Ia pernah membayangkan, bahwa suatu hari nanti, ialah yang berdiri berdampingan bersama lelaki itu di atas altar. Memakai gaun putih panjang sehalus sutra, menautkan tangan di lengan pria itu, merasakan tekstur tuxedo hitamnya yang juga sehalus gaunnya.

Hal itu masih terus membayanginya, mengikuti ke mana pikirannya berlabuh, menjajah di satu sudut otaknya. Seolah tak ingin berlari dan membaur. Hal itu masih menjadi satu-satunya hal yang merajai otaknya. Menimbulkan asa baru dan detak jantung yang lebih cepat dari biasanya ketika pemikirannya tengah mengulas kembali bayangan tersebut. Karena bayangan tersebut adalah destini akhir dari kehidupan romansanya, yang ia bangun bersama lelaki itu belum lama ini.

Dan, melihat lelaki itu malah berdiri berdampingan di atas altar bukan dengan dirinya saat ini adalah sebuah kenyataan paling menyakitkan yang membuat sesuatu dalam dadanya perlahan kebas, seolah tak merasakan lagi segala detak hidup yang ada di sekitarnya, mati rasa.

"Sakura, mau ke mana?"

Uchiha Sasuke tak seharusnya bersama Sabaku Temari di atas altar suci itu.

.

.

Hopeless Romantic

©LastMelodya

Disclaimer: All character belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: AU, miss-typo, miss-OOC(?), ShikaSaku

.

.

Chapter 1: Prolog

Sakura tak menghiraukan panggilan Ino yang menyerukan namanya sejak tadi. Gadis itu terus melangkah pergi, setengah berlari menuju direksi tak terprediksinya untuk dituju. Hingga akhirnya suara Ino—juga suara sorak sorai ramai di dalam gedung itu tak terdengar, Sakura menghentikan langkahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kembali segala rasa kebas yang menyakitkan. Kedua netranya tak mampu berkedip—mampu, tapi tak mau. Karena ia takut, sekali berkedip, likuid itu akan jatuh membasahi belah pipinya.

Setelah sedikit tenang, ia mendudukan diri pada sebuah kursi panjang yang ada di sana. Sakura melesatkan pandangan ke sekitarnya, sebuah taman. Gelap dan sepi. Tentu saja, karena pusat keramaiannya ada di dalam gedung besar di hadapannya. Kerlip lampu dan harum wewangian bunga masih dapat Sakura rasakan, khas malam resepsi pernikahan. Ada banyak mobil di sini, sepertinya taman ini tengah beralih fungsi menjadi lapangan parkir.

Gadis itu menundukkan wajah, menatap gaun hitam panjangnya di bawah sana. Udara tiba-tiba saja terasa dingin menyengat, menggigit kulit-kulit bahu dan punggungnya yang terbuka. Sakura bergidik, menggigit bibir, memejamkan mata. Dan akhirnya, satu tetes air mata jatuh mengaliri pipinya.

Disusul dengan likuid-likuid lainnya, dan Sakura sudah tak peduli.

Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan sejak ia melihat Sasuke berdiri di altar bersama gadis lain adalah menangis. Menangis hingga lelah, hingga hari berhenti dan kenyataan mengejutkannya bahwa hal itu hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang menyambangi seperti mimpi-mimpi penuh monster saat ia kecil dulu. Tapi, Sakura tak kunjung bangun, kenyataan tak kunjung menyadarkannya, seolah-olah mimpi buruk ini memanglah kenyataan dan tak akan pernah berakhir.

Dan, memang ini kenyataan.

Sakura masih ingat ketika ia dan Sasuke merancang masa depan bersama. Membuat candaan gaun pengantin yang akan mereka pakai di hari sakralnya. Membuat planning tentang Uchiha-Uchiha kecil yang lahir darinya suatu hari. Juga hal-hal menyenangkan lainnya yang umum dilakukan sepasang kekasih.

