Fic baru!.. yeay(?) masih tetap dengan THG-yang bukan miliki saya melainkan Suzanne Collins. Dan fic ini lebih menyimpang dr fic THG saya sebelumnya..
Here We Go
Ini part1+part2
Cerita yang sebenarnya dimulai dari part 3
Prolog:
"Katniss!"
"Peeta! Awas!"
Teriakannya masih terkenang dihatiku, menanamkan lebih banyak luka lagi. Menancapkan lebih banyak kesedihan. Menimbulkan lebih banyak rasa dendam pada Cato.
Kenapa bukan dia yang terbunuh? Kenapa harus bersamanya, saat aku diselamatkan? Kenapa aku disini bukan bersama dengan Peeta? Kenapa para pemberontak tidak datang sebelum Cato menancapkan pisaunya ke jantung Peeta? Bahkan Haymitch dengan jelas tidak memiliki beban, saat tubuh Peeta diangkat... Peeta... Jasad Peeta...
"Katniss?" Dia tidak menjawab. Sial. Tidak bisakah dia berpura-pura di depan umum? Simpan dulu kebenciannya itu. Aku juga tidak nyaman disini bersamanya. Setidaknya dia kan bisa berpura-pura bahagia, sekarang kan tidak ada Hunger Games lagi. "Ya, kan. Katniss?" tanyaku lagi.
"Ya, itu benar. Aku dan Cato bahagia bisa selamat. Aku juga senang tidak ada Hunger Games lagi," katanya dengan tersenyum. Penuh kepura-puraan. Lagi. Untungnya dia pembohong yang cukup baik. Dia memang tidak berbohong dengan 'senang tidak ada Hunger Games'. Tapi dia berbohong dengan 'aku DAN Cato BAHAGIA bisa selamat'. Dan? Pembohong sejati.
Sialan, Cato. Dia mau apasih? Sudah bagus aku tidak membunuhnya sesaat setelah dia membunuh Peeta. Dia tidak akan bisa melawanku hanya dengan satu tangan. Dan tadi aku sudah memperingatkannya sebelum naik keatas panggung.
"Jangan pernah minta pendapatku akan pernyataanmu. Jangan berbicara kepadaku seakan kita ini bahagia bersama-sama."
"Aku tahu. Aku kan sudah melakukannya berkali-kali, Katniss." kataku
"Jangan sebut namaku."
Lihat, kan. Dia benar-benar perempuan paling menyebalkan sedunia. Bagaimana cara Peeta bisa menyukai perempuan seperti ini? Cantik juga tidak, baik apalagi. Sopan? Jangan tanya. Dan sejujurnya, sulit untuk didekati.
Setidaknya lebih baik dia bersikap canggung didepanku dibanding dengan jelas-jelas membenciku. Dia tidak bisa menutupi perasaannya atau apasih?
Akhirnya selesai juga acara ini. Cato, dia sudah bilang tidak akan meminta pendapatku. Dan dia tidak melakukannya dengan benar, lagi. Dia juga tidak bisa mengontrol kesombongannya, membuatku ingin muntah di wajahnya. Tapi jika aku muntah di wajahnya, berapa banyak cewek-cewek Capitol yang akan mencakar wajahku? Aku akan cacat seumur hidup.
Bahkan hidupku yang sekarang sudah merupakan kecacatan.
...
Ada apa? Jadwalku kan hari rabu. Seharusnya ini jadwalnya Katniss datang. Dokter aneh. Aku sudah lelah berpura-pura menurutinya dan sekarang dia ingin mengganti jadwal. Seandainya aku punya pisau, atau seandainya aku tidak dikawal kemana-mana..
"Kenapa kau memanggilku?"tanyaku. Dia diam sejenak. "Begini, aku ingin kau tidak bertindak bodoh seperti melempar pisau atau mematahkan leherku sebelum aku selesai bicara." Memangnya aku monster? Aku mengangguk saja.
"Bagus, kau sudah berjanji."
"Jadi, apa yang akan kau katakan?"
"Dengarkan aku sampai akhir. Apa kau..."
Apa semua dokter jiwa seperti itu? Seenaknya saja mengganti jadwalku. Dia pikir aku membutuhkannya? Aku hanya mengunjunginya agar Effie bisa diam. Bagaimanapun juga aku kan tinggal di rumahnya-walau dia yang memaksaku-dan harus menghormati keputusannya. Kabar baiknya dari penggantian jadwal aku bisa bersantai di pinggir kolam renang Effie.
