A/N:
Disclaimer: The Brothers aren't mine!
Fanfic ini ngambil timeline Season 4 setelah episode 'Metamorphosis' dan mengandung slight spoiler.
Genre fanfic ini adalah AU. Jadi jangan bingung yah kalau endingnya beda sama serial yang asli.... hehehehe....
Ini fanfic dengan dialog English terbanyak yang pernah aku buat. Kalau ada kesalahan spelling n grammar, mohon maap yang sebesar-besarnya. Oia, kritik dan saran juga sangat diharapkan.
Warning language!!!!!
CHAPTER 1
Carry On Wayward Girl
Seorang wanita berambut pirang berlari menembus kegelapan hutan, sesekali menengok ke belakang dengan kalut. Ia menemukan sebuah kabin dan masuk ke dalamnya. Tak jauh di belakangnya, makhluk yang sedari tadi mengejarnya mengeluarkan raungan memekakkan. Mata si wanita menyusur isi kabin dengan cepat, mencari senjata untuk melindungi diri. Tak menemukan apa pun, ia merutuk pelan dan melakukan satu-satunya usaha yang bisa dilakukan: mengganjal pintu dengan meja kayu besar, berharap bahwa makhluk biadab itu tidak mampu menembusnya.
Tentu saja, seperti yang telah diduga sebelumnya, hal itu berakhir sia-sia. Wendigo adalah makhluk kuat yang mampu membengkokkan besi baja dengan kedua jarinya – atau setidaknya bagian tubuh yang tampak seperti jarinya – dan melemparkan sebuah mobil tanpa kesulitan. Membuka pintu kabin tua dengan ganjal meja kayu ibarat menyobek sebuah kertas – apalagi disemangati nafsu mengganyang daging manusia di dalamnya.
Si wanita menjerit tertahan ketika pintu dan meja terlempar bersamaan ke dinding, hancur berkeping-keping. Di hadapannya tampak siluet monster rakus setinggi dua meter, kulitnya yang berwarna kelabu menguarkan bau busuk yang menyengat. Si wanita merapat ke pojok ruangan. Wendigo itu mendekat perlahan dan wanita itu bersumpah ia bisa melihat monster itu menyeringai penuh kemenangan. Ia memejamkan mata, bersiap menunggu ajal.........
Tiba-tiba terdengar letusan keras senapan, disusul dengkingan Wendigo, dan cahaya yang menyilaukan. Secara refleks si wanita pirang membuka mata, untuk melihat penyerangnya terhuyung dan ambruk, sekujur tubuhnya terbakar. Si wanita mendongak dari mayat itu dan mendapati seorang gadis kecil berdiri di ambang pintu, sebuah senapan besar bersandar di bahunya, dan flare gun di kedua tangannya.
"Alice!" seru si wanita, buru-buru melompati tubuh Wendigo dan menghampiri si gadis kecil. "What the hell are you doing here?"
"I'm just saving your ass, if you didn't notice," jawab Alice sarkastis.
"Apa kau dengar perintahku tentang tinggal di mobil?" bentak si wanita marah.
"Oh yeah," jawab Alice, memutar bola mata. "Tapi apa kau mendengarku bilang 'oke', huh, Aunty?"
Si wanita menggerung frustasi. Sulit sekali mengatur makhluk kecil bermulut tajam ini. "Kembali ke mobil, oke? Sekarang."
"Tidak mau," tolak Alice keras kepala, mencengkeram senjatanya lebih erat. "Aku tetap di sini membantumu."
"Alice...." desah si wanita. Ia berlutut agar bisa bertatap mata dengan gadis kecil itu. "Dengar, kau tahu apa yang sedang terjadi kan? Ini bukan sekedar arwah penasaran yang bisa dihancurkan dengan membakar tubuhnya. Bukan hanya monster yang bisa kita bunuh dengan menembak kepalanya, Alice. Ini sesuatu yang besar..... hal paling besar dan berbahaya yang pernah kuhadapi – mungkin yang paling besar dan berbahaya bagi semua hunter. Ini...."
"I know what is this," kata Alice pelan. "It's a war. Lot of demons crawled up from hell to take their part. I couldn't just sit there in the car knowing you're fighting those demons, Aunty. I...." dia menatap wajah bibinya dengan mata berkaca-kaca, walau tidak menangis. Sudah lama berlalu sejak terkahir kali bibinya melihatnya menangis. "I don't want you to die."
