I'll Wait For You

.

.

.

Naruto and all characters are Masashi Kishimoto's. I don't profit anything from this fic.

Soba Ni Iru is mine. Hope you'll enjoy my first fic.

.

.

.

Pangeran berambut hitam kebiruan itu melangkahkan kakinya di sepanjang jalan bertanah di sekitar pasar utama di ibukota kerajaannya. Mata hitamnya memandang tajam dan menganalisa ke seluruh penjuru pasar yang ramai, dan tentu saja semakin sesak karena kedatangannya. Apalagi parasnya yang tampan, dengan mata hitam tajam bagaikan elang, pipi tirus yang menawan, rahang yang kukuh, dan bibir yang menawan untuk ukuran laki-laki. Ia idola bagi perempuan dan mungkin juga laki-laki. Di belakangnya banyak pengawal yang dengan setia melindunginya dari marabahaya yang setiap saat bisa mengancam.

"Apa harga barang-barang di sini sudah cukup memuaskan?" tanya Sasuke Uchiha, nama pangeran berumur 24 tahun tersebut ke seorang penjual bahan-bahan pokok. Lelaki pedagang yang ditanya terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Sumimasen…maaf, ano…"

"Katakan saja sejujurnya!"

"Aaa, ampuni hamba Yang Mulia. Jujur saja, harga-harga di sini sedikit ada kenaikan. Dan hamba mendapat kerugian kira-kira sekitar 1000 ryo sehari," jawab pedagang itu takut-takut.

Wajah datar Sasuke Uchiha terlihat berpikir walau tidak kentara. Ia lalu mengibaskan lengan kimono putihnya dan berjalan kembali ke barisan.

"Ayo kita pulang!"

"Hai!"

Namun sepanjang perjalanan, Sasuke masih melihat-lihat lagi. Sesekali tersenyum amat tipis pada rakyatnya yang melambai-lambaikan tangan padanya. Ia memang sangat menyayangi rakyatnya, dan tidak ingin jika mereka hidup dalam kesengsaraan.

Sampai tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mencurigakan di lorong sempit yang agak jauh dari pinggir jalan raya. Ia berhenti sejenak, membuat seluruh rombongan berhenti. Kemudian ia menatap dengan lebih jeli melewati kerumunan orang-orang.

Sasuke mendengus. Ternyata ada preman yang sedang memalak seorang gadis. Bedebah sekali mereka. Seenaknya memanfaatkan situasi di pinggiran jalan yang tidak terlewati rombongannya dan memalak seorang gadis yang tidak berdaya. Ia membenci rakyatnya yang berusaha dengan jalan merugikan orang lain.

Dengan segera, ia melangkahkan kakinya menembus kerumunan orang di pinggir jalan, membuat orang-orang itu menyibakkan diri mereka seperti tirai. Pengawal-pengawal di belakang mereka sedikit terkejut, namun tetap mengikuti langkah kaki sang pangeran, karena sekarang mereka juga melihat seorang gadis sedang dipalak di ujung gang.

Entah mengapa preman itu merasa ada yang mengawasi. Dengan pelan ia menoleh ke arah kanan, di mana sang pangeran sedang berjalan, dan terkejut seketika. Oh, dia memang tidak pernah melihat wajah sang pangeran, tetapi dengan banyaknya orang berseragam di belakang, lalu kerumunan orang di belakangnya lagi. Itu pasti orang penting. Mendadak nyalinya ciut.

Dan akhirnya tanpa pikir panjang lagi, ia pun berlari melewati jalan sempit di antara rumah-rumah tradisional itu.

"Kejar dia!" perintah Sasuke.

"Hai!"

Lalu beberapa orang mulai mengejar preman itu. Sasuke memutuskan untuk meninggalkan tugas itu bagi para pengawalnya. Ia lalu pelan-pelan mendekati gadis itu yang kini sedang menundukkan wajahnya dalam. Rambutnya yang tersanggul mulai sedikit berantakan di bagian pelipis, sehingga ada beberapa helainya yang jatuh. Sasuke bisa melihat tangan kecilnya meremas kuat baju kimono merah mudanya.

"Jangan khawatir. Kau tak apa?" tanya Sasuke pelan sambil menaksir umur gadis itu yang ia kira baru berumur dua belas tahun, mengingat tubuhnya memang mungil. Dan ia juga menggunakan sandal kayu yang tinggi. Jika ia tidak beralas kaki, ia pasti lebih pendek lagi.