Tapi, Uchiha memang tak perlu semua itu. Paling tidak, orangtua Sasuke tidak memerlukannya. Merekalah si aristrokat, yang hidup dengan kekakuan di tengah masa metropolis yang telah merajai. Mereka tak peduli adjektif bernama cinta, juga nomina bertajuk kekasih. Mereka hanya perlu verba frekuentatif, hal-hal lampau yang terus diulang hingga sekarang. Yang seharusnya sudah punah dimakan zaman.

Seperti contohnya, perjodohan.

Baik Sakura maupun Sasuke tak mampu lagi mempertahankan gagasannya ketika orangtua Sasuke sudah bertindak. Uchiha memiliki kandidat calon istri untuk Sasuke, bermarga Sabaku. Marga yang sama aristrokatnya dengan mereka. Yang memang mereka nilai memiliki kehormatan yang sama dengan marga mereka. Jauh di atas Haruno.

Dan, Sasuke tak punya pilihan. Bahkan untuk sekadar menawar. Menolak, apalagi. Ia hanya perlu patuh, seperti patung yang diarahkan tuannya. Begitulah nasib Uchiha.

Sasuke mencintai dirinya, Sakura yakin akan hal itu. Dan Sasuke juga tahu seberapa besar Sakura mencintainya. Mereka sama-sama tahu. Hanya saja, hal itu sudah tak berarti lagi, kan?

Bagi Sakura, ia sudah terperangkap, pada cintanya yang tak akan lagi merekat.

"Brengsek! Aku membencimu, Uchiha…" Sakura berteriak, meski tahu suaranya tak akan sampai pada entitas yang ia tuju. Ia lelah, sudah tak terhitung denyutan sakit yang sedari tadi menyambangi rongga dadanya. Ia ingin melampiaskan semuanya. "Uchiha, Sabaku, aku membenci kalian!"

"Jangan bertindak bodoh di pesta pernikahan seseorang."

Sebuah suara menginterupsinya. Membuat teriakan Sakura juga ikut terinterupsi. Ia terdiam, enggan membalas atau sekadar memandang si pemilik suara tersebut. Meski begitu, ia mengenal suara ini.

"Pesta pernikahan diadakan untuk disyukuri, bukan diberikan umpatan atau semacamnya."

Sakura tak ingin membalas. Ia masih mengisak, udara dingin semakin menyengat, membawa embusan anginnya yang mengencang. Diam-diam ia berharap, semoga rasa cintanya yang tersisa terbawa pergi bersama angin yang berembus. Agar ia tak lagi merasakan dampak yang ditimbulkan dari perasaan romantik itu.

"Itu tak sopan, Haruno."

"Aku tak butuh pendapatmu." Sakura mengangkat wajah, hanya untuk membentak dan menatap tajam sepasang oniks sayu yang juga tengah menatapnya. Wajah itu begitu menyebalkan. "Kau tak tahu apa yang kurasakan, jadi jangan ikut campur." Sakura menambahkannya dengan suara rendah.

Yang dibentak tak menunjukkan ekspresi berarti, lelaki itu melangkah pelan, mencipta bunyi gemersik dedaunan yang tak sengaja terinjak oleh langkah-langkah jenjangnya. Ia hempaskan tubuhnya di samping Sakura, tanpa enggan menatap Sakura dengan pandangan mengejek secara terang-terangan. "Kau egois."

Sakura memejamkan mata, menghalau segala emosi yang kembali ingin keluar dari rongga dadanya. Jemarinya ia kepalkan, turut serta membantu menahan perasaan itu. Lelaki ini … Sakura enggan bersikap tak sopan sebenarnya, karena ia adalah kepala divisinya di kantor, yang hanya saling menyapa enggan ketika bertemu. Tapi, mengapa sekarang berada di sini dan menasihati Sakura seolah-olah itu adalah hal terbenar yang ia lakukan? Membuat Sakura tak dapat menahan emosinya.

"Sekali lagi aku tak butuh pendapatmu, Nara-san."

Lelaki di sebelahnya menghela napas. "Aku tak peduli kau butuh atau tidak. Tapi, cobalah untuk melihat dari perspektif lain," ia menjeda perkataannya sesaat, sebelum kembali melanjutkan, "misalnya dari perspektif gadis Sabaku itu."