Tepat saat itulah hati si wanita hancur berkeping-keping, menyadari beban yang harus ditanggung gadis kecil di hadapannya. Ia sudah mengecap pahitnya kehilangan, kepolosannya terhapus oleh pengetahuan tentang dunia penuh kegelapan yang tak pernah disadari anak-anak seusianya. Tapi kemudian ia menyadari saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk meratapi nasib Alice yang tak bisa diubah lagi. Saat ini ia harus melakukan apa yang bisa dilakukan, dan itu berarti melindungi Alice.
"Dengar, Alice. Satu-satunya cara kau membantuku adalah dengan kembali ke mobil, agar tidak satu demon pun menyentuhmu. Mengerti?"
"Tapi...."
"Alice!" seru si wanita, lebih keras daripada yang diharapkannya. Kemudian ia melembutkan suaranya. "Please."
Sesaat gadis itu tampak akan membantah, tapi kemudian ia menyerah dan mengangguk. Ia menyerahkan senapan dan kedua flare gun pada bibinya, tahu wanita itu akan lebih membutuhkannya. Kemudian ia kembali memasuki hutan. Namun baru beberapa langkah ia berbalik.
"Aunty?"
"Yeah, Alice?"
"Promise me you'll come back."
"Sure, Alice. I promise."
"Can you come back before dawn?"
"I'll try."
"Pinky swear?" tanya Alice, mengacungkan jari kelingkingnya.
Bibinya tersenyum kecil. "Pinky swear," jawabnya, mengkaitkan kelingkingnya.
Dari kejauhan terdengar suara raungan yang membuat bulu kuduk mereka berdiri, diiringi teriakan-teriakan dan tembakan di seluruh penjuru hutan. Mereka mendongak tepat pada saat asap hitam bergumpal melintas di atas mereka.
"Demons' coming," kata si wanita, berdiri waspada. Ia tahu dalam hutan itu ada puluhan hunter lain yang akan berjuang bersamanya, juga demon-demon dan monster-monster mereka, tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan. "Go Alice, now!" Dan dengan pandangan terkahir ke arah bibinya, Alice berlari mengikuti perintah wanita itu.
Alice baru setengah jalan menuju jalan raya ketika dua sosok menghadangnya. Segera ia mengenali mereka sebagai hunter yang menjadi partner bibinya, kecuali bahwa kini mata keduanya berwarna hitam kelam. Alice mengutuk dalam hati hunter-hunter tolol yang memburu demon tanpa tattoo pentacle di tubuh mereka.
"Wah... wah.. wah... coba lihat siapa ini. Si Kecil Alice," seringai salah satu demon.
"Kenapa Alice? Terlalu takut menghadapi kami?" cemooh yang lain.
Gadis kecil itu mengacungkan sebuah pistol air. "Minggir!" bentaknya tanpa rasa takut.
"Apa itu Sayang? Pistol air?" keduanya terkekeh menghina. "Anak manis, tidakkah kau pikir mainan konyol itu sedikit tidak berguna di sini?"
"Sejujurnya tidak," jawab Alice, mengarahkan pistol berisi holy water itu tepat ke mata salah satu demon. Segera penghuni neraka itu berteriak kesakitan, asap keluar dari matanya.
"Kau...." kata demon yang lain murka dan mengangkat tangannya, siap menghempaskan Alice ke batang pohon.
"Jangan!" cegah demon dengan mata terbakar, "jangan lukai dia."
Hati Alice terbakar amarah. Dari segala hal yang ia benci dari para demon, hal itulah yang paling dibencinya. Kenyataan bahwa mereka seolah tahu segalanya. Jauh lebih baik baginya jika demon-demon itu terus berusaha membunuhnya dari waktu ke waktu, daripada menghadangnya, mengancamnya, tapi tak pernah menyentuhnya sekalipun.
"Kenapa?' tantang Alice, "takut melukai seorang anak kecil, heh? Sejak kapan kalian berubah jadi Abatwa?"
