Bleach © Tite Kubo

Warning : OOC, Gaje, Don't Like Don't Read

Life Like This

Udara malam ini memang terasa begitu dingin, pastinya orang-orang akan lebih memilih untuk bergelung di balik selimut mereka yang hangat, tapi hal itu rupanya tidak berlaku bagi dua sosok yang sedang berdiri di hadapan sebuah rumah bermodel Eropa yang megah. Di sekitar tergeletak beberapa tubuh yang sudah tidak bernyawa. Ya, semua itu adalah 'hasil karya' mereka berdua.

Sosok pertama, yang berpostur tinggi kemudian membuka gerbang rumah itu dan memberi isyarat pada rekannya agar masuk lebih dulu. Sosok kedua kemudian mengangguk paham dan segera melangkahkan kakinya dengan ringan kearah pintu masuk rumah tersebut. Baru saja tangannya hendak membuka pintu kayu berukuran besar yang ada di depannya itu, sebuah suara menginterupsi kegiatannya.

"Berhenti!"

Sosok itu menolehkan kepalanya dengan malas, "maaf, tapi aku tidak akan menuruti perintahmu, Tuan Pengawal."

Sebelum pengawal itu sempat berbuat apa-apa, sebuah pedang lebih dulu menusuknya dari belakang.

x.x

"Bagaimana?" tanya seorang pemuda berambut merah yang diikat tinggi pada seseorang yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Di tangan sosok itu tergenggam katana yang berlumuran darah.

"Sudah selesai." Jawabnya pelan. Ekspresi wajahnya datar, seolah hal yang ia lakukan barusan adalah hal yang wajar. Menghilangkan nyawa orang lain dengan katana kesayangannya dan menulikan telinga dari jerit kesakitan orang-orang yang telah ia bunuh. Tapi biar bagaimanapun, ia tidak punya pilihan. Atau secara tidak sadar, hidup seperti inilah yang ia pilih Ia tidak tahu.

"Baguslah," si rambut merah berkata sambil menyarungkan katana-nya. "akhirnya kita bisa pulang sekarang, aku benar-benar lelah." Ujarnya sambil berjalan mendahului sosok di belakangnya yang sedang menatap pedang dalam genggamannya dengan nanar.

xxxx

"Selamat pagi, Byakuya-sama."

Serentak para karyawan Kuchiki Corp. memberi salam pada seorang laki-laki muda yang berjalan dengan langkah yang sedikit menunjukkan keangkuhan dan rasa percaya diri yang tinggi. Laki-laki itu tetap berjalan tanpa ada sedikit pun niat untuk membalas sapaan karyawannya. Kuchiki Byakuya, pemimpin Kuchiki Corp. sekaligus kepala keluarga Kuchiki yang terpandang.

Byakuya akhirnya sampai di depan ruangannya dan begitu ia masuk, dirinya mendapati dua orang yang sedang duduk menunggunya. Byakuya segera melangkah ke arah meja kerjanya

"Byakuya-sama, semuanya sudah kami selesaikan."

Byakuya tidak berkata apapun. Ia hanya menatap kedua orang yang duduk di hadapannya secara bergantian.

Hening.

Kepala keluarga Kuchiki tersebutkemudian berdiri dari kursi yang ia duduki lalu mendekat ke arah jendela kantornya, memandang suasana pagi di kota Karakura.

"Nii-sama…"

Byakuya menoleh sekilas, "kalian boleh pulang dan istirahat. Besok, kalian harus pergi bersama dengan Ichigo dan Hisagi. Tugas besok lumayan berat. Berusahalah."

"Pulang? Tapi sekarang kami harus pergi ke sekolah, Nii-sama."

"Tidak usah, semuanya sudah aku urus."

Jawaban tegas itu sudah cukup untuk membuat kedua orang itu bungkam. Mereka kemudian berdiri dan membungkuk hormat, "kami permisi."

"Hn." jawab Byakuya singkat.

x.x

Kurosaki Ichigo berjalan ke arah apartemennya sambil sesekali menggerutu tidak jelas. Suasana hatinya sedang buruk. Benar-benar buruk. Seharian berada di sekolah membuatnya merasa seperti berada dalam penjara. Pertama, ia diberi peringatan keras oleh sensei-nya karena ketahuan tertidur saat jam pelajaran. Kedua, ia harus beradu mulut dengan Hishida Uryuu, teman sekelasnya hanya karena masalah sepele. Dan sepertinya, pemuda berkacamata itu cemburu pada Ichigo karena telah merebut perhatian Orihime, gadis yang diam-diam ia sukai. Ah, apapun itu, yang jelas Ichigo merasa hari ini adalah hari yang menyebalkan.

"Aku pulang!" teriak Ichigo kemudian ia melepaskan sepatunya gerakan perlahan, terlalu malas untuk melakukan apapun.

"Selamat datang."

Ichigo terkejut mendengar suara itu. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seseorang dengan rambut merahnya yang acak-acakkan, sepertinya orang itu baru bangun tidur.

"Renji?"

Renji menguap lebar, "yo, Ichi. Kau seperti melihat hantu saja."

Ichigo mendengus kemudian berdiri, "aku pikir kau masih 'ditahan' di rumah keluarga Kuchiki." Ichigo meletakkan sepatunya di rak yang ada di dekat pintu, "lalu kenapa kau dan Rukia tidak ke sekolah? Kau tahu? Teman –teman pikir kalian itu sengaja bolos untuk berkencan."

Renji menaikkan bahunya, "terserah mereka mau bilang apa." Renji kemudian berbalik dan berjalan menuju ruang makan kemudian mengambil sebotol air dari lemari pendingin, "eh, tapi kau sudah diberitahu tentang tugas kita besok 'kan?"

