Jimin nyaris berlari ketika melewati koridor-koridor panjang kastil Hogwarts siang itu, nyaris menabrak beberapa siswa lain yang memandangnya penuh tanya. Jubahnya berkibar di belakang tubuhnya, ketika ia tergesa menuruni undakan. Jantungnya berdentam, namun ia tak bisa memadamkan euphoria dalam dirinya. Ini hari Rabu, dan setiap Rabu ia akan mengosongkan seluruh jadwalnya dengan sengaja, hanya untuk melakukan kegiatan rutinnya. Meskipun itu berarti, Song Minho—kapten tim Quidditch-nya akan mengomelinya habis-habisan, karena lagi-lagi mangkir latihan.

Musim pertandingan sebentar lagi, dan alih-alih berada di lapangan mencari golden snitch, ia berjalan melintasi lapangan, serta rumah kaca menuju satu dari beberapa tempat terlarang di Hogwarts. Forbidden Forest.

.

.

a Collaboration Project by Glowrie and peachpeach

Based on JK Rowling's amazing novel "Harry Potter"

FELIX FELICIS (CHAPT 1)

A MinYoon/MinGa Fanfiction

Jimin x Yoongi ; BTS

Romance, Friendship, BL, Hogwarts!AU

Twoshoot

ALL CASTS BELONG TO THEMSELVES, BUT THIS STORYLINE IS OURS, DLDR.

.

.

Happy Reading~

.

.

Luar Biasa. Jimin benar-benar luar biasa, ini sudah enam puluh menit penuh dan ia masih berada di sana. Duduk di salah satu dahan oak raksasa, memutar-mutar tongkatnya, menepuki nyamuk atau semut yang menjamah tubuhnya. Netra yang berwarna biru safir bak samudera itu mengamati entitas tak jauh darinya. Bukan rahasia umum di angkatannya, jika Park Jimin, seeker tim Quidditch Gryffindor yang terkenal, jatuh cinta setengah mati pada sosok galak, judes luar biasa, namun manis itu. Sosok manis yang selalu menolaknya terang-terangan jika ia mendekat, membuatnya semakin penasaran.

Jimin bertemu dengan sosok itu tepatnya setahun yang lalu, ketika ia sedang mangkir latihan karena terlalu mengantuk. Salahkan saja si kembar Trelawney yang mengajaknya menyelinap keluar asrama hanya untuk menonton pertandingan bola para muggle, yang memang menyenangkan. Sama seperti hari ini, Jimin memilih untuk beristirahat di hutan terlarang. Jika hampir seluruh siswa menghindari tempat ini, tidak untuk Jimin. Hutan ini merupakan tempat ternyaman untuk beristirahat tanpa gangguan.

Tanpa teriakan profesor-profesornya, tanpa omelan dari Minho, tanpa resiko ketahuan oleh Ketua Murid. Apalagi Ketua Murid dari Ravenclaw -Kim Namjoon- ia pasti tak segan mengurangi poin bagi asramanya, jika ia tahu Jimin masuk ke hutan terlarang. Dan satu lagi yang membuatnya senang, lepas dari rengekan Jungkook—sepupunya—yang selalu bercerita tentang seeker tampan Slytherin. Tampan apanya? Lebih tampan aku, batin Jimin. Sebenarnya, ia hanya kalah tinggi beberapa senti saja.

Hari itu Jimin masuk ke dalam hutan, memilih salah satu dahan pohon oak di tepi danau. Kemudian segera merebahkan diri di sana, ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah danau. Dengan segera Jimin berubah menjadi seekor falcon berbulu seputih salju dengan beberapa noktah berwarna hitam yang membentuk pola di lehernya. Jimin itu animagus, ngomong-ngomong. Jimin terdiam di sana, netranya yang berwarna biru safir mengamati entitas yang berjalan ke arah danau.

Jimin tak mampu melihat wajahnya, yang ia tahu entitas itu adalah seorang pemuda, bersurai keemasan, salah satu penghuni asrama Slytherin, musuh bebuyutan asramanya—Gryffindor—sejak Hogwarts didirikan. Terlihat dari jubah hitam dengan tepi hijau yang dipakainya. Jimin menajamkan seluruh inderanya, lalu melompat, membentangkan sayap, dan kemudian mendarat di atas salah satu batu besar. Ia menelengkan kepala, bertingkah seolah-olah dirinya benar-benar seekor burung yang tersesat ke dalam hutan itu.

Pemuda yang diamatinya itu mendudukkan diri, bersandar pada sebatang pohon, kemudian segera mengeluarkan beberapa perkamen serta pena dari dalam lengan jubahnya. Jimin tak habis pikir, apa sih yang pemuda itu lakukan di sini? Belajar? Belajar di tempat seperti ini? Yang benar saja. Seperti di dalam kastil tidak ada perpustakaan saja, sebenarnya pertanyaan yang sama yang bisa di ajukan pada Jimin. Seperti di dalam kastil tak ada kasur saja.

Jimin bertahan di tempatnya, namun karena rasa penasaran yang membuncah, ia memutuskan untuk kembali terbang. Berputar rendah sekali di atas permukaan danau, sembari menguak, berhasil mengalihkan atensi pemuda itu. Kemudian, Jimin mendarat di dekat entitas itu.

"Falcon?" Jimin mendengar suaranya yang berat. "Bagaimana bisa seekor falcon ada di sini?" Jimin mengamati saja ketika pemuda itu meletakkan perkamennya kemudian mendekati Jimin dengan tatap penasaran.

Jimin melangkah mundur, berusaha untuk menjaga jarak, bersikap layaknya seekor burung yang takut untuk di tangkap. Play hard to catch. Namun, ia tertegun ketika jarak mereka semakin dekat. pemuda ini begitu—entah bagaimana Jimin mendeskripsikannya. Kulitnya pucat, netranya sewarna karamel hangat, dengan single eyelid yang membuat kelopak matanya selalu terlihat sayu. Bibirnya sewarna kelopak sakura di musim semi. Surainya yang keemasan tampak begitu lembut bergerak mengikuti gerakan kepalanya. Jadi bagaimana Jimin harus menyebutnya? Bahkan kata indah saja tak mampu menjabarkan seluruh keindahan sosok itu. Pemuda itu, manis, tampan, namun cantik secara bersamaan. Jimin berpikir, mungkin Tuhan sedang senang saat menciptakan sosok itu, sehingga menjadi seindah ini.

Jimin tertegun sesaat, hingga tanpa sadar ia membiarkan saja si manis menyentuh kepalanya, mengusap bulu-bulunya lembut. Bahkan tangannya begitu hangat, membuat Jimin terlena. "Hei, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanyanya. Jimin memejamkan mata, dengkuran nyaman keluar dari tenggorokannya. Mengapa tangan pemuda ini sebegini nyamannya?

Usapan itu berhenti, membuat Jimin kembali membuka mata, "Jja, ikut aku?" ujar pemuda itu, menyodorkan lengannya. Jimin segera melompat, berpindah pada lengan itu, berhati-hati agar tak mencengkeram terlalu kuat. Ia hanya tak ingin cakar-cakar tajamnya melukai sosok indah ini. Jimin berpindah pada lutut si manis yang tertekuk, ketika ia kembali berkutat dengan lembaran perkamennya.