"Pintar sekali, Alice, tapi tidak cukup pintar untuk membodohi kami," tukas salah satu demon, "dan ini bukan berarti kami tak bisa menangkapmu, anak manis." Sambil berkata begitu, ia mengepalkan jari-jarinya dan seketika Alice bagai terikat tali yang tak tampak. Dia berusaha melepaskan diri tapi sia-sia, sementara kedua demon tertawa terbahak-bahak.
"Hadiah yang sempurna untuk Tuan kami!" seru mereka bangga.
"Tidak semudah itu," kata sebuah suara dari belakang Alice. Anak itu menoleh untuk melihat siapa yang bicara, tapi yang ada hanyalah sinar terang benderang, kedua demon itu menjerit kesakitan.... dan kemudian, semuanya gelap.
* * *
Dean keluar dari kamar mandi sambil mengusap wajahnya yang basah. Jam baru menunjukkan pukul tiga pagi, tapi ia sudah tidak berminat untuk kembali tidur. Tidak jika setiap kali ia menutup mata, bayangan-bayangan mengerikan itu terus menerus menghantuinya. Kini dia tahu apa yang dirasakan Sam, dan kenapa adiknya itu bisa sangat meledak-ledak setelah mengalami 'penglihatan'. Semua mimpi buruk ini benar-benar membuatnya gila.
"Dean."
Cowok itu terlonjak kaget. Castiel berdiri persis di sampingnya, wajahnya tampak jelas meski tanpa penerangan, seolah memancarkan cahaya sendiri. Kenapa sih angel yang satu ini tidak pernah mengetuk pintu dulu? Well, bukannya dia membutuhkan pintu untuk keluar masuk bangunan sih, tapi tetap saja, kenapa dia selalu muncul mendadak dan tanpa suara? Dean yakin suatu hari nanti ia bisa mati tersedak donat gara-gara Castiel muncul saat ia sedang melahap jatah milik Sam diam-diam.
"Mau apa kau ke sini?' desis Dean, melirik Sam yang masih tertidur pulas. "Mau memberiku tour gratis ke masa lalu lagi? Huh, no thanks, I'm not really in that mood."
Castiel hanya menatap Dean dengan wajah datar, satu lagi hal yang membuat cowok itu jengkel. Dean bisa saja menari hula hup dengan kostum gajah sambil bernanyi lagu country dan sementara Sam bakal tertawa sampai mati, angel itu tetap tak bergeming, tetap dengan ekspresi tenang, kalem, nyaris tanpa emosi.
"Ada yang membutuhkanmu, Dean," kata Castiel, seolah Dean bisa mengerti saja apa yang dibicarakannya.
"Oh yeah?"
"Dia ada di hutan di pinggir kota, sekitar dua puluh mil ke arah barat."
"Dan siapa 'dia' ini, dan kenapa juga aku harus membantunya?" tanya Dean frustasi. Apa mereka harus bermain tanya-jawab sepanjang malam?
"Kau akan tahu," jawab Castiel, lalu melakukan hal yang juga sangat dibenci Dean – menghilang tiba-tiba, meninggalkan cowok itu dengan beban pikiran yang makin bertambah.
* * *
"Menurutmu di sekitar sini?" tanya Sam ketika Dean menepikan Impala ke bahu jalan.
"Yep. Dia bilang dua puluh mil ke arah barat. Ugh, semoga saja ini benar-benar penting, sampai kita harus menunda perjalanan ke Topeka," jawab Dean, keluar dari mobil. Ia lalu menyusul Sam memasuki hutan pinus itu.
"Kau sudah mengecek tentang hutan ini?" tanya Dean, berjalan di samping Sam dan melihat berkeliling. Tempat itu tampak sangat damai. Burung-burung berkicau riang, sinar matahari musim semi menerobos pepohonan, bagai kain-kain keemasan. Persis seperti gambaran hutan dalam buku-buku dongeng-tanpa-monster, yang justru membuat Dean bergidik hanya dengan memikirkannya. Jangan-jangan nanti dia melihat unicorn dengan pelangi tersembur dari pantatnya. Ugh.
"Yeah. Dan aku tidak mengerti kenapa Castiel mengirim kita ke sini. Sejauh risetku, tidak ada kejadian ganjil selama lima puluh tahun terakhir. Tidak ada laporan orang hilang, jejak tak dikenal, darah berceceran..... semuanya normal, bahkan bisa dibilang... uh, salah satu hutan paling indah di Amerika."
