Nerd in Disguise

By: the autumn evening

Pairing: Sasuke/Sakura

Rating: T

Disclaimer: I do not own Naruto, but the story is mine

Warning: SasuSaku. High School-AU. Setting di Amerika. Typos. OOC. Two-Shots.

.

.

.

"Hey, kau menjatuhkan ini," panggil Sakura, mengambil selembar kertas dari lantai, namun Sasuke Uchiha tidak mendengarnya. Sasuke menutup pintu lokernya dan melangkah pergi. Dia meninju main- main pundak Juugo, dan mengangguk atau memberi salam dengan kepalan tinju saling bertemu dengan teman tim basketnya sebelum menghilang di kerumunan.

Sakura mengikuti di belakang, merasa tidak begitu penting karena tidak ada yang menyapanya. Ino absen sakit hari ini, dan dia adalah satu- satunya lingkaran sosial Sakura di sekolah. Sakura hanya siswa biasa yang mencoba menarik ransel berat dari satu kelas ke kelas lainnya. Tidak ada yang melihatnya dua kali. Sasuke yang selalu terlihat tergangu dengan semua orang di sekitarnya, bahkan masih memiliki lebih banyak teman daripada Sakura. Kehidupan SMA tidak berjalan seperti yang dia harapkan.

Setelah berhasil melewati luapan siswa, Sakura mencermati selembar kertas di tangannya—mungkin itu hanyalah sampah dan dia tidak perlu mengembalikannya. Butuh beberapa detik untuk memahami apa isi coretan itu.

Itu adalah coretan rumus- rumus matematika. Matematika tingkat lanjutan. Dan Sasuke menyelesaikan soal itu dengan cara yang Sakura tahu tidak diajarkan di kelas matematika SMA.

Saat dia melihat lebih cermat, kertas itu tidak terlihat seperti PR yang harus Sasuke kerjakan. Kedua sisi kertas terisi penuh dari atas ke bawah dengan rumus matematika. Gambar bola, ikan hiu bergigi tajam dan gambar seorang gadis dari arah belakang menyela di antara angka. Nama Sasuke tertulis dengan model huruf gotik. Ini adalah kertas coretan Sasuke saat bosan.

Sasuke mengerjakan soal matematika saat dia sedang bosan.

Sakura melipat kertas itu dan memasukannya ke saku lalu berjalan menuju kelas belajar mandiri, satu- satunya kelas yang dia ikuti bersama Sasuke. Sasuke adalah seorang senior, dan bintang basket. Satu- satunya alasan kenapa Sakura pernah berhubungan dengan Sasuke adalah karena mereka memiliki kelas belajar mandiri di waktu yang sama. Mereka tidak pernah mengobrol, karena Sasuke biasanya menatapnya seperti dia lebih memilih meremas Sakura di genggaman tangannya seperti serangga. Namun di kelas ini, Sasuke selalu duduk di kursi yang terletak persis di belakang Sakura entah untuk alasan apa. Mungkin agar lebih mudah membayangkan untuk mematahkan lehernya.

Di sanalah Sasuke duduk sekarang, memutar pensil di meja dengan wajah merengut. Dia mendongak saat Sakura memasuki ruangan, seperti selalu. Biasanya Sasuke segera memalingkan wajah, seperti Sakura tidak cukup berharga untuk dia tatap lebih dari dua detik. Namun biasanya Sakura tidak melambaikan tangan ke arahnya. Dan hari ini Sakura melambaikan tangan.

Mata Sasuke melebar untuk beberapa detik, seperti dia tidak percaya anak tingkat satu seperti Sakura berani menyapanya. Sakura mendudukan diri di kursi biasa, punggungnya menghadap Sasuke. Dia bersumpah dia merasakan tatapan mata Sasuke di belakang kepalanya sepanjang jam belajar namun dia tidak menoleh.

Sakura membuka buku catatan dan mulai mengerjakan tugas.

.

.

.

"Lihat ini," kata Sakura pada Shikamaru saat dia berjalan ke kelas Mr. Kakashi setelah bel pulang sekolah. Dia menunjukan kertas Sasuke di wajah pemuda jenius itu.

Shikamaru mengambil kertas itu dengan malas, meluruskannya di atas meja, dia membacanya beberapa menit.

"Hmm," gumamnya, "tidak buruk." komentarnya sambil membuat beberapa koreksi.

Sakura sudah menunggu seharian penuh untuk mengatakan hal ini, "Itu punya Sasuke Uchiha."

Shikamaru mendongak menatapnya, alisnya mengangkat kaget. "Sasuke Uchiha? Kapten basket?"

"Iya," jawab Sakura bangga, dia kembali meraih kertas itu dan membaliknya, menunjukan nama Sasuke Uchiha yang tertulis di sana. "Ternyata dia tidak cuma berotot dan pandai berolahraga. Kita harus mengajaknya bergabung ke tim."

"Dia tidak akan mau," ujar Shikamaru malas, menghempaskan mimpi Sakura tanpa merasa bersalah. Dia mengembalikan kertas itu, seperti dia tidak lagi tertarik dengan angka- angka di sana setelah tahu siapa pemiliknya.

"Mungkin saja," Sakura bersikukuh, walau Shikamaru mungkin saja benar, "perlu di coba."

"Coba saja kalau begitu," kata Shikamaru, kembali meletakan kepala nanasnya di atas meja, mengusir Sakura secara halus.

"Oke." Sakura mendengus. Dia mengambil kertas itu dan memasukannya ke ransel saat anggota klub sains mulai memenuhi ruangan.

.

.

.

Sakura berencana untuk bicara pada Sasuke hari berikutnya di kelas belajar mandiri sebelum bel berbunyi. Namun terlalu banyak orang. Selain itu, saat dia memasuki ruangan Sasuke menatapnya tajam, membuat Sakura takut. Namun Sakura memberanikan diri untuk kembali melambai pada Sasuke sebelum duduk. Karena Sasuke duduk tepat di belakangnya, Sakura menahan diri untuk tidak membenturkan kepala ke meja. Mungkin Sakura harus menunggu sampai hari Senin dan berdoa agar dia bisa melakukannya.

Sakura sedikit terlambat keluar gedung sekolah karena dia lupa membawa PR bahasa spanyolnya dan harus kembali ke loker. dia mungkin akan ketinggalan bus. Saat sampai di halaman, dia melihat Sasuke di tengah hiruk pikuk siswa. Rambut hitamnya mencuat di bagian belakang Sasuke tengah menghindari sekumpulan cheerleaders dan melangkah menuju mobilnya. Semua orang tahu mobil Sasuke. Dia mengendarainya ke sekolah setiap hari. Mobil berwarna gelap, mahal dan mengintimidasi, sama seperti pemiliknya.