"Apa peduliku?" seru Sakura kesal, gadis itu kini menatapnya penuh.

Nara Shikamaru membalas tatapan itu dengan keheningan, angin menyapu tengkuknya. Ia menahan napas saat kembali berbicara. "Apa kau berpikir gadis itu setuju dan senang-senang saja menerima perjodohannya dengan Uchiha itu?"

Sakura melebarkan emerald-nya.

"Menurutku kau egois, kau terlalu fokus dengan perasaanmu dan Sasuke. Tak berpikir bagaimana nasib gadis yang dijodohkan dengan Sasuke. Aku yakin, ia juga tidak menerima dengan bahagia begitu saja saat dijodohkan dengan lelaki yang bahkan belum dikenalnya secara psikis." Tambahnya lagi.

Sakura terpaku, dadanya kembali berdenyut memikirkan ucapan rekannya barusan. Diam-diam ia melirik lelaki di sebelahnya, wajah itu … ekspresi wajah itu mengingatkan akan wajah seseorang. Hanya saja, ekspresi itu terpatri lebih kuat dan tenang.

Ya, ekspresi itu mengingatkan pada dirinya sendiri.

"Bukan maksudku ikut campur, hanya saja, kau hanya terlihat memuakkan dengan sikap seperti itu," lelaki itu berdiri, sebelah tangannya ia gunakan untuk menepuk pelan bagian bawah setelan jasnya yang terkena debu kursi taman. Sebelum kembali melangkah, ia menoleh pada Sakura yang masih menatapnya lekat. "Mau ikut masuk?"

Ada banyak hal yang tiba-tiba saja ingin Sakura katakan, seperti … apa ditinggal menikah oleh kekasih yang mengaku mencintaimu dan menangis karena hal itu adalah sikap yang memuakkan? Tapi, Sakura tahu, tanpa bertanya pun, seharusnya ia sudah memiliki jawabannya.

Gadis itu perlahan bangkit berdiri, tubuhnya masih limbung, dan heels yang dipakainya kini seperti sebuah benda yang perlahan-lahan menggerogoti kakinya.

Shikamaru yang melihat itu tanpa sadar mengulurkan tangannya, walau sikap gadis ini terlihat memuakkan, setidaknya sedikit banyak ia mengerti.

Sakura terlihat enggan meraih uluran tangan itu, namun belum sempat ia berpikir banyak, Shikamaru telah lebih dulu menariknya menjauh dari tempat itu.

"Kau terlalu pemikir," katanya di antara langkah mereka yang berjarak. Sakura ingin balas memaki lelaki itu, namun dadanya sudah terlampau sesak dan suaranya seperti membeku. Lagipula, setelah mengetahui fakta tentangnya yang kini ia sadari, sepertinya makian yang ditujukkan padanya memang pantas.

Beberapa saat sebelum langkah mereka memasuki pintu utama gedung, Shikamaru kembali mengujar. "Omong-omong, kau mengenalku, kan?" katanya sangsi, Sakura mengangguk gamang. "Nara Shikamaru, kekasih Sabaku Temari, kalau kau belum tahu."

Sakura tak terkejut, karena pada akhirnya ia mengerti.

"Aku tahu."

.

To be continued

.

a/n: buat yang belum tahu, Hopeless Romantic itu idiomatic expression yang berarti memercayai hal-hal fairy tale. This person is in love with love. So believe with love and fairy tale.

Btw, ini hurt banget keliatannya, ya? Sejujurnya saya nggak bermaksud bikin se-hurt ini, kok :' semoga aja chap-chap depan bisa lebih light dan mungkin tempting, juga lebih panjang ;p and … iyeay, finally saya bikin ShikaSaku multichap! Buat yang pada nagih ini di OS ShikaSaku saya, niiiih :3 (hih, emang ada yang nunggu? heuheu).

And as always, I never get bored to say it; RnR?

LastMelodya