu sendiri pas-pasan. Bagaimana caramu menanggung anakku juga? Dan lagi kau yatim piatu, jadi siapa yang akan membantu kalian kalau kesusahan? Keluarga kami?"

Naruto diam seribu bahasa.

"Kaa-san." Sakura bersuara memprotes, ia tidak tega melihat Naruto dipojokan begitu.

"Mebuki sebaiknya kau tidak perlu terlalu kasar begitu." Kizashi pun mencoba menengahi.

Mendapat perlawanan dari anak dan suaminya membuat Mebuki sedikit mendesah; kenapa di keluarganya tidak ada yang mau mengerti dirinya? Ia cuma ingin yang terbaik untuk puterinya. Bukankah itu sesuatu wajar?

"Tidak apa-apa Sakura-chan, paman Kizashi. Aku mengerti kenapa bibi Mebuki berkata begitu. Seorang ibu ingin yang terbaik untuk anaknya—"

Mebuki mengangguk-nganggukan kepalanya setuju—untunglah Naruto satu-satunya yang mengerti situasinya—eh!? Kenapa ia malah memuji pemuda itu? Hanya karena Naruto mengerti perasaannya—eh! Kenapa ia jadi menyadari bahwa pemuda itu mengerti posisinya? Ia tidak boleh lemah, harus kuat menentang pernikahan puterinya.

"Aku mengerti apa maksud bibi. Mungkin aku memang belum punya apa-apa. Tapi, aku berjanji akan terus berusaha keras menjadi orang yang sukses dan tentu saja berusaha membahagiakan Sakura-chan." kata Naruto serius. "Kalau aku tidak bisa membahagiakannya, paman atau bibi bisa melakukan apa pun padaku, jadi, tolong percaya padaku dan perasaan cintaku pada puteri kalian kali ini saja."

Kalimat Naruto membuat tiga pasang mata di depannya speechless.

Sepi...

Plok. Plok. Plok.

Naruto, Sakura dan Mebuki menoleh melihat siapa yang bertepuk tangan; ternyata Kizashi.

"Wah, wah, Kau beruntung sekali Sakura bisa mendapat pemuda seperti ini." kata Kizashi menepuk punggung Naruto penuh rasa bangga hingga membuat posisi duduk pemuda itu maju ke depan. "Apa mungkin bisa kita menolak calon menantu yang seperti ini? Tentu tidak kan? Bukan begitu Mebuki?" lanjutnya sambil menatap istrinya penuh arti.

Mata hijau Sakura berbinar-binar; restu dari ayahnya sudah mereka berdua dapatkan! Syukurlah! "Benarkah itu tou-san? Kau dengar itu Naruto? Kita sudah direstui! Kita jadi menikah!" katanya dengan suara yang sedikit meninggi karena bahagia.

Apakah perasaan seperti ini akan setiap orang rasakan saat orang tuanya mendapat restu untuk calon yang kita pilih? Ini benar-benar membahagiakan untuk Sakura.

"Oh—hey, hey, kaa-san kan belum berkata apapun, Sakura." kata Mebuki jengkel yang berhasil menginterupsi kebahagiaan Sakura dan membuat puterinya was-was kembali.

"Apa maksudmu, Mebuki?" tanya Kizashi heran. "Kau tadi tidak dengar puteri kita begitu bahagia? Dan lagi Naruto juga tadi sangat bersungguh-sungguh. Apa kau tidak merasakannya?" lanjutnya. "Kau sudah lupa ya bagaimana dan kapan aku melamarmu?"

Mebuki diam, memandang Naruto tanpa berkedip; mencari-cari celah kebohongan di mata biru pemuda itu hingga akhirnya—"Hah... terserah kalian saja. Aku mau pulang." katanya senyum misterius, lalu ia bangkit berdiri dan pergi.

"Kaa-san? Kaa-san sungguh setuju? Aku benar-benar sayang kaa-san." kata Sakura dengan mata yang berkaca-kaca; ia sungguh terharu dan juga bercampur bahagia.

Mebuki tidak menjawab tetapi ia mengangguk.

Sakura benar-benar senang akhirnya ibunya mau mengerti; perasaan ini, ia benar-benar tidak bisa menggambarkannya.

Kizashi menghela napas, ia pun bangkit berdiri. "Kalian berdua saja ya? Kaa-san dan tou-san pergi duluan."

"Ya," sahut Sakura penuh senyuman, sebelum Kizashi benar-benar pergi ia memeluk erat ayahnya. "Arigatou. Tou-san selalu mendukungku tanpa lelah."

Kizashi membalas pelukan Sakura. "Sudah seharusnya orang tua mendukung semua keinginan anaknya kan?"

Memang benar. "Aku sayang tou-san." kata Sakura tulus.

"Tou-san juga," kata Kizashi, kemudian ia melepas pelukan dan menatap Naruto. "Jagalah puteriku dengan baik, Uzumaki Naruto."

Naruto bangkit berdiri, dan mengangguk. "Ya, aku janji,"

Mata Kizashi ke Sakura lagi. "Kau juga, jadi istri yang baik. Ya?"

Sakura mengangguk. "Aku janji,"

"Permasalahan sudah selesai, aku harus mengejar kaa-san sebelum dia benar-benar pergi. Jaa ne." kata Kizashi sambil melambaikan tangannya.

Sakura pun melambaikan tangannya juga; setelah ayahnya benar-benar menghilang dari penglihatan matanya, ia mengembuskan napas lega. "Syukurlah ya Naruto?" tanyanya menoleh ke belakang—yang tidak ada siapa pun di sana. "Naruto?"—ia menoleh ke sana kemari, mencari ke mana pemuda itu pergi, ternyata Naruto memandang panorama kota, lagi, dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana hitamnya; sebuah pose 'cool' favoritnya yang sudah lama tidak dilihat olehnya. Ia pun berjalan mendekati. "Kau tidak mendengar apa yang aku katakan?"

Naruto mengibaskan tangannya malas. "Dengar kok,"

"Terus kenapa kau terlihat tidak semangat sekali? Seperti lamaranmu itu ditolak." kata Sakura menggembungkan pipinya.

"Lamaran," Naruto bergumam, "belum sepenuhnya diterima."

"Hah?" tanda tanya besar muncul di kepala Sakura. "Apa maksudmu sih? Aku tidak mengerti. Kedua orang tuaku kan sudah setuju."

"Ada satu lagi," kata Naruto pelan, ia akhirnya mau menatap mata hijau di seberangnya penuh keseriusan. "Kau, Sakura-chan."

"Aku?" Sakura menunjuk dirinya sendiri.

Naruto mengangguk, lalu berkata. "Haruno Sakura, aku ingin penjelasan darimu. Aku bertanya satu kali lagi padamu. Apa kau benar-benar serius denganku?"

Awalnya Sakura tidak menjawab, masih diam karena terkejut Naruto untuk pertama kalinya memanggil namanya lengkap; ia mengangguk pelan.

Naruto melangkahkan kakinya satu kali. "Tidak mendekati lelaki lain—hanya mencintaiku saja?"

Lagi. Sakura mengangguk.

Sudut bibir Naruto tertarik sedikit; ia melangkah satu kali lagi. "Mencintaiku seumur hidupmu? Itu tidak masalah untukmu?"

"Ya," Sakura akhirnya bisa menjawab dengan kata-kata.

Satu langkah lagi. "Kita sudah sepakat kalau begitu." kata Naruto pelan. "Haruno Sakura, maukah kau menikah denganku?"

Mata Sakura melebar—terkejut akan pernyataan yang mendadak untuk kedua kalinya ini; ia bahagia tetapi belum cukup—"Aku tidak mendengar apa yang kau katakan," katanya. "Bisa kau mengeraskan suaramu atau... sedikit mendekat padaku?"

Naruto mengambil pilihan kedua. Satu langkah ia maju. "Sakura-chan?"

Sakura menggelengkan kepalanya. "Lebih dekat." katanya.

Naruto mendekat lagi satu langkah, jarak mereka berdua hanya beberapa senti saja. "Sakura-chan?"

