Avatar: The Last Airbender doesn't belong to me

Romance

Zutara / ZukoKatara

Warning: AU. OOC, errhh ... silakan menilai sendiri. Typo, mungkin?

.

Summary: "Percayalah, Katara. Ketika kau sedang kehabisan ide sebagai bahan tulisan, kau tidak butuh prompt—atau hal-hal semacam itu." Alis Katara terangkat. "Kau hanya perlu jeli terhadap hal-hal di sekitarmu, atau—" Untuk #CrackPairingCelebration.

.

.

.

Ruangan itu senyap meski di dalamnya terdapat sepasang anak Adam dan Hawa. Tak terdengar ada konversasi sedikit pun antara mereka. Bahkan tak terdengar detik jarum jam—sang pemuda pemilik kamar tampaknya begitu menyukai ketenangan hingga tak ada satu pun jam dinding di kamar itu. Hanya ada sebuah jam digital yang menjadi bagian dari sebuah bingkai foto di atas meja belajar.

Sesekali bunyi gesekan biola terdengar—

Dan kedamaian dalam ruangan berukuran 3x3 itu rusak sudah kala terdengar bunyi napas yang dihela keras-keras oleh sang gadis berambut sepunggung.

"Zuko, bisakah kau berhenti mengurus biolamu dan membantuku sedikit?"

Sayangnya pemuda yang diajak bicara justru ambil sikap acuh tak acuh. Menoleh pun tidak. Entah ia sedang malas atau memang tidak mendengar—walau kemungkinan kedua itu mustahil, sebenarnya.

"Zuko."

Busur belum berhenti digesek, memainkan sebaris nada yang tercipta manis—

"Zuko!"

Pemuda dengan luka bakar di sekitar mata kirinya itu melepas busur dari biola, menghentikan keasyikannya sejenak. Menoleh pada gadis yang masih duduk manis menghadap laptop tak jauh darinya. Menyahut datar, "Apa?"

Katara berdecak sebal. "Kau tidak mendengarku tadi, heh?"

"Dengar," jawab Zuko cuek. Tangan kanannya kembali memosisikan busur pada senar biola, bersiap-siap kembali menghasilkan alunan nada.

"Apa?" Katara menatap sang pemuda dengan cemberut. Bagaimana tidak cemberut melihat pacarnya tampak lebih peduli pada sebuah benda mati dibanding dirinya?

"Perjelas kata-katamu, Katara."

Biola digesek kembali, menghasilkan alunan sebuah lagu klasik yang melenakan.

Namun wajah Katara justru semakin kusut mendengarnya. Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada dan menatap Zuko tanpa mengubah ekspresi wajahnya sedikit pun. "Kalau begitu memangnya apa yang tadi kukatakan?"

Permainan biola terhenti. Sang pemuda beriris hitam terdiam sejenak untuk berpikir sebelum menjawab, "Aku lupa."

Kalau saja diperbolehkan, Katara pasti sudah merebut biola dari tangan Zuko dan membantingnya hingga hancur berkeping-keping. Sayangnya hal itu hanya terjadi dalam khayalan Katara. Sebab jika ia benar-benar melakukannya, Negara Api pasti sudah menginvasi seluruh dunia untuk kedua kali di bawah perintah sang pangeran tunggal.

...tunggu, fantasi dari mana itu?

Yang pasti, Zuko akan marah besar padanya. Biola yang kini dalam genggamannya adalah benda kesayangannya.

"Menyebalkan," desis Katara menahan geram, "aku menyesal telah datang ke sini. Kau sama sekali tidak membantu."

"Bukan aku yang mengundangmu untuk datang," tukas Zuko kalem.

Katara butuh cermin untuk tahu sekusut apa wajahnya sekarang.

Gadis itu sebenarnya bukan tipe orang yang kekanak-kanakan, tapi entah kenapa ia mudah sekali cemberut tiap kali beradu argumen dengan sang kekasih. Sebaliknya, Zuko justru luar biasa cuek terhadap apa yang ia lakukan, tidak seperti biasanya yang sensitif akan segala hal di luar sana. Sepertinya mereka menjadi sepasang paradoks ketika bersama. Atau memang seperti itu sifat mereka yang sesungguhnya?