"Daijobu desu. Hamba baik-baik saja, Yang Mulia…Arigatou Gozaimashita. Terimakasih banyak." jawab gadis itu tanpa berani mengangkat wajahnya.

"Jadi kau tahu aku pangeran?"

"Ten-tentu saja Yang Mulia…" Sepertinya gadis berambut merah muda itu mengedipkan matanya gugup.

"Siapa namamu?"

"Sakura Haruno, Yang Mulia…"

Sasuke mengeja kembali nama itu. Ia lalu melirik pengawalnya yang telah kembali sambil membawa preman tadi. Ia lalu mengitruksikan untuk membawanya ke penjara ibukota. Ia tahu ia tidak bisa berlama-lama di sini, apalagi hanya untuk seorang bocah kecil sepertinya.

"Kau tinggal di mana?"

"Uh…um…tepatnya di Sumiya…"

"Sou ka? Begitu?" Sasuke memejamkan matanya sejenak, berpikir. Ia seperti pernah mendengar akan tempat itu, tapi lupa di mana dan kapan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi saja. "Jaga dirimu baik-baik."

"Hai! Arigatou Gozaimashita, Sasuke-sama!" Kali ini gadis itu berani mengangkat wajahnya dan menampakan wajah dengan aura yang luar biasa. Matanya besar dengan warna hijau seperti batu emerald. Pipinya tampak putih merona. Dan bibirnya mungil berwarna merah muda. Sejenak Sasuke merasa sedikit terpana. Namun ia dengan segera bisa menguasai kembali wajah datarnya.

"Hn."

Tidak hanya bagi Sasuke, kesan yang mendalam juga membekas di hati Sakura Haruno.

.

.

.

"Huh? Sumiya?" Mata biru Naruto, Kapten divisi ke 3 Konoha, membelalak. Ia lalu geleng-geleng kepala.

"Kenapa?" tanya Sasuke tidak mengerti sambil sekali lagi menuangkan sake ringan di gelas kecilnya. Sekarang mereka sedang ada di salah satu ruangan di markas tentara Konoha. Ruangan itu hanya seluas empat kali empat meter, dengan dinding depan yang akan menimbulkan siluet apapun yang ada di dalam jika dinyalakan cahaya. Selain sebagai pangeran, Sasuke juga menekuni dunia kemiliteran, dan berhasil menjadi Kapten divisi. Maka dari itu, ia belum juga memiliki permaisyuri karena kesibukannya.

Dan sekarang, selain Sasuke dan Naruto Namikaze, ada juga Sai Shimura dan Neji Hyuuga serta Shikamaru Nara. Naruto adalah anak menteri Namikaze, Sai adalan anak seorang perajin seni yang sangat terkenal di kalangan istana yang lebih memilih untuk memasuki dunia kemiliteran, Neji Hyuuga berasal dari klan Hyuuga, klan yang cukup dihormati karena dulu nenek moyang klan itu juga ikut andil dalam pembangunan Negara, sedangkan Shikamaru adalah anak menteri penasihat. Mereka berempat berteman sejak kecil dan sangat mencintai dunia militer.

Sai, lelaki yang senang tersenyum itu, walau terlihat memuakkan sejujurnya, meletakkan gelas kecil putihnya ke lantai. "Sejauh yang aku tahu, Sumiya adalah tempat para geiko (penghibur) berada."

"Maksudmu?"

"Maksud Sai, mungkin saja gadis yang kau temui itu adalah seorang geiko," jawab Shikamaru malas. Ia satu-satunya yang sedang tiduran di sana. Cahaya yang hanya berasal dari lilin membuatnya mengantuk.

Sasuke meneguk sakenya lagi, mencoba menyangkal kenyataan itu. "Tapi dia masih terlalu kecil."

"Berarti dia masih dalam masa pelatihan untuk menjadi geiko," sahut Neji, lelaki berambut panjang coklat itu.

"Atau mungkin di sana ia hanya menjadi pembantu saja, bukan geiko?" pendapat Naruto sedikit banyak memberi harapan untuk Sasuke.

"Mungkin…" Sasuke lalu memandang ke seluruh ruangan. "Tadi aku berinspeksi ke pasar di ibukota. Mereka bilang, harga naik tidak wajar. Apa kalian tahu apa penyebabnya?"

"Ha? Mana kami tahu?" Naruto mengernyitkan dahinya. Ekonomi jelas bukan bidang mereka. "Tapi kudengar dari ayahku, sekarang banyak yang gagal panen."

Sasuke menajamkan matanya.

"Dan kudengar juga, banyak pedagang besar yang menimbun barang dagangan." Kali ini Sai yang menyahut.

"Begitu?" Sasuke memandang cawan gelasnya, melihat isinya yang habis, mungkin tinggal beberapa tetes saja. "Aku harus bilang pada Ayah." Tentu saja. Ia masih pangeran dan ayahnyalah yang membuat segala keputusan.

"Sebaiknya kau menasihati saja, Sasuke-kun. Kau masih pangeran, masih dibawah raja. Dan lagi, kau sekarang sedang ditekan oleh istana untuk mencari istri bagimu, supaya kau juga cepat-cepat mewarisi tahta," kata Neji tenang dan pelan.

"Benar, Teme!" seru Naruto tidak sopan. "Cepatlah, keburu banyak yang menjodohkanmu. Untung saja aku sudah mendapatkan Hinata-chan, kalau tidak, aku bisa dijodohkan dengan entah siapa." Sekarang Naruto memang sudah menjadi suami baru bagi Hinata Hyuuga, sepupu dari Neji, dan sekarang kabarnya Hinata sedang hamil dua bulan.

Itu benar sekali, gumam Sasuke dalam hati. Di zaman seperti ini, umur 24 belum menikah itu sudah dianggap terlalu tua. Untuk ukuran seorang pangeran, umur delapan belas seharusnya sudah menikah, namun ia menolak karena ia merasa belum ada yang pantas. Pangeran Gaara saja menikah di umur tujuh belas dengan anak didiknya, Matsuri yang baru berusia empat belas tahun. Dan sekarang ia sudah menjadi raja yang cukup disegani rakyatnya, dengan putranya yang sudah berumur tiga tahun dan sangat lucu.

"Kalian melihat ada gadis yang cocok untukku?" tanya Sasuke balik.

"Entahlah. Tapi putri dari desa Suna sepertinya cocok untukmu," gumam Naruto.

"Eghm!" sebuah gumaman terdengar dari tenggorokan Shikamaru. Naruto buru-buru menutup mulutnya.

"Aaa, aku lupa kau mempunyai hubungan dengannya." Naruto meringis pelan.

Neji juga sebenarnya tidak menyukai topik ini. Ia juga belum menikah walaupun sebenarnya ia memiliki gadis yang ia sukai. Namun gadis itu bukan asli dari negeri sini dan tingkahnya juga seperti laki-laki, bukan tipe gadis yang diharapkan oleh keluarga Hyuuga. Tapi gadis itu sungguh menawan hatinya.

Sedangkan hanya Sai yang masih cukup misterius. Katanya ia menyukai Ino Yamaka, putri dari klan terhormat Yamanaka. Namun itu masih hanya rumor. Beruntung dia tidak mendapatkan tekanan apapun.

Sasuke menghela napasnya. "Sambil berpatroli besok malam…" Mereka biasa berpatroli seminggu tiga kali secara sembunyi-sembunyi setiap malam di kota."…apa kalian mau menemaniku pergi ke Sumiya? Dengan siapa aku besok berpatroli?"

Tentu saja semuanya terkejut.

"Aku," Sai mengangkat tangan. "Apa kau yakin ingin pergi ke sana?"

"Aku akan mengenakan topeng kucing," kata Sasuke. "Kau keberatan?"

"Tentu saja tidak, Yang Mulia," Sai sengaja menyindir Sasuke dengan memanggilnya secara resmi. "Apakah gadis itu benar-benar menarik perhatianmu?"

"Dia sangat manis, walau mungkin ia masih dibawah umur. Jika benar ia geiko, aku ingin menjadikannya untuk tidak menjadi geiko lagi. Aku ingin ia menjadi milikku." Terdengar egois mungkin, tapi begitulah sifat Sasuke. Ia memang biasa dimanjakan sebagai seorang putra mahkota. Segala keinginannya harus tersedia.

"Seperti yang diharapkan dari seorang pangeran."

.

.

.

Rumah geiko ini berlantai dua, dengan pencahayaan yang remang-remang tentu saja. Di lantai bawah, ramai sekali para lelaki hidung belang yang sedang tertawa keras sambil berbincang-bincang ditemani para geiko yang sesekali menuang sake ke cawan-cawan mereka. Dan para geiko itu harus rela jika para lelaki itu menyentuh mereka sesuka hati.

Dan gadis manis berambut merah muda itu meremas kimononya, tanda jika ia sedang gugup. Ini pertama kalinya ia mulai bekerja, dan ia merasa takut.

Padahal ia sudah sangat manis sekarang. Matanya sudah diberi pewarna dan membuatnya terlihat semakin besar. Pipi putihnya semakin putih dengan bedak yang ia pakai. Rambutnya yang berwarna merah muda, warna yang langka, digelung sedemikian rupa sehingga tampak anggun di kepalanya.

Sekali lagi ia meremas kimononya.

"Apalagi yang kautunggu?" Seorang wanita berwajah anggun mendorongnya pelan dari belakang. "Ini malam pertamamu. Kau harus membuat kesan yang baik."

"Aaa, demo…"

"Aaa, lihat. Ada tamu baru. Cepat kau layani mereka, walaupun sepertinya mereka itu aneh," kata perempuan itu lagi sambil mendorongnya lagi namun kali ini sedikit keras. Sakura segera merasakan kegugupan menderanya. Ada dua orang dengan postur tinggi di sana, memakai topeng kucing dan harimau di wajah mereka. Dengan hati bertekad, ia segera mendekati kedua orang tersebut. Tentu saja Sakura tidak bisa melihat reaksi kedua orang tersebut, namun sepertinya sedang memandang ke arahnya.

"Sumimasen, Tuan. Permisi. Selamat datang di Sumiya. Anda bisa ikut saya ke sebelah sini…" Sakura berniat akan menunjukkan jalan ke arah sebuah meja di pojok yang masih kosong, namun terhenti saat ia merasakan sesuatu. Tangannya sedang ditahan oleh seseorang. Dan saat Sakura menoleh, orang yang menahan tangannya adalah lelaki dengan topeng kucing.

"Ikut aku!" perintahnya dengan suara yang dalam. Sakura hanya menurutinya dengan mata bertanya-tanya. Lelaki yang mengenakan topeng harimau masih tetap berdiri di sana. Suara ini. Ia seperti pernah mendengar suara ini.

Mereka pun berjalan pelan ke lantai dua. Sesekali terdengar suara orang terbahak-bahak karena mabuk. Cahaya di atas itu semakin meredup. Mereka lalu masuk ke salah satu ruangan yang masih kosong. Sakura menggeser pintu transparan itu dan menyalakan lilin di tengah ruangan. Ia lalu duduk bersimpuh di samping lelaki itu. "Biar saya ambilkan sake dulu, Tu—"

"Tidak usah," perintah lelaki itu. "Berapa umurmu?"

Sakura sedikit terkejut. Tapi di sini pelayan adalah raja, jadi lebih baik ia menurut saja. "Um…empat belas tahun, Tuan…"

"Sudah berapa lama kau bekerja di sini?"

"Oh…selama ini saya tinggal di sini sedari kecil, namun belum diizinkan untuk bekerja di sini karena dianggap terlalu kecil. Dan ini malam pertama saya bekerja di sini, Tuan," kata Sakura malu-malu.

"Benarkah?"

"Tentu saja, Tuan."

Perlahan-lahan lengan kekar di balik kimono biru itu terangkat untuk membuka topeng kucing yang ada di depan wajahnya. Dan betapa terkejutnya Sakura saat melihat wajah orang itu.

"Aaa, Yang Mulia?"

"Sst!" Sasuke, lelaki itu, mengisyaratkan padanya untuk tidak berisik. Tangan kecil Sakurapun menutupi mulutnya sendiri.

"Aku ingin kau berhenti menjadi geiko dan hanya menjadi milikku."

Mata Sakura membelalak. Tidak ada hal yang lebih mengejutkan selain dari ini. Ia tidak tahu apakah ia harus senang atau sedih, atau kecewa, atau apapun itu. Ia terdiam, bungkam.

"Kau tidak mau?"

Sakura tertawa kecil. "Yang Mulia jangan mempermainkan hamba. Hamba hanya seorang geiko yang hina. Keluarga hamba tidak jelas asal-usulnya. Tidak akan ada anggota keluarga Yang Mulia yang mau menerima hamba. Harap Yang Mulia kembali ke dunia nyata."

Ck. Tentu saja Sasuke sudah mempertimbangkan akan hal itu. "Setidaknya kau berhenti menjadi geiko. Berapapun bayaran untuk membuatmu berhenti menjadi geiko, semua akan aku tanggung."

Entah mengapa nada suara Sasuke terasa sangat sombong didengarnya. "Yang Mulia, hamba bukan barang dagangan yang bisa dibeli dengan uang."

"Untuk itu aku ingin kau hanya menjadi milikku," Sasuke memejamkan matanya seraya menggenggam tangan Sakura. "Aku tidak ingin kau disentuh para lelaki itu. Kau bukan barang dagangan yang bisa dicicip seenaknya."

"Yang Mulia…" Mata hijau Sakura berkaca-kaca.

"Sasuke-kun! Ada penyerang misterius di perbatasan timur Konoha. Kita harus segera ke sana!" Tiba-tiba Sai datang dan membuka pintu tanpa izin. Wajahnya serius kali ini. Ia terlihat tidak menyesal telah masuk seenaknya.

Wajah Sakura memerah mengingat ia masih merasakan tangan kecilnya sedang digenggam dengan erat oleh tangan besar dan kasar Sasuke.

"Benarkah? Kita harus ke sana sekarang!" Suara baritone Sasuke segera terdengar namun tangannya belum lepas dari tangan Sakura. Ia lalu menoleh ke arah Sakura, memandangnya tajam.

"Kau ikut dengan pengawalku. Sai, suruh mereka untuk membawanya ke kediaman Naruto. Secara rahasia!"

"Baik."

Sakura hanya menganga tidak percaya. Ia akan protes namun tengkuknya keburu di pukul sehingga ia tidak sadarkan diri. Itu memang akan memudahkannya untuk dibawa.

.

.

.

Sakura terbangun dengan tengkuk yang pegal, seperti habis memanggul beban yang berat. Tapi itu bukanlah hal yang membuatnya terkejut, karena sekarang ia sangat terkejut dengan ruangan di mana ia habis tidur sekarang. Futon ini sangat hangat, dan jika dirasakan dari bahannya, pasti harganya mahal. Ruangannya juga hangat, dengan lilin besar di tengah ruangan. Ini sebuah ruangan yang tidak ia kenali.

Samar-samar ia bisa mendengar suara langkah kaki seseorang sedang mendekat ke arahnya. Ia yang belum sempat berpikir sedang di manakah ia sebenarnya menjadi takut dan was-was. Namun langkah kaki itu begitu terdengar anggun dan pelan, membuatnya berpikir, mungkinkah itu kaki milik perempuan?

Dan benar saja. Memang seorang perempuan. Cantik, dengan rambut ungu menawan yang lurus. Mata nilanya sedikit menakutkan memang, karena tidak memiliki pupil, tapi itu tidak mengurangi kecantikannya. Tubuhnya juga indah, walau sepertinya sedikit gemuk.

"Siapa?" tanya Sakura pelan.

Wanita itu segera menampilkan senyum menawannya. "Oh, k-kau sudah bangun ru-rupanya? Syu-syukurlah…" katanya terbata-bata. Sakura sedikit tidak menyangka jika wanita itu ternyata sedikit pemalu. Wajahnya memerah dengan sangat indah.

"Watashi wa Haruno Sakura desu," Sakura memperkenalkan diri seraya duduk bersimpuh. "Anda siapa?"

"Oh, a-aku Hinata Hyu, um…maksudku Hinata Namikaze. Aku adalah istri dari Naruto Namikaze, Kapten ke 3 Konoha. Aku diperintah secara langsung oleh Yang Mulia untuk menjagamu. Wa-walau secara rahasia…"

Oh, ya. Sakura ingat akan pangeran tersebut. Ia lalu memandang wajah Hinata. "Apa mereka sudah kembali dari…" Sakura sedikit mengingat apa yang diucapkan oleh lelaki berwajah pucat tadi malam. "…dari perbatasan timur Konoha?"

"Oh, tentu saja. Mereka sedang berkumpul. Aku akan mendandanimu sedikit sebelum kau menemui mereka. Kau mau?"

"Hai!" Sakura merasa nyaman atas nada suara wanita ini yang begitu lembut. Betapa beruntungnya lelaki yang berhasil menjadi suami Hinata. Ia bisa membayangkan, suami wanita ini pasti lelaki yang sangat gagah dan berwibawa.

Sakura diam saja saat rambutnya disanggul oleh Hinata. Kesempatan itu digunakan oleh Sakura untuk bertanya-tanya lebih jauh.

"Omong-omong, apa menikah itu menyenangkan?" tanya Sakura. Ia teringat akan perkataan Sasuke yang ingin menjadikannya miliknya. Apakah itu artinya Sasuke ingin menjadikannya istrinya? Menikah adalah hal terjauh yang pernah ia pikirkan. Sebagai geiko, ia pikir tidak ada seorang lelakipun yang mau menikahinya secara resmi.

Hinata tersenyum. "Ji-jika dengan orang yang kau cinta, ya, tentu saja."

"Anda bahagia dengan pernikahan Anda?"

"Um." Hinata mengangguk. "Dan bahkan aku sedang mengandung buah cinta kami."

"Benarkah? Selamat kalau begitu!" Tidak ada nada suara gembira Sakura yang tersembunyi. Ia turut bahagia. Memiliki bayi bahkan tidak pernah ia pikirkan sama sekali. Tapi sepertinya itu akan sangat menyenangkan.

"Te-terimakasih…" Hinata menunduk malu, wajahnya bersemu. "Sekarang kau sudah siap. Ayo kita keluar?"

Sakura diam saja, tapi ia menuruti langkah kaki Hinata yang menuntunnya ke salah satu ruangan dari banyaknya ruangan yang ada di rumah ini. Di samping kirinya adalah ruangan-ruangan yang kosong dengan pintu-pintu transparan dan di sebelah kanannya adalah halaman dengan kolam ikan yang tenang dan semak-semak mawar yang menawan.

Semakin dekat dengan ruangan yang dituju, mulai terdengar suara-suara seperti; siapa mereka sebenarnya? Atau kita harus memperketat penjagaan! Atau murni kriminalkah? Atau ada yang mencoba menjatuhkan kerajaan? Dan terakhir ada suara jaga bicaramu! sebelum akhirnya mereka sampai di depan pintu yang terdapat siluet beberapa orang laki-laki yang memakai kimono. Sakura bisa melihat ada benda panjang di pinggang mereka. Itu pasti pedang. Hinata memohon izin sebentar untuk masuk sebelum akhirnya mereka berdua duduk bersimpuh untuk membuka pintu.

Dan di depan Sakura kini ia bisa melihat lima lelaki dengan wajah di atas rata-rata sedang berkumpul mengitari minuman di depan mereka masing-masing. Kegugupan segera melanda Sakura. Ia ragu untuk melangkah. Apalagi saat ia secara tidak sengaja tadi bertemu kontak mata dengan lelaki berambut biru tua yang duduk tepat di hadapannya, menjadi senter bagi keempat lelaki lainnya. Lelaki itu tampak memejamkan matanya, kesannya berbeda sekali dengan wajah yang pernah ia lihat. Terlihat sangat dewasa. Sepertinya ia tengah berpikir keras.

"Masuk saja, Hinata-chan, dan er…" seru seorang lelaki berambut kuning jabrik dengan tiga garis di masing-masing pipinya.

"Sakura Haruno desu."

"Dan Sakura-chan!" lanjut Naruto lagi, membuat Sakura terbelalak karena ia tidak pernah dipanggil secara akrab di pertemuan pertama seperti ini sebelumnya. Hinata lalu menuntun Sakura untuk duduk di samping Sasuke sementara ia segera duduk di sebelah Naruto, suaminya. Itu yang Sakura kira, karena pemuda itu sedang mengelus perutnya sekarang. Dan wanita itu merona hebat dibuatnya.

"Eghm!" Sakura segera mengalihkan perhatiannya dari pasangan itu dan menoleh ke arah Sasuke yang kini matanya sedang mengebor matanya. "Kau, Sakura, akan tinggal sementara di sini."

Sudah banyak kejutan yang dialami Sakura, namun ia tetap tidak bisa siap akan berbagai kejutan yang menantinya. "Mengapa? Anda tidak harus melakukan itu, Yang Mulia."

"Ini perintah dari putra mahkota. Apa hakmu untuk membatah?"