Sakura ragu selama beberapa saat. Jika dia berhenti untuk bicara pada Sasuke, dia jelas akan ketinggalan bus dan harus berjalan menuju kantor ayah dan menunggu agar dapat pulang bersama. Itu bukan pilihan yang terlalu buruk. Lagipula ayah selalu pulang awal pada hari Jumat, jadi mereka bisa makan bersama lebih dulu sebelum Sakura menjenguk Ino.

Baiklah. Sakura membenarkan letak ransel yang beratnya mungkin lebih dari berat badannya sendiri lalu setengah berlari mendekati Sasuke. Dia baru sampai di tengah tempat parkir saat Sasuke membuka pintu mobilnya.

Sial.

"Sasuke!" teriak Sakura.

Sasuke menoleh. Saat dia melihat siapa yang meneriakan namanya dari sisi lain lapangan parkir, wajahnya terperangah. Tidak seperti ekspresi wajahnya yang biasa, dia terlihat kaget namun senang melihat Sakura, atau terhibur. Entah untuk alasan apa, Sasuke menunggunya. Dia berdiri di sebelah mobil dengan satu tangan menyandar di pintu yang terbuka. Sakura memelankan langkah dan mengatur nafas.

"Hai," kata Sakura saat dia sudah cukup dekat.

"Hai," jawab Sasuke. Suaranya tidak menggeram seperti bayangan Sakura. Sasuke menatap bus sekolah yang sudah meninggalkan gerbang, lalu menatap Sakura, alisnya terangkat. "Kau butuh tumpangan?"

"Um," gumam Sakura, perlahan dia mencerna fakta bahwa Sasuke Uchiha tengah menawarkan tumpangan di mobil mewahnya. Hal ini mungkin tidak akan terjadi lagi. "Iya!" Sakura mengangguk semangat.

.

.

.

Mobil Sasuke bersih tanpa noda, dan wangi parfum. "Kau tinggal di mana?" tanya Sasuke saat mobilnya menderu hidup.

"Palm Ave nomor dua-lima," jawab Sakura, "dekat pusat komunitas." Sasuke mengangguk. Saat dia keluar dari area sekolah, dia menuju arah yang tepat. Maka Sakura menyimpulkan kalau Sasuke tahu jalannya.

"Aku Sakura," dia mengenalkan diri, sedikit terlambat setelah menyadari Sasuke mungkin tidak tahu namanya. Guru tidak mengabsen murid di kelas belajar mandiri.

"Aku tahu," kata Sasuke, dengan nada yang mengatakan, jelas saja aku tahu, bodoh.

"Well, aku tidak tahu kalau kau tahu," ujar Sakura dengan nada kesal. Dalam hati dia merasa senang karena Sasuke tahu namanya.

Sasuke menghela nafas dan menatap Sakura seperti dia ingin membuka pintu dan mendorong Sakura keluar dari mobilnya. Sakura menatap ke luar jendela dengan kedua lengan memeluk ransel di pangkuannya. Ini tidak berjalan lancar, mungkin dia lebih baik melupakannya saja.

"Kau ketinggalan bus?" tanya Sasuke setelah beberapa lama, saat keheningan mencapai level menggelikan. Mereka tengah menunggu lampu merah terlama di dunia.

"Um, tidak," Sakura mengaku, memainkan tutup botol di pinggir tasnya. "Aku ingin bicara padamu, makanya aku memanggilmu." Dia melirik Sasuke, yang tengah menatapnya dengan sebelah alis mengangkat, seperti mengatakan, kalau begitu katakan.

"Oke," Sakura memulai, saat lampu berubah hijau. Dia harusnya menyusun apa yang ingin ia katakan lebih dulu. "Aku tahu kau populer," dia kembali melirik Sasuke. Pemuda itu tidak memberikan reaksi apapun saat Sakura menyebutnya populer. Mungkin dia sudah tahu akan itu.

"Maksudku, aku tahu kalau kau mungkin sangat sibuk dengan basket dan semua temanmu. Tapi kalau kau punya waktu senggang, yap, kita sampai," kata Sakura menunjuk kepada rumah dua lantai berwarna biru pastel dan putih.

Sasuke memarkir mobilnya di halaman. Dia terlihat sangat terhibur dengan monolog Sakura. Ujung bibirnya hampir membentuk sebuah lengkungan.

Sakura melihat tangan Sasuke meraih kunci seperti dia akan mematikan mobil, saat Sakura menunjukan selembar kertas miliknya. "Aku ingin mengatakan bahwa kau menjatuhkan ini kemarin. Aku melihat isinya... kau sepertinya suka matematika. Bagaimana kalau ikut klub sains?"

Tangan Sasuke tidak jadi meraih kunci untuk mematikan mobil. Lengkungan tipis di bibirnya menghilang. Dia mengambil kertas dari tangan Sakura dan membukanya.

Dia tidak terlihat senang.

"Jadi kau ingin aku ikut klub sains," ulang Sasuke datar. Dan Ya Tuhan, dia menatap tajam kertas itu. Sangat tajam. Sakura merasa Sasuke berencana melubangi kertas itu dengan tatapannya.

Sakura seketika mengubah pandangannya bahwa Sasuke selalu terlihat marah. Karena ternyata ekspresi marah Sasuke yang biasa adalah ekspresi netralnya. Dan ekspresi yang dia tunjukan sekarang adalah ekspresi marah Sasuke yang sesungguhnya.

"Iya," kata Sakura, dengan sedikit kepercayaan diri yang tersisa. "Kau sangat pandai. Walau belum sempurna, karena Shikamaru mengoreksi beberapa bagian kemarin." Sakura meneruskan, tatapan Sasuke semakin tajam. "Tapi tahun lalu klub sains sekolah kita bisa sampai ke tingkat regional. Aku sungguh-sungguh ingin sampai ke kejuaraan regional juga. Mungkin sampai tingkat nasional. Kau mungkin bisa membantu kami."

Sasuke menatapnya, kemarahan di matanya sedikit mereda walau Sakura tidak tahu dengan pasti apa yang berubah. Bibirnya mungkin, atau matanya. Apapun itu, cukup membuat Sakura merasa mungkin dia masih memiliki kesempatan.

Sakura mendekapkan kedua tangannya di bawah dagu dan membujuk, "Pleeeease?"

Sasuke mendengus yang terdengar seperti tawa yang menyumbat di tenggorokan. "Aku pikirkan dulu," jawabnya. Dia melipat kertas itu dan memasukannya ke kantong jaket.

"Baiklah," kata Sakura, memilih berharap. Setidaknya Sasuke tidak langsung menolaknya. "Sampai jumpa besok." Sasuke tidak mengatakan apapun. "Di kelas belajar mandiri," Sakura menambahkan. Sasuke masih tidak mengatakan apapun. "Bye!" Sakura keluar dari mobil sebelum Sasuke mengusirnya.