Sakura bisa merasakan deru napas Naruto dihadapannya yang sukses membuat pipinya sedikit merona merah—tetapi ini masih belum cukup buatnya. "Aku tidak mendengarmu. Lebih—dekat lagi," bisiknya dengan suara yang nyaris bergetar.

Sudah cukup. Naruto meletakan kedua tangannya di pipi Sakura lalu menempelkan keningnya di kening gadis itu. "Sekarang, kau bersedia menikah denganku? Menjadi Uzumaki Sakura?"

Ia pikir sudah cukup bermain—"Ya," jawab Sakura sambil memeluk Naruto. "Ya, aku bersedia," ulangnya lagi—mengeratkan pelukannya.

Naruto membalas pelukan gadis itu; dengan senyum kecil ia berbisik pelan. "Selamat datang Uzumaki Sakura,"

.
x C and F x

Sakura melirik mata ke kanan dan ke kiri—tempat ini begitu asing, untuk pertama kalinya Naruto membawanya ke gedung apartemen yang agak mewah begini; ia bukan mau menghina atau apa, Naruto kan tak tinggal di sini—ia membawa tas dan koper berisi pakaian, keperluannya sehari-hari bukan untuk pindah ke apartemen baru melainkan pindah ke tempat Naruto tinggal karena ia dan Naruto telah resmi menikah dua hari yang lalu.

Sejak memasuki apartemen mewah ini, Naruto tidak mengatakan apa-apa, hanya sebuah senyum misterius terukir di bibir Naruto—ia tidaklah bodoh, ia tahu Naruto sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya; ia berharap sesuatu itu hal yang baik baginya.

Naruto berhenti di depan pintu kecokelatan, dan mengambil sesuatu di saku jaketnya.

Sakura ikut berhenti melangkah, dan mengintip di balik bahu Naruto penasaran kenapa pemuda yang sudah resmi menjadi suaminya itu berhenti—ternyata Naruto berhenti supaya bisa mengambil sebuah kunci berwarna perak dengan ukiran nomor yang sama dengan yang tertera di pintu—di saku jaketnya.

"Naruto ini bukan tempatmu tinggal kan?" tanya Sakura heran; kenapa ia dibawa ke sini? "Aku juga tidak memesan apartemen. Kenapa kita harus ke sini?"

Naruto membuka pintu di hadapannya, barulah berbalik dan tersenyum. "Ini apartemen kita, Sakura-chan."

Eh?

Sakura lantas masuk ke dalam apartemen 'barunya'—dan takjub melihat ruangan bercat pink magenta tersebut sangat rapih dan bersih—Naruto melakukan pekerjaan yang baik sekarang—namun tetap saja—"Aku pikir kau tidak suka warna pink."

Naruto masuk ke dalam, dan menutup pintu di belakangnya. "Hm, karena ini bukanlah lagi apartemenku, sekarang apartemen ini milik kita berdua." Sakura menatap ruangan tersebut, kemudian ia mengangguk. "Ya... kau benar,"—apartemen ini juga bagus untuk memulai sebuah keluarga kecil.

"Untunglah kau senang, Sakura-chan." kata Naruto pelan. "Meskipun yang kulakukan ini belumlah cukup untuk membuatmu bahagia."

"Eh?" Sakura menatap Naruto sekarang. "Naruto jangan berkata seperti itu! Jangan terus memikirkan perkataan kaa-san."

Naruto memikirkan perkataan Sakura sejenak. "Aku akan mencoba itu," jawabnya sekenanya, kemudian berjalan menuju ke ruang kamar tidur berada—seketika itu juga mata birunya membesar merasakan tangan Sakura melingkar di tubuhnya—memeluknya erat dari belakang; suatu hal yang jarang dilakukan oleh Sakura.

"Kau tahu, aku tidak pernah suka kita berdebat tentang ini," kata Sakura pelan. "Harus berapa kali aku bilang padamu? Asalkan kau tidak pernah mencoba berhenti mencintaiku, itulah kebahagiaanku."

Kata-kata Sakura tadi adalah ucapannya ketika merayakan ulang tahunnya tahun lalu, ia berkata seperti itu kepada Sakura sebagai permintaan—dan saat itu Sakura menjawab—"Ya, aku akan terus mencintaimu Sakura-chan. Ini janjiku padamu."

Sakura melepaskan pelukannya setelah mendengar jawaban Naruto. "Baguslah kalau begitu, nah sekarang aku mau melanjutkan kegiatan yang terhenti tadi," katanya santai.

Naruto mendesah kecewa; inilah sifat Sakura yang tidak disukainya—di saat situasi atau adegan yang pas untuk bermesraan, Sakura selalu saja menghindar tanpa memperdulikan perasaannya—ia bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia dan Sakura berciuman—dan ia tak pernah mengeluh soal itu—sekarang kan ia dan Sakura sudah menikah, ia harus lebih agresif dan mengambil alih situasi, tidak harus lagi mengalah terus-menerus; Naruto menganggukan kepalanya setuju akan ide cemerlang dadakannya, dan ditambah lagi—ia menatap intens Sakura yang sedang mengeluarkan pakaian dari dalam tas.

Mereka sudah menikah dan tinggal satu rumah sekarang—ada banyak hal yang ingin dicobanya bersama Sakura...

Sakura—yang merasakan keanehan akan keheningan ruangan yang tiba-tiba, melirikan matanya ke Naruto yang berada di sampingnya—"Kenapa kau memandangku misterius begitu? Kau merencanakan sesuatu ya?"

Naruto langsung menggelekan kepalanya gugup. "Tid, tidak ada rencana apa pun kok, dattebayo,"—kenapa sih Sakura begitu hebat menebak pola pikirnya—?

"Benarkah?" Sakura justru tambah curiga.

"Ya, Sakura-chan," kata Naruto sambil tertawa.

Sakura masih memandang penuh curiga sesaat, lalu menghela napas. "Lupakan saja,"—nanti juga ia akan mengetahuinya—dan pasti sesuatu yang berhubungan dengannya—Naruto tidak pernah menyembunyikan rahasia begitu lama darinya. Ia pun melanjutkan melangkah ke kamar 'barunya'—dan sweatdrop melihat warna cat dinding berwarna oranye; ternyata Naruto tidak merubah warna dinding kamar, mau bagaimana lagi, ia yang harus mengerti kali ini; ia membuka lemari pakaian—yang ternyata sudah Naruto kosongkan untuknya—dan memulai memasukan pakaian miliknya dari dalam tas ke dalam lemari.

Sepertinya Sakura benar-benar sudah tidak mencurigainya, Naruto pun mengeluarkan isi di dalam tas yang sejak tadi dibawanya—rupanya isi di dalam itu buku-buku kedokteran—Sakura kan masuk jurusan kedokteran, berbeda dengannya yang masuk jurusan ekonomi—membuatnya sedikit sedih karena gedung mereka terpisah lagi seperti sekolah SMA dulu, tapi ini cita-citanya dan Sakura—ia tak ingin menjadi penghalang bagi Sakura begitu pula Sakura terhadapnya.

Splash.

Naruto menutup kedua mata birunya dengan tangannya merasakan silau yang tiba-tiba 'menyerangnya'. "Sakura-chan, kau tahu kan aku tidak suka difoto?"

Sakura nyengir sambil memegang kamera di tangannya. "Aku tahu kok, tapi kan kita sudah tidak merayakan pesta pernikahan, jadi kita berfoto-foto saja sebagai pengganti kesenangan. Ok Naruto?"

Senyum di bibir Naruto menghilang; itu memang benar ia dan Sakura tidak merayakan apa pun karena uangnya tidak cukup, mereka berdua hanya mengisi data soal pernikahan ke kantor sipil, setelahnya Sakura langsung menyarankan melunasi administrasi kuliah mereka setelahnya mengambil semua barang-barang milik gadis itu, dan sekarang pindah ke apartemen miliknya—"Itai,"—lamunan panjangnya terhenti di situ begitu Sakura mencubit kedua pipinya, belum selesai, gadis itu bahkan sampai menarik pipinya ke samping. "Sakura-chan, sakit."