Aku tidak kembali ke distrik duabelas. Terlalu banyak hal yang menyakitkan. Hutan mengingatkanku pada ayahku. Rumah mengingatkanku pada ibuku. Tambang dan Hob mengingatkanku pada Gale. Dan toko roti mengingatkanku pada Peeta. Prim juga tidak di distrik duabelas. Dia di Capitol sepertiku. Ada pasangan yang cukup baik mau merawatnya setelah tau bahwa dia adikku dan yatim piatu-tentu saja setelah melihat wajahnya yang cantik. Ayahku meninggal pada kecelakaan tambang. Ibuku meninggal sesaat setelah aku ikut Hunger Games karena serangan jantung. Gale meninggal tiga bulan sebelum Hunger Games, menurut ibuku dia memiliki penyakit yang sulit disembuhkan. Dan Peeta, dia meninggal karena pisau Cato. Intinya, tidak ada alasan bagiku untuk kembali ke duabelas.
Aku cukup sering menemui Prim. Dia kelihatan lebih ceria di rumah barunya. Awalnya aku khawatir mereka, orangtua barunya akan mengubah Prim menjadi seperti warga Capitol lainnya. Warga Capitol yang selamat maksudku. Tapi terakhir kulihat Prim masih sama, baik-baik saja. Dia lebih sering tersenyum, lebih sering tertawa, lebih banyak memikirkan harapan-harapan yang sulit dicapai saat di duabelas. Dia lebih bahagia, di rumah barunya dia sangat diperhatikan-berhubung orangtua barunya tidak punya anak dan tidak bisa punya-dia memakai pakaian yang bahkan tidak sempat dia impikan di duabelas setiap hari. Makan makanan yang lezat dan legal. Bahkan Buttercup juga dimanjakan. Kucing manja itu memakai pita kemana-mana dan dipeluk hampir setiap orang yang menemuinya.
Akhir yang cukup bahagia bukan? Jika saja ini akhir. Aku harap.
Rasa ragu mulai menyelimutiku. Tidak. Aku tidak boleh ragu lagi. Aku sudah memilih dan yakin akan hal itu. Dia butuh itu dan aku tidak. Dia masih memiliki hal yang membuatnya ingin tetap hidup. Sedangkan aku? Bukankah aku mengikuti Hunger Games agar bisa mati? Kenapa aku harus ragu. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk dipertahankan, tidak punya siapapun untuk dilindungi. Aku sudah cukup lama hidup, delapan belas tahun. Sudah cukup banyak hal yang ingin kulupakan, sudah terlalu banyak hal-hal menyedihkan. Terlalu sedikit kenangan baik.
Keluargaku, semuanya mati. Ayahku, dia pemabuk, dan dia mati begitu saja. Minum-minum lalu mati. Ibuku, mati saat melahirkanku. Kakak laki-lakiku, dia mati bunuh diri karena tekanan dari ayahku dan dari istrinya. Padahal kakakku satu-satunya orang yang bisa kujadikan alasan untuk tetap hidup. Tanpa dia, aku rela saja ikut Hunger Games. Jika menang, aku hanya perlu menghabiskan uangku. Jika kalah, bukankah tidak ada ruginya buatku? Tanpa tujuan hidup, kata yang tepat untuk menggambarkanku.
Akhir? Apa ada akhir tanpa awal?
...
"Hai, manis."
"Diam kau"
"Apa? Aku kan hanya menyapa." Kebiasaan deh.
"Jangan ganggu aku."
"Kau mau ke dokter gila itu kan?"
"Ya." Dia diam sebentar. "Kau juga menganggapnya gila?" Dia bicara lagi padaku? Mustahil. "Ya. Dia memang gila kan." Aneh tapi dia terlihat menyunggingkan sedikit senyuman. "Seleramu bagus juga, Cato." Dia menyebut namaku? Seleraku bagus? Dia tersenyum padaku karena 'dokter gila' itu? Benar-benar mustahil. Aku sudah mencoba agar hubungan kami setidaknya lebih baik tapi tidak pernah berhasil. Dan sekarang dia tersenyum dan menyebut namaku hanya karena 'dokter gila'? Wow.
Aku pikir, hanya aku yang menganggap dokter itu gila. Ternyata 'manusia' itu juga. Aku cukup menyesal karena menyebut namanya tadi. Menghapus rekorku sebagai gadis yang tidak pernah menyebut nama laki-laki yang digilai Panem. Aku cukup bangga dengan rekorku. Tapi, sekarang aku akan mulai melupakan segalanya. Memulai segalanya dari awal. Aku sudah menemukan akhir dari kehidupan selama enam belas tahunku. Jadi sekarang aku akan memulai yang baru, kehidupan yang baru. Tanpa kebencian, dan kuharap tanpa kesedihan.