Sakura berlari menuju undakan dan membuka pintu, bertanya-tanya apakah tadi sungguh terjadi. Dia mendengar mobil Sasuke perlahan menjauh setelah dia masuk dan mengunci pintu.

.

.

.

Malam itu keadaan Ino sudah membaik, namun ibunya—yang juga adalah seorang perawat—meminta untuk tetap istirahat di tempat tidur. Maka Sakura meraih laptop di atas meja belajar Ino dan membuka netflix. Mereka menonton film kesukaan Ino—The Proposal—sambil Sakura menceritakan tentang Sasuke Uchiha. Memikirkan apakah dia memutuskan untuk ikut klub sains atau tidak.

"Apa dia sepintar itu?" tanya Ino, matanya tidak berpaling dari Ryan Reynolds yang tengah membantu Sandra Bullock menuruni tangga dengan memegangi bokongnya.

"Hand of ass, off ass."

Ino terkekeh, "Tidak pernah bosan nonton ini." gumamnya.

Sakura mengangguk setuju sebelum meneruskan, "Dia mengambil kembali kertasnya. Kalau tidak aku pasti akan tunjukan padamu. Dan dia melakukan itu hanya untuk mengisi waktu. Itu bahkan bukan tugasnya. Orang sepertinya cocok menjadi anggota klub sains."

"Iya tapi dia bisa dibilang nakal," komentar Sakura. "Dia dan Suigetsu hampir melemparkan tasmu ke kolam waktu itu."

"Aku tidak tahu itu," gumam Sakura. Dia terlalu panik membayangkan apa yang akan terjadi jika tasnya masuk ke dalam kolam dan semua buku tugas, dan ponselnya rusak. Waktu itu adalah minggu pertama masuk sekolah, awal yang mengerikan.

Sekumpulan grup populer memojokan Sakura di ruang loker lalu menggiringnya ke arah kolam. Detik selanjutnya Suigetsu mengambil tasnya dan membawanya ke tepi kolam. Sakura berlari mengejar Suigetsu yang kemudian melemparkan tasnya pada orang lain sebelum Sakura dapat mengambilnya. Membuat gadis merah muda itu jatuh menelungkup di lantai basah dengan perasaan marah dan malu.

"Sasuke ada di sana," kata Ino, hidungnya mengerut. Ino tahu karena dia datang dari ruang loker bersama dengan Mr. Yamato yang berteriak di belakangnya. "Kau tidak ingat? Dia yang memegang tasmu. Kau hampir mendorongnya ke kolam setelah dia menyerahkannya padamu."

Jadi Sasuke adalah yang mendapatkan lemparan tasnya. Mungkin ada baiknya Sakura tidak tahu, karena dia tidak akan meminta Sasuke bergabung dengan klub sains kalau saja dia tahu. Pantas Sasuke selalu melihatnya seperti dia tengah memikirkan cara untuk membunuhnya.

Namun Sakura memutuskan untuk mengabaikannya. Sasuke baik kepadanya hari ini, dia bahkan menawarkan untuk mengantarnya pulang. Walau hampir menguliti wajah Sakura dengan matanya pada akhirnya, dia cukup ramah. Setidaknya dapat ditoleransi.

"Dia baik- baik saja padaku hari ini," kata Sakura.

"Aku tidak suka dia," kata Ino, mengambil Kit Kat di meja. "Apa dia cukup berharga untuk direkrut?"

Sakura tidak tahu apa dia bisa menjawabnya, namun dia memutuskan untuk tetap mengajak Sasuke bergabung. Dia bahkan sudah menyusun rencana. Walaumungkin akan menyesalinya nanti, tapi semua ini demi maju ke tingkat regional.

Saat Sakura sampai di rumah, dia mengeluarkan buku sekolahnya. Walau itu adalah Jumat malam dan mengerjakan PR pada Jumat malam terasa salah. Namun Sasuke mengerjakan soal matematika di waktu luangnya, yang artinya Sasuke suka matematika. Sakura mulai menyortir worksheets berisi kumpulan soal matematika yang ia dapatkan dari Mr. Kakashi, mencari mana soal yang mungkin Sasuke suka.

Saat Sakura memasuki ruang kelas hari Selasa, Sasuke sudah ada di sana. Dia duduk santai dengan jemarinya memutar pensil dengan ahli. Dia memakai jaket kulit hitam hari ini. Penampilannya persis seperti tipikal pacar pembuat masalah yang ada di mimpi buruk setiap orangtua. Sakura mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia sama sekali tidak tertarik. Badboy bukan tipenya.

"Ini," Sakura menyerahkan beberapa lembar soal latihan di meja Sasuke. Sasuke menerimanya dan duduk lebih tegap, bibirnya merengut. Saat dia melihat isi kertas itu, dia menatap Sakura dengan alis terangkat. "Aku pikir kau akan menyukainya." Sakura mengangkat bahu, dan mendudukan diri menghadap depan.

Beberapa menit kemudian dia mendengar suara pensil Sasuke bergerak di atas kertas, tidak pernah berhenti sampai bel berbunyi.

.

.

.

Sasuke menunggu Sakura setelah pulang sekolah. Itu cukup mengagetkan karena Sakura baru keluar setelah dua jam ekstrakurikuler. Dia tidak bisa percaya Sasuke menunggunya selama itu.

"Hai," sapa Sakura, dia tidak tahu apa yang akan Sasuke lakukan.

"Hai," jawab Sasuke. Wajahnya masih terlihat tidak nyaman, namun tidak semenakutkan saat mereka ada di dalam mobil kemarin. Sakura merasa dia belum perlu berteriak bahwa ayahnya adalah pemegang sabuk hitam Taekwondo. "Butuh tumpangan?"

Sebenarnya ada bus yang khusus mengantar siswa setelah aktifitas klub dan ekstrakurikuler, namun Sakura tidak akan menolak tawaran Sasuke. "Tentu," dia mengangguk dan mengikuti Sasuke menuju mobil.

Interior mobil Sasuke sudah terasa familiar, dan Sakura tidak segugup sebelumnya. Walau sekarang dia tahu Sasuke pernah membulinya. Sakura memutuskan untuk melupakan masa lalu demi kesempatan pergi ke regional.

Saat Sakura memasang sabuk pengaman, perutnya berbunyi, sangat keras.

Sasuke menatapnya sambil menyalakan mobil. "Kau lapar?" tanyanya, "kita bisa—"

"Ya, sangat," Sakura sudah setengah jalan membuka tasnya dan mengambil muffin blueberry yang ada di sana. Dia menggigit besar kue lezat itu dan baru mengingat seharusnya dia menawari Sasuke lebih dulu. Muffin itu lezat dan teksturnya moist, walau bentuknya sudah tidak karuan karena tertimpa buku sekolahnya. Remahannya jatuh ke sela kursi mobil.
"Ups," kata Sakura menatap kekacauan yang ia buat. Dia menaikan bagian yang belum digigit pada Sasuke, "Kau mau?"