Jimin menunduk, membaca beberapa kalimat yang memenuhi perkamen secara terbalik. Ia menelengkan kepalanya, puisikah? Haikyu? Beberapa kalimat tampak dicoret, sebelum kemudian beberapa not balok ditorehkan di sana. Sebenarnya apa yang dilakukan pemuda ini? Membuat lagu? "Aku membuat lagu, aku tak suka menari, kau tahu," ujar si manis membuat Jimin mengalihkan atensinya. Ia bergeming, mendengarkan seluruh ucapan si manis, yang menurut Jimin memiliki suara merdu bak genta angin di musim semi. "Semua kakak perempuanku pintar menari, tetapi, tidak denganku. Mungkin karena aku laki-laki."

Jimin mengerjap, memangnya mengapa jika laki-laki? Bukankah seharusnya laki-laki harus lebih kuat daripada seorang perempuan? Sosok Falcon Jimin menelengkan kepalanya, dengkuran kembali terdengar di tenggorokannya. Mencoba untuk tak berbicara, hanya berdeguk, menanggapi ucapan pemuda itu.

Beberapa detik kemudian, terdengar derai tawa dari si manis. Derai tawa yang mampu meningkatkan laju debaran jantung di dalam rongga dada Jimin. "Apa sih yang ku lakukan, kau pasti tak mengerti bukan?" ujarnya lagi, kemudian tersenyum lebar, memamerkan kerutan-kerutan indah di sudut kelopak matanya, serta deretan geligi putih dan gusi merah jambu yang kembali menjerat Jimin dalam pesonanya.

"Tapi, tak mengapa. Ngomong-ngomong, bagaimana falcon sepertimu berada di dalam hutan ini? Seingatku tak ada satupun falcon di sini? Apa kau tersesat?" Si manis menelengkan kepalanya, sembari mengerucutkan bibirnya, membuat Jimin menahan diri untuk tak memekik gemas. Beberapa saat kemudian lonceng berdentang, menandakan seluruh siswa harus segera kembali ke dalam kastil. Jam malam akan segera di berlakukan.

"Oh, aku harus pergi. Kau mau ikut denganku?" Jimin mendengkur sekali kemudian membentangkan sayapnya. Melesat terbang meninggalkan sosok itu. "Baiklah, sampai jumpa lagi." ujar si manis yang masih dapat di dengar oleh Jimin. Jimin mendarat di sebuah dahan, menyembunyikan dirinya dari pandangan sang pemuda manis. Mengamati si pemuda manis dalam diam hingga punggung sosok itu menghilang di tutupi oleh pepohonan.

Jimin mendesah, ia telah kembali berubah menjadi manusia. Menekan dadanya dengan tangan ketika ia merasakan jantungnya tak berhenti berdentam menyenangkan. "Sebenarnya siapa dia?"

.

.

Suara ranting patah menyentak Jimin, menarik pemuda itu kembali dari lamunannya. Jimin segera mengubah diri menjadi seekor falcon. Diam-diam ia tersenyum melihat pemuda manis itu berjalan dengan ringan memasuki hutan. Pemuda manis dengan senyum menawan dan tangan hangat. Pemuda manis yang menawan Jimin dalam pesonanya. Pemuda manis bernama Min Yoongi, penghuni asrama Slytherin, siswa tingkat enam. Dan satu-satunya keturunan Veela murni berjenis kelamin laki-laki, selama beberapa dekade.

.

.

Glow & Peach

.

.

"Park Jimin! Mangkir latihan lagi ku kutuk kau jadi makanan burung hantu! Ya! Park Jimin!" Rabu siang yang ke-sekian ketika Song Minho masih saja berteriak dengan bahasa Korea, mengejar Jimin sepanjang koridor kastil untuk ditarik ke lapangan dan berlatih Quidditch. Beruntung tak ada satupun guru yang memergoki mereka berkejaran seperti itu, jika ada, mungkin mereka sudah berakhir membantu Profesor Sprout di rumah kaca untuk memanen Mandrake, atau memenceti jerawat para mandrake remaja.

Tetapi Jimin dipilih menjadi seeker bukan tanpa alasan. Larinya secepat angin, secepat ketika ia dengan lihai mengendarai sapu terbangnya di atas lapangan. Ia bahkan dengan mudah menghindari tabrakan bahu dari segerombol murid tingkat dua yang sedang bersiap untuk kelas Herbologi.

"Ya! Park Jimin! Kembali!" Suara Minho semakin menghilang ketika Jimin menghilang di balik koridor gelap menuju hutan. Jimin bersandar pada salah satu dahan besar pohon oak dan mengatur napasnya setelah berlari dengan kecepatan penuh menghindari kejaran Minho. Ia mengendap-ngendap sebentar, memastikan tidak ada satu orang pun di sekitarnya, menarik napas dalam-dalam sekali, kemudian dengan cepat mengubah dirinya menjadi bentuk animagus miliknya. Ia mengusapkan paruhnya pada sebelah sayap, lalu memilih untuk hinggap di atas pohon oak. Si Manis dari Slytherin yang ditunggunya belum datang, mungkin masih terjebak kelas Ramuan yang belum selesai. Ia mendengkur pelan, kemudian menyamankan posisinya untuk menunggu dari atas pohon. Tidur sebentar sembari menunggu juga tidak masalah, semalam ia lembur mengerjakan esai Sejarah Sihir, ngomong-ngomong.

Jimin hampir tertidur ketika pohon yang ditempatinya berguncang kuat. Ia hampir saja terjatuh dan memekik kesal. Tapi semua pekik kesalnya hanya tertahan di ujung tenggorokan saat melihat siapa dalang dibalik insiden nyaris jatuhnya dirinya dari atas pohon.

.

.

Yoongi disana. Punggungnya bersandar penuh pada dahan pohon, satu helaan napas terdengar begitu berat di telinga Jimin. Jimin akhirnya mulai mengepakkan sayap, terbang rendah dan berputar sejenak. Melakukan manuver cantik dan akhirnya mendarat tepat di samping kaki Yoongi. Jimin mengamati Yoongi dalam diam, sedangkan objek yang ia amati menatap kesal selembar kertas perkamen dalam genggamannya dan tidak menyadari kehadiran Jimin di sampingnya.

Satu helaan napas lagi terdengar oleh Jimin, tapi Yoongi belum mau mengalihkan atensinya sedikitpun dari kertas perkamennya. Tidak ada pilihan lain untuk mengalihkan atensi Yoongi, kecuali dengan mematuk pelan kakinya.

"Oh! Kau datang lagi?" Jimin bersorak senang dalam hati saat atensi Yoongi berhasil teralihkan dan ia mendapat senyuman sehangat matahari. Ya ampun, Jimin rasanya meleleh. Jimin ingin sekali membalas senyumnya, tapi tentu ia sadar jika falcon sepertinya tidak bisa membuat lengkungan senyum. Jadi, ia hanya membuat lengkungan sabit dari matanya yang terpejam dan sebuah dengkuran halus dari tenggorokannya. Ah, andai saja Yoongi mau tersenyum kepadanya saat ia dalam wujud manusia, ia pasti tidak akan berpikir dua kali untuk membalas senyumnya. Namun, faktanya tentu saja tidak seindah itu. Yoongi tak segan menggunakan kutukan Crucio pada Jimin, jika pemuda itu berani mendekat.

.

Tangan hangat Yoongi mengelus sebentar puncak kepalanya, sebelum melepaskannya karena ingat sesuatu. "Ah, sebentar...sepertinya aku menyimpan sesuatu di sini," Yoongi meletakkan kertas perkamennya di samping kakinya, kemudian ia sibuk mencari sesuatu dalam kantung celananya. "Aku tahu, falcon tidak makan biskuit gandum. Tapi hanya ini yang kupunya." Yoongi membuka pembungkus biskuit gandum madu yang ia dapat dari kantungnya, membaginya menjadi dua bagian dan memberikan satu bagian kepada Jimin.

Ia memandang ragu sejenak pada separuh bagian biskuit yang Yoongi pegang. Serius, falcon mana yang makan biskuit gandum? Bahkan Jimin tak suka pada biskuit itu meskipun dalam wujud manusia. "Tidak mau ya?" Ah, coba lihat wajah sedih itu. Mana tega Jimin menolak pemberian si manis? Tidak ada pilihan lain kecuali mematuk kecil potongan biskuit di tangan Yoongi dan menerbitkan senyum manis darinya.

"Nilai kelas Ramuanku tidak begitu bagus minggu ini," Jimin menghentikan kegiatannya untuk mematuk potongan biskuit gandum, ia menelengkan kepalanya saat Yoongi mulai bercerita mengenai harinya. "Padahal, Ramuan adalah hal yang penting untuk para Slytherin." Diam-diam Jimin membenarkan perkataan Yoongi. Slytherin memang identik dengan kelas Ramuan, sama seperti Gryffindor yang identik dengan kelas Transfigurasi. Kertas yang tadi diletakkan di samping kaki Yoongi kemudian terbuka, memperlihatkan nilai B dengan tinta hitam. Jimin hampir memekik gemas, nilai B Yoongi bilang jelek?! Apa kabar nilai kelas Ramuannya yang selalu berada di bawah nilai C?! Bahkan mungkin, Profesor Oliver bosan melihatnya meledakkan kuali. Tapi kemudian Jimin ingat, ambisi seorang Slytherin memang besar.

"Sebentar lagi jam malam, ayo habiskan biskuitmu..." Jimin buru-buru menghabiskan sisa biskuitnya, dan Yoongi menunggunya dengan sabar.

"Mau ikut aku ke asrama?" Yoongi mengulurkan lengannya, dan Jimin dengan senang hati naik ke atasnya. Tawaran mengunjungi Yoongi di asrama hanya berlaku sekali seumur hidup. Oh, ingatkan Jimin jika tugas esai Herbologinya belum selesai dan harus di kumpulkan besok.

.

. . .

.

Jimin sempat berjengit kaget ketika The Bloddy Baron lewat secara tiba-tiba di samping mereka saat melintasi koridor menuju asrama. "Jangan takut, itu hanya hantu asrama kami." Yoongi terkekeh kecil, kemudian mengucapkan kata sandi untuk akses masuk ke dalam asrama.

Awalnya, Jimin mengira jika asrama Slytherin adalah suatu tempat yang sangat lembab karena terhindar dari sinar matahari langsung dan berada di bawah Black Lake. Tapi nyatanya, asrama yang di dominasi warna hijau tua itu terasa hangat dan kering. Entah sistem apa yang digunakan saat membangun asrama mereka.

Jika di Gryffindor terpasang tiga lukisan besar tiga serangkai—Harry Potter, Hermione Granger, dan Ronald Weasley—yang berjasa dalam perang besar, maka di asrama Slytherin lukisan Profesor Severus Snape terpajang dengan presisi di samping lukisan pendiri mereka, Salazar Slytherin.

Jimin menatap kagum akuarium besar yang diletakkan di bagian tengah ruang rekreasi. Asramanya tidak memiliki rancangan interior yang begitu unik. Lalu ruang duduk mereka yang sepertinya terasa nyaman. Alih-alih melingkar seperti milik Gryffindor, ruang rekreasi Slytherin, memanjang, berkumpul di sudut-sudut. Dibalut dengan beludru-beludru hijau dan perak yang lembut. Dihiasi dengan ukiran-ukiran apik, bak kursi bangsawan. Slytherin dan sifat kebangsawanannya, tentu saja. Di sudut lain ruangan terdapat patung ular raksasa yang membuat Jimin begidik ngeri, pasalnya patung itu memiliki sepasang mata dengan zamrud menempel di sana. Yang membuatnya seolah-olah hidup.

Ada banyak sekali anak-anak Slytherin yang Jimin kenal. Alex, si pendiam yang memiliki ambisi sangat besar. Mingyu, salah satu pangeran Slytherin yang serba bisa—ia beater Slytherin ngomong-ngomong—dan Matthew. Si chaser Slytherin—baru saja lewat dan menyapa Yoongi, tapi hanya dianggap angin lalu.

Yoongi mendudukkan dirinya di kursi ruang rekreasi, tepat di samping akuarium besar milik Slytherin. Jimin sudah berpindah dari lengan Yoongi menuju bahunya, sedangkan Yoongi mulai menyibukkan diri untuk membaca sebuah buku.

"Dimana kau mendapatkan falcon, Yoongi-ya?" Jimin hampir saja terbang menerjang wajah Jung Daehyun—kapten Quidditch Slytherin yang pernah menjatuhkannya dari ketinggian tujuh ratus meter dari atas tanah ketika tahun ketiganya. Wajah setenang air Daehyun bukan jaminan jika perilakunya juga setenang air. "Bukan urusanmu." Jawaban ketus Yoongi diam-diam membuat Jimin bersorak dalam hati. Daehyun berdecak keras, memicingkan maniknya ke arah Jimin, sebelum akhirnya menaiki tangga menuju kamarnya.

"Falcon?" Kali ini suara kelewat serak dari Kim Taehyung yang mengganggu konsentrasi Yoongi dan mengalihkan atensi Jimin. Rival abadi Jimin terlihat baru saja mandi dengan rambut setengah basah—Jungkook pasti akan senang sekali jika mendapatkan pemandangan gratis yang memanjakan mata. "Kenapa kalian selalu bertanya ketika aku membawa falcon ke asrama ?"

Taehyung hanya terkekeh pelan, sudah terlalu terbiasa menanggapi ucapan ketus Yoongi. Ia kemudian mengalihkan atensinya secara penuh untuk mengamati Jimin dalam bentuk falcon.

"Hyung yakin jika falcon yang Hyung bawa bukan semacam makhluk gaib atau wujud transfigurasi seseorang yang berusaha menyusup ke dalam asrama?" Jimin berusaha mengabaikan Taehyung yang mendelik ke arahnya. Yoongi mendengus keras-keras, kemudian menutup buku yang sedang di bacanya dengan kesal. Taehyung sukses membuat moodnya semakin buruk. "Bisa tidak sih, kau menyingkirkan semua pemikiran abnormalmu itu sehari saja?!"

"Tapi Hyung, aku curiga—"

"Cukup Taehyung. Lagipula aku akan melepaskan falcon ini ketika jam makan malam..." Yoongi kemudian berlalu, meninggalkan Taehyung yang sibuk menggerutu dan masih menatap penuh curiga falcon di pundak kanan Yoongi.

.

.

Glow & Peach

.

.

Jimin berlari kencang sepanjang koridor menuju Aula Besar ketika jam sarapan hampir berakhir. Sebelah bahunya menyandang tas yang separuh terbuka dan jubahnya berkibar mengikuti gerakannya. Semalam ia mengerjakan tugas esai Herbologi-nya sampai dini hari, dan baru tidur ketika menjelang fajar. Jungkook sudah membangunkannya puluhan kali, tapi ia masih saja bergelung nyaman di balik selimut dan tak menghiraukan Jungkook.

"Hei, Park Jimin! Terlambat untuk sarapan?" Jimin menggeram kesal dan terpaksa menghentikan larinya. Di depannya Taehyung sudah menghadangnya dengan sudut bibir terangkat meremehkan. "Bukan urusanmu, Kim. Minggir." Rahang Jimin mengerat, dalam hati ia tidak akan membiarkan Jungkook jatuh dalam dekapan si brengsek Kim Taehyung. Tidak dan tidak. Sepupunya itu terlalu berharga. Jimin bukan murid Hufflepuff yang memiliki stok kesabaran di batas normal. Ia hanya seorang Gryffindor yang mempunyai darah yang menggelegak panas ketika berhadapan dengan seorang murid Slytherin. Selalu seperti itu.

"Oh, tentu itu bukan urusanku jika kau tidak terus-menerus mendekati Yoongi-Hyung dan menggunakan cara licik sekalipun..." Jimin mendengus, melangkah semakin dekat ke arah Taehyung dan menarik kerah pemuda yang lebih tinggi darinya. "Dengar, hentikan omong kosongmu dan biarkan aku lewat untuk mendapatkan setidaknya satu piala jus labu pagi ini." Taehyung tersenyum, menyingkirkan cengkraman Jimin pada kerah seragamnya dan berbalik menunjuk bahu Jimin.

"Semalam Yoongi-Hyung membawa falcon ke dalam asrama, dan kau tahu? Aku bahkan masih ingat ketika kau pernah mengubah sebuah penghapus papan menjadi seekor falcon saat kelas Transfigurasi tingkat tiga, Park Jimin."

Jimin balas menatap datar. Seringai muncul di sudut bibirnya. Ia menyugar surai kelabunya sebelum berujar, "Hanya karena aku pernah mengubah sesuatu menjadi falcon, bukan berarti kau bisa mencurigaiku begitu saja, Kim. Buka pikiran sempitmu, dude. Picik sekali." Taehyung menggeram marah. Emosinya selalu tersulut dengan cepat ketika berhadapan dengan seorang Gryffindor, apalagi yang se-menyebalkan Jimin.

Jimin menarik sudut bibirnya, kemudian mundur beberapa langkah untuk menjauhi Taehyung dan hendak berlalu untuk segera menuju kelasnya pagi ini. Tapi Taehyung dengan cepat menarik tongkat sihirnya dari balik jubah ketika Jimin baru dua langkah menjauh darinya, "Petrificus to—"

"Hentikan Mr. Kim, Mr. Park! Detensi untuk kalian berdua!" Mantra yang diucapkan Taehyung belum sempurna dilafalkan, Jimin bahkan baru saja menarik tongkatnya dari balik jubah—tapi tongkat mereka berdua sudah terpelanting jauh. Mereka meneguk ludah dengan susah payah, ketika Profesor Arthur berdiri dengan lengan terlipat di dada. "Detensi. Ku tunggu kalian di Menara Ramalan siang ini, jangan terlambat. Atau poin kalian akan berkurang lima puluh."

"Yes, Sir..." Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti perintah dari profesor mereka. Turnamen Quidditch akan berlangsung sebentar lagi, dan mereka tidak mau poin mereka menghilang secara sia-sia sebelum turnamen berlangsung.

"Bagus, segera bersiap untuk kelas kalian."

.

.

Glow & Peach

.

.

Jimin segera beranjak menuju Menara Ramalan dengan malas, ia mendengus saat berpapasan dengan Kim Taehyung yang berjalan dari arah lain. Mereka berjalan beriringan dalam keheningan, hingga sampai di depan sebuah pintu jebakan yang melingkar. Mereka segera masuk ketika pintu terbuka. "Mr. Park dan Mr. Kim?"

"Yes, Sir." balas mereka berdua bersamaan, sebelum kemudian dengusan kembali keluar dari keduanya. Memalingkan muka, terlalu iritasi berdekatan satu sama lain. Jimin kembali mengamati ruangan tempat mereka berada. Ia pernah berada di dalam kelas ramalan setahun yang lalu ketika tingkat tiga, namun, ia meminta kepala asramanya untuk mengubah jadwal di tingkat keempat. Dan Ramalan tak lagi masuk ke dalam list. Tak berguna, pikir Jimin. Memang apa gunanya melihat dasar cangkir teh selama berjam-jam? Atau memutar-mutar pentagram yang membuat Jimin pusing.

Ruangan kelas ramalan berada di menara utara Hogwarts. Tempat terjauh dari aula besar dan bahkan ruangan lainnya. Ruangan itu tampak seperti perpaduan antara warung teh kuno dan loteng. Atapnya sedikit lebih rendah, tempat duduk murid di buat bak undakan. Terdapat beberapa rak yang menempel di dinding, tumpukan-tumpukan buku berada di salah satu rak, tengkorak-tengkorak berhiaskan bulu-bulu ayam di rak lainnya, serta beberapa tumpuk kartu-kartu tarot yang diletakkan asal. Gulungan perkamen menumpuk di atas sebuah kabinet, tak jauh dari meja kecil sang Profesor. Konon katanya, guru ramalan mereka tinggal di atas ruang kelas.

"Siap untuk detensi kalian?" Jimin tersentak, aroma cendana serta wewangian yang menguar dari ruangan itu membuat pikiran Jimin berkabut. Ia berdehem, sebelum kembali mengalihkan atensinya pada sang guru.

"Yes, Sir." kemudian Jimin dan Taehyung duduk di hadapan sebuah meja panjang yang ditunjukkan oleh Profesor Arthur. Jimin mengamati beberapa buku-buku tebal bersampul kulit yang terletak di atas meja. Beberapa gulungan perkamen serta tinta berada di hadapan mereka.

"Kalian harus merangkum seni ramalan kuno India, Yunani kuno, Romawi, Mesir, serta cara-cara ampuh untuk meramalkan masa depan dan percintaan."

Jimin mengerjap cepat, namun Taehyung dengan cepat menyahut "S-sebanyak itu, Profesor?"

"Jika membantah, maka aku akan menambahkan detensi kalian. Kurasa Profesor Sprout sedang memanen kacang polong api dan membutuhkan bantuan."

Jimin mendengus, mendelik pada Taehyung yang duduk di seberangnya—yang tentu saja di abaikan pemuda Kim itu—ingin rasanya ia menonjok wajah menyebalkan Taehyung. Pemuda itu benar-benar hanya menambah masalah saja. Dengan enggan Jimin mengambil sebuah perkamen, membuka gulungan itu, kemudian membentangkannya. Mengambil sebuah buku bersampul hijau tua dari tumpukan, kemudian membukanya. Aroma perkamen lapuk menyerang inderanya, menambah kabut yang ada di dalam pikirannya dan membuatnya pening.

Ia menggelengkan kepala, berusaha berpikir jernih. Kemudian segera membuka satu persatu halaman buku, berhenti pada sebuah halaman yang bertuliskan "Seni Ramalan India Kuno". Menghela nafas sekali, sebelum mulai menggerakkan tangannya. Menulis.

.

.

Jimin memutar-mutar lengannya yang terasa ngilu. Entah berapa lama mereka berada di sana, menurut instingnya ini bahkan sudah lewat jam makan malam. Ia mengerling pada Taehyung yang menguap. Beberapa jam yang lalu, Profesor Arthur meninggalkan mereka hanya berdua dalam ruangan itu. Bisa saja mereka kabur dari detensi, namun, mereka tentu tak mau esok poin mereka berkurang terlalu banyak bukan?

"Hei," Jimin mendongak, "Aku lelah." dengusan jengah terdengar dari Taehyung.

"Lalu?" balas Jimin kini benar-benar menatap Taehyung yang terlihat menyedihkan. Lihat saja surai dark brown-nya kini mencuat ke segala arah, sementara jubahnya sudah kusut di berbagai tempat.

"Aku menyerah."

"Ringkasan ini tak dapat menyelesaikan dirinya sendiri." balas Jimin, sebelum kemudian kembali menulis. Keheningan kembali menyergap mereka. Jimin memegangi perutnya yang keroncongan. Menulis di tengah kelaparan yang melanda benar-benar menyiksa. Ia hanya berharap jika Jungkook akan menyimpankan beberapa kudapan untuk dirinya.

Jimin menghentikan sejenak aktivitasnya, ketika menyadari jika buku yang diperlukannya berada di samping Taehyung, tak terjangkau. "Hei."

"Apa?"

"Ambilkan buku itu."

"Ucapkan tolong."

Jimin berdecak. "Brengsek, hanya ambilkan buku itu."

Taehyung berdecih, kemudian dengan sengaja melempar buku tebal itu ke arah Jimin,menghantam kening pemuda itu. "Ouch! Bangsat!" Jimin mengabaikan keningnya yang berdenyut nyeri, tangannya meraih buku lainnya, yang segera di lemparnya ke arah Taehyung.

"Sialan! Kau ingin berkelahi brengsek?!" Taehyung segera bangkit, sembari menghantam sebelah pipi Jimin dengan bogemannya membuat pemuda itu terhuyung.

Jimin segera melompat ke arah Taehyung, mengabaikan beberapa botol tinta yang tumpah karena tersenggol dirinya. Melayangkan sebuah pukulan yang mengenai rahang Taehyung dengan telak.

Mereka berguling di atas lantai beberapa saat, saling mencekik satu sama lain, saling menendang, saling melayangkan sebuah pukulan. "Kau brengsek."

"Kau bangsat!"

"Fuck you, Park Jimin." Jimin menendang perut Taehyung telak, jika saja tongkat mereka ada bersama mereka, maka ruangan ini akan benar-benar hancur. Namun, beruntung karena tongkat mereka tengah di sita oleh Profesor Arthur. Mungkin guru ramalan itu sudah meramalkan ini akan terjadi pada mereka berdua.

Beberapa perkamen bertebaran di lantai akibat perbuatan mereka berdua, hingga pada akhirnya tenaga mereka terkuras. Jimin dan Taehyung terengah. Mereka telentang di lantai kelas. Berkeringat, kelaparan, dan lelah serta penuh lebam. Sesaat, Jimin memejamkan matanya, sebelum kemudian memilih untuk mendudukkan dirinya. "Hei, kau!"

Jimin mengarahkan atensinya kembali pada Taehyung yang kini terduduk dan tampak linglung. Sudut bibir pemuda itu terluka, terdapat beberapa lebam di keningnya. "Kau benar-benar menyukai Hyungku?"

Jimin mengerjap, mengerutkan keningnya. "Apa pedulimu?"

"Aku peduli, karena dia Hyungku."

"Kalian tidak bersaudara."

Taehyung mendengus. "Memangnya hanya saudara kandung yang bisa bersaudara?" Jimin mengedikkan bahu, malas menimpali. "Kami bertetangga, ia memang lebih tua dariku, tetapi sejak kami kecil aku yang selalu melindunginya."

"Lalu?"

"Kau benar-benar mencintainya?"

Jimin menghela nafas panjang. Ini merupakan salah satu saat-saat langka di dalam hidupnya. Berbicara sesantai ini dengan Kim Taehyung. Pemuda yang hampir membunuhnya di koridor, dan pemuda yang sama yang menghajarnya habis-habisan di dalam ruangan ini, serta pemuda yang sama, yang menjadi musuh bebuyutannya sejak tingkat satu. Jika ditanya mengapa mereka bermusuhan, maka jawabnya adalah, "Kau terlalu populer." gumam Taehyung dengan suara beratnya, yang masih mampu di dengar oleh Jimin.

Jimin mengangkat sebelah alisnya. "Aku takut seseorang mencelakai Yoongi, karena kau menyukainya. Aku tahu kau memiliki banyak penggemar di luar sana."

"Bukankah kau sendiri juga sama, hm? Lalu apa bedanya Yoongi dekat denganku atau denganmu?" balas Jimin gusar.

"Bedanya adalah, aku tak pernah berpikir untuk menelanjangi Yoongi setiap melihatnya, tidak seperti dirimu," dengus Taehyung. "Pokoknya kau itu populer, dan aku tak mau Yoongi terkena masalah karena kepopuleranmu."

"Jika aku bilang aku akan melindunginya, apakah kau akan setuju?"

Taehyung mendengus. "Bagaimana aku tahu kau tak mencampakannya nanti? Yoongi telah mengalami masa-masa sulit sejak kecil. Semua orang mengejeknya, karena ia terlahir berbeda."

"Aku telah menyukainya sejak setahun yang lalu, mengejar-ngejarnya seperti orang bodoh, meskipun ia tak kunjung menanggapi, dan juga—"

"Berubah menjadi seekor falcon?"

"Kubilang falcon itu bukan aku."

"Tak banyak animagus berasal dari Korea di Hogwarts, Jimin. Hanya keluarga Park dan Jung yang mampu melakukannya. Dan aku yakin kau salah satunya. Aku tahu ketika melihat noktah kehitaman yang melingkar di leher falcon itu. Bukankah itu tanda yang timbul karena kalung keluarga yang kau gunakan, Jimin?"

Jimin bergeming. Taehyung benar, tak banyak keluarga yang bisa melakukannya. Animagus adalah bakat yang langka, dan Jimin mewarisi bakat itu dari keluarganya. "Aku hanya ingin dekat dengannya, dan semakin aku dekat dengannya aku semakin menyukainya."

Taehyung mengangguk. "Mari kita buat perjanjian."

"Perjanjian?" Kening Jimin mengerut curiga. "Perjanjian licik macam apalagi, yang Slytherin ajukan kali ini?"

Taehyung menyeringai. "Kudengar anak Gryffindor tak pernah takut, Jimin."

"Aku tak berkata jika aku takut, Kim Taehyung."

"Maka terima penawaranku."

"Katakan."

"Di pertandingan Quidditch selanjutnya, jika kau berhasil mengalahkan aku, maka aku akan membiarkanmu mendekati Yoongi Hyung, dan aku juga akan membantumu mendekatinya. Bagaimana?"

"Jika aku kalah?"

"Maka kau harus mundur, jimin. Aku takkan pernah merelakan Yoongi pada pemuda lemah sepertimu."

Jimin menyeringai. "Sounds interesting. Jika kau ingat, Kim Tae. Pertandingan sebelumnya, aku telah mengalahkanmu. Dan kali ini pun bersiaplah untuk kalah."

.

.

Glow & Peach

.

.

Jimin menyibukkan dirinya dengan berbagai macam kegiatan. Mulai dari berlatih Quidditch—Minho akhirnya bisa tersenyum senang ketika Jimin menampakkan dirinya di lapangan—mengerjakan esai-esainya, menguntit Yoongi, menguntit Yoongi dan menguntit Yoongi. Hampir sebagian besar waktu yang luang yang dimilikinya adalah menguntit pemuda Veela itu, alih-alih bermalas-malasan di ruang rekreasi, Jimin lebih memilih berubah menjadi falcon, mendengarkan cerita Yoongi tentang harinya, atau hanya sekedar menemani pemuda itu menulis. Yoongi hampir selalu menulis dan menulis. Tentu saja, setelah memberikan beberapa biskuit atau makanan untuk perut burung Jimin.

Tak jarang Jimin berada di dekat Yoongi ketika ia dalam wujud manusia, mengamati pemuda itu dari jauh. Tanpa sadar menghafal seluruh kebiasaan Yoongi. Menghafal bagaimana cara berjalan Yoongi yang angkuh, bagaimana Yoongi mengunyah makanannya dengan pipi menggembung lucu, bagaimana Yoongi mengayunkan tongkatnya dengan gerakan elegan. Bagaimana Yoongi memukul kepala Taehyung. Bagaimana Yoongi mengerucutkan bibirnya ketika kesal. Dan Jimin tetap mengamati pemuda itu dengan senyuman merekah di bibirnya, mengabaikan Taehyung yang seringkali memutar netra jengah ketika mendapati Jimin tercengang hanya karena Yoongi.

Bukannya tidak ada yang menyukai Jimin. Buktinya, setiap valentine selalu ada yang memberinya cokelat dengan pita-pita merah jambu sebagai hiasan dan setiap ulang tahunnya, selalu ada hadiah-hadiah menumpuk di sudut ruang rekreasi. Namun, Jimin tak pernah tertarik, karena ia hanya tertarik pada satu orang yaitu Min Yoongi.

Seperti hari ini, Jimin memilih untuk berjalan sendirian menuju Hogsmade. Menolak seluruh gadis ataupun pria manis yang berharap untuk diajak olehnya. Jimin merapatkan coat panjang yang membalut tubuh atletis pemuda itu, serta syal bercorak hitam merah yang melilit leher jenjangnya. Ia melangkah dengan ringan menuju Honeydukes—salah satu toko permen yang ada di Hogsmeade—maksud hati ingin membelikan beberapa permen atau gula-gula untuk keponakannya yang berada di rumah. Jesper pasti menyukainya.

Lonceng di pintu berbunyi ketika Jimin masuk ke dalam, namun ia menghentikan langkah ketika netranya mendapati siluet seseorang yang ia kenal. Itu—Yoongi. Yoonginya. Yang sedang berdiri di depan kasir dengan raut kebingungan. Tanpa sadar Jimin menghampiri pemuda manis itu. "Berapa semuanya, Madam?" tanya Jimin pada wanita paruh baya pemilik Honeydukes.

"Oh, tiga sickles tujuh knuts."

Jimin mengerjap pelan, memangnya Yoongi membeli berapa permen hingga menghabiskan tiga sickles? Pun begitu, Jimin segera membuka dompetnya, mengeluarkan beberapa koin, kemudian memberikannya pada Madam Wood. "Terima kasih, Mr. Park."

"Sama-sama, Madam." balas Jimin segera mengambil paper bag di atas meja kasir, dan menarik Yoongi untuk segera pergi dari sana.

.

.

Jimin menghentikan langkahnya di depan Shrieking Shack, ketika tangannya dihempaskan oleh pemuda manis yang sejak tadi berjalan di belakangnya. "Apa yang kau lakukan?" tanya si manis datar. Kepalanya mendongak angkuh, sorot matanya menatap dingin pada Jimin. Sementara, tangannya mengusap pergelangan tangannya yang memerah.

"Aku hanya membayar permen-permenmu." Jimin menyodorkan paper bag berwarna cokelat muda itu pada Yoongi yang ditolaknya.

"Tidak butuh." Yoongi memalingkan wajahnya, enggan membalas tatapan Jimin. Ia berbalik, hendak beranjak pergi. Namun, pergelangan tangannya kembali di tahan oleh Jimin.

"Memang apa salahnya?"

"Karena aku tak butuh." jawab Yoongi.

"Aku tak mengerti ada apa denganmu, Min Yoongi. Aku hanya ingin berteman denganmu."

"Aku tak butuh teman." balasnya lirih.

Jimin menghela nafas jengah, kemudian segera menyelipkan—dengan paksa—paper bag itu ke tangan Yoongi. "Jika kau tak butuh buang saja," balas Jimin sembari berjalan mendahului Yoongi. Yoongi termenung di sana, pemuda itu menatap punggung Jimin yang kini berada di hadapannya. "Kau tahu Yoongi, tak ada salahnya kau menyukai permen-permen itu. Tetapi jangan terlalu banyak, karena kau akan bertambah manis jika terlalu banyak memakannya. Selamat tinggal."

Jimin melangkah pergi, meninggalkan seseorang yang tengah merona di sana.

.

.

Glow and Peach

.

.

Jimin masih ingat ia segera mencari informasi tentang Yoongi setelah bertemu dengan pemuda Slytherin itu di hutan terlarang. Tentu saja ia dengan mudah mendapatkannya, Yoongi memang salah satu dalam jajaran siswa introvert di Hogwarts, namun darah Veela yang mengalir dalam dirinya membuatnya terkenal. Ia tahu kapan Yoongi dilahirkan, ia tahu apa saja kegiatan Yoongi, ia hafal jadwal Yoongi, hingga ia tahu kebiasaan-kebiasaan Yoongi lainnya, ia tahu jika Yoongi begitu menyukai—mencintai—permen-pemen mungil dari Honeydukes. Ia bahkan pernah melihat Yoongi tersenyum sangat manis, hanya karena permen stroberi yang dimakannya. Membuat Jimin semakin terpesona pada pemuda manis itu.

Bukan sekali dua kali Jimin mencoba mendekati pemuda bermarga Min itu dalam wujud manusia. Namun, seberapa kerasnya Jimin mendekatinya, ia tak pernah berhasil. Taehyung selalu berada di sekitar Yoongi, diam-diam mengawasinya, tak segan untuk mengayunkan tongkat untuk merapalkan mantera paling menyebalkan, Kutukan Kepak Kelelawar misalnya.

Yoongi itu begitu dingin, begitu tertutup. Ia memiliki pesona seorang Veela, sudah banyak pemuda ataupun gadis yang terjatuh pada pesonanya, namun Yoongi bak kura-kura yang akan memilih bersembunyi di dalam cangkang. Daripada keluar untuk sekedar mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya.

Pernah suatu hari, Jimin secara terang-terangan mendekati Yoongi, namun yang ia dapatkan Yoongi yang mengacuhkannya, dan berakhir dengan dua gigi depannya yang terus memanjang berkat mantera Desaugeo yang dirapalkan Yoongi. Menyebabkan ia harus rela mengunjungi Madam Pomfrey untuk mengembalikan giginya. Sementara Yoongi mendapatkan detensi dan pengurangan dua puluh poin dari Slytherin.

Namun, Jimin memang tak pernah menyerah. Ia tak peduli jika hampir seluruh Hogwarts membicarakannya, ia akan terus berada di sekitar Yoongi. Meskipun, ia akan sering berkunjung ke rumah sakit untuk mengembalikan bentuk tubuhnya, atau untuk menghentikan muntah siputnya.

"Mengapa Hyung begitu terobsesi pada Yoongi sih?" tanya Jungkook padanya dalam bahasa Korea, sembari memasukkan bulatan besar roti saat sarapan pagi di Aula Besar. Terkadang berbicara bahasa ibu, memang lebih menyenangkan. Tak ada yang mengerti apa yang kau bicarakan meskipun kau membicarakan teman di sebelahmu keras-keras.

"Aku menyukainya." Jawab Jimin tanpa jeda, sembari menatap Yoongi yang berjarak beberapa meja darinya, tengah memakan sandwich sembari membuka sebuah buku tebal di hadapannya. Kacamata bundarnya membuat sosok Yoongi menjadi semakin rupawan.

"Tetapi dia tak menyukai Hyung."

"Biarkan saja, yang penting aku menyukainya." Jimin melambai pada Yoongi kemudian mengedipkan sebelah matanya pada pemuda itu ketika Yoongi tanpa sengaja balas menatapnya. Namun, tentu saja kembali diabaikan oleh pemuda manis itu.

"Menyerah saja, Hyung."

"Veela sepertinya tak mau dengan makhluk jadi-jadian seperti Hyung."

"Kau pikir Veela bukan makhluk jadi-jadian?!" dengus Jimin tanpa sengaja mengeraskan suaranya, menyebabkan suasana seketika hening. Yoongi menatap tajam ke arahnya. "Yoon, maksudku tidak—" dan beberapa detik kemudian, Jungkook harus menghentikan api yang membakar jubah Jimin. Ingatkan Jimin jika Yoongi adalah seorang Veela, yang akan melemparkan bola api ketika marah.

.

.

Jimin terkekeh—mengakibatkan degukan dari dalam tenggorokannya—ketika mengingat usahanya untuk mendekati Yoongi. Kini ia kembali menjadi falcon yang setia berada di samping Yoongi. Udara sedang sangat dingin, tetapi Yoongi memilih duduk di tepi danau di tengah Forbidden Forest.

"Kau mau?" tanya Yoongi mengalihkan atensi Jimin, yang sedang menggesekkan paruh pada sayapnya. Ia menelengkan kepalanya, mengerjap pelan ketika melihat bulatan mungil bertabur gula di atas tangan Yoongi. Terkadang Yoongi ini aneh. Bagaimana bisa ia menawari seekor burung untuk memakan permen? Yang benar saja. "Ah, kau tak bisa makan permen, ya? Ya sudah, aku saja yang makan." Permen itu segera menghilang, masuk ke dalam mulut Yoongi. Astaga, bagaimana Jimin tak semakin terpesona pada Yoongi, jika Yoongi tersenyum begitu indah hanya karena sebuah permen?

"Aku membawa ini." kemudian Yoongi membuka kemasan kacang segala rasa, menyodorkan beberapa pada Jimin yang segera dipatuknya. Ewh, rasa kotoran telinga! Terberkatilah Jimin hari itu. "Kau tahu." Jimin kembali mengalihkan atensinya pada Yoongi, ia tahu jika Yoongi mulai akan bercerita tentang harinya.

"Park Jimin membelikanku permen-permen ini." Yoongi mengerucutkan bibir mungilnya. "Pemuda itu anak Gryffindor, aku tak tahu darimana ia mengenalku. Karena Park Jimin begitu terkenal. Ia begitu keren sebenarnya. Ia terus mendekatiku, sejak dulu. Aku tidak tahu mengapa ia melakukannya dan itu mengganggu, kau tahu?" Sejenak Jimin merasa kehilangan harapan, sebelum kemudian Yoongi kembali melanjutkan ucapannya. "Tetapi sebenarnya aku tak membencinya." Yoongi menepuk puncak kepala falcon Jimin kemudian tersenyum lembut. "Tetapi aku takut."

Jimin terdiam, apa yang Yoongi takutkan? Apa yang ia pikirkan tentang Jimin? "Aku takut, ia sama seperti yang lainnya." Jimin bergeming, tak melewatkan tatap nanar yang tersirat dalam netra Yoongi. Hening menyergap mereka, pun Yoongi tampak tak berniat melanjutkan ucapannya, hingga lonceng berbunyi. "Aku harus pergi, sampai bertemu. Itupun jika kau masih berada di sini esok hari."

.

.

Glow and Peach

.

.

Akhir pekan di bulan September yang nyaris beku sama sekali bukan halangan untuk para siswa berbondong-bondong menuju lapangan Quiddicth untuk menyaksikan pertandingan pembuka turnamen antara Gryffindor melawan Slytherin. Beberapa dari mereka membawa poster dukungan untuk tim asrama masing-masing. Poster yang bergambar para anggota tim yang mereka kagumi atau dengan tulisan nama pemain yang berkelap kelip penuh warna. Sebenarnya, nama Jimin dan Taehyung mendominasi tulisan-tulisan di poster yang mereka bawa.

Jimin membenarkan kerah seragam Quidditch-nya yang sedikit berkerut, kemudian menghela napas sembari mencengkram erat gagang Nimbus 2701 miliknya. Ini adalah hari dimana Turnamen Quiddicth akan segera dimulai. Juga hari dimana merupakan sebuah penentuan langkahnya mendekati Min Yoongi karena taruhan konyolnya bersama Taehyung di Menara Ramalan. Pilihannya hanya dua, maju mendekati Yoongi jika ia berhasil menangkap golden snitch terlebih dahulu atau menghilang dari pandangan Yoongi jika ia gagal. Dan ia tak mau memilih opsi kedua.

"Santai Jimin-ah, kau pasti bisa mengalahkan Kim Taehyung. Fighting!" Ia mencoba mensugesti dirinya sendiri, kemudian beranjak dari depan lokernya untuk berkumpul dengan anggota tim lainnya sebelum bersiap masuk lapangan.

"Guys, ingat baik-baik apa yang sudah kita lakukan saat latihan. Fokus pada pertandingan, abaikan para Slytherin dan menangkan pertandingan pembuka hari ini!" Minho berujar dengan nada berapi-api kepada seluruh anggota tim yang ia pimpin, mereka meneriakkan slogan Gryffindor dengan lantang, kemudian berbaris rapi di depan pintu menuju lapangan. Mereka berdiri bersisian dengan para anggota Quidditch dari Slytherin, saling melempar tatapan tajam yang bahkan mampu melubangi jubah masing-masing. Hanya Song Minho dan Jung Daehyun yang berdiri tenang di depan para anggotanya tanpa melemparkan tatapan tajam satu sama lain. Mereka benar-benar sabar untuk menunggu peluit aba-aba yang akan ditiup oleh Madam Hooch sebagai tanda mulainya pertandingan.

"Siap untuk kalah dan menyerah mengejar Min Yoongi, Park?" Jimin mendengus ketika mendengar kalimat penuh provokasi dari Taehyung di tengah gemuruh suara para murid yang mendukung asrama masing-masing.

"Seharusnya aku yang bertanya, Kim. Siap memberi restu untuk mendekati Yoongi hyung-mu?"

Jimin mendengar Taehyung menggeram pelan, mungkin saja ia akan memukul Jimin dengan gagang sapu Firebolt seri terbarunya jika peluit Madam Hooch belum berbunyi dan pertandingan akan mulai.

Masing-masing anggota tim dari kedua asrama berjalan tegak dengan dagu terangkat untuk memasuki lapangan, mendengarkan arahan singkat dari Madam Hooch mengenai fair play dan bersiap di atas sapu terbang masing-masing ketika Profesor McGonnagal membuka secara resmi pertandingan Quidditch hari ini.

"Fokus pada golden snitch-mu Jim, jangan kepada Yoongi." Minho terkekeh dengan sedikit nada menggoda pada akhir kalimatnya, sebelum menjejakkan kakinya dan membuat dirinya terbang dengan stabil di atas Twigger M90 miliknya. Jimin mendengus pelan menanggapi kalimat Minho, ia memejamkan mata sejenak sembari menggenggam erat kalung keluarga yang ia pakai dan mulai terbang dengan Nimbus 2701 miliknya. Kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum memulai pertandingan.

Ketika peluit ditiup, dan semua bola dilepas dari dalam peti, mereka terbang dengan cepat mengisi posisi masing-masing sesuai dengan stategi yang telah di susun. Minho sudah siap dengan quaffle di tangannya sebagai awalan yang baik, mengopernya kepada Jaehyun yang terbang dengan stabil menghindari bludger yang di arahkan oleh Mingyu kepadanya. Jimin juga langsung melesat cepat mengikuti golden snitch, mengabaikan Taehyung yang mengejar di belakangnya dengan kecepatan penuh. Berusaha sekuat mungkin untuk memenangkan pertandingan perdana hari ini. Bagaimanapun juga, nasib asrama dan percintaannya dipertaruhkan hari ini. Dan Jimin tak ingin gagal.

Jimin terbang tinggi, melakukan sebuah salto di udara guna menghindari hantaman bludger yang diarahkan padanya oleh beater Slytherin. Melayang beberapa meter di atas pemain lainnya, sementara netranya mengedar di seluruh lapangan. Taehyung berada tak jauh darinya. Jimin terkekeh, ketika melihat Taehyung berkali-kali nyaris terjungkal akibat bludger yang dipukul oleh beater timnya. Berkali-kali ia harus saling menabrak dengan Taehyung, berkali-kali pula Taehyung memotong jalannya sehingga ia kembali kehilangan bola emas mungil bernilai dua ratus poin itu.

Jimin menahan diri untuk tak bersorak ketika timnya kembali mencetak skor karena quaffle yang dilemparkan Alicia ke dalam ring. "Dude, segera temukan snitchnya." ujar Minho yang baru saja terbang melewatinya. Jimin mendengus jengah. Memangnya dia kira Jimin sedang bersantai di atas sini? Ia tentu tidak lupa akan tugasnya.

Beberapa siswi memekik ketika Taehyung hampir saja terjatuh dari sapu terbangnya saat Seungcheol memukul bludger ke arahnya. Taehyung berhasil kembali ke atas sapunya dan terbang dengan stabil untuk mengejar Jimin. Mereka berdua kemudian terbang rendah, saling mengejar di bawah celah bangku penonton. Bahu mereka kadang terbentur kayu, atau terbentur satu sama lain diiringi dengan sumpah serapah dari mulut mereka.

Mereka terbang ke bagian bawah tribun dengan cepat. Menukik, melesat, menghindari beberapa kayu yang melintang di sana. Jimin yang pertama kali keluar dari celah sempit bagian bawah tribun penonton, kemudian terbang setinggi hampir enam ratus meter di atas tanah sembari mengulurkan tangan kanannya dan menjaga keseimbangannya dari angin musim gugur yang menampar wajahnya sampai kebas.

Golden snitch hampir saja ia raih, tapi Taehyung dengan kurang ajarnya menabrak bahu kanannya dan menyebabkannya kehilangan jejak golden snitch serta bonus limbung dari atas sapunya. Ia kemudian mengendalikan sapunya untuk menukik lebih rendah mengikuti Taehyung yang sedang mengejar golden snitch. Jubah hijau Taehyung berkibar mengikuti angin, beberapa kali pemuda Slytherin itu menghindari bludger yang diarahkan oleh para beater Gryffindor.

Bunyi peluit tanda tambahan sepuluh poin dengan imbuhan nama Gryffindor terdengar samar di pendengaran Jimin yang masih fokus mengejar snitch. Tribun Gryffindor yang dilewatinya bersorak heboh, ia bahkan mendengar Jungkook yang berteriak memberinya semangat tapi tangannya memegang dua poster yang berisi namanya dan Taehyung. Remaja labil.

Jimin mempercepat laju sapunya, menabrak Taehyung sekali lagi dan golden snitch sebentar lagi pasti berada dalam genggamannya. Ia melihat Seungcheol berusaha mengejar bludger yang kini bergerak menuju tribun, tapi pemuda yang berada satu tingkat dengan Jimin harus jatuh dari atas sapunya dan mengerang kesakitan di atas tanah lapangan.

Jimin kembali menjalankan sapunya, memutari lapangan, ketika sebuah bludger berdesing di sampingnya. "Sorry, Jimin." Jimin mengangguk pada Hoseok, salah satu Beater Gryffindor yang dikenal sebagai beater terkuat Hogwarts menggantikan Seungcheol mengejar bludger yang lagi-lagi mengarah ke penonton. Jimin hendak kembali ke atas, ketika sebuah derakan disusul pekikan histeris berasal dari arah penonton. "Jimin!" teriak Hoseok. "Bludger itu disihir." Hoseok berada di sampingnya kini, nafasnya terengah.

"Apa?"

"Dan bludger itu selalu mengarah kepada Min Yoongi." tepat setelah Hoseok mengatakannya, Jimin mendengar pekikan Alicia di bawah sana. Ia melihatnya, sang bludger melaju dengan cepat ke arah—

"Min Yoongi, awas!"

.

.

T.B.C?

.

.

a/n : Collab kedua di FFN…. Finally setelah sekian lama, akhirnya kami collab lagi, heuheu.. ^^/ Sudah pengen banget buat Harry Potter dari kapan hari, semoga ini tidak mengecewakan.

For You MinGa Shipper and Potterheads ^^/

ps : Seharusnya ini hanya jadi oneshoot, tetapi sepertinya kami terlalu menikmati bernostalgia dengan segala sesuatu tentang Hogwarts, Sihir, Harry Potter dan lainnya. Semoga tidak membosankan. ^^/

.

.

The Last,

Mind To Review? ^^/

Regards,

Glowrie and peachpeach