Kuroko no Basuke (c) Tadatoshi Fujimaki

Hari Itu di Bulan Juli (c) ShuuShou

.

.

.

Iris abu menatap lamat pada batu nisan yang di permukaannya terpahat nama seseorang yang pernah dan masih mengisi hati. Tatapannya kosong seakan jiwanya sedang tidak berada di sana. Hanya raga yang masih setia berdiri sementara pikirannya melambung jauh.

Asap dari dupa yang dibakar bergoyang perlahan seiring dengan angin yang berhembus lembut. Pun dengan surai abu yang mulai panjang. Si empunya masih enggan memotong. Biar saja katanya. Karena dengan itu ia bisa menyembunyikan wajahnya yang penuh dosa.

Sebuket bunga putih masih di genggaman. Ia sepenuhnya sadar, berapa pun buket bunga yang ia bawa—bahkan jika ia membawa satu kebun penuh pun—tindakannya tetap tidak bisa dimaafkan.

Masih terpatri dalam ingatan saat cairan merah dan hangat itu melumuri tangannya. Saat kedua iris hitam itu menatapnya. Tidak ada tatapan menghakimi, hanya ada tatapan penuh tanya yang lalu berganti dengan tatapan sendu, lalu sepasang tangan kokoh melingkupi tubuhnya yang terciprat darah. Serta saat dua belah bibir terbuka mengucap kata maaf dan sayang secara bergantian dan tersendat hingga akhirnya tidak terdengar lagi.

Ia juga masih ingat bagaimana saat itu ia tertawa keras hingga suaranya habis saat pelukan pada tubuhnya mengendur dan iris hitam itu perlahan tersimpan di balik kelopak mata dan tidak pernah menampakkan diri lagi.

Ia tertawa karena merasa bangga telah memenangkan permainan gila yang ia buat sendiri yang akhirnya ia sesali.

"Kau masih disini... Ayo kembali, sudah sore."

Sebuah suara datang menyapa. Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu siapa yang sedang berdiri di belakang sana. Karena itu ia acuh.

"Shou... Kau berjanji pada dokter untuk kembali sebelum malam."

Tidak ada jawaban. Sang kakak mafhum. Maka ia memilih untuk menunggu seperti biasa.

Dua tahun belakangan ia selalu melakukan ini. Selalu di tanggal dan bulan yang sama setiap tahunnya, sang adik memohon untuk diijinkan keluar dari kamar rawat dan memintanya mengantarkan ke makam.

Hal itu perlahan menjadi kebiasaan baru. Demi kesembuhan sang adik, ia sama sekali tidak keberatan karena saat mengantarkan si pemuda abu ke tempat ini ia bisa melihat orang yang berbagi gen yang sama dengannya itu menjadi lebih hidup dari biasanya. Walau wajah itu selalu menampilkan rasa sesal yang dalam.

Dan selalu di saat seperti ini pikirannya kembali pada masa ia menemukan si surai abu di kamar sedang tertawa memeluk seorang pria yang bersimbah darah sambil menggenggam sebuah benda tajam di tangan.

Mengerikan saat dibayangkan lagi. Jika ia terlambat beberapa detik saja menyingkiran benda itu, mungkin saat ini ia tengah berdiri menatap batu nisan milik adiknya sendiri.

Sang adik berjongkok lalu meletakkan buket bunga yang dibawanya. Bergabung dengan buket bunga lain yang sudah lebih dulu diletakkan mereka yang pada hari itu menatapnya dengan penuh kebencian dan amarah. Tatapan itu bertahan hingga sekarang bahkan sampai merasuk ke dalam mimpi.

"Selamat ulang tahun, brengsek. Jangan mengharapkan apa-apa karena aku tidak punya uang untuk membeli hadiahmu. Tapi..."

Ia menggantung kalimat. Tangan kurusnya menyentuh permukaan batu nisan.

"Aku punya sesuatu untuk menyusulmu," ucapnya nyaris tanpa suara.

Tengah malam sebelum berakhirnya hari itu, sang adik ditemukan tak bernyawa di kamar rawatnya dengan pisau menancap di dada.


Kau benar-benar gila.

Aku hanya memberi hadiah ulang tahun untuknya. Ada yang salah dengan itu?


-The End-

Selamat Ulang Tahun untuk Nijimura Shuuzo