"Oke, jadi aku boleh berharap bisa bertemu dryad cantik," seloroh Dean.
Mereka terus berjalan sampai sekitar dua jam, sebelum akhirnya Sam melihat sesuatu. Ia langsung menyikut kakaknya. "Dean!"
"Apa?" tanya Dean waspada, secara refleks mengangkat shotgun-nya.
"Kurasa aku sudah menemukan dia," jawab Sam, berjalan mendekati sebuah pohon oak besar, memberi isyarat Dean untuk mengikutinya.
Di bawah pohon itu, meringkuk sesosok makhluk yang, ketika diamati lebih jelas, adalah seorang gadis kecil. Rambutnya yang berwarna coklat gelap berantakan hingga menutupi wajah, dan pakaiannya parah. Yah, bukannya cowok-cowok Winchester tahu tentang fashion anak perempuan, tapi celana cammo dengan ukuran ekstra large dan kaos lengan panjang yang bakal muat dipakai Sam akan cukup membuat seorang remaja cowok tampak seperti kurcaci, apalagi anak perempuan mungil. Pantas saja Dean tidak menyadari keberadaan anak itu. Dari kejauhan, ia hanya tampak seperti gundukan.... yah, sampah.
"Holy sh*t," maki Dean pelan, melangkah lebih dekat ke gadis kecil itu.
"Be careful, Dean. I think she's a hunter's girl," kata Sam mengingatkan.
"Uh? How'd you know?" tanya Dean tanpa mengalihkan pandangan.
"Well, how many little girls you know bring a knife in their waistband?" Sam menunjuk sarung belati dari kulit yang mengintip dari balik kaos.
Dean berlutut dan memeriksa anak itu sehati-hati, tapi juga seteliti mungkin. Setelah memastikan dia tidak terluka, Dean menggendong gadis kecil itu dan berkata pada Sam, "kurasa dia cuma tidur."
"Oke," tanggap Sam canggung. Dia sudah tahu sejak dulu kalau Dean memang memiliki keahlian khusus menangani anak-anak, tapi rasanya masih aneh melihat seorang pemburu sangar sepertinya menggendong anak kecil, dengan gaya seorang ayah pula.
Perjalanan kembali ke mobil berlangsung dalam diam, khawatir akan membangunkan si anak – karena begitulah karakter anak-anak pemburu kebanyakan – mereka selalu waspada bahkan dalam tidurnya, dan bisa terbangun gara-gara suara sekecil apa pun.
Mereka hampir mencapai pinggir hutan ketika anak dalam gendongan Dean mulai bergumam bergerak-gerak, menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Dean melihat ke bawah. Sesaat ia bertemu pandang dengan sepasang bola mata besar, dan detik berikutnya ia menggerung kesakitan, terbungkuk memegangi perutnya yang ditendang si anak perempuan.
"Dean!" Sam buru-buru menghampiri kakaknya. Si gadis kecil berdiri di hadapannya, siap melancarkan serangan periode kedua. "Hey, hey, it's okay, we won't hurt you," kata Sam, kedua tangannya terangkat, berusaha menenangkan makhluk kecil itu, sekaligus menunjukkan bahwa dia tidak membawa senjata.
"Demons lie," jawab si anak kecil keras kepala, matanya yang berwarna aneh – campuran antara coklat tanah dan kuning madu – menatap mereka bergantian dengan garang.
"Oh c'mon," gerutu Dean setelah rasa sakitnya berkurang, "apa kau pikir demon bakal merasa sakit kalau ditendang?"
Sam melirik Dean dengan tatapan yang mengatakan terimakasih-atas-komentar-yang-tidak-membantu-dasar-tolol dan kembali menghadapi anak kecil itu, yang entah sejak kapan sudah menodongkan shotgun pada mereka. "Whoa, easy there, tiger. Just put your gun down, okay? We're hunter and we tried to help you.............."
"Show me the proof!"
"Proof?" ulang Sam bingung.
"Proof that you're hunters and not two freakin' possessed corpses or something like that," kata anak itu dingin, tanpa sesenti pun menurunkan shotgunnya.