Mendengar keluhan Naruto, Sakura pun menjatuhkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, "Aku bukan mau memfoto lelaki yang aku cintai sedang berwajah sedih, tetapi bahagia." katanya jengkel, lalu wajahnya seketika berubah memerah, malu. "Pernikahan kita baru dua hari berlalu, kenapa kau selalu berwajah murung? Padahal... aku bahagia sekali sampai detik ini, karena aku akhirnya bisa menikah dengan cinta pertamaku."

Wajah Naruto pun ikut merona; ia sangat suka ketika Sakura bersikap seperti itu karena Sakura terlihat begitu imut dan itu juga membuktikan perasaan cinta pada dirinya itu nyata—dulu, ia pernah meragukan cinta Sakura padanya karena hal kecil, yaitu Sakura menyukai Gaara, dan ia tetap memilih mendekati gadis lain—tetapi Sakura tidak mau menyerah untuk meyakinkan dirinya—dan berkata padanya bahwa ia adalah cinta pertama gadis berwarna pink itu, semenjak saat itulah ia mau membuka perasaan pada Sakura—dan... akhirnya mereka berdua menjadi kekasih; yang sekarang sudah berubah menjadi suami dan istri. "Sakura-chan aku bahagia juga, hanya saja ada banyak hal yang harus aku pikirkan."

"Soal perkataan kaa-san?" Sakura menebak.

Memang benar—tapi, "Tentang semuanya, pernikahan ini." kata Naruto. "Kau sudah menjadi tanggung jawabku sekarang—semua hal yang kau perlukan harus aku penuhi—"

"Masalah uang." kata Sakura memotong perkataan Naruto. "Aku sudah memutuskan untuk kerja part time sepertimu,"

"Apa!?" Naruto terkejut bukan main. "Aku tidak setuju kau bekerja! Yang harus Sakura-chan lakukan itu mengurus aku dan anak-anak kita nanti."

"Aku tahu, tapi aku tidak ingin kau memaksakan diri," kata Sakura. "Aku tahu kau berniat untuk kerja di dua tempat. Makanya aku memutuskan untuk membiayai kuliahku sendiri dengan kerja part time agar kau bisa tetap bekerja di satu tempat saja."

Mendengar penjelasan Sakura membuat Naruto berpikir sepertinya ia ini lelaki yang mudah ditebak, dan lagi ia senang Sakura peduli pada dirinya, tetapi—"Sakura-chan, aku tetap tidak setuju, dattebayo."

Sakura menyipitkan mata hijaunya jengkel. "Aku tahu kau akan berkata begitu, makanya aku baru mengatakannya sekarang karena aku sudah diterima di tempat kerja itu."

"Eh? Tapi sejak kapan kau melamar pekerjaan?" tanya Naruto heran; sejak dua hari kemarin, Sakura terus bersamanya ke kantor sipil, dan setelah urusan mereka berdua selesai Sakura menyarankan untuk kencan di taman bermain tempat mereka pertama kali berkencan; mereka baru berpisah ketika hari sudah malam, itu pun karena Sakura memberikan alasan ingin membenahi semua barang-barangnya; dan keesokan harinya, mereka mendaftarkan diri serta melunasi admistrasi di universitas yang sama, mengambil kelas malam, khusus mahasiswa yang bekerja sambil kuliah; masa iya di saat itulah Sakura melamar pekerjaan? "Sakura-chan kau tidak melamar di tempat yang aneh kan?"

Sakura menggelengkan kepalanya. "Ino yang memberikan referensi padaku, ada kafe khusus pekerja wanita di dekat rumah dia sedang membuka lowongan," jelasnya tertawa kecil. "Anehnya, aku langsung diterima setelah di wawancara oleh atasan pengurus kafe di sana."

Naruto menghela napas lega—untunglah para pekerjanya wanita semua, ia tidak bisa membayangkan jika harus ada lelaki—sudah cukup baginya cemburu buta sewaktu SMA dulu—tunggu sebentar! Langsung diterima itu terdengar mencurigakan sekali, sepertinya ia tak memiliki pilihan lain selain mencari tahu siapa pemilik kafe tersebut, siapa tahu pemilik kafe itu om-om yang mesum menaruh rasa cinta kepada Sakura dan memiliki rencana hal yang berhubungan dengan 18 tahun ke atas kepada Sakura tercinta. "Aku boleh mengantar dan menjemputmu kerja Sakura-chan?"

"Tentu Naruto," kata Sakura ceria; sejak awal ia memang ingin meminta itu dari Naruto. "Nah... masalah sudah selesai kan? Bagaimana jika kita mulai beres-beres lagi?"

Naruto sweatdrop melihat semua barang-barang Sakura berserakan di lantai kamar. "Ha-ha, baiklah," sahutnya.

Sakura tersenyum sesaat, barulah melanjutkan lagi memasukan pakaian miliknya ke dalam lemari.

Naruto pun juga mulai bekerja, ia merapikan buku-buku kedokteran milik Sakura ke tempat rak buku berada—sejujurnya ia masih lelah mengecat dinding tadi malam bersama Shikamaru—dan juga mengantuk, namun ia tidak tega membiarkan Sakura melakukan pekerjaan ini sendirian, lagian Sakura hanya membawa sedikit barang—ia tadi sempat menanyakan hal itu, gadis itu hanya menjawab dengan singkat: hanya ini yang dimilikinya.

Splash.

"Sakura-chan, bisa tidak kau berbicara dulu sebelum memfotoku?" keluh Naruto menutup mata birunya yang terkena silauan kamera lagi. "Aku ini sedang bekerja. Aku ingin cepat-cepat selesai Sakura-chan. Semalaman aku begadang mencat dinding."—akhirnya ia mengatakannya juga.

"Tidak akan natural kalau aku beritahu dong," kata Sakura nyengir tidak berdosa. "Salahmu sendiri kenapa melakukannya malam-malam."

Sementara Naruto menggerutu tidak jelas—bagaimana caranya agar ia bisa menang berdebat dengan Sakura?—sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya; ia menatap Sakura penuh arti.

Sakura yang tengah ikut membantu pekerjaan Naruto—berhenti, merasa aneh Naruto tidak kunjung merapikan buku pelajaran miliknya. "Na-ru-to, kau ini kenapa diam saja? Memangnya pekerjaan akan cepat selesai jika kau terus diam?" tanyanya marah besar.

Naruto tidak menjawab sama sekali, tetap menatap Sakura serius.

Sakura yang tadinya marah menjadi canggung—Naruto tidak pernah menatapnya seperti ini sebelumnya, kedua mata biru Naruto seakan memberikan sinyal 'memangsa'—ia tahu Naruto terkadang bersikap nakal padanya, tetapi tidak sampai memandangnya penuh keseriusan seperti sekarang ini, membuat jantungnya berdegub-degub kencang; "Naru—apa yang kau lakukan?" tanyanya gugup sekali, Naruto sudah berada di dekatnya—sepertinya sewaktu ia termenung tadi—Naruto bergerak mendekatinya, ia ingin memberikan pelajaran pada Naruto karena sudah mengurung tubuhnya memakai kedua tangan sehingga punggungnya bersentuhan dengan pinggiran kasur.

Ini bahaya. Bahaya tingkat tinggi.

"Naruto apa yang kau lakukan sih? Pekerjaan kita belum selesai." omel Sakura sekenanya dengan rona merah di pipinya, malu.

Lagi. Naruto tidak menjawab pertanyaan, justru mendekatkan wajahnya ke wajah Sakura, yang membuat kedua pipi Sakura sukses kian merona merah, ia tersenyum penuh kemenangan melihatnya. "Sakura-chan kau tadi bilang padaku, aku ini cinta pertamamu? Benar?"

Eh? Diluar dugaan, hanya membicarakan hal biasa—jika memang begitu kenapa harus mengurungnya segala—? Supaya Naruto bisa memastikan apa yang dikatakannya jujur atau bohong; mengecewakan sekali, degub jantungnya berdetak normal kembali. "Aku sudah bilang padamu berkali-kali kan? Ya, kau itu cinta pertamaku, Naruto,"

"Lalu pasti kau pernah bermimpi tentangku kan?" tanya Naruto lagi.

