Jehehe ceritanya lagi sombong neh :3
Pas nonton Harry Potter and The Deathly Hallows tanggal 4 kemarin, ada diceritakan sebuah cerita yang mendasari sekuel ini, yaitu The Tale of Three Brothers, dan aku pengen sekali me-remake kisah ini dalam nuansa Vocaloid. Jadi yah gitu deh. Ini juga sekalian teaser bagi yang belum nonton HarPot nyah~ XD
Oke silakan, ini ceritanya! Bagi yang sudah nonton HarPotnya mungkin akan sedikit kecewa karena agak menyimpang dari cerita aslinya, tapi inilah fanfic, genrenya parodi pula. Jadi, enjoy..~
The Tale of Three Brothers {Vocaloid parody}
Alkisah, pada jaman dahulu, di tempat yang sangat jauh, antah berantah, hiduplah tiga orang bersaudara, nama mereka adalah Gakupo si sulung, Kaito anak kedua, dan Piko yang paling muda. Mereka sangatlah akur meskipun mereka memiliki sifat yang berbeda-beda. Ada satu hal yang mempererat tali keakraban mereka, yaitu mereka sama-sama mendalami ilmu sihir di Akademi Sihir. Mereka diketahui sebagai penyihir yang sangat populer di sana, tak hanya karena ketampanan wajah mereka. Gakupo dikagumi oleh karena bakatnya yang luar biasa dalam menggunakan sihir serta kemampuan memimpinnya yang hebat, Kaito dipuji karena keahliannya dalam mengolah berbagai macam ramuan, kemampuan healing yang dahsyat dan mahir mengendarai sapu terbang, sementara Piko dikenal karena kebaikan hatinya dan kemampuan analisisnya, meskipun kehebatannya masih kalah dibanding kedua kakaknya.
Pada suatu pagi, mereka tertarik untuk berkelana dalam Hutan Terlarang, karena mereka ingin sekali menaklukkan segala mitos dan desas-desus yang berhubungan seputar hutan itu. Bertiga mereka bekerja sama mengatasi segala rintangan yang ada di sana.
Krsk.. Krskk..
Piko mendengar suatu suara gemerisikan dedaunan kering. Firasatnya berkata buruk, namun ia berusaha menenangkan hatinya. Sementara Gakupo masih berjalan di depan, diikuti oleh Kaito yang berada di tengah-tengah sambil memegang sebuah peta.
"Nah, menurut peta ini, kita berjalan terus ke arah utara," gumam Kaito sambil memegang dagunya, tengah berpikir keras.
"Halaaahh..! Lupakan saja peta itu! Kita 'kan di sini untuk berkelana, bukan untuk mengunjungi makam kucingmu, jadi jalani saja apa yang ada di depanmu!" seru Gakupo dengan nada sedikit angkuh.
Sementara Piko masih memikirkan suara yang makin lama makin terdengar jelas itu.
"Sepertinya ada yang mengikuti kita," bisik Piko pada dirinya sendiri.
Krsk!
Gakupo mengacungkan tongkat sihirnya dan merapalkan mantra penghancur pada ular yang akan mematuk kaki Piko. Ternyata ular itulah yang membuat suara yang membuat Piko ketakutan.
"Ah, te..terimakasih.. Kakak.." ucap Piko terbata. Ia tidak mengetahui bahwa ular itulah yang mencoba mendekati dirinya untuk dijadikan makan malam.
"Bodoh kau! Makanya kau jangan larut dalam duniamu sendiri! Untung saja aku mengetahui kalau itu adalah ular, coba kalau tidak!" Gakupo memarahi adik bungsunya yang langsung tertunduk lemas sembari berjalan dengan langkah amat lemah. Kaito berhenti sebentar untuk mengambil bisa dari taring ular tersebut, lalu melanjutkan perjalanan kembali.
"Hari sudah hampir siang, bagaimana ini?" bisik Piko pada dirinya sendiri untuk kedua kalinya.
"Sepertinya kita harus beristirahat di sini, tidak memungkinkan bagi kita untuk melanjutkan perjalanan di saat malam.." ujar Kaito saat ia menghentikan langkahnya.
"Apa katamu? Istirahat? Tidak! Aku masih ingin melanjutkan perjalanan!" Gakupo tidak terima atas saran Kaito.
"Kak Kaito benar, Kak Gakupo. Kita sudah mengitari hutan ini selama berjam-jam, apa salahnya bagi kita untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanannya nanti?" timpal Piko. Akhirnya Gakupo mengalah dan menuruti saran kedua adiknya.
Gakupo merapalkan mantra-mantra pelindung dari berbagai macam hal, mulai dari setan, hantu, penyihir lain, dan sebagainya. Sementara Kaito dan Piko yang membuat tenda dengan sihir mereka. Lalu mereka sejenak mencuri tidur, memulihkan tenaga mereka yang terkuras.
Sorenya, mereka terbangun dari tidur siang mereka dengan segar bugar. Gakupo kembali bertugas membuat api, Kaito mencari air dan Piko mencari bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan sekitar. Gakupo menemukan seekor buruan besar dan menangkapnya dengan sihirnya. Piko yang mengolah bahan makanan yang mereka dapat.
Gakupo yang terlebih dahulu mengecap masakan yang ia olah, tapi tanpa ia sadari salah satu bahan makanan yang ia dapat ada yang beracun. Gakupo menjadi kejang-kejang dan tidak sadarkan diri. Kaito yang mengetahui hal itu segera memberikan ramuan yang sudah ia persiapkan sebagai bekalnya untuk menangkal racun tanaman yang ada dalam olahan tersebut. Gakupo pun dapat selamat dari maut.
"Ma..maafkan aku.. aku pikir bahan itu tidak beracun.." Piko menundukkan kepala dengan rasa menyesal yang teramat sangat.
"Wah iya juga, memang agak susah mengenali bahan-bahan beracun dalam makanan, Piko. Tidak apa-apa, kini kau sudah mengerti kalau itu adalah bahan beracun, bukan?" Kaito mencoba menenangkan si bungsu yang langsung mengangguk pelan.
"Maafkan aku, Kak.." ucap Piko lagi pada kedua kakaknya.
"Baiklah, kau kumaafkan.." ucap Gakupo lemah, sedikit senyum terulas di wajahnya. Ia tahu adiknya adalah orang yang polos dan lembut hati. Ia tahu itu.
Saat hari hendak beranjak malam, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka melihat dari jauh sebuah sungai yang diapit oleh dua bagian tanah yang terpisah membentuk jurang.
"Kufufufu..~" mereka mendengar tawa seperti tawa seorang gadis kecil.
"Siapa itu?" Gakupo mengacungkan tongkat sihirnya, mempersiapkan mantra untuk melawan makhluk itu.
"Kufufu, ini aku~"
Makhluk itu menampakkan wujudnya. Seorang pixie berbaju merah muda dengan sayapnya yang berkilau, rambutnya yang ikal dikuncir dua. Ia terbang melesat sangat cepat.
"Kau siapa?" tanya Kaito.
"Aku Teto, salam kenal~" kata pixie kecil itu memperkenalkan dirinya.
"Apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Piko dengan takutnya.
" Kalian pasti ingin menyeberangi sungai ini, kan? Kufufuu~" kekeh Teto. Gakupo merasa kesal dan menodongkan tongkatnya ke arah Teto yang langsung berwajah ketakutan.
"Ja.. jangan begitu, Kak! Mungkin pixie ini tahu sesuatu," cegah Piko.
"Bisa jadi begitu," timpal Kaito sambil mengamati Teto.
Tiba-tiba muncullah pixie lain berbaju abu-abu, rambutnya yang berwarna sama diikat dengan rapi dan melambai, ia tampak sangat malu-malu. Seorang pixie lain berwarna kuning pun juga ikut bersamanya.
"Uwah, Haku! Neru!" Teto terbang ke arah mereka dan memeluk mereka.
"Siapa mereka itu, Teto?" tanya Neru.
"Oh, mereka ini adalah orang asing! Kufufu~" jawab Teto sambil menarik rambut Kaito pelan. Kaito meringis kecil.
"Uhh.. orang.. asing..? Apa maumu?" tanya Haku sambil mengamati Piko dengan tatapan menyelidik.
"Kami sedang berkelana di hutan ini, lalu.." kalimat Kaito terpotong.
"Apaaa..? Kalian berkelana? Sungguh kasihan nasib kalian! Ahahaha~" tawa Neru. Kaito mengernyitkan dahi.