"Hai, Katniss."
"Hai, dok." Basa-basi tidak berguna lagi.
"Apa ada masalah belakangan ini?"
"Tidak."
"Benarkah?"
"Ya."
"Baiklah. Apa kau minum obat penenangmu dengan teratur?"
"Ya." Atau kadang-kadang. "Kau harus meminumnya secara teratur atau dosisnya akan kutambah lagi." Aku sudah cukup tenang sekarang. Sejujurnya aku sudah tidak perlu obat itu lagi. Dokter gila itu mengambil sebuah kotak, lalu memberikannya padaku. "Ini obatmu yang baru," memangnya kenapa dengan yang lama? "Aku masih punya obat yang lama." Mencurigakan. "Tidak, tidak perlu. Buang saja yang lama. Yang baru ini lebih bagus." Aneh. "Minum 3x sehari, 1kapsul obat jangan lebih. Dan kali ini minumlah dengan 'benar-benar' teratur." Darimana dia tahu aku tidak meminum obat yang diberikannya dengan teratur? Bahkan Effie tidak tahu. Atau Cato?
"Ya, bisa dibilang begitu. Aku hanya bilang bahwa mungkin kau jarang minum obatmu."
"Iya, tapi kenapa? Dan apa obatmu diganti?" Diganti? Oh!
"Ya, obatku juga. Aku minum saja, rasanya lebih baik dibanding yang dulu."
"Benarkah? Jadi, well, uhm. Baiklah." Dia menutup pintu. Dalam sehari Katniss sudah tersenyum padaku dan sekarang datang ke rumahku. Setelah berbulan-bulan aku takut saat bangun pagi tanganku yang satu lagi hilang, sekarang dia datang ke rumahku dan menanyakan obat? Apa dia jadi gila? Sudah. Nikmati saja masa-masa ini, Cato.
KENAPA AKU BEGITU BODOH? Untuk apa aku ke rumahnya? Kenapa aku mengikuti dorongan sesaat itu? Cato pasti bingung dengan yang barusan. Atau malah sedang menertawakanku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menghilangkan rasa dendamku padanya. Tapi aku tidak pernah ingin datang kerumahnya hanya untuk menanyakan obat. Sepertinya aku memang harus minum obat itu. Aku sudah mulai gila.
Aku tidak peduli. Sepertinya bersikap memalukan adalah jalan keluarnya. Untuk mendekati Katniss, aku menggunakan metode 'membuat wanita tertawa'. Dan Katniss hanya tertawa sedikit. Dan aku merasa malu sangat banyak. Tidak sebanding. Aku tahu.
"Halo Ms Everdeen."
"Hai, Cato. Bagaimana kabarmu?" Yah, begitulah."Baik-baik saja," kataku tersenyum. Katniss dan aku, hubungan kami sekarang teman. Bagus juga. Sayangnya. Jika saja. Jika saja aku bisa tetap tinggal, aku akan tinggal. Sepertinya akan sulit buatku.
Disisi lain aku mulai merasakan gejolak baru dalam diriku. Katniss mulai kelihatan sebagai wanita. Dia kelihatan cantik. Entah mengapa, aku merasa seperti inilah yang Peeta rasakan. Katniss, gadis itu. Kayaknya ini yang mereka sebut sebagai cinta.
Cinta, cinta yang datang pada waktu yang salah. Aku ingin menolaknya, seandainya aku bisa.
Dia lucu juga. Mengingatkanku pada Peeta. Cato cukup tampan, dan anehnya sekarang dia jadi kelihatan baik. Dorongan untuk muntah di wajahnya sudah hilang. Sebaliknya, jantungku mulai berdetak kencang setiap bersamanya. Seperti saat bersama Peeta, tapi kali ini lebih hebat. Apa aku merasakan cinta lagi? Aku jatuh cinta pada laki-laki yang membunuh cinta pertamaku?
Jika ini cinta. Aku tidak tahu. Aku, aku hanya ingin merasakannya lagi.
"Cato, apa kau baik-baik saja?" tanya Garret, penata riasku. "Aku baik-baik saja," kataku sambil berusaha berdiri. Keadaanku lebih buruk. Dan anehnya aku siap untuk yang lebih buruk lagi. "Benarkah?" Harus bohong atau jujur? "Ya aku baik-baik saja, hanya kelelahan," padahal aku hanya tidur-tiduran dan makan di rumah. Buktinya abs ku mulai kedur. Untungnya Garret tidak terlalu memperhatikan, dia cukup bodoh untuk tidak mengetahuinya.