"Tidak," kata Sasuke, rahangnya mengeras.

"Kau yakin?" tanya Sakura kembali mengigit, "ini sangat enak." Gumamnya di sela kunyahan.

Hening. Sasuke memelototi muffin di tangannya dan remahan yang jatuh ke sela kursi dan lantai mobil.

Sakura menelan, berharap dia memiliki air minum, atau sianida. "Aku... tidak seharusnya makan di dalam mobilmu ya?" dia menyimpulkan.

"Hn," jawab Sasuke, melihat sebuah blueberry melompat dari pangkuan Sakura dan menggelinding ke kolong kursi belakang.

"Oh, maaf," kata Sakura menyuapkan sisa setengah muffinnya dan memasukan setengah lainnya ke dalam bungkus—menyebabkan lebih banyak remahan jatuh. Sasuke melihat kekacauan itu dengan pandangan horor. "Aku taruh ini di sini, barangkali kau mau." Sakura meletakan sisa muffin di dashboard. Melihat tatapan memicing Sasuke, dia meneruskan. "Atau tidak," lanjut Sakura lalu memasukan muffin itu ke dalam tasnya.

Saat Sasuke mulai menyalakan mobil dan keluar dari area parkir, sebuah mobil penuh cheerleaders dengan musik menggema terdengar dari jendela yang terbuka. Sasuke mengalihkan pandangan terganggunya pada mereka. Sakura merasa lega karena Sasuke cepat sekali terdistraksi dari kekacauan yang ia sebabkan.

Sasuke menggumam tentang pengendara ugal- ugalan. Membuat Sakura berpikir apa tujuan memiliki mobil sebagus ini jika tidak ugal-ugalan sesekali, namun dia tetap diam.

Sasuke hening di perjalanan menuju rumah Sakura, dan Sakura tidak bisa berhenti bergeming. Dia sangat penasaran apakah Sasuke suka soal latihan yang dia berikan dan apakah dia ingin bergabung dengan klub sains. Namun Sakura tidak ingin menekannya, jadi dia akan menunggu sampai Sasuke membahasnya.

"Apa kau suka soal latihannya?" tanya Sakura setelah dua blok berlalu. Dia sudah cukup menunggu.

"Iya," kata Sasuke. Meraka lagi- lagi berhenti di lampu merah terlama di dunia. Sasuke mengambil worksheets yang Sakura berikan tadi pagi dan menyerahkannya pada Sakura. "Aku tidak begitu yakin dengan jawaban nomer tiga di latihan satu."

Sakura membuka lembar latihan itu dengan penuh semangat. "Aku ada kunci jawaban di rumah," ujar Sakura, "kita bisa mengeceknya kalau kau mau."

Sasuke menatapnya lalu kembali pada jalan, "Ide bagus," jawabnya.

.

.

.

Sasuke hanya salah dua soal. Sakura senang luar biasa.

"Kau mau gabung kan?" Sakura bertanya sedikit mendesak. Dia sudah sangat penasaran. Mereka tengah duduk di meja dapur Sakura dengan tumpukan kertas latihan soal dan dua gelas berisi jus tomat. Sakura tidak tahan untuk meraih jaket Sasuke dan meneriakinya untuk segera mengiyakan ajakannya.

"Mungkin," Sasuke mengedikan bahu. Dia menatap Sakura, tidak yakin, "Tapi apa tidak terlalu telat?"

"Tidak sama sekali,"jawab Sakura, walau dia tidak begitu yakin tentang itu. Dia bahkan tidak membicarakan lebih dulu dengan Mr. Kakashi sebelum mengajak Sasuke bergabung. Menurutnya, meyakinkan Mr. Kakashi lebih mudah daripada Sasuke. Jadi dia memilih melakukan yang sulit lebih dulu. "Kami melakukan sesi latihan hari ini. Kau mau coba soalnya?"

"Boleh," Sasuke melepas jaketnya dan menerima pensil yang Sakura berikan.

Sakura mengeluarkan PR biologi dan mencoba mengerjakannya, namun dia terus menatap Sasuke. Pertama, suara pensil Sasuke yang hampir tanpa keraguan memikat perhatiannya. Lalu karena dia tidak pernah melihat Sasuke sedekat ini sebelumnya. Interaksi mereka selama ini adalah Sasuke berhadapan dengan belakang kepalanya.

Sakura baru menyadari, dari dekat Sasuke sangat tampan. Wajah cemberutnya yang biasa membuat ketampanannya tidak cukup Sakura apresiasi, namun sekarang dia terlihat rileks. Wajah konsentrasi Sasuke tidak begitu mengintimidasi. Sedekat ini, Sakura dapat melihat bulu mata panjang dan lentik Sasuke membingkai mata hitam pekatnya. Tulang rahangnya seperti pahatan pualam, dan otot bisepnya kekar memenuhi T-shirtnya. Ini seperti seseorang tanpa sengaja meninggalkan seorang model tampan dari sebuah pemotretan di dapur Sakura.

Sasuke melihat Sakura tengah menatapnya, membuat gadis merah muda itu memalingkan wajah dan pura- pura konsentrasi pada buku biologinya. Kalau sampai Sasuke menyadari bahwa Sakura tengah memperhatikan Sasuke, mungkin bukan hanya tasnya yang sungguh akan tenggelam di kolam renang, Sakura akan ikut tengelam bersamanya.

Sasuke menyelesaikan soal latihan dengan baik. Sakura menghujaninya dengan pujian berlebihan. Dia sebenarnya tidak perlu meyakinkan Sasuke lagi, karena pemuda itu sudah setuju untuk ikut Klub Sains. Tapi dia tidak akan bisa tenang sampai Sasuke duduk di ruangan Mr. Kakashi sepulang sekolah.

Selain itu, dia sungguh- sungguh terkesan. Cara Sasuke mengerjakan Matematika sangat menakjubkan. Sakura memberikan soal lain, kali ini sedikit susah. Sakura juga cukup kesulitan, mereka berdebat pada satu soal. Dan pada akhirnya Sasuke yang benar, membuat pria itu sangat sombong sampai Sakura melemparkan pensilnya pada wajah puas Sasuke.

Sasuke menangkapnya dan melemparnya balik. Pensil itu memantul dari dahi Sakura ke kulkas. Apa anggota Klub Sains segaduh ini?" tanya Sasuke, "aku tidak tahu apa aku bisa tahan."

"Huh, kau tidak tahu," Sakura menggeleng. Sasuke tidak tahu hal gila seperti apa yang terjadi di turnamen sains SMA. Sakura juga tidak tahu, karena dia belum pernah ikut, tapi dia cukup mendengar banyak cerita.

Ponsel Sasuke berbunyi, dia menyentuh layarnya. "Aku harus pergi," ujarnya, terdengar seperti dia tidak ingin. Sakura melihat jam di dinding dapur, hampir pukul tujuh petang. Ayahnya mungkin akan segera pulang, dan Sakura sama sekali belum memikirkan tentang makan malam. "Ketemu lagi hari Rabu," kata Sakura sambil mengantar Sasuke menuju pintu. "Di ruangan Mr. Kakashi."

Sasuke ragu, "Rabu aku ada basket," katanya membuat hati Sakura karam. Entah bagaimana dia bisa lupa bahwa latihan basket dan klub sains terjadi di hari yang sama. Itulah kenapa Sasuke masih di sekolah tadi sore. "Tapi aku sudah bicara pada Pelatih," lanjutnya, menggaruk belakang lehernya, matanya menatap daun pintu. "Dia bilang aku boleh absen latihan seminggu sekali dan masih boleh main." Dia menatap Sakura penuh harap.

Hati Sakura tidak jadi karam, hanya sedikit. Klub sains berkumpul tiga kali seminggu, tapi mungkin mereka bisa mengaturnya. "Aku akan coba bicara pada Mr. Kakashi," Sakura berjanji, "kita cari jalan keluarnya."

"Terimakasih," kata Sasuke. Dia melemparkan senyum tipisnya lagi, membuat dada Sakura melompat.

Ini akan jadi rumit.

.

.

.

Hari selanjutnya, Sakura memanfaatkan jam makan siangnya untuk berbicara pada Mr. Kakashi tentang kemungkinan untuk dapat maju ke tingkat regional—bahkan nasional jika Sasuke Uchiha berbaung! Begitulah yang akan Sakura katakan untuk membujuknya. Guru bermasker itu cukup antusias, sampai Sakura menyebutkan tentang masalah jadwal latihan. Sakura dapat melihat kesempatannya menipis, membuatnya terpaksa melepaskan harga diri dan memohon. Serta memberitahukan rencananya. Mr. Kakashi akhirnya mengizinkan.

"Kau boleh ikut latihan seminggu sekali setiap Senin," Sakura memberitahu Sasuke saat mereka ada di kelas belajar mandiri, menunggu bel berbunyi. Sasuke sudah sedang mengerjakan soal latihan dari Sakura. "Lalu setiap Rabu dan Kamis, kau dan aku bertemu setelah kau selesai latihan basket. Aku akan menunjukan apa yang klub bahas di pertemuan hari itu."

Sakura tidak yakin apakah Sasuke akan menyetujui rencananya. Karena ini berarti dua kali kegiatan setelah sekolah di hari Rabu dan Kamis. Sakura tidak keberatan karena dia hanya anak kelas satu yang tidak punya kehidupan di luar sekolah dan klub. Namun Sasuke mungkin memiliki banyak hal yang lebih baik untuk dilakukan.

Atau mungkin tidak. Karena Sasuke seketika mengatakan, "Kedengarannya bagus. Kita bertemu di mana?"

Sakura terlalu fokus memikirkan hal lain sampai tidak memikirkan bagian itu. "Di rumahku?" dia menyarankan.

"Aku tunggu setelah pulang latihan basket," kata Sasuke, menulis alamat Sakura di worksheet dengan tulisan gotiknya.

.

.

.

Sasuke menunggu Sakura pada hari Rabu, dan mereka mengerjakan matematika selama dua jam sebelum Sasuke pulang. Hari Kamis, ayah pulang saat Sasuke masih di sana. Dia terlihat kaget melihat seseorang yang bukan Ino duduk di dapur mereka. Ayah memperhatikan mereka yang tenggelam dalam soal Matematika beberapa saat, dan menanyakan pada Sasuke apakah dia ingin tinggal untuk makan malam. Setelah mengirim pesan singkat pada Ibunya, Sasuke tinggal untuk makan malam. Sakura dengan cekatan membuat Mac and Cheese ditambah potongan ham.

Rabu selanjutnya, Sasuke kembali tinggal untuk makan malam, membantu cuci piring dan mereka menonton pertandingan baseball di tv kabel—ayah dan Sasuke sama- sama penggemar baseball. Sakura juga suka menonton baseball, karena dia bisa main hp sambil menonton tanpa melewatkan jalannya permainan. Dia juga merasa terhubung dengan ayahnya.

Setelah itu, Sasuke selalu ikut makan malam di rumah Sakura setiap Rabu dan Kamis. Mereka biasanya hangout sebentar setelahnya, melakukan sesuatu yang tidak menguras otak mereka. Terkadang mereka menonton TV, atau main video games, terkadang hanya duduk di sofa sambil makan anggur dan mengobrol tentang banyak hal. Terkadang ayah dan Sasuke mengobrol tentang mobil dan tentang pengalamannya dulu mengalahkan kompetitor dalam pertandingan Taekwondo. Sakura rasa ayahnya hanya mencoba menakut- nakuti Sasuke agar tidak macam- macam pada anak gadisnya.

Suatu malam setelah Sasuke pulang, Ayah mengatakan bahwa dia senang karena Sakura memiliki teman baru, membuat Sakura merasa bersalah. Ayahnya tidak tahu bahwa di awal, Sakura hanya memanfaatkan otak cerdas Sasuke. Dan sekarang dia memanfaatkan wajah tampan Sasuke untuk berfantasi.

Sakura mungkin bukan anak yang baik.

.

.

.

Seorang siswa baru pindah ke sekolah mereka, namanya Sai. Ino jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Dan secepat itu, Ino memiliki kekasih. Sakura harus merelakan waktunya dengan Ino dan itu sedikit menyedihkan. Namun selama ini, Ino juga memberikan dia waktu untuk belajar bersama Sasuke, jadi Sakura tidak bisa mengeluh terlalu banyak. Dia juga cukup menyukai Sai, walau awalnya merinding setiap kali melihat senyum yang terlihat palsu di wajahnya. Sai juga pandai biologi dan seketika bergabung dengan tim sains.

Sai satu tahun lebih tua dari Ino dan Sakura. Jadi dia sudah boleh menyetir, membuat kehidupan sosial mereka terbuka. Kini mereka bisa pergi ke manapun mereka mau. Jika mereka sudah sampai di suatu tempat dan memutuskan bahwa di sana membosankan, mereka bisa pergi ke tempat lain. Sakura tidak peduli jika dia harus menjual ginjalnya, tahun depan, dia akan membeli mobil.

Mereka sering pergi main bowling dan menonton film dan mereka tidak perlu naik sepeda atau memohon orang tua mereka untuk mengantar atau naik bus. Terkadang Sakura adalah orang ketiga di grup mereka, namun terkadang Shikamaru ikut serta.

Semua ini membuat kehidupan sosial di sekolah juga berkembang. Sai dan Shikamaru mulai duduk di meja Sakura dan Ino, dan sisa klub sains memutuskan untuk bergabung. Sampai pada akhirnya mereka harus menggabungkan dua meja. Sakura tidak pernah memiliki teman sebanyak ini, dan tidak pernah duduk makan siang selain dengan Ino. Ini cukup menyenangkan, dia memiliki teman mengobrol saat Ino dan Sai sibuk bermesraan.

Sakura tidak akan mengakuinya, namun dia sedikit cemburu. Bukan tentang waktu yang Ino habiskan dengan Sai. Ino adalah sahabatnya, mereka tidak perlu menghabiskan setiap waktu luang bersama, jadi bukan tentang membagi Ino. Sakura cemburu karena orang yang Ino sukai juga menyukainya.

Orang yang Sakura suka adalah Sasuke, dan dia tahu itu hanya akan berakhir sebelah tangan. Semakin dia mengenal Sasuke, semakin dia menyukainya.

Jika saja Sasuke adalah orang brengsek, mungkin akan sedikit membantu Sakura. Namun dia bukan. Walau Sasuke sangat pelan dalam membuka diri. Namun perlahan lewat obrolan random mereka, Sakura mulai belajar banyak hal tentangnya.

Sasuke suka banyak saos tomat di pizzanya, dan dia suka mencocol chicken katsu dengan mayo. Buku kesukaannya adalah To the Lighthouse dan warna kesukaannya adalah hijau. Dia ingin berlayar keliling dunia suatu hari, dan saat dia tersenyum seluruh wajahnya bersinar membuat Sakura ikut tersenyum bersamanya. Sakura tidak bisa menang melawan pesona seperti itu.

.

.

.

Sakura mungkin sama kagetnya dengan semua orang saat sistem belajar yang ia terapkan dengan Sasuke berjalan lancar. Dia tidak tahu apakah Sasuke bisa terus tahan seperti ini. Tapi sejauh ini Sasuke tidak pernah menyebutkan bahwa dia lebih memilih menghabiskan waktu melakukan hal lain ketimbang belajar dengan Sakura.

Setelah beberapa minggu berlalu, kesulitan mulai muncul. Terkadang Sasuke mulai terlihat lelah, dan sering menguap saat menonton TV. Dan kadang pulang lebih awal dari biasanya. Semua kegiatan ini membuatnya lelah, namun dia tidak mengeluh. Sakura bahkan tidak tahu kapan Sasuke punya waktu untuk mengerjakan tugas lainnya. Sakura saja kesulitan mengatur waktu untuk tugasnya sendiri, bagaimana dengan Sasuke yang juga lelah secara fisik? Sasuke harus lari setiap pagi sebagai tambahan latihan basket. Kemudian latihan sepulang sekolah, dan dua kali seminggu, dia harus mengerjakan matematika di rumah Sakura setelahnya.

Sakura mulai merasa bersalah membuat Sasuke bergabung dan menyusahkannya.

Hari Rabu terakhir sebelum turnamen sains pertama, Sasuke datang terlambat dari latihan basket. Sakura menyandar di mobil Sasuke dan menunggu sambil berkirim pesan dengan Ino. Saat dia merasa sedikit cemas, Sasuke keluar dari bangunan sekolah, terlihat setengah tidur. Sepanjang perjalanan hening dan Sasuke salah mengerjakan tiga soal dari total lima soal, Sakura tahu bahwa ini percuma.

"Ayo nonton TV saja," katanya, mengemas lembaran soal latihan ke dalam folder.

Sasuke merengut menatap jam di dinding dapur. "Belum waktunya." Dia berusaha meraih worksheetnya kembali, namun Sakura menaikannya di atas jangkauan.

"Kau lelah," kata Sakura, memukul pelan tangan Sasuke. "Dan kau sudah sangat siap untuk berkompetisi. Tidak perlu menghabiskan sisa tenaga untuk berlatih."

Untuk beberapa saat, Sasuke terlihat akan mendebat, namun kemudian menyandar ke kursi dan mengatakan, "Nonton film saja kalau begitu,"

Sakura menunggu sampai mereka duduk di sofa dengan semangkuk popcorn dari microwave sebelum membahasnya, "Kau tahu, kau tidak perlu melakukan ini. Kalau kau tidak mau." Sakura memasukan segenggam popcorn ke dalam mulut agar tidak perlu melanjutkan kalimat, seperti meminta Sasuke tetap bertahan di tim.

Bahkan sekarang Sakura tidak lagi menyayangkan tentang maju ke tingkat regional—lebih tentang tidak lagi menghabiskan waktu berdua dengan Sasuke kalau pemuda itu memilih berhenti. Mereka tidak pernah bicara di sekolah, kecuali beberapa menit sebelum bel di kelas belajar mandiri. Mereka bahkan tidak memiliki kesamaan, kecuali sama- sama suka matematika. Kalau Sasuke berhenti dari klub, dia akan berhenti menemui Sakura juga.

Egois, memang, tapi ini adalah satu- satunya momen yang bisa ia habiskan dengan Sasuke. Sakura akan mempertahankannya sebisa mungkin.

"Aku tidak akan keluar," kata Sasuke, rahangnya mengeras. "Aku hanya butuh libur sehari." Dia mengambil mangkuk popcorn di tengah sofa dan memberikannya pada Sakura. "Letakan di tempat yang aku tidak bisa jangkau." Katanya."Kalau tidak, aku tidak akan berhenti makan."

Itu adalah inti dari popcorn, agar tidak berhenti makan, pikir Sakura, namun dia menerimanya. Dia meletakan mangkuk popcorn di sisi kiri, agar Sasuke tidak dapat meraihnya. Itu artinya makan dengan tangan kiri, tapi Sakura tidak akan mempermasalahkannya.

Sakura sangat terhisap di film yang ia tonton dan tengah mengambil popcorn. Dia tidak menyadari Sasuke jatuh tertidur sampai dia merasakan kepala Sasuke menyandar ke lengannya. Refleks tangan Sakura membuat popcorn di dalam mangkuk tumpah ke sofa. Dia tidak berani bergerak, namun dari sudut matanya, dia dapat melihat kepala Sasuke, garis rahangnya dan satu matanya yang tertutup. Bulu matanya sungguh panjang.

Sakura merasa kaget saat berpikir Sasuke cukup nyaman dengannya sampai jatuh tertidur di pundaknya. Namun ini tidak semenyenangkan itu. Kepala Sasuke terasa keras dan berat di tulang selangkanya, namun Sakura tidak ingin membangunkannya.

Dia memikirkannya beberapa lama, lalu bergerak untuk meletakan mangkuk popcorn ke meja dan menyapu remahannya ke lantai. Perlahan, sangat pelan, Sakura menggerakan badan dan menaikan kaki ke atas sofa untuk menyelonjor, memeluk satu lengan pada lengan Sasuke untuk membawanya turun bersamanya untuk berbaring sofa.

Sasuke menurutinya dengan mudah, membuka mata bingung namun tidak benar- benar bangun saat Sakura membaringkannya. Kepala Sasuke berbaring di perut Sakura dengan setengah tubuh menyandar di sofa. Dia tidak terlihat keberatan, tangannya memeluk pinggang Sakura. Dia tidak tahu di mana lengan Sasuke yang satu lagi, mungkin dia akan kram saat bangun nanti.

Baju Sakura sedikit terangkat, dia sangat sadar akan lengan Sasuke yang menyentuh kulit perutnya. Dia menahan nafas dan menghembuskannya pelan. Sasuke di alam bawah sadarnya mengikutinya, menghembuskan nafas dalam dan semakin menenggelamkan kepalanya ke perut Sakura.

Sakura berpelukan dengan Sasuke Uchiha. Dia tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi.

Televisi mengeluarkan suara keras, Sasuke mengernyit, Sakura menenangkan, "Shhh, tidur lagi," dia mengelus rambut Sasuke dan menyuruhnya kembali tidur. Sasuke kelelahan, walau hanya tidur beberapa menit akan membantunya.

Mereka berbaring bersama saat film berjalan. Sakura tidak mengantuk, dan dia tidak mau melewatkan saat ini, jadi dia mencoba untuk membuat Sasuke nyaman. Dia mengelus rambut Sasuke lagi dan lagi, seperti yang dulu ibunya lakukan saat dia tidak dapat tidur.

Dulu rasanya menenangkan, sekarang dia juga merasa senang saat melakukannya. Walau rambut Sasuke terasa berat dengan gel rambut. Rambut pendek di belakang lehernya terasa lembut, Sakura memutuskan untuk fokus di sana.

Saat film berakhir, dan menu DVD muncul kembali, Sakura tidak peduli.

Sasuke terbangun saat mobil ayah Sakura memasuki halaman. Dia mengangkat kepala dan terlihat bingung, seperti dia tidak tahu di mana dia berada. Lalu dia melihat Sakura, yang sedang mencoba menurunkan kaosnya ke bawah. Sasuke duduk di antara kaki Sakura, "Maaf," kata Sasuke mengucek mata dengan jarinya.

"Tidak apa- apa," kata Sakura santai, padahal dia sangat bahagia.

.

.

.

Turnamen pertama mereka datang begitu cepat, Sakura yakin mereka belum siap. Mereka akan gagal, mereka akan malu, pikirnya. Sakura tidak akan mendapatkan beasiswa dan akhirnya tidak dapat kuliah dan berakhir menjadi pengangguran.

Sakura sangat kaget saat mereka mendapat hasil yang memuaskan.

Shikamaru seperti kalkulator berjalan. Sai dan Ino sangat brilian, Hinata dengan gugup mampu menjawab semua pertanyaan. Dan Sasuke paling menakjubkan, tapi mungkin Sakura sudah terlanjur bias.

"Dia hebat juga," kata Ino. Perlakuannya pada Sasuke perlahan menghangat. Sangat perlahan.

Pada akhirnya mereka mendapat peringkat dua, yang adalah lebih baik dari ekspektasi Mr. Kakashi. Saat skor mereka naik, semua anggota tim Konoha berteriak kecuali Sasuke. Pria itu meninju udara lalu merangkulkan lengan satunya mengelilingi Sakura erat.

.

.

.

"Oke, katakan ada apa," kata Sakura saat mereka berjalan keluar sekolah di hari Senin. Sasuke selalu mengantar Sakura pulang setelah aktifitas klub sains di hari Senin. "Kau seperti akan menyampaikan berita buruk saja,"

"Bukan berita buruk," kata Sasuke. Dia terlihat sebal dengan pandangan Sakura. "Mungkin berita buruk,"

"Kau ingin keluar?" tanya Sakura, suaranya melengking. "Kau tidak bisa keluar sekarang! Kita menang kemarin!"
"Tidak," dia terlihat jengkel, "kenapa kau selalu berpikir aku ingin keluar?"

Sakura tidak menjawab, Karena aku merasa seperti memaksamu melakukan ini dengan alasan egoisku, "Katakan ada apa." kata Sakura akhirnya.

"Orangtuaku ingin kita mengerjakan matematika di rumahku Rabu besok," kata Sasuke, seperti itu adalah hal terburuk yang akan terjadi.

"Oke," Sakura seketika setuju. Sasuke tidak bercerita banyak tentang keluarganya, dan Sakura cukup penasaran. Lagipula Sasuke sudah cukup tahan menghadapi ayahnya, jadi ini impas.

"Kau yakin?" tanya Sasuke, menatapnya tidak percaya.

"Iya," kata Sakura mengedikan bahu. Itu bukan hal besar. Tapi melihat ekspresi Sasuke, mungkin ini adalah hal besar. "Kenapa kau bersikap seperti mereka akan membunuhku? Apa keluargamu pembunuh berantai?"

"Bukan," kata Sasuke.

.

.

.

Sakura tidak tahu apa pekerjaan orangtua Sasuke, tapi pasti uang bukan masalah bagi mereka. Karena keluarga Uchiha tinggal di sebuah rumah besar dekat pantai Malibu. Mereka memiliki pintu gerbang dan tipikal rumah tepi pantai yang kau jumpai di acara TV saat selebriti memamerkan rumahnya. Bangunan serba putih dengan jendela kaca seukuran dinding di hampir semua ruangan yang menghadap pantai. Saat Sasuke memasuki halaman utama, Sakura bertanya- tanya apa yang Sasuke pikirkan tentang rumahnya. Sakura selalu memikirkan bahwa rumahnya nyaman, namun bagi seseorang yang tinggal di mansion seperti ini, rumahnya pasti terlihat seperti gubuk.

Saat mereka berjalan melewati pintu depan, seluruh keluarga Uchiha—orangtua Sasuke dan kakak laki- lakinya—menyambut mereka seperti barisan model menawan. Mereka memiliki penampilan yang hampir sama; tinggi, rahang tajam, dengan rambut dan mata gelap dan wajah supermodel. Gen Uchiha sepertinya sangat berkualitas.

Setelah perkenalan, beberapa menit selanjutnya sedikit canggung. Ibu Sasuke sangat ramah menyambutnya, namun kakaknya tidak begitu.