"Well...." Sam kembali melirik Dean, yang juga meliriknya. Kakaknya mengangguk dan keduanya membuka kancing atas kemeja mereka untuk menunjukkan tattoo pentical di dada kiri masing-masing. "Ini cukup?"
Anak itu tampaknya puas dengan bukti yang ditunjukkan padanya, ia kembali menyimpan shotgunnya dalam duffel bag pink, tapi masih mengawasi Sam dan Dean dengan curiga, seolah keduanya bisa tiba-tiba berubah menjadi demon merah bertanduk dalam satu kedipan mata.
"Jadi, setelah kesalahpahaman ini diluruskan," kata Dean, "bagaimana kalau kita kembali ke mobil?" dan tanpa menunggu jawaban, ia meraih tangan anak kecil itu, menggandengnya erat agar tidak kabur. Sesaat anak itu memprotes, berusaha melawan Dean dengan segenap kekuatannya, termasuk melontarkan makian paling hebat yang bisa dibayangkan keluar dari mulut seorang anak perempuan, tapi sekarang setelah cowok itu siap, serangan si calon pemburu tidak berarti apa-apa baginya.
Sesampainya di mobil, Dean mendengar anak kecil itu menarik nafas terkejut. "Apa itu mobilmu?" tanyanya, terdengar agak terheran-heran.
"Yeah, she's my baby," jawab Dean bangga. Ha! Terbukti kan kalau mobilnya bagus? Bahkan anak kecil saja sampai terkagum-kagum.
"Darimana kau mendapatkannya?' tanya si anak, matanya menyipit curiga.
"Hei, hei apa maksudnya itu?" tukas Dean jengkel. "Aku mendapatkannya dari ayahku tahu!" Berani-beraninya kecebong kecil ini mengira dia mencurinya! Huh, mana ada Impala lain sebagus ini di Amerika!
Dean meletakkan anak itu di backseat dan mereka langsung meluncur meninggalkan hutan. Mereka melewatkan sepuluh menit pertama dalam diam, hanya musik Metallica yang membahana dalam mobil. Sam heran kenapa Dean belum tuli juga setelah mendengarkan musik sekeras itu bertahun-tahun, terhitung sejak Sam masih di Standford, tapi lebih heran lagi bagaimana anak perempuan misterius di belakang bisa tahan dengan selera musik Dean. Tapi kemudian ia mendengar suara gumaman dan ketukan seirama lagu yang tidak berasal dari Dean, dan ketika ia menoleh, ternyata si gadis kecil sedang menggumamkan lirik Ain't My Bitch, kakinya yang mungil mengikuti irama dengan refleks. Oh yeah, bagus sekali. Jadi sekarang Sam satu mobil dengan dua penggemar musik rock klasik? Buset deh.
Sam berdeham. "So.... You like classic rocks?" Ia membuka pembicaraan.
Gadis kecil itu menatapnya seolah Sam adalah orang paling tolol sedunia. "Of course I'm not, only tackies listening to those craps. I'm just bored back here so my gift of tone-sensitivity takes the wheel."
Muka Dean memerah seketika, dan Sam terkekeh. Senang sekali rasanya bisa menikmati kakaknya itu tertohok tanpa perlu dapat jitakan di kepala.
"Omong-omong, siapa namamu?" tanya Sam lagi.
"Humm.... yeah, like I'm gonna tell you," jawab si anak sambil memutar bola mata, dan kali ini, giliran Dean yang tertawa sadis.
Sekitar satu jam kemudian Dean memarkir Impala di depan sebuah diner mungil untuk sarapan. Ia menggandeng ( lebih tepatnya menyeret) si gadis kecil ke dalam dan mendudukannya di kursi dekat jendela, lalu duduk di sampingnya untuk memblokir jalan kabur. Si anak melotot marah padanya, mirip Sammy kecil saat Dean tidak mengijinkannya pergi bermain sebelum menghabiskan acar mentimunnya.
"Kalian mau pesan apa?" tanya seorang waitress cantik berambut keriting dengan ramah. Dean membaca nametag-nya: Tarra.
"Sandwich, bacon, dan salad," jawab Dean. "Dan dua kopi dan susu."
Si waitress mengangguk dan beranjak pergi untuk mengambilkan pesanan mereka. