Title: Eien
Charac: Alan Humphries _ Eric Slingby
Rat:
Desc: Yana Toboso
Story line: Kuroshitsuji Musical 2
Pov: Alan Humphries
--ooooostartoooo-part 1
Pekerjaan sebagai seorang Shinigami sudah aku lakukan selama beberapa tahun, pada akhirnya aku diberikan kesempatan keluar dari 'penjara' yang menyebalkan ini. Sudah lelah aku berkutat dengan berlembar-lembar kertas dan tumpukan buku yang berada diatas meja.
Bangun pagi, menyiapkan sarapan, lalu berangkat kerja. Pekerjaan yang sudah menjadi aktivitasku sehari-hari. Namun hari ini perasaanku sangat berseri-seri setelah William mengatakan bahwa aku bisa bekerja diluar kantor dan mempraktekan apa yang sudah dia ajarkan padaku.
"Alan" William memanggilku saat aku merapikan beberapa berkas dimejaku. "Keluar sebentar. Ada yang ingin aku kenalkan padamu" ucapnya dan dengan cepat aku mengikuti langkahnya dari belakang.
Seseorang bertubuh tinggi tegap, berambut coklat kekuningan dan... berwajah dewasa. Jika dugaanku benar, dia sepertinya beberapa tahun lebih tua daripada aku. Sudah beberapa kali aku melihatnya, namun aku tidak berani untuk memanggilnya hanya sekedar mengetahui namanya.
"Alan, mulai saat ini Eric akan membantumu dalam menjalankan tugas baru ini. Eric, ini Alan yang aku bicarakan beberapa hari yang lalu"
Kami saling bertatapan sejenak dan terdengar suara rendahnya yang terdengar menenangkan. "Eric, Eric Slingby. Mohon bantuannya..." Dia membungkukkan tubuhnya sejenak lalu memasukan tangan kanan kedalam saku jas hitamnya.
Akupun membalas ucapannya dengan terburu-buru. "Mohon bantuannya" aku membungkukkan tubuhku sampai-sampai aku sendiri tidak berani menatapnya. Seharusnya aku yang pertama mengucapkan kalimat itu, namun dia yang pertama kali mengatakannya padaku.
"Ya" ucapnya pelan dan memegang kedua pundakku. "Sudah, tidak usah hormat seperti ini padaku. Santai saja"
Aku kembali mengangguk dan setelah perkenalan sederhana ini selesai, William memberikanku sebuah map yang berisi nama-nama yang harus diselesaikan olehku dengan bantuan Eric.
Pekerjaan yang cukup mudah. Mengambil nyawa yang sudah ditetapkan lalu melakukan pengamatan pada nyawa berikutnya sebelum didahulukan oleh shinigami lainnya. Suatu pemikiran sederhana yang membuatku buta dengan dunia yang aku hadapi ini.
Tugas hari ini tidak terlalu banyak karena akan diadakan pesta tahunan dari tempatku bekerja. Beberapa teman-temanku sibuk mengambil bagian, namun aku lebih memutuskan untuk mengurangi aktivitas, sehingga bisa sedikit beristirahat. Udara malam yang tidak terlalu dingin, aku memberanikan diriku untuk berjalan-jalan sejenak menuju taman yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku ini.
"Hmmm... sejuknya..." ucapku sambil duduk disebuah bangku taman dengan lampu dan bulan yang menyinari taman besar ini.
"Bagaimana pekerjaanmu?" suara berat seseorang dari arah belakang yang sudah tidak asing ditelingaku, Eric.
"Baik" ucapku sambil menganggukan kepalaku. Sedikit malu akupun melanjutkan perkataanku. "Terima kasih..."
"Untuk?"
"Menjaga rahasia tentang penyakitku..."
Eric duduk disebelahku sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku. "Sudah lama kamu mengidap penyakit itu?" aku menggeleng. "lalu?"
Sedikit tersenyum miris, aku menjelaskan. "Saat pelatihan sebelumnya, aku melakukan sedikit kecerobohan kecil. Aku berfikir bahwa kesalahan ini tidak akan berakibat fatal. Ternyata kesalahan itu membuat tubuhku menerima kematian..." Eric terhentak. "Ya, memang miris. Namun pekerjaan ini sudah menjadi pilihanku dan aku tidak mau mengerjakannya setengah-setengah..."
"Semangat yang bagus!" Eric menepuk punggungku. "Lalu... apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya mulai mengganti topik pembicaraan kami.
Kutatap langit malam dan ikut menyandarkan tubuhku pada sandaran bangku ini. "Ingin beristirahat sejenak..." Ucapku singkat. "Indah ya..."
"Kamu suka?" aku mengangguk pelan. "Apa yang membuatmu sampai be-"
"AH! Bunga Erica!" seruku penuh antusias saat melihat sekumpulan bunga kecil berwarna ungu. Walaupun hanya sedikit dan dicahayai bulan, aku sangat mengenal sekali bunga itu.
"Bunga Erica?"
Aku mengangguk. "Ya. Dalam bahasa bunga, artinya 'kesepian' atau 'kesepian'."
"Kesepian?"
Aku mengangguk lagi sambil menatap bunga Erica yang berada diseberang jalan. "Kesepian... Seseorang yang tidak mempunyai siapapun, itulah aku. Sendirian bertahan hidup di dunia kejam ini tanpa siapapun. Rasa sepi terkadang memenuhi pikiranku, tapi aku harus tetap berjuang seperti bunga Erica ini yang terus tumbuh menghadapi berbagai macam panas dan hujan."
Untuk sesaat, keheningan terjadi diantara kami. Perlahan Eric menepuk pundakku. "Kamu suka bunga?". Aku mengiakan dan dengan antusias sedikit aku menjelaskan beberapa macam bunga lainnya. "Kalau begitu keluarlah dari pekerjaan ini"
"Apa?" Aku terhentak mendengar perkataannya itu.
"Ya. Sepertinya pekerjaan seperti ini tidak cocok denganmu. Bagaimana kalau kamu membuka toko bunga saja?
"Tidak mungkin, Eric" senyumku. "Pekerjaan ini sudah menjadi pilihanku. Aku sudah menyukainya, seperti aku menyukai bunga Erica ini".
Untuk kesekian kalinya, orang seperti Eric tersenyum dan sepertinya hanya aku yang tahu bagaimana Eric dapat tersenyum lepas seperti ini. "Dari pada bunga ini, bagaimana kalau kamu mencari bunga lainnya?"
"Hah? Apa maksudmu?"
"Mendengar penjelasanmu, sepertinya bunga ini terlalu kejam dan buruk untukmu.." Ucapnya dengan santai. "Dari pada 'kesepian', aku lebih suka dengan kata 'keabadian'" tambahnya dan bangkit dari duduknya.
"Keabadian?"
"Keabadian, suatu titik puncak yang sempurna dan tidak akan pernah hilang..." Aku terbelak bingung dan Eric tersenyum padaku. "Mencapai suatu keabadian tidak bisa dijalankan oleh diri kita sendiri, tetapi memerlukan seseorang yang membantu kita. Jika arti kesepian itu yang membuatmu sering murung, lebih baik kamu mengganti dalam pikiranmu dengan 'keabadian', carilah dimana ruang 'keabadian'mu yang penuh warna-warni kehidupan, bersama dengan orang-orang disekitarmu..."
Aku menunduk diam mendengar penjelasannya dan tiba-tiba saja kembang api mewarnai langit malam. "Indahnya..." gumamku.
"Ya... indahnya..." Eric menjawab gumamanku.
"Aku berharap kehidupan kita bisa berwarna seperti kembang api ini..."
"Ya... pasti bisa" jawab Eric tanpa mengalihkan pandangannya pada gemerlap langit akibat peluncuran kembang api malam ini.
-000-
Langit malam yang gelap dan udara dingin berhembus dengan tenangnya. Kami berjalan pinggir jembatan untuk memeriksa pekerjaan kami sebelum kembali ke tempat kerja.
"Alan..." panggil Eric saat aku sedang merapikan berkas yang selalu aku bawa. "Sekarang sudah larut malam, apa masih ada pekerjaan yang tersisa?"
Aku menatap kembali daftar yang aku bawa dan membolak-balikan kertas pada posisi yang sama. Pekerjaan hari ini cukup melelahkan karena jumlah nyawa kali ini melebihi dari yang biasa diberikan oleh William. "Masih ada 4 lagi. 1 nyawa milikmu dan 3 nyawa milikku" ucapku tanpa mengalihkan pandanganku. "Mau dilanjutkan sekarang?"
"Boleh saja" jawabnya sambil menatap berkas yang ada ditanganku. "Kamu sendiri bagaimana?" Aku sedikit memiringkan kepalaku. "Tubuhmu itu... Apa mau di lanjutkan besok saja?"
Tiba-tiba saja emosiku terbawa. "Tenang saja! Aku akan baik-baik saja!"
"Baiklah. Kalau begitu aku duluan. Kalau aku sudah selesai, akan kususul nanti" aku mengangguk dan diapun meninggalkanku.
'Tinggal 3 lagi...' kataku dalam hati sambil berjalan menuju target pertamaku. Tanpa membuang waktu, 2 nyawa sudah diselesaikan. Tinggal satu nyawa yang tersisa, tiba-tiba saja tubuhku terasa berat. Jam ditanganku sudah menunjukan pukul 1 pagi.
Phantomhive. Nama yang tertera didepan pintu pagar mansion tersebut. Aku berhenti sejenak dan melihat daftar nama yang menjadi targetku. Nama Phantomhive memang tertera daftar nama ini, namun aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aturan yang ada.
"Apa yang kamu lakukan?" ternyata Eric sudah menyusulku terlebih dahulu. "Sudah selesai?" aku menggeleng. "Mau aku bantu?"
"Tidak apa" jawabku. "Hanya pekerjaan sederhana saja..." ucapku lagi namun rasa didadaku kembali datang.
"Alan!" Eric langsung menghampiriku. "Targetmu tidak jauh dari sini, bukan? Akan aku bantu selesaikan dan setelah itu kita cepat pulang"
"Tapi..."
"Tidak apa-apa. Kamu tunggu di sini sebentar, dan aku segera kembali kesini. Untuk urusan laporan, akan aku urus sisanya" ucapnya tegas lalu berlari meninggalkan aku.
Sambil menunggu Eric, aku kembali memikirkan dimasa-masa dimana awal memulai pekerjaan sebagai seorang Shinigami.
'Menjadi seorang Shinigami, tidak boleh melanggar aturan yang sudah ditetapkan, seperti mengambil nyawa sebelum waktunya'
Aturan yang sudah diatur oleh para petinggi Shinigami yang dibacakan William saat aku baru memasuki pekerjaan sebagai seorang Shinigami.
Penetapan aturan tersebut bagus untuk kami para Shinigami agar bekerja dengan sebaik-baiknya sehingga reputasi kami tidak buruk di mata umum. Namun berbeda denganku. Sebenarnya aku berusaha mengejar pekerjaan sebagai seorang Shinigami karena aku benci dengan sekelilingku.
Setelah beberapa tahun aku bekerja, secara tidak sengaja aku bertemu dengan beberapa orang yang pernah menghinaku, termasuk keluargaku. Tanpa berfikir panjang, aku langsung membunuh mereka tanpa sepengetahuan siapapun.
'Bagi seorang Shinigami, tidak boleh ada kebencian karena bisa berakibat fatal karena akan ada hukuman ditiap kesalahan yang dibuat...'
Aku memang tidak memikirkannya. Namun aku teringat pada seseorang yang berpakaian hitam tertutup menghampiriku dan berkata, "Kamu sudah membunuh orang yang tidak bersalah. Rasa benci, dendam dan sakit hati yang memenuhi pikiran dan hati sudah membutakanmu. Sadarlah bahwa kamu akan menerima hukum karma akibat dari perbuatanmu ini..."
Sebulan kemudian, aku baru menyadari bahwa hukum karma yang aku dapatkan adalah tubuh yang seharusnya abadi, akan menerima kematian, dan akupun akan terus merasakan penderitaan hingga akhir nanti.
"Mengapa ini semua terjadi padaku..." Kesalku pada diriku sendiri yang dengan mudahnya terpancing emosi.
"Alan?" Kuangkat wajahku, dan ternyata Eric sudah kembali. "Kamu tidak apa-apa?" Aku menganggukan kepalaku. "Boleh aku bertanya sesuatu?" Aku menatapnya sejenak. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Aku terhentak. "Ti-tidak apa-apa..." Sangkalku.
"Benarkah?" Sepertinya dia tidak percaya dengan perkataanku.
Aku mengangguk pelan. "Sudahlah Eric, tidak usah khawatir. Aku tidak apa-apa kok..." Aku mencoba menghilangkan rasa khawatirnya. "Selama aku bisa mengatur emosiku, tubuhku tidak akan apa-apa. Lagipula aku sudah beristirahat, bukan?"
Eric tersenyum padaku dan memukul pundakku pelan. "Ya, kamu benar. Ayo kita pulang" ajaknya dan aku mengikutinya dari belakang.
Sepanjang perjalanan, kami banyak membicarakan masalah-masalah yang sedang terjadi didalam kantor, seperti Grell yang sering absen, William yang sering marah dan lainnya. Selain itu, kami juga membicarakan mengenai perayaan . Tentu saja aku sangat berantusias. Pesta ditengah-tengah kesibukan... Benar-benar hal gila!
Disaat kami hendak melewati jembatan penyebrangan, aku terkejut melihat Eric yang menghentikan langkahnya dan pandangannyapun menuju kearah bawah jembatan.
Penasaran, aku yang berada dibelakangnya langsung mendekatinya dan mencari arah pandangannya itu.
"Wah, ternyata para Shinigami masih bekerja. Apa pekerjaannya banyak sekali?" Suara berat yang sudah lama tidak aku dengar, Sebastian Michaelis.
"Seperti yang kamu lihat. Selain itu, bukankah saat ini masih waktu untuk beristirahat bagi seseorang pelayan?"
"Tidak. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan" lalu Sebastian berjalan menghampiri kami. "Apa kalian tahu kasus yang sedang beredar pada saat ini?" Tatapnya sambil menghentikan langkahnya saat berada didepan Eric. "...apa kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh disini?"
Aku mengerti tentang kasus yang Sebastian maksud, yang dimana sedang terjadi jumlah kematian tanpa penyebab yang jelas. Namun saat Sebastian menatapkan curiga pada Eric, emosiku langsung saja meledak. "Apa maksudmu berkata seperti itu?"
"Oh ya? Apa kalian tidak merasakannya? Hawa pembunuh disekitar sini?"
"Kamu..!" Langsung saja aku mengeluarkan tongkatku yang biasa aku gunakan dalam bertugas untuk menyerangnya. "Tarik kata-katamu!"
"Alan..." Eric mencoba menghentikanku namun aku sudah diluar kendali.
"Apakah aku salah?"
"Tentu saja! Jangan sembarangan ka- Akh!" Tiba-tiba saja dada kiriku kembali sakit dan tenagaku langsung hilang hingga membuat tubuhku kehilangan keseimbangan.
"Alan!" Eric menghampiriku dan menahan tubuhku. "Kamu tidak apa-apa?"
"Kamu...!" Rasa kesal masih memenuhi pikiranku, hingga membuat dada kiriku semakin sakit dan tubuhku tidak bertenaga sama sekali.