Ya sepertinya semua orang mulai memperhatikan perubahanku. 'Kau kelihatan kurang sehat, Cato.' 'Apa kau sakit?' 'Ada apa dengan wajah tampanmu?' Ya, aku benci yang terakhir. Katniss juga bertanya tentang keadaanku.
"Ada apa denganmu?"
"Aku? Aku, seperti biasa. Dengan otot dan wanita." Aku menampilkan senyumku yang paling mematikan.
"Jangan bohong. Apa kau sakit?" Sekarang dia cukup peka juga. "Tidak juga." Dia menatapku dengan tatapan menyelidiki, oh.. Athena tolong aku. "Cato, dengarkan aku. Kita ini kekasih kan?" Tentu saja iya. Aku mengangguk. "Dan tidak ada satu rahasiapun diantara kita bukan?" Aku tidak janji, Katniss. Aku tidak berani mengatakan tidak. "Cato?" Aku tidak akan mengatakannya. Kau tidak bisa, Cato. "Aku baik-baik saja, Katniss. Sungguh," tidak Katniss, tidak, aku tidak baik-baik saja. "Benarkah?" Aku mengangguk. "Baiklah, ayo kita pergi." Aku menggandeng tangannya. Selagi aku bisa memegang tangannya. Nikmati saja masa-masa ini, Cato. "Ayo, kita pergi," kataku.
Dia bohong. Cato bohong. Cato bohong padaku. Aku tahu kebenarannya. Aku tahu! Dr. Aurelius itu yang mengatakannya padaku. Cato, dia, dia akan meninggalkanku. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Bukankah musuh terbesar semua orang itu kematian? Dan musuh terbesar itu, tidak ada yang bisa mengalahkannya? Semua ini tidak adil. Cinta datang kepadaku hanya untuk pergi. Cato datang hanya untuk pergi. Dan dia tidak akan kembali! Aku harus menjauh darinya agar nanti aku terbiasa, atau memanfaatkan setiap waktu yang tersisa bersamanya? Aku akan menyesal dengan pilihan apapun yang kupilih. Aku tahu. Dan aku sudah siap menghadapinya.
"Katniss, berhentilah mengambil fotoku." Dia tertawa.
"Memangnya kenapa? Aku suka dengan foto-foto ini. Apa kau tidak?"
"Tidak? Tentu saja aku menyukainya. Tapi kenapa tidak berfoto berdua?"
"Ide yang bagus, ayo sini" kataku menepuk sofa empuk di sebelahku. Dia datang dan tersenyum. Ini mungkin akan jadi yang pertama dan yang terakhir. Bukankah lebih baik begini? Memanfaatkan semua waktuku dan waktunya bersama-sama? Dunia memang tidak adil. Tapi aku akan menikmati ketidakadilannya. Aku tidak akan menyesal.
"Katniss."
"Ya?"
"Apa kau mencintaiku?"
"Tentu saja. Kenapa kau bertanya?"
"Tidak apa-apa. Tapi sejak kapan?" Aku berusaha untuk tersenyum.
"Aku tidak tahu.. Mungkin sejak insiden 'dokter gila'?"
"Hanya karena hal itu?"
"Bisa jadi. Tapi mulai saat itu aku tidak ingin muntah di wajahmu."
"Kau ingin muntah di wajahku? Untungnya kau sekarang mencintaiku."
"Ya. Sejak kapan kau mencintaiku?"
"Sejak kau terlihat cantik di mataku?"
"Kenapa kau malah bertanya padaku?"
"Aku tidak yakin. Tapi apakah kau percaya jika aku bilang bahwa kau cinta pertamaku?"
"Sepertinya, iya. Tapi sayangnya kau bukan yang pertama untukku."
"Tidak masalah jika aku bukan yang pertama. Dan apakah kau percaya jika aku bilang bahwa kau cinta terakhirku?"
"Ya. Aku sangat percaya. Dan kau juga yang terakhir untukku."
Di kamar yang hangat ini. Di kasur yang empuk ini. Dengan cintaku. Dengan Katniss. Dengan posisi tanganku memeluk tubuhnya. Dan tangan Katniss di pinggangku. Aku ingin sekali menghentikan waktu. Aku ingin. Ini satu-satunya permintaanku. Aku tidak ingin berpikir tentang masa depan. Aku tidak ingin berpikir. Yang kuinginkan hanya Katniss, cintanya, dan waktu-waktu kami yang tersisa.
Lena Magenta