"Belum semuanya, sih tapi sepertinya kali ini agak sulit. Memangnya siapa yang harus kita 'bereskan'?"

"Kurotsuchi Mayuri."

Ichigo tertawa pelan

"Saingan bisnis Byakuya-sama, rupanya. Yah, tapi orang macam Kurotsuchi-san itu memang menyebalkan."

Renji mengangguk dan berkata pelan, "ya, bagi Byakuya-sama, semua pengganggu memang harus dilenyapkan."

"Sudahlah, Renji. Ini memang sudah jadi tugas kita. Kita semua hanyalah assassin yang bekerja untuk Byakuya-sama. Dan… " Ichigo mengambil botol yang hampir kosong dari tangan Renji dan meletakkannya di meja dapur. "kita juga berhutang budi padanya. Kau harus ingat itu, Renji."

"Ya… aku tahu."

Renji hanya bisa menatap punggung Ichigo yang semakin menjauh, menuju ke arah kamarnya di lantai dua.

xxxx

Malam semakin larut.

Angin dingin juga semakin keras berhembus.

Ini memang malam yang gelap dan sunyi. Namun, di rumah keluarga Kuchiki terlihat beberapa orang yang sedang berkumpul di salah satu ruangan di rumah itu. Mereka memakai Shihakusho, pakaian seragam mereka sebagai seorang assassin. Tangan mereka menggenggam erat Katana, alat yang melengkapi peran mereka sebagai Shinigami. Shinigami yang berada di bawah perintah keluarga Kuchiki.

Diantara mereka juga ada Ichigo dan Renji. Ichigo terlihat bosan dan menguap berkali-kali sedangkan Renji hanya menatap lantai dengan pandangan kosong.

"Kenapa Rukia lama sekali? Argh! Aku bosan!"

Ichigo berteriak frustasi sambil mengacak rambut orange-nya.

Hisagi mendengus mendengar omelan Ichigo. "Berhentilah menggerutu, Ichigo."

Ichigo berdecak kesal namun akhirnya ia duduk dengan tenang di sofa hitam panjang yang ada di ruangan itu.

Setelah hampir lima menit menunggu, Rukia akhirnya memasuki ruangan itu dengan langkah tergesa. "maaf, aku terlambat."

"Sudahlah…. Lebih baik sekarang kita segera berangkat. Lebih cepat, lebih baik." Hisagi berkata seraya mengambil Katana-nya.

"Baik!" jawab mereka serempak.

Namun sebuah suara yang bernada tenang namun tegas, membuat mereka menoleh 4ea rah pintu yang dibiarkan terbuka.

"Tunggu dulu."

Semua yang ada di ruangan itu hanya bisa memandang heran pada pimpinan mereka, Kuchiki Byakuya yang sekarang sedang mendekati tempat mereka berkumpul.

"Ada apa, Nii-sama?" Tanya Rukia heran.

"Rukia kali ini tidak usah ikut."

"Eh…" Rukia menatap wajah kakaknya, berusaha mencari penjelasan. Bukannya dia sendiri yang bilang kalau hari ini dirinya, Ichigo, Renji juga Hisagi harus melakukan 'tugas' penting?

"Kau tidak usah ikut. Kembalilah ke kamarmu."

Rukia tidak bisa membantah lagi. Ada ketegasan yang tidak bisa dibantah dalam suara Byakuya. Dan itu kadang membuatnya merasa terintimidasi. Tapi Rukia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Baik, Nii-sama."

Dan Rukia pun meninggalkan ruangan itu.

Byakuya lalu memalingkan wajahnya pada Ichigo, Hisagi, dan Renji.

"Kalian sebaiknya cepat berangkat," Byakuya mulai bergerak ke arah pintu. "Dan aku harap semuanya sempurna seperti biasa, dengan atau tanpa Rukia.

x.x

"Wah… Byakuya, kau tidak perlu ketakutan seperti itu. Aku yakin Rukia akan baik-baik saja, seharusnya kau biarkan saja dia pergi dengan yang lainnya." Kuchiki Kouga, satu-satunya keluarga yang masih Byakuya punya, berkata sambil meminum teh yang disiapkan pelayan untuknya.

Malam ini ia sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi Byakuya di ruang kerjanya dan bermaksud untuk melakukan 'obrolan' ringan sebelum tidur.

"Apa ada jaminan kalau Rukia akan baik-baik saja?"

Pertanyaan sinis itu dijawab dengan tawa pelan oleh Kouga. "ayolah, Byakuya. Kau pikir Rukia itu anak umur lima tahun yang tidak tahu apa-apa, hah? Dia salah satu assassin terbaik yang kita punya. Kau sendiri yang mendidiknya 'kan?"

Byakuya kemudian meninggalkan ruang kerjanya tanpa berkata apa-apa lagi. Sepertinya sopan santun yang diajarkan keluarga Kuchiki seolah menguap entah kemana.

"Ck, anak itu kadang menyebalkan."

Kouga hanya bisa menghembuskan napasnya dengan keras. Dia kemudian menghabiskan tehnya yang tinggal separuh lalu ikut keluar dari ruang kerja keponakannya itu.

xxxx

TBC

AN: saya sedang mencoba membuat fic baru. ^^

Fic ini juga rikuesan dari sepupu gaje saya,,, Nee-san, nih ficnya udah jadi, silahkan dinikmati selagi hangat.

Saya mohon kritik dan sarannya. Terutama masalah judul dan alur cerita ini, soalnya saya masih amatiran di ffn.

Arigatou, minna-san *bungkukin badan*

.