Sakura memilih bungkam. Apalagi suara itu terdengar dingin, galak, dan menakutkan. Ia tidak bisa membayangkan akan menikah dengan orang semacam ini.

Sasuke melanjutkan perkataannya. "Kau akan menyamar menjadi pelayan Hinata. Aku akan meyakinkan Yang Mulia Raja untuk mengizinkanku menikahimu."

"Ya-yang Mulia…"

"Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu. Dan karena itu kau harus menjadi milikku."

Semua orang maklum. Tidak ada yang bisa menghalangi apa yang Uchiha inginkan. "Kau mengerti?"

Sakura mengangguk. "Ha-hai…"

"Sekarang kalian boleh pergi. Kami akan membicarakan beberapa hal penting. Dan, Sakura, tunggu aku di bawah pohon sakura setelah ini. Hinata akan menunjukkan tempatnya," perintah Sasuke lagi membuat Sakura, yang sudah belajar dari yang sudah-sudah, memilih untuk menurut saja. Ia lalu beranjak dari sana mengikuti Hinata yang sudah lebih dulu keluar.

Mereka tidak lantas pergi ke bawah pohon Sakura yang dimaksud. Hinata membawanya ke dapur. Sakura baru sadar jika ia belum makan sejak kemarin malam. Wanita anggun itu tersenyum ramah lalu mengambil sesuatu dari sana, kemudian menyajikannya di depan Sakura.

"I-ini adalah soup bebek yang ditangkap kemarin oleh beberapa pelayanku. Semoga kau suka," kata Hinata pelan. Sakura bahkan berpikir bahwa tidak ada pelayan yang diperlakukan sebaik ini.

"Terimakasih," Sakura mengangguk, lalu meraih sumpit di hadapannya. "Anda tidak makan?"

"Ah, jangan panggil Anda," Hinata lalu ikut duduk di depan Sakura. "Aku sudah makan tadi. Makanlah. Kau pasti lapar."

"Itadakimasu. Selamat makan," Sakura lalu buru-buru menghabiskan makanannya. Ya, ia memang sengara buru-buru, karena ia tidak tahan dilihat secara terus-menerus oleh Hinata. Sedangkan ia tidak enak untuk mengatakan bahwa ia tidak nyaman dilihat sambil makan karena wanita ini sudah terlalu baik padanya. Namun sepertinya pandangan mata Sakura yang rikuh membuat Hinata tersadar.

"Ah, maaf. Hanya saja tingkahmu mirip adikku," Malah Hinata yang tersipu malu.

"Sou desu ka? Benarkah?" Sakura mengangguk. "Adikmu pasti cantik sepertimu. Aku tidak tahu bagaimana membayangkan orang yang mirip denganmu tapi bertingkah laku sepertiku. Itu akan menggelikan." Sakura tertawa sendiri. Ia lalu membelalakan matanya, seperti sadar akan sesuatu. "Maaf, bicaraku lancang sekali. Mulutku sungguh kurang tata karma."

Hinata tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Aku senang kau terbuka padaku. Kuharap kita bisa menjadi teman. Di sini, sejujurnya aku cukup kesepian…"

Sakura tersenyum sambil menandaskan makanannya. "Aku akan menjadi gadis yang baik di sini. Dan, ya, kita akan menjadi teman," katanya ceria. Ia merasa nyaman dengan wanita yang sepertinya jauh lebih tua darinya ini. Tapi sifat lembut dan keibuannya membuatnya tenang.

Hinata lalu beranjak berdiri. "Se-sepertinya kita harus pergi ke pohon Sakura di belakang rumah. Aku yakin diskusi mereka sudah berakhir."

Sakura memandangnya penuh tanya. "Bagaimana Sasuke-sama menurutmu?"

"Dia orang yang baik." Hinata menjawabnya sambil menerawang. "Sejak kecil kami selalu bersama. Aku, Naruto-kun, Neji-nii-san, Shikamaru-san, Sai-san, dan Sasuke-sama. Itu saat-saat yang menyenangkan. Sejak kecil, Sasuke-sama memang yang paling dijaga di antara kami, karena ia adalah putra mahkota." Perkataan Hinata berhenti sejenak saat mereka harus berbelok koridor.

"Lalu?"