"Senang akhirnya bertemu denganmu, Sakura," kata Ibu Sasuke, dia membantu Sakura melepas coat dan meletakannya di gantungan. "Kami mendengarkan banyak cerita baik tentangmu." Itachi dan Ayah Sasuke tidak mengatakan apapun, namun dia dapat merasakan tatapan mereka padanya.

"Senang bertemu anda juga," kata Sakura, mencoba tidak terlalu senang karena Sasuke menceritakan tentang dia pada keluarganya dan menceritakan hal baik tentangnya. Walau mungkin itu tidak berarti apa- apa.

Ibu Sasuke mengarahkan mereka menuju perpustakaan—Uchiha memiliki perpustakaan—dan semuanya mengikuti. Sudah ada beberapa piring snack dan minuman tedi meja.

"Anggap saja rumah sendiri, Sakura," Mrs Uchiha mengatakan saat Sakura mendudukan diri di kursi yang mungkin lebih tua darinya. Sasuke mendudukan diri di depannya, semua orang masih berdiri menatapnya, seperti menunggu Sakura mengambil cookies dan memakannya.

"Mmmm, enak sekali" gumamnya dan mengigit sekali lagi, karena sepertinya para Uchiha menunggu reaksinya. Sakura merasa seperti makhluk langka di sini. Walau Sasuke populer di sekolah, mungkin dia tidak memiliki banyak teman yang ia bawa ke rumahnya.

Merasa puas dengan reaksi tamunya, mereka meninggalkan ruangan. Setelah pintu menutup, Sasuke bangkit dan mendudukan diri di kursi sebelah Sakura. Ekspresi Sasuke gelap.

"Mereka terlihat baik," komentar Sakura.

Bibir Sasuke semakin merengut, membuat Sakura bertanya-tanya apa yang salah.

.

.

.

Mereka tidak bisa banyak belajar hari itu, sama-sama tidak fokus. Keluarga Sasuke seperti tidak bisa meninggalkan mereka sendiri. Setiap beberapa menit seseorang akan membuka pintu dan mengecek mereka, atau membawakan dua cangkir cokelat panas.

Kali kedua Mrs. Uchiha masuk ke perpustakaan, dia memanggil Sakura 'Sweetheart' dan menyentuh lembut lengannya. Ayah Sasuke menawarkan untuk menyalakan perapian jika Sakura merasa dingin. Beberapa menit kemudian Itachi masuk pura- pura mencari buku dan duduk di seberang mereka.

"Aku sedang belajar ilmu forensik," kata Itachi tiba-tiba, "Aku ingin bekerja di di FBI, mereka memiliki program penelitian pembusukan mayat."

"Itu keren," respon Sakura pelan. Dia ingat pernah bertanya apakah keluarga Sasuke adalah pembunuh berantai. Dan ini yang ia dapatkan. Ha. Haha.

Ibu Sasuke membuka pintu pada saat itu, menyelamatkan Sakura.

"Itachi, keluar." perintahnya.

Itachi seketika pergi, tidak membawa buku yang pura- pura ingin ia baca tadi.

"Makan malam lima belas menit lagi," kata Mrs. Uchiha. Saat dia mengambil piring kosong dari meja, ibu Sasuke mencium pelipis anak laki- lakinya.

"Kau tidak harus tinggal untuk makan malam," kata Sasuke. Pelipis Sasuke sedikit merah muda terkena lipgloss setelah ibunya menciumnya. "Aku bisa mengantarkanmu pulang."

"Itu tidak sopan," ujar Sakura. "Dan aku suka orangtuamu," lanjutnya, "tapi kakakmu cocoknya jadi tokoh antagonis."

Sasuke mendengus, hampir tertawa.
.

.

.

Tidak butuh waktu lama untuk Sakura menyesali keputusannya makan malam bersama keluarga Uchiha. Karena semakin lama dia berada di rumah Sasuke, suasana semakin tidak menyenangkan. Dan itu bukan karena kakak menyeramkan Sasuke, atau orang tua Sasuke yang terlalu ramah. Alasannya adalah Sasuke sendiri.

Sakura tidak tahu apa masalahnya, namun semakin keluarganya heboh menyambut Sakura, semakin Sasuke menutup diri. Dia menjadi Sasuke yang dulu, sosok yang menyeramkan dan tidak terjangkau.

Setelah beberapa saat, Sakua memutuskan untuk mengabaikan Sasuke. Orangtua Sasuke ramah, dan jelas berusaha memperlakukan Sakura dengan baik. Itachi juga sudah berhenti membuat dia takut. Sakura dengan senang hati mengonsumsi tuna di piring. Sasuke duduk di sebelahnya mengeluarkan aura permusuhan. Semua orang mengabaikannya, termasuk Sakura.

"Apa kau punya hobi, Sakura?" Ayah Sasuke bertanya.

Hobi Sakura adalah membaca komik dan menonton film dan tidur selarut mungkin di akhir pekan. Tapi itu bukan sesuatu yang kau ceritakan pada orang tua. "Ayah dan aku membuat hiasan dari barang bekas di waktu luang. Kami biasanya iseng menjualnya secara online." Jawab Sakura. Mereka jarang melakukannya sejak Sakura sibuk dengan klub sains, dan kerjaan ayah yang sedang sibuk, namun kreasi kerajinan barang bekas itu bukan bualan.

Dari sudut matanya, Sakura melihat Sasuke menoleh menatapnya. "Sungguh?" tanyanya. Itu adalah kata pertama yang dia ucapkan sepanjang makan malam. "Aku tidak tahu itu."
"Itu karena ayah biasanya belum pulang saat kau ke rumah. Selain itu kau dan aku terlalu sibuk melakukan hal lain." Sakura menjelaskan.

Mata Sasuke melebar. Ayah Sasuke mulai terbatuk. Itachi tertawa keras dan Ibu Sasuke menumpahkan air ke taplak meja.

"Maksudku belajar matematika!" Sakura setengah berteriak, saat dia menyadari kalimatnya. Bukannya dia tidak pernah memikirkan melakukan hal lain dengan Sasuke. Dia cukup sering memikirkannya, tapi tidak ada yang perlu tahu itu, khususnya Sasuke.

Berbicara tentang Sasuke, sekarang seharusnya dia membantu menjelaskan pada keluarganya agar tidak terjadi salah paham. Namun saat Sakura menatapnya, pria itu tengah menutupi wajahnya dengan kedua tangan, kedua telinganya merah.

.

.

.

TBC

.

.

.

AN: Cerita ini adalah efek Eve dicekokin TV Show dan film- film bertema anak sekolah di Amerika sepanjang weekend kemarin. Ceritanya ini setting di LA. Semoga belum bosan dengan tema pasaran seperti ini. ^^,

Bagian kedua menyusul hari Senin, just because...

Anyway, Terimakasih sudah membaca.

Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.

-with cherry on top-

.the autumn evening.