"Apa maksud kalian?" tanyanya.
"Begini ya, kalian mau info penting soal sungai ini tidak? Kufufu~" Teto melesat dan berbisik di telinga Gakupo.
"Cepat katakan itu padaku atau..!" Gakupo menodongkan tongkatnya lagi ke arah Teto yang langsung melesat bersembunyi di balik rambut putih berkilap milik Piko.
"Yang Teto maksudkan adalah rahasia sungai ini," ucap Haku pelan.
"Rahasia yang menakutkan.." kata Neru.
Ketiga bersaudara itu menjadi keheranan.
"Begini ya, kufufu! Setiap orang yang berusaha menyeberangi sungai ini takkan pernah berhasil sampai ke seberang, kufufu~!" ujar Teto sambil tertawa kecil.
"Mereka akan menjadi santapan sang Kematian," sahut Haku pelan.
"Dan Kematian itu tidak kenal kata ampun loh, siapa saja yang lewat di sungai itu akan diambil untuk dijadikannya miliknya, ahaha!" timpal Neru dengan nada mengejek.
Ketiga bersaudara itu saling berpandangan.
"Kami tidak takut tuh! Akan kami buktikan kami dapat menyeberangi sungai itu!" seru Gakupo yang tidak terima mereka diremehkan seperti itu. Ia lalu berjalan mendahului kedua adiknya menuju sungai itu. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka pun tiba.
"Jurang ini.." Gakupo tertegun.
"Cukup dalam juga ya.." gumam Kaito.
Piko terdiam sesaat, lalu mencoba melemparkan ranting ke seberang sungai, tapi ranting itu tidak mendarat di tempat yang diharapkan, melainkan jatuh ke dalam jurang yang dalam itu.
"Mustahil.." lirihnya.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Piko menemukan sebuah ide.
"Kakak, baiklah kita membuat sebuah jembatan agar kita bisa menyeberangi sungai ini!" sahut Piko. Gakupo dan Kaito mengangguk tanda setuju.
"Ide bagus! Biar aku yang buat jembatan itu!" Gakupo lalu merapalkan mantra untuk membuat jembatan yang kokoh agar mereka bisa menyeberangi jembatan itu.
"Kau hebat, Kak!" puji Kaito.
Mereka bertiga lalu menyeberangi sungai tanpa rasa takut. Sementara itu, sepasang mata memata-matai mereka dengan amarah yang luar biasa.
"Bagaimana bisa aku dicurangi begini..?"
Mereka menoleh ke belakang, lalu menemukan sosok makhluk berjubah dan bertudung hitam dengan wajah menakutkan, jari-jari kurus dan kuku panjang, kulit pucat pembalut tulang-tulang kering. Makhluk itu mendekati mereka.
"Si..si.. siapa.. kau?" Piko ketakutan lagi.
Gakupo menodongkan tongkatnya untuk menakut-nakuti makhluk itu, tapi tak berhasil.
"Aku adalah Kematian," kata makhluk itu.
"Kau adalah Kematian yang dibilang oleh para pixie itu?" tanya Kaito.
"Benar sekali, kalian anak-anak yang pintar. Tak kusangka kalian bisa menghindari jebakanku," Kematian tersenyum licik.
"Tentu saja, itu karena kami hebat," Gakupo menyeringai.
"Baiklah, karena kalian sudah berhasil melewati sungaiku, maka akan kuberikan satu hadiah kecil untuk masing-masing kalian," Kematian menatap ketiga bersaudara itu.
"Nah, kau, rambut ungu. Apa yang kau inginkan?" tanyanya.
Gakupo berpikir sejenak, lalu menjentikkan jarinya.
"Ah! Karena aku adalah penyihir terbaik, maka aku ingin sebuah tongkat yang juga terbaik dan tak terkalahkan oleh siapapun!" serunya.
Kematian membuatkannya tongkat yang amat sakti, kokoh tak bisa patah, dan berkekuatan amat besar, diukir dengan indahnya. Gakupo sangat senang dengan hadiahnya itu.
"Dan kau, rambut biru. Apa yang kau inginkan?" Kematian menoleh ke arah Kaito.
Kaito teringat, banyak orang yang ia sayangi yang meninggalkan dirinya menuju alam sana. Orangtua mereka, sanak saudara mereka, sahabatnya, dan yang paling berharga baginya, seorang gadis yang ia cintai.