"Alan,sudahlah..."
"Oooh~ ternyata benar" suara lainnya dari arah belakang Sebastian, Grell.
"Grell? Apa yang sedang kamu lakukan?" Tanya Eric tanpa melepaskan pegangannya padaku.
"Tidak hanya kalian, akupun masih ada pekerjaan disini. Tapi sepertinya aku menemukan hal yang menarik..." Grell perlahan berjalan mendekati kami. "Ternyata benar, Alan terkena karma..."
"Karma?" Sambung Sebastian.
Grell berbalik mendekati Sebastian. "Bagi seorang Shinigami, sangat terlarang mengambil nyawa manusia dengan rasa emosi kebencian. Jika sampai terjadi, maka sebagai gantinya tubuhnya akan menerima kematian dan akan terus merasakan penderitaan setiap kali rasa benci itu mulai memenuhi pikirannya..."
Aku hanya bisa tercenga dan Ericpun terdiam. Rahasia yang sudah aku tutupi dengan baik, dengan mudahnya diketahui oleh Grell-senpai. Kesal, tentu saja. Tapi aku tidak bisa apa-apa. "Akh!"
"Alan, sudahlah. Tenangkan dulu dirimu..."
"Maaf..." Bisikku sambil memegang bahu kirinya sebagai peganganku.
"Jadi seperti itu..." Sebastian berjalan mendekati kami. "Baiklah. Aku tidak akan marah pada kalian. Sebagai rasa hormatku, apakah kalian bersedia untuk beristirahat sejenak dikediaman Phanthomhive?"
"Apa?" Grell langsung terheran-heran, begitu juga dengan kami. "Apa kamu tidak salah, Sebastian? Kamu mau menolong mereka?"
Sebastian tersenyum licik dan berkata, "Maaf. Aku tidak tertarik dengan orang yang 'sakit'. Grell, antarkan mereka kesana. Aku akan kembali beberapa saat lagi..."
"Bagaimana ini?" Gumam Eric. "Alan, kamu mau?"
"Terserah kamu saja. Kalau kamu mau, aku tidak keberatan..." Jelasku sambil berusaha tersenyum.
"Baiklah" seru Eric. "Kami terima penawaranmu..." Perlahan Eric membantuku untuk berdiri dan berjalan sambil memapahku hingga kediaman Phanthomhive yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berada.
Rasa benci, kesal dan amarah berkumpul menjadi satu. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya terdiam disepanjang jalan menuju kediaman Phanthomhive. Sesampainya disana, kami ditunjukan sebuah kamar oleh pelayan perempuan dari kediaman tersebut. Pelayan yang kikuk, namun aku tahu kalau dia mempunyai hati yang baik.
"Lucu, ya..." Ucapku sambil melihat pelayan tersebut kikuk dan heboh sendiri saat kami meminta tolong untuk menunjukan kamar yang dimaksud.
"Hah?" Eric hanya tercenga. "Lucu katamu?"
"Ya... Pasti orang baik..."
"Tapi terlalu aneh untuk seorang pelayan" tambahnya. "Aku heran, kenapa orang sekikuk dia bisa bekerja disini"
"Hahahahaha... Tetap saja unik..." Tambahku. "Mungkin karena dia i- Akh!" Rasa sakitku tiba-tiba saja datang. Padahal aku tidak kesal ataupun lelah.
"Alan! Kamu tidak apa-apa?" Eric kembali menahan tubuhku. "Alan, wajahmu pucat sekali"
"A-aku tidak apa-apa..." Ucapku berusaha menutupi rasa sakit ini. "Aku akh-!" Aku memegang dada kiriku kembali. Rasa sakit ini semakin lama semakin menguasai diriku.
"Alan!" Tiba-tiba tubuhku melemas dan pandanganku menjadi kabur. Hanya kuingat suara Eric yang terus memanggilku hingga perlahan menghilang dari pendengaranku.