Pertanyaan yang aneh. "Tentu saja aku pernah—"

"Nakal—mimpi nakal, Sakura-chan."

Mimpi—nakal—?

Blush.

Sakura memegangi kedua pipinya yang memanas; sekarang ia paham apa yang ingin Naruto bicarakan. "K, kenapa kau bertanya itu? Ini bukan saatnya membicarakan mimpi kedewasaan," katanya sedikit canggung, suaranya mengecil ketika mengatakan 'mimpi kedewasaan'; ia rasanya ingin bersembunyi di balik batu menahan malu sudah mengatakan kata-kata yang cukup liar barusan

"Berarti memang pernah ya," kata Naruto pelan, senyumnya sejak tadi tidak pudar, semakin naik. "Bagaimana jika aku buat kenyataan, Sakura-chan?"

Membuatnya—menjadi kenyataan—?

Blush.

Tidak tahan menahan malu, Sakura pun membuang muka ke lain arah, menghindari kontak mata dengan mata biru milik Naruto—yang sayang hanya sesaat karena Naruto menyentuh dagunya lembut dan membuat mata hijaunya kembali beradu pandang dengan mata birunya.

"Sakura-chan, aku ini ada di depanmu, bukan di sampingmu kan?" tanya Naruto sedikit 'sedih'.

"Maaf,"—Sakura tidak mengerti kenapa ia mengatakan maaf—mungkin karena ekspresi Naruto yang sedih membuatnya mengatakannya—?

Bingo.

"Sakura-chan, bukan seperti itu cara meminta maaf kita kan?" tanya Naruto.

Sebuah tanda tanya besar muncul di atas kepala Sakura; bukan seperti itu—meminta maaf—mereka berdua—? Lalu seperti apa—? Pertanyaan yang sejak tadi dipikirkannya, terjawab ketika tangan Naruto yang sejak awal berada di dagunya beralih turun ke lehernya, kemudian kedua mata birunya perlahan menutup—dan wajah Naruto mulai perlahan mendekat kembali, menghapus jarak di antara wajah mereka berdua.

Jadi ini maksudnya—? T, tunggu! Ia belum siap! Belum siap—Sakura menutup kedua matanya bertepatan dengan bibirnya bersentuhan dengan bibir Naruto—satu kecupan singkat yang panas—ia membuka mata setelah kecupan di bibirnya selesai—memandang wajah Naruto yang merona merah hanya sesaat sebelum matanya tertutup kembali setelah bibirnya mendapatkan ciuman yang lain; kali ini tidak singkat seperti yang pertama—memagut dan menghisap penuh gairah.

Naruto merindukan melakukan ini—berciuman dengan bibir Sakura yang lembut—seandainya ia bisa melakukan ini di tempat umum—mengklaim jika gadis itu adalah miliknya—di depan para lelaki, terlebih lagi di depan Gaara—sisi posesifnya muncul mengingat 'rival'-nya satu itu, sambil masih tetap berciuman, ia memeluk tubuh Sakura dan membawanya ke atas pangkuannya membuat bibir gadis itu mengeluarkan pekikan kecil, situasi ini ia manfaatkan untuk memasukan lidahnya.

Sakura meremas kaus putih Naruto di bagian punggung, memberikan tanda untuk menyelesaikan ciuman panas mereka dikarenakan ia mulai kehabisah pasokan udara, dan juga ia tidak terlalu senang jika Naruto mulai memakai lidahnya; tangan Naruto berada di bawah telinganya, menahannya agar tidak bergerak atau mungkin menolak, Sakura tidak tahu alasan kenapa Naruto suka melakukan hal itu setiap kali mereka berciuman—dan karena ciuman panas ini—ia menyadari sesuatu jika mereka sudah lama tidak melakukannya—pertengkaran yang hebat masalah Gaara membuat hubungannya menjauh bahkan saling tidak menyapa satu sama lain.

Naruto mengerti, ia pun melepaskan kontak bibir mereka, menempelkan dahinya dengan dahi Sakura dan mulai menghirup udara banyak-banyak. "Kau—baik-baik saja—?"

"Kelihatannya bagaimana?" Sakura justru bertanya balik.

Tok. Tok. Tok.

Naruto dan Sakura menoleh ke arah pintu.

"Siapa ya?" Naruto bertanya-tanya. "Sudah malam. Mencurigakan sekali." lanjutnya bangkit berdiri setelah Sakura menyingkir dari atas pangkuannya, ia berjalan sambil bergumam tidak jelas—mengomel.

Sakura hanya tertawa kecil, lalu melanjutkan lagi membereskan sisa buku yang belum dirapihkan; degub jantungnya masih berdetak cepat, untunglah Naruto bisa berhenti tadi, ia tidak tahu bagaimana jadinya jika mereka tetap melanjutkan ciuman yang tadi.

Malam ini sepertinya ia aman.

Sakura menghela napas setelah selesai, kemudian duduk bersandar di kepala kasur—ia baru menyadari bila kasur yang didudukinya begitu sempit—ternyata Naruto tidak menggantinya dengan yang kasur baru.

"Maaf ya aku tidak membeli yang baru."

Sakura terkejut Naruto sudah berada di sampingnya membawakan dua buah err—kado? Untuk ia? Atau mereka berdua? "Maksudmu kasur ini?"

Naruto mengangguk.

Sakura menghela napas, lalu memeluk Naruto dari belakang. "Tidak apa-apa, aku mengerti Naruto," katanya lembut. "Lagi pula, ini bagus bagi aku, bisa memeluk tubuh hangatmu setiap mau tidur."

Naruto tertawa kecil. "Alasanmu itu aneh sekali Sakura-chan. Meskipun kasurnya besar, kau tetap bisa memelukku setiap mau tidur, dattebayo, " ia menatap Sakura melalui bahunya, matanya mengerling jahil. "Asalkan Sakura-chan memintanya sambil berpose seksi. Hmm, memelukku dari belakang seperti ini boleh juga,"

Sakura lantas melepas pelukannya, matanya menyipit tidak senang. "Memangnya kau pikir aku mau melakukannya?"

"Kau pasti mau Sakura-chan," kata Naruto sambil menarik tangan Sakura lembut, membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukan hangatnya. "Karena Sakura-chan menyukai setiap inci tubuhku."

Naruto barusan bilang apa!?

Wajah Sakura merona hebat, untunglah ia berada di pelukan Naruto, jika tidak pemuda itu pasti sudah tersenyum penuh kemenangan di bibirnya. "Kapan aku pernah mengatakannya?"

"Saat selesai bertanding bola. Aku bertukar kaus dengan lawanku, Yahiko-niisan. Ingat?"

Pertandingan bola dengan Yahiko—itu terjadi dua tahun yang lalu, untuk pertama kalinya ia menjadi anggota seorang cheerleaders dikarenakan Ino terkena sakit flu—ingatan yang ingin Sakura lenyapkan dari otaknya karena ia gagal terus mengikuti setiap gerakan para cheerleaders yang lain yang membuatnya menjadi bahan tertawaan paran penonton bukan memberi dukungan; saat itu yang memberikan semangat ketika ia down adalah Naruto yang setelah bertukar kaus dengan Yahiko, mendekatinya dan menghiburnya bahwa gerakannya itu manis—karena ia terbawa hati yang gembira, tanpa sadar ia mengatakan bahwa ia menyukai setiap inci tubuh Naruto—yang memang kebetulan ketika menghampirinya pemuda itu belum memakai kaus milik Yahiko.

Itulah kenangan buruknya—wajahnya benar-benar memerah hebat mengingat hal tersebut.

"Sudah ingat sekarang?" tanya Naruto, melepas pelukannya.

Sakura menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku—tidak ingat,"—aneh, berbohong pada Naruto membuatnya sedikit tak merasa enak hati, tapi ia yakin Naruto pasti tahu jika ia berbohong hanya dengan menganalisa wajahnya yang merona merah.

"Baiklah kalau Sakura-chan tidak ingat itu," kata Naruto memaklumi kebohongan pertama Sakura—ia mengambil sesuatu di saku jeans miliknya dan memasangkan benda yang dicarinya ke jari manis kiri Sakura. "Aku harap kau tidak akan melupakan ini Sakura-chan."

Sakura menaikan tangan kirinya sampai batas wajahnya—mengamati benda putih berkilauan yang melingkar di jari manisnya takjub; sebuah cincin bertahta berlian berwarna pink—yang langka. "Naruto, aku... ini pasti mahal sekali, aku tidak bisa menerimanya," katanya sedih—sedih karena Naruto terus berusaha membuatnya bahagia tanpa memikirkan keadaan Naruto sendiri; ia hendak ingin melepaskannya namun Naruto menahannya agar tetap terpasang di jari manisnya.

"Ini pemberian kaa-san, Sakura-chan," kata Naruto disertai cengiran khasnya. "Aku ingin kau memakainya."

Pemberian ibunya, Naruto bilang? Apa kedua orang tua Naruto itu orang yang kaya raya—? Sejak berpacaran Naruto tidak pernah membicarakan soal orang tuanya padanya padahal Naruto bercerita pada teman-teman dekatnya; ada yang bilang sejak dulu Naruto sudah yatim piatu, ada juga yang bilang kedua orang tua Naruto meninggal karena kecelakaan ketika Naruto masih kecil; karena tidak tahu yang mana harus dipercayai ia pun bertanya langsung, yang sayangnya pemuda itu menolak untuk bercerita dengan alasan belum siap membagi masa lalu kelamnya padanya.

"Ah, baiklah aku akan memakainya." kata Sakura mengalah, memandang cincin yang berada di jari manisnya. "Kalau kau membutuhkan lagi cincin ini, aku akan memberikannya padamu lagi."—ia, tetap merasa tidak enak mendapatkan hadiah semahal ini—kondisi Naruto kan sederhana sekali.

"Sakura-chan, cincin itu milikmu sekarang, aku takkan mengambilnya karena sudah milikmu," jelas Naruto. "Anggaplah itu hadiah pernikahan dariku, dan tentu juga sebagai tanda kalau kau sudah menikah dengan Uzumaki Naruto ini, dattebayo."

Sakura menatap Naruto sesaat, barulah ia mengangguk mengerti. "Ha'i. Aku akan menjaganya dengan baik."

Naruto tersenyum mendengarnya—kemudian senyumnya berubah jahil. "Nah, bagaimana kalau kita melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti tadi?" tanyanya menggoda.

Satu kedutan muncul di dahi Sakura, ia bangkit berdiri agar tidak mudah 'dijatuhkan lagi'. "Bukankah lebih baik kita membuka dua kado yang kau bawa tadi?"

"Tidak menarik ah," kata Naruto sambil menghela napas kecil. "Kado dari Ino pasti cuma sesuatu yang konyol seperti waktu hadiah ulang tahunku tahun kemarin, tidak ada bedanya dengan pemberian Tenten."

Sakura menatap kedua kado yang berbungkus pink dengan corak hati berwarna merah berhiaskan pita putih; jadi kedua kado ini pemberian kedua sahabatnya—? Dan lagi... mereka berdua memakai kertas kado yang sama, pasti Ino dan Tenten membuatnya bersama-sama. "Hmm, aku mau—apa yang kau lakukan!?" teriak Sakura, terkaget tubuhnya di angkat bak tuan puteri; karena melamun tadi Naruto jadi mendapatkan kesempatan untuk mengangkat tubuhnya dan membaringkan tubuhnya di kasur—disusul oleh Naruto, bedanya, pemuda itu berada di atasnya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan di sisi kepalanya supaya tidak jatuh, senyum yang menggoda terukir di bibir pemuda itu—yang sukses membuat degub jantungnya kembali berdetak cepat sekali dan pipinya memanas.

Naruto merapikan poni yang menutupi sepasang mata hijau yang begitu disukainya, setelah selesai, ia menatap Sakura sesaat, sebelum kembali mendaratkan ciumannya, lebih panas dan bergairah dari sebelumnya...

x C and F x

"Um,"

Bruk.

Sakura menutupi silauan cahaya matahari yang menusuk mata hijaunya memakai tangannya—tidak berhasil, ia memiringkan tubuhnya, mencoba tidur lagi sambil memeluk tubuh Naruto di sampingnya—"Eh?"—tidak ada Naruto? Ia kembali ke posisinya semua, menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri—mencari dari sudut ke sudut—tidak ada siapa-siapa di sini.

Apa ia sedang bermimpi—? Termasuk kejadian tadi malam? Sakura bangun dari tidurnya, duduk, baru mengecek tubuhnya yang ditutupi selimut oranye—dan, merona memerah ternyata kejadian semalam bukanlah mimpi, ia memegang kedua pipinya yang memanas.

"Aduh, sakit, dattebayo."

"Eh?" Sakura menoleh ke samping—dan tertawa. "Apa yang kau lakukan di bawah lantai Naruto?"

"Aku jatuh dari kasur karena kau mendorongku Sakura-chan," keluh Naruto, duduk di pinggiran kasur. "Ini sudah ketiga kalinya."

"Tiga kali? Sungguh?" Sakura tidak menyadarinya, mungkin karena belum terbiasa tidur di kasur yang sempit, ia jadi mendorong tubuh Naruto supaya bisa lebih leluasa tanpa disadarinya.

"Ya, aku serius," sahut Naruto. "Kau terus mendorongku setelah kita tidak berpelukan," terangnya. "Kurasa aku setuju akan kata-katamu semalam, aku harus memelukmu setiap mau tidur, bukan juga berbagi kehangatan tapi juga supaya bisa berbagi tempat, dattebayo."—karena Sakura sering menendangnya, tiga kali yang dikatakannya, hitungan tendangan Sakura yang berhasil membuat ia jatuh, yang tidak berhasil sih tidak dihitungnya, gara-gara itu ia jadi kesulitan tidur.

Pipi Sakura semakin merona, bukan karena kata-kata yang diucapkan Naruto melainkan setiap kali beradu pandang dengan mata biru milik Naruto, pikirannya secara otomatis mem-flashback kejadian semalam.

Sakura tidak menyangka Naruto yang sifatnya kekanakan bisa menjadi pria yang dewasa dan seksi karena suatu keadaan yang penuh gairah.

Naruto yang semalam... sesuatu yang baru baginya...

"Sakura-chan?" Naruto melambaikan tangannya di depan wajah Sakura, menyadarkan gadi—ah, wanita muda itu dari lamunan panjangnya. "Kau sakit? Wajahmu merah sekali, Sakura-chan!"

"Aku baik-baik saja," kata Sakura tertawa garing; wajahnya memerah bukan karena sakit tapi karena Naruto sendiri.

"Kau yakin, Sakura-chan?" tanya Naruto masih tidak percaya, kemudian pipinya pun ikut merona. "Aku tidak melakukan sesuatu yang buruk bagi kesehatanmu karena semalam kan, dattebayo?"

Sakura menggeleng, "Tidak, Naruto, kau melakukannya dengan baik tadi malam," katanya malu tingkat tinggi; kenapa ia harus mengatakan ini sih? Ini terdengar konyol dan bodoh sekali.

"Syukurlah," Naruto menghela napas lega; sejak tadi ia memperhatikan Sakura tidur, takut terjadi hal-hal yang negatif karena di tengah-tengah aktifitas mereka, Sakura sempat mengeluh sakit hingga menangis. "Kau masih mengantuk kan Sakura-chan? Tidurlah, aku akan menghangatkan lagi makanannya kalau kau sudah bangun nanti."

"Begitukah? Terima kasih ya, Naruto."—memang benar Sakura masih mengantuk, ia kembali berbaring di kasur lalu menutup mata hijaunya, berusaha tidur.

Naruto memberikan kecupan di kening Sakura. "Semoga mimpi indah, Sakura-chan."

Sepi...

Tunggu sebentar! Sakura bangun lagi dari tidurnya. "Tadi kau barusan bilang apa?"

"Yang mana?" Naruto bertanya balik.

"Itu, um, soal menghangatkan makanan." kata Sakura syok.

"Oh," Naruto menangkap arah bicara Sakura. "Setelah bangun tidur, aku kelaparan, tapi aku tidak tega membangunkanmu Sakura-chan, jadi aku masak mie ramen sendiri, aku juga memasak sup miso untukmu karena kurasa kau akan kelaparan juga sepertiku."

Satu kedutan muncul di dahi Sakura. "Naruto-BAKA!" teriaknya marah besar, kemudian berdiri berbalut selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang dan berjalan menuju kamar mandi dengan jengkel.

"Eh?"—kenapa Sakura justru marah? Bukankah harusnya bahagia karena sudah sengaja ia buatkan makanan?

Sakura menutup pintu kamar mandi, dan menyandarkan tubuhnya ke pintu kecewa; Naruto itu memang hebat membuatnya bahagia tetapi juga hebat menghancurkan kebahagiaan itu, yang membuatnya sulit menebak arah yang dipikirkan Naruto; ia bingung, sebenarnya Naruto pria yang pandai mengetahui kelemahannya atau tidak sih?

Sakura menjatuhkan selimut oranye yang menutupi tubuhnya ke lantai, kemudian berjalan menuju cermin berada, lalu manatap dirinya sendiri; bayangan aktifitas semalam kembali muncul.

Tadi malam luar biasa sekali—setiap sentuhan penuh kelembutan di setiap inci tubuhnya, setiap bisikan penuh cinta di telinganya, setiap ciuman intens yang mereka berdua bagi, membuat tubuhnya menjadi panas—

Sakura tertunduk suram.

Ini gawat, ia tidak bisa terus seperti ini—ia bisa disangka wanita mesum jika terus teringat aktifitas panas semalam; apa semua wanita di dunia ini akan sepertinya jika baru pertama kali melakukannya? Terus teringat-ingat? Hal seperti ini termasuk aneh bagi setiap wanita—atau normal—? Sakura tidak menemukan jawabannya—mungkin ia harus bertanya pada Ino yang merupakan ahlinya—tidak. Jika ia curhat ke Ino, ia pasti akan di interogasi selama berjam-jam; tentang bagaimana rasanya, berapa jam mereka berdua melakukannya itu, apa Naruto itu hebat, atau detail yang lainnya.

Pipi Sakura kembali memanas—hanya berpikir seperti itu sudah membuatnya merona.

'Pervert! Pervert!' katanya di dalam hati kecilnya.

Kalau tahu kehidupan pernikahan bisa membuatnya berubah mesum seperti seorang lelaki, ia seharusnya tidak menerima lamaran Naruto.

Tidak.

Kenapa ia jadi berpikir seperti itu? Mungkin—mungkin saja karena ini baru pertama kali dan hari pertama pernikahannya, ia sedikit terkejut dengan kehidupan yang harus mulai dibaginya bersama Naruto, kalau sudah lewat beberapa minggu, atau bulan, atau malah tahun, mungkin Sakura akan sudah terbiasa. Pasti.

Menikah dengan Naruto salah satu mimpinya, bukan penyesalannya.

Sakura mengelus dagunya akan pemikiran 'dewasanya'. "Ya, benar,"

Tetap berpikir positif adalah jalan keluar baginya untuk saat ini.

Yoga mungkin bagus tapi—Sakura mengedarkan pandangan keseliling kamar mandi, dan menemukan sesuatu yang pas sebagai terapi.

"Hm, berendam aroma mawar mungkin bisa membuat pikiran dan tubuhku sedikit rileks,"

x C and F x

Naruto tersenyum lebar ketika Sakura tiba di ruang makan, ia lantas mendekati istrinya dan langsung memberikan pelukan yang erat.

"Naruto, lepaskan aku," kata Sakura memprotes kecil namun ia tidak memberontak atau pun mendorong tubuh Naruto.

Naruto menurut, hanya saja sedikit melonggarkan pelukannya agar ia bisa menatap mata hijau Sakura. "Kau sudah tidak marah lagi padaku, Sakura-chan?" tanyanya cemas.

Sakura menggelengkan kepalanya dan tersenyum; sejujurnya ia tadi masih marah namun amarahnya mereda setelah Naruto memeluknya. "Lain kali kau tidak boleh begitu lagi. Aku kan istrimu, sudah seharusnya akulah yang memasak makanan untuk kita berdua."

Naruto tersenyum juga. "Untunglah. Ya aku tidak akan melakukannya lagi kok," katanya lega, kemudian menuntun Sakura menuju kursi untuk makan. "Oh, ya... aku sudah menghangatkan supnya saat kau ke kamar mandi tadi. Dimakan ya Sakura-chan!"

Sakura memandang sup miso buatan Naruto dengan tatapan siap-siap menerkam buruannya; perutnya sejak tadi memang sudah keroncongan, sebelum itu, ia menoleh kepada Naruto. "Sebelum makan, mana ciuman selamat paginya?" tanyanya manja.

"Eh—Sakura-chan?" bukankah itu sedikit terlambat? Ini sudah siang, bahkan seharusnya mereka berdua makan siang bukannya sarapan.

"Aku cuma bergurau," Sakura menambahkan kalimatnya yang tadi sebelum Naruto melaksanakan apa yang dikatakannya; ia cuma ingin membuat suasana menjadi lucu sebab jantungnya berdegub kencang setiap kali beradu pandang dengan mata biru Naruto. "Itadakimasu."

"Itadakimasu,"—Naruto ikutan.

Sakura yang hendak melahap makanannya, berhenti; Naruto juga ikut makan? Tapi tadi tidak ada apa-apa selain sup miso buatnya. Apa iya Naruto menyiapkan cadangan juga? "Kau makan sama apa s—ramen!?" ia berseru marah, lantas mengambil cup ramen yang dipegang Naruto dan membuangnya ke tempat sampah.

"Sakura-chan, aku baru mau memakannya," keluh Naruto. "Kenapa kau membuangnya?"

"Kenapa kau bilang? Tentu saja karena itu makanan yang tidak sehat!"

"Tapi aku suka," kata Naruto lagi, kecewa.

Sakura menyipitkan matanya tidak senang, ia membuka lemari es, dan sesuai dugaannya, banyak ramen instan di dalam, ia pun memasukan semuanya ke dalam tong sampah tanpa peduli suara memprotes dari Naruto. "Mulai sekarang, kau tidak boleh makan itu semua."

"Apa?" Naruto seakan tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Sakura-chan jahat."

"Aku jahat—?" Sakura bergumam pelan, wajahnya berubah sedih. "Aku hanya ingin menjadi seorang istri yang baik untukmu."

"Eh?" Naruto mau menatap Sakura sekarang.

Sakura menaruh kedua tangannya di belakang tubuhnya, menatap Naruto malu. "Aku memang tidak begitu pandai memasak tapi aku akan terus belajar, membuatmu menyukai masakanku dan melupakan mie ramen instan yang tidak sehat. Aku tidak mau di umurmu yang masih muda ini, kau akan memiliki penyakit yang serius," jelasnya, wajahnya berubah sedih. "Aku tidak mau kehilanganmu secepat itu, Naruto. Apa aku jahat?"

Mendengar penjelasan Sakura tadi membuat Naruto menyesal sudah mengatakan 'jahat' padanya padahal maksud Sakura benar-benar baik untuknya. "Maaf ya, Sakura-chan. Aku benar-benar menyesal," katanya.

"Permintaan maaf diterima," sahut Sakura disertai senyum yang tulus.

Naruto ikut tersenyum—lagi. "Tapi, kalau sebulan satu kali boleh ya, Sakura-chan? Ya?" pintanya memelas.

Sakura menghela napas kecil. "Yah, menurut dokter, satu bulan sekali diperbolehkan. Tapi kalau aku sudah mahir memasak, kau harus benar-benar berhenti, ya? Janji?"

"Tentu saja! Aku janji, Sakura-chan." katanya bahagia—syukurlah Sakura bisa mengerti situasinya.

"Hm, kalau begitu—" Sakura melirik sup miso di meja makan. "Aku mau makan, ya Naruto."

"Eh?"—berbicara makanan lagi—perutnya jadi bergemuruh lagi—semua ramen instan sudah dibuang oleh Sakura—bahan-bahan makanan habis semua di lemari es karena ia belum berbelanja. "Sakura-chan, aku punya usul. Bagaimana jika kita berbagi saja? Aku juga lapar. Bagaimana?"

Sakura memandang sesaat Naruto yang memasang wajah puppy eyes. Ia mengambil sumpit, mengambil beberapa miso dan menyodorkannya pada Naruto "Ayo, buka mulutnya, aa~" katanya sambil tertawa kecil.

Naruto sweatdrop—apakah permintaannya tadi terdengar seperti anak kecil bagi Sakura? Namun pada akhirnya ia menuruti perkataan Sakura, dan membuka mulutnya.

Sakura mengambil makanan bagiannya, dan memakannya. "Ini enak sekali, Naruto."

"Um, ya. Aku sering membuatnya jadi sudah terbiasa," kata Naruto—ia menatap Sakura sesaat—lalu teringat sesuatu. "Sakura-chan?"

Sakura tidak menoleh tetapi menyahut. "Hm?"

Pipi Naruto merona, ia malu mengatakannya. "Kau tahu. Kita sudah menikah sekarang, tapi kau tetap memanggil dengan nama kecilku. Hmm, apa kau tidak berpikir untuk memanggilku dengan sedikit um, mesra—?"

Sakura menengadahkan kepalanya—berpikir; ia sama sekali tidak berpikir ke sana, memang dulu pernah ketika mereka berdua resmi pacaran, ia ingin menambahkan sufix 'kun' diakhir nama Naruto tapi sayangnya selalu gagal—ia tidak pernah bisa berkata dengan lancar kalau menambahkan 'kun' di belakang nama Naruto. Ia juga bingung kenapa, padahal ia bisa menambahkan sufix 'kun' di belakang nama Gaara dan Sasuke dengan lancar.

Yang ia bisa cuma dua kata itu—"Naruto—baka—hm."

Naruto tertunduk suram.

Berpikir lagi. "Bagaimana, hm, Naruto—dobe? Hm," bukan, bukan, itu panggilan 'sayang' Sasuke ke Naruto.

Naruto semakin tertunduk suram.

Sakura melirikan matanya ke Naruto yang tertunduk suram—ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil melihatnya. "Kau kenapa?"

Naruto menggelengkan kepalanya. "Ah, aku tidak apa-apa, Sakura-chan."

Sakura menaruh tangannya di atas tangan Naruto lembut. "Kau terlihat murung, Naruto—koi,"—akhirnya ia bisa mengatakannya dengan lancar.

Naruto menegakan kepalanya mendengar terakhir, kata 'koi' yang berarti sayang. "Sakura-chan kau barusan bilang apa?" tanyanya mengguncang-guncangkan bahu Sakura antusias.

Sakura menyingkirkan tangan Naruto yang berada di bahunya perlahan, wajahnya berubah jengkel. "Naruto-baka?"

Naruto menggelengkan kepalanya. "Sesudahnya."

Sesudahnya itu—"Naruto-dobe?"

Naruto menyipitkan mata birunya—apa Sakura sedang berusaha mempermainkannya—? "Se, sesudahnya lagi." katanya 'lembut'.

Sabar. Sabar.

"Oh," Sakura tertawa; menyenangkan mempermainkan kesabaran Naruto, tetapi ia rasa sudah cukup. "Naruto-koi,"

"Itu dia, Sakura-chan." kata Naruto senang. "Aku suka kata yang itu,"

"Hm," Sakura bergumam. "Baiklah, kalau itu memang keinginanmu," katanya. "Meski kurasa Naruto-baka lebih cocok denganmu,"

"Sakura-chan, itu tidak lucu," kata Naruto tidak terima.

"Memangnya siapa yang bilang itu candaan?" tanya Sakura, lalu ia tersenyum. "Mau makan lagi tidak?"

"Ha'i,"

x C and F x

"Wah... suasana kuliah memang berbeda ya! Ramai sekali!" seru Sakura dengan semangat merenggangkan kedua tangannya.

Naruto berhenti tepat di samping Sakura, ia sama semangatnya dengan istrinya. "Tentu suasananya berbeda karena orang-orang yang belajar di sini jauh lebih banyak dari pada sewaktu kita SMA. Di sini banyak sekali jurusan perkuliahan," jelasnya, mata birunya perlahan berubah sendu; ia akhirnya kembali; ia kembali menghadapi ingatan masa lalunya yang kelam; perasaannya saat ini bercampur aduk antara senang dan sedih.

Apakah ia sudah siap menghadapi masa lalunya, semuanya—?

"Naruto?" panggil Sakura pelan; tidak biasanya Naruto tiba-tiba menjadi pendiam tanpa sebab seperti ini.

"Hm?" Naruto menatap Sakura.

"Kau baik-baik saja?" tanya Sakura cemas.

"Aku baik-baik saja, dattebayo," sahut Naruto memamerkan cengiran khasnya.

"Jangan berbohong padaku," kata Sakura sedikit marah. "Katakan padaku, ada apa sebenarnya."

Apakah ia begitu buruk berakting bahagia—? Entahlah, lagi pula Sakura selalu tahu jika ia berbohong. "Sebenarnya, um, aduh, aku hanya sedikit mengingat masa laluku saja, Sakura-chan,"

"Masa lalu?" Sakura antusias mendengarnya. "Masa lalu tentang apa?"

"Maaf, aku belum siap menceritakan hal itu padamu," jawab Naruto penuh penyesalan; ia merasa jahat menyembunyikan sesuatu dari Sakura. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain selain sedikit membuat wanita itu 'patah hati'.

"Aku mengerti," kata Sakura pelan. "Semua orang memiliki masalahnya masing-masing yang tidak bisa mereka ceritakan, termasuk kepada istri mereka sendiri, ya?"

"Sakura-chan,"—bukan itu maksudnya; ia bukannya tidak mau bercerita—ia cuma belum siap, itu saja.

"Aku mengerti kok, sungguh," kata Sakura disertai senyuman. "Tetapi, ingatlah satu hal Naruto. Kau sudah tidak sendirian lagi, aku selalu ada bersamamu. Kau bisa menceritakan tentang apa pun padaku, karena masalahmu adalah masalahku juga sekarang."

"Sakura-chan—" Naruto terharu mendengarnya. "Terima kasih kau mau mengerti keadaanku." katanya. "Aku tidak menyesal sudah memberimu kesempatan dulu."

Ekspresi wajah Sakura berubah drastis menjadi jengkel. "Benar. Kau sombong sekali dulu!" omelnya. "Padahal akhirnya kau bertekuk lutut juga padaku."

"Bisa kita tidak membicarakan soal itu?" tanya Naruto—ia benar-benar tidak menyukai ingatan yang satu itu, sebab ia bertingkah kasar sekali pada Sakura—karena pada saat itu... berbarengan dengan pemulihan perubahan sifatnya yang sombong.

"Baiklah," kata Sakura. "Tapi dengan satu syarat,"

"Syarat? Syarat apa, Sakura-chan?" tanya Naruto terheran-heran; tidak biasanya Sakura mengajukan syarat padanya.

"Peluklah Uzumaki Sakura ini," jawab Sakura manja.

Naruto sweatdrop. "Sakura-chan, kita ini sedang di tempat umum loh,"

"Aku tidak peduli!" seru Sakura marah. "Ayo, peluk aku."

Naruto menghela napas—meski ia sempat memprotes, pada akhirnya ia melangkah mendekati Sakura dan memeluknya erat. "Aku tak mengerti, kenapa kau mau melakukan ini."—itu memang benar, Sakura sama sekali tidak suka melakukan sesuatu yang romantis di depan umum, bahkan ia sampai memprotes yang tidak dipedulikan oleh Sakura karena itu juga ia sampai mencuri-curi kesempatan untuk mencium atau memeluk Sakura jika wanita muda itu sedang tidak memasang 'pertahanan'.

Sakura terdiam sesaat seperti berpikir di mata biru Naruto, kemudian ia menengadahkan kepalanya. "Naruto, kau milikku kan?" tanyanya serius.

Pertanyaan macam apa itu? "Tentu saja aku milikmu, Sakura-chan," jawab Naruto. "Kenapa kau bertanya tentang itu?"

Sakura tidak menjawab malah bertanya lagi. "Dan aku adalah milikmu kan?"

"Ya Sakura-chan," sahut Naruto, terheran-heran; ini aneh sekali, benar-benar aneh. "Sakura-chan ada apa sih?"

"Tidak apa-apa sih," sahut Sakura tanpa beban, melepas pelukan Naruto dari tubuhnya. "Cuma... kalian semua sudah dengar kan perkataan tadi?"

"Kalian?" Naruto menatap sekelilingnya—dan sweatdrop melihat wanita-wanita yang melewatinya, menatapnya penuh rasa kecewa, bahkan ada yang berbisik dengan wajah mengejek—jadi tujuan Sakura ini? Kecewa.

"Kita beda gedung," Sakura membuka percakapan. "Kau adalah milikku kan? Jadi aku tidak mau kau melirik wanita lain," katanya tajam.

Naruto mengangguk patuh, kaku.

"Naruto! Selamat pagi!"

Naruto menoleh dan tersenyum lebar melihat siapa yang memanggilnya. "Kiba! Shikamaru! Dan Sasuke! Selamat pagi!" serunya semangat sambil melambaikan tangannya.

"Sakura! Selamat pagi!"

Kini giliran Sakura yang menoleh. "Ino. Selamat pagi juga." katanya.

"Ayo kita ke lapangan! Acaranya mau dimulai!" seru Ino riang.

"Sakura-chan, kita berpisah di sini ya! Kita ketemu istirahat makan siang nanti," kata Naruto lalu berbalik dan menghampiri teman-temannya.

Sakura tidak menjawab, ia memandang kepergian Naruto; kenapa dengan perasaannya ini? Kenapa hatinya tiba-tiba terasa sakit—? Padahal hanya melihat Naruto berlari berlawanan arah darinya—?

Ino mendekati sahabatnya. "Sakura bagaimana—!?"

Tanpa mendengarkan seluruh perkataan Ino, Sakura berlari mengejar Naruto dan memeluk pria itu erat-erat.

Naruto terkejut bukan main 'diserang' seperti itu, ia pun melirikan mata birunya ke belakang ingin mengetahui siapa pelaku yang menyerangnya, ternyata tidak lain adalah istrinya. "Sakura-chan? Ada apa? Ada sesuatu yang salah?"

Sakura menggelengkan kepalanya satu kali, kemudian menyandarkan kepalanya di dada Naruto, mendengarkan degub jantung pria itu, yang berdegub sedikit di atas normal, mungkin efek darinya yang memeluk secara tiba-tiba. "Aku hanya ingin memelukmu sedikit lebih lama,"—itu sebuah kebohongan yang besar; ia memeluk karena tidak ingin Naruto melangkah lebih jauh berlawanan darinya.

Sakura takut—ia juga tidak tahu apa yang ditakutkannya.

Naruto tersenyum, dan membelai lembut pucuk kepala Sakura. "Jika kau mengatakan itu. Baiklah,"

Setelah merasa dirinya jauh lebih baik, Sakura melepaskan pelukannya.

"Sudah lebih baik?" tanya Naruto.

Sakura menatap Naruto sesaat barulah mengangguk. "Ya,"

"Kalau begitu... bagaimana kalau kita masuk bersama saja?" tanya Naruto nyengir.

Sakura tersenyum dan mengangguk.

Menatap ke lain arah, Naruto mengulurkan tangannya ke Sakura.

"Apa?"—Sakura tahu apa maksud dari uluran tangan Naruto hanya saja ia ingin suaminya itu mengatakannya langsung.

"Kau tahu, kan kalau sekarang ini ramai sekali." jelas Naruto malu. "Jadi, lebih baik kalau kita berpegangan tangan agar tidak terpisah, dattebayo,"

Sakura tersenyum puas—itulah ucapan yang ingin didengarnya; dengan senang hati ia menerimanya.

"Cieee... suit! Suit! Pagi-pagi sudah mesra-mesraan." goda Kiba menyenggol-nyenggol tangan Naruto memakai sikunya.

"Kau cemburu? Makanya cari pasangan dong," sahut Naruto menggoda balik sekaligus menyindir Kiba yang sampai sekarang masih menjomblo.

"Apa!?" seru Kiba tak percaya.

Sakura tertawa kecil di sampingnya.

"Sepertinya hubungan kalian berdua berjalan lancar ya?" tanya Ino.

Sakura mengangguk.

"Aku sempat berpikir, mungkin kalian akan berpisah karena ibumu tidak pernah setuju dengan Naruto," kata Ino. "Tapi syukurlah semua masalah itu sudah lewat." lanjutnya tertawa

Sakura menggelengkan kepalanya. "Aku rasa kaa-san sampai sekarang masih belum mempercayai Naruto sepenuhnya. Aku tahu itu, saat kami berbicara sewaktu aku mengemas barang-barang milikku."

"Sakura." kata Ino sedih. "Lalu selanjutnya apa?"

Sakura menutup matanya sambil tersenyum kecil. "Selanjutnya apa kau bilang?" tanyanya balik. "Tidak ada apa-apa."

"Kau yakin?" tanya Ino sekali lagi. "Kalau kau jujur, aku bisa membantumu loh Sakura."

"Aku yakin. Ino terima kasih sudah mau peduli padaku," jawab Sakura tersenyum tulus. "Aku akan baik-baik saja, karena kami berdua sudah berjanji akan menghadapi semua masalah bersama-sama."

"Hm... aku rasa, aku tidak bisa memaksamu," kata Ino ikut tersenyum. "Tapi, jangan sungkan meminta tolong padaku. Ok? Kalian berdua kan masih polos dengan semua hal tentang pernikahan."

"Memangnya... kau juga berpengalaman soal pernikahan?" tanya Sakura balik, yang sukses membuat Ino tertawa garing. "Ya, aku takkan sungkan padamu,"

"Baguslah," kata Ino lega—tidak lama kemudian wajahnya berubah jahil. "Nah, sekarang bagaimana jika kita berbicara soal pernikahanmu? Aku sudah dengar dari Shikamaru, kau sudah pindah ke apartemen Naruto, satu minggu yang lalu. Jadi—bagaimana—rasanya?"

Blush.

Wajah Sakura memerah. "I, itu bukan urusanmu!" sahutnya marah sekaligus malu.

"Ayolah Sakura jangan pelit padaku, kita ini kan sahabat." rayu Ino.

Rona merah di pipi Sakura semakin kentara. "Sudah kubilang itu bukan urusanmu!"

"Pelit," kata Ino menggembungkan pipinya kecewa.

"Sakura-chan?" panggil Naruto. "Wajahmu memerah lagi tuh! Sudahlah, jangan berbohong padaku... kalau kau benar-benar sakit, jujur saja, aku akan mengantarmu ke ruang kesehatan."

"Aku baik-baik saja kok," sahut Sakura. "Sungguh. Tidak usah mencemaskan kondisiku hari ini. Aku sehat."

"Baiklah kalau begitu," kata Naruto, kemudian ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum kecil. "Bisa kita pergi sekarang?"

Sakura menyambut uluran tangan tersebut dengan senyuman. "Ha'i,"

To be continued...

Hay, semuanya #lambai-lambai tangan

Makasih ya udah sempet membaca fic kolaborasi pertama CherryFoxy13 dan nona fergie kennedy ini :)

Setelah terkendala beberapa hal akhirnya bisa publish #terharu :')

Soal pernikahan itu cuma sederhana sama seperti fiksi recchinon, dan kami udah dapet izin dari yang bersangkutan #arigatoukakrecchi :')

Chapter 2 : Pertengkaran Pertama (?)

Riview? Arigatou... :D