Sang gadis mendesah. Memutar kembali bangku menghadap laptop kesayangannya. Menopang dagu dengan tangan kiri sementara tangan kanannya memijit tombol-tombol huruf di kibor secara acak.

Huh, harusnya ia tidak usah ke sini. Hanya karena Sokka terlalu berisik menyiapkan puisi kepada Suki, kekasihnya, ia jadi melarikan diri ke sini. Padahal ia kira Zuko akan mau membantunya. Ditambah lagi Azula, adik tunggal pemuda itu, sedang tidak ada di rumah; yang berarti mereka akan hanya berdua karena orangtua Zuko pun sedang pergi.

Nyatanya pemuda itu justru mengabaikannya dan tenggelam dalam keasyikannya sendiri.

Mungkin sebaiknya tadi ia pergi ke rumah Aang saja—ah, pemuda itu kan sedang latihan untuk pertandingan beladiri lusa.

Uh, serba salah.

Melalui ujung mata, Zuko melirik ke arah kekasihnya yang kini terduduk lesu di depan laptop. Tidak lagi meledak-ledak seperti beberapa menit lalu. Desah meluncur pelan dari sela bibirnya, sebelum meletakkan biola dan busur di ranjang dan mendekati sang gadis berambut sepunggung tersebut.

Dirinya sudah membiarkan gadis itu masuk, namun ia justru mengabaikannya. Bukankah Katara adalah tamu? Tidak sepantasnya ia mengabaikan tamu—setidaknya itu yang sang ibu ajarkan padanya.

Ditambah lagi, Katara adalah kekasihnya.

—tunggu, membiarkan masuk?

Ya, membiarkan. Gadis itu masuk tanpa ia persilakan, kan?

Bel rumah berbunyi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Zuko nyaris berteriak memanggil Azula—ayolah, ia paling benci diganggu ketika sedang asyik berlatih biola—hingga pemuda itu ingat, sang adik sedang tidak ada di rumah. Sementara orangtuanya sedang melakukan perjalanan bisnis. Kesimpulannya, Zuko sedang sendiri di rumah dan mau tidak mau harus ia yang membukakan pintu.

Zuko mendengus sebelum meletakkan alat musik kesayangannya di ranjang. Bergegas menuju pintu demi menghentikan bunyi bel yang mulai mengganggu.

Umpatan pasti sudah meluncur bebas dari bibirnya apabila tidak segera melihat siapa sosok sang tamu.

"Katara?"

"Hai," balas Katara singkat. Wajahnya sedikit muram. Tangannya menjinjing sebuah tas—yang dari bentuknya, siapa pun pasti tahu benda di dalamnya adalah laptop. Seraya sedikit berjinjit untuk melihat kondisi rumah sang pemuda melalui bahu kekasihnya itu, gadis tersebut bertanya, "Kau sedang sendiri?"

"Begitulah."

Gadis itu langsung menerobos masuk. Langkah-langkahnya cepat. Meninggalkan pemuda penghuni rumah yang menghela napas melihat tingkahnya. Tak memedulikan bunyi pintu yang ditutup.

Tujuannya mana lagi kalau bukan kamar Zuko.

"Kau ingin aku membantu apa?"

Gerakan jemari Katara terhadap kibor berhenti seketika. Kepalanya menoleh ke asal suara.

Zuko tengah menatapnya dengan kedua tangan dilipat di depan dada, bersandar pada ranjang—sekilas terlihat seperti sedang duduk padahal tidak.

"Carikan prompt untukku," jawab gadis itu setelah memutar kursi agar berhadap-hadapan dengan Zuko. Bisa pegal lehernya kalau ia harus memutar lehernya ke arah pemuda dengan luka bakar yang berdiri di belakangnya itu secara terus-menerus.

Dahi Zuko berkerut. "Prompt—apa?"

Katara mengangguk. "Ya, prompt. Frase atau kalimat sebagai pancingan agar aku bisa mendapatkan ide dan melanjutkan ceritaku," jelasnya tanpa diminta. "Batas waktu penyerahan tinggal seminggu lagi dan aku benar-benar kehabisan ide sekarang!"