"Aku ingin sebuah benda agar aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal," ucap Kaito pelan.
Kematian memberikannya sebuah batu bertuah untuk menghidupkan orang mati. Senyum Kaito membayang, dapat ia rasakan kebahagiaan karena ia dapat bertemu kembali dengan orang yang ia cintai.
"Tinggal kau, rambut putih. Apa yang kau inginkan?" Kematian bertanya pada Piko.
Piko merenungkan sesuatu dalam hatinya. Jelas sekali bahwa ia ingin cepat pulang dari hutan yang berbahaya ini. Ia tidak ingin hidupnya sia-sia di dalam tangan Kematian begitu cepat.
"Aku ingin bisa melangkah dengan ringan tanpa diikuti oleh Kematian di belakangku," kata Piko akhirnya.
Kematian terdiam sejenak. Bah, ia merasa dikadali oleh pemuda mungil itu. Maka dengan berat hati, sesuai janjinya, Kematian memberikan jubah gaib yang bisa menyembunyikan Piko dari segala kuasa kegelapan dan kejahatan. Piko memakainya dan berterimakasih pada Kematian. Mereka bertiga lalu kembali meneruskan perjalanan sampai mereka berhenti di suatu tempat untuk beristirahat, karena hari sudah larut malam.
Keesokan harinya, mereka telah sampai dengan selamat ke rumah mereka. Banyak yang mengucapkan selamat dan pujian atas keberanian dan keberuntungan mereka karena dapat lepas dari cengkeraman Kematian itu.
"Tak kusangka akhirnya kalian bisa selamat juga," cibir Meiko, pesaing berat Gakupo dengan nada sinis, namun diam-diam juga mengagumi mereka.
"Uwaaaahh! Mereka semua selamat! Selamat datang kembali, Gakupo-kun! Kaito-kun! Piko-kun!" sorak Rin, Miku, Gumi, dan para gadis lain yang adalah teman sekelas mereka di Akademi Sihir.
"Selamat atas keberhasilan kalian menyeberangi Sungai Kematian. Saya benar-benar bangga akan kemampuan kalian," ucap Kiyoteru, salah satu guru mereka.
"Ngomong-ngomong, apa yang kalian bawa itu?" tanya Luka, seorang gadis yang disebut-sebut sebagai kekasih Gakupo.
"Ah, ini? Ini adalah tongkat tersakti yang pernah ada!" jawab Gakupo angkuh sambil memamerkan tongkatnya.
"Ini adalah Batu Pemberi Kehidupan.." kata Kaito sambil menunjukkan batu merah berkilau yang ia simpan dalam sebuah kotak kaca.
"Loh, mana Piko?" tanya Lily kebingungan. Miki menoleh ke sana ke mari mencari sosok cowok itu.
"Aku di sini.." Piko yang berada di belakang Miki melepas jubahnya sebentar, lalu memakainya lagi, membuat gadis itu sedikit melonjak kaget.
"Ba..ba.. bagaimana bisa kau.. ada di sa..na?" tanya Miki ketakutan.
"Aku memakai jubah ini. Ini adalah jubah yang akan membuat Kematian tidak akan pernah bisa menemukanku.." ucapnya.
Semua mata terpana akan benda-benda tersebut. Meiko mendengus. Miku, Rin, Gumi, Luka dan Lily mengangguk-angguk penuh kekaguman. Akademi Sihir masih riuh rendah oleh keajaiban yang dipamerkan ketiga bersaudara ini.
"Sudah sudah, sekarang semuanya kembali ke kelas! Kita masih harus mempelajari materi kita karena minggu depan kita sudah akan memulai minggu ujian!" perintah Kiyoteru dengan tegas. Para murid berhamburan masuk ke dalam kelasnya masing-masing untuk memulai pelajaran.
Segini duluu~
Chapter akhirnya akan kuupdate segera. Kenapa? Karena sudah keburu malam~ *halah~*
Sekali lagi, fic ini cuma parodi, jadi pasti ada bedanya dari Tale of Three Brothers nya HarPot yang asli~
Lagian, aku ini kan Lupita dikurang 'it' ditambah 'pe' di depannya XD
Thanks buat yang udah RnR! Yang R aja juga makasih banget! :3