"Ter-terkadang ia kesal akan hal itu. Tapi ia sadar bahwa ia adalah putra mahkota, sehingga ia sangat menyayangi rakyatnya. Semua wanita menginginkan menjadi istrinya. Kau beruntung dipilih olehnya," lanjut Hinata sambil tersenyum. Mereka lalu sampai di halaman luas, dengan sawah membentang di depan yang dibatasi dengan pagar kayu rendah yang ditata sedemikian rupa sehingga menjadi indah. Lalu di sisi kanan ada sebuah pohon Sakura yang sangat besar. Seorang lelaki sedang menunggu di sana sambil bersedekap dan bersender pada batangnya yang tidak akan muat jika dipeluk oleh dua orang sekaligus. Matanya terpejam. Sakura mendadak merasa gugup. Lelaki itu teramat tampan di hadapannya dengan kimono putih biru yang ia kenakan serta rambut dengan gaya yang tidak biasa namun pas di kepalanya itu.

Hinata dan Sakura segera menghampiri Sasuke yang mulai memandang mereka tajam. "Maafkan saya, Yang Mulia. Sakura sudah tidak makan dari kemarin malam, jadi saya kira ini manusiawi jika saya memberinya makan selagi menunggu Yang Mulia." Lalu mereka membungkukkan badan.

"Hn. Terimakasih," Sasuke hanya menutup kedua matanya sebagai isyarat ia memaafkan. Kemudian Hinata mulai pamit untuk undur diri.

Sekarang mereka tinggal berdua. Sakura tidak berani untuk memandang lelaki yang tinggi menjulang itu di hadapannya. Ia hanya meremas kimononya. Napasnya membentuk kabut karena suhu udara yang turun.

"Sepertinya kau sudah akrab dengan Hinata."

Akhirnya muncul juga suara baritone yang dalam itu. Sakura hanya mengangguk. "Ya. Dia wanita yang sangat baik. Kami bahkan berteman."

"Baguslah." Kemudian keheningan tercipta kembali. Sakura semakin tidak nyaman dengan suasana ini.

"Kau takut padaku?"

Kali ini perkataan Sasuke berhasil membuatnya mendongak. "Oh, um… tentu saja tidak."

"Tapi tubuhmu bereaksi seperti itu." Sakura dapat mendengar Sasuke menghela napas. "Katakanlah apa yang mengganjal di hatimu mulai saat ini. Aku mendengarkan."

"Hamba hanya…" remasan tangan Sakura di kimononya semakin menguat. "…merasa sangat gugup. Ini pertama kalinya aku…Ini pertama kalinya ada orang yang mengatakan ia ingin menjadikanku sebagai istrinya."

"Dasar anak-anak." Nada suara Sasuke kali ini sedikit lebih lunak. "Seharusnya kau bahagia. Aku, Sasuke Uchiha, pewaris tahta dari kerajaan Konoha, akan membuatmu bahagia."

Bagaikan ada bunga di dada Sakura yang bermekaran dengan indahnya. Kali ini ia merasa nyaman akan perkataan lelaki itu. Walaupun ada banyak hal yang tidak ia ketahui akan lelaki dewasa di hadapannya ini.

"Ah, Yang Mulia jangan berkata seperti itu…"

Sakura merasa tubuhnya akan melumer saat merasakan tubuhnya didekap oleh lelaki ini dengan tiba-tiba. Jantungnya berdetak dengan amat kencang. Napasnya mulai terdengar tidak karuan. Tubuh lelaki ini hangat dan besar. Ia sungguh merasa sangat nyaman walaupun dadanya berdetak sangat kencang.

"Tunggulah sampai semua ini selesai," perintah Sasuke dengan nada yang lembut namun datar. "Seperti aku yang menunggumu untuk menjadi dewasa."

Sakura hanya bisa terdiam. Tanpa sadar, ia meremas kimononya dengan sangat kuat.

.

.

.

TBC

Kyaaa, ini fic pertamaku. Aku bikinnya dua hari, lho. Itu juga aku sambi di sela-sela kegiatan aku. Ini juga terinspirasi sama drama Korea yang tayang di Ind*siar jam 1 siang itu. (lupa judulnya apa). Tapi beda kok jalan ceritanya. Bedaaaaaa pake banget. Ya kan? Emh, karena ini fic pertamaku, mohon dong bantuan dari para senpai (oiya, turut berduka cita atas meninggalnya Arnanda Indah-senpai. Dia termasuk senpai favoritku. Semoga dia diterima di sisinya. Amin!)

By the way, mind to review?