Zuko diam tanpa mengubah posisi. Memperhatikan mulut Katara yang terus menceracau frustrasi.

Ah. Sekarang ia tahu kalimat seperti apa yang harus ia katakan untuk membungkam kekasihnya yang masih asyik berceloteh.

"Kau sebenarnya tidak butuh itu."

Kicauan Katara langsung terhenti. Dahinya mengernyit samar. "Apa? Tidak butuh apa? Prompt, maksudmu?"

Zuko mengangguk.

"Lalu bagaimana aku bisa melanjutkan ceritaku kalau begitu?" kejar Katara tak puas. Ia belum mengerti apa maksud kekasihnya.

"Percayalah, Katara. Ketika kau sedang kehabisan ide sebagai bahan tulisan, kau tidak butuh prompt—atau hal-hal semacam itu."

Alis Katara terangkat.

"Kau hanya perlu jeli terhadap hal-hal di sekitarmu, atau—"

Katara tak sempat bertanya kelanjutan kalimat Zuko karena di detik berikutnya pemuda itu sudah membungkamnya dengan bibirnya sendiri. Menekan bongkah ranum sang gadis lembut.

Manis adalah satu-satunya kata yang terlintas di benak Katara selama bibir mereka saling mencecap.

Gadis berambut ikal itu bisa merasakan wajahnya memanas ketika Zuko mengurai bibir mereka. Mendadak merasa kehilangan keberanian untuk mengangkat wajah di hadapan kekasihnya. Sungguh, ia tidak berniat sedikit pun untuk tahu semerah apa wajahnya sekarang.

Tapi yang berada di urutan terakhir dalam daftar keinginannya adalah Sokka mengetahui apa yang baru mereka lakukan. Kakaknya itu pasti mengomel seharian kalau itu terjadi.

Huh, padahal pemuda itu sendiri sudah pernah melakukannya dengan Suki. Bukan Katara namanya kalau tidak tahu.

"—menuliskan apa yang terjadi padamu."

Ucapan Zuko barusan menyadarkan Katara apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan.

"I-itu bukan membantu namanya!" Katara berseru, antara jengkel dan malu. Oh, sungguh ia merutuki kegagapannya di awal kalimat. "Kau hanya mengambil kesempatan dalam kesempitan!"

Zuko hanya mengedikkan bahu, seolah-olah apa yang baru dilakukannya bukanlah masalah besar dan wajar adanya. Mengambil kembali busur dan biola kesayangan yang sempat tergeletak terlupakan.

"Kau ambil saja ide dari kejadian-kejadian nyata di sekitarmu," saran pemuda itu tanpa mengungkit-ungkit apa yang baru saja ia lakukan. Dagunya mengapit biola yang telah tersandar di pundak. Tinggal satu gesekan lagi pada senarnya untuk menghasilkan sebuah nada. "Lebih mudah. Kau hanya tinggal menambahkan sedikit bumbu di sana sini, dan kau akan segera mendapatkan hasilnya."

Katara mendengus. Mau protes seperti apa pun, lelaki itu tidak akan mendengarnya. Menyebalkan.

Lagipula, saran yang diberikan Zuko mungkin berguna. Karena dengan begitu, ia bisa menulis apa yang dirasakannya namun tak bisa diungkapkannya.

Seperti ... menjabarkan rasa candu yang terdapat pada bibir kekasihnya itu, mungkin?

.

.

.

Apa ending-nya keliatan maksa? .-.

Maaf kalau fanfic pertama dark di fandom ini justru AU. dark nggak pernah nonton ni kartun satu sampe tamat dengan urutan yang benar (salahkan aja salah satu stasiun tipi yang udah bikin dark males ngikutin karena diulang-ulang mulu). Ya udah, jadi AU, deh.

Berkenan menyambut dark dan memberikan concrit?

.

.

.

Sekejap mata kemudian Katara menoleh pada kekasihnya yang sudah bersiap menggesek biola dengan busur telah menyentuh senar. "Tapi cerita yang sedang kutulis kan cerita horor!"

Nada yang tercipta dari biola Zuko langsung sumbang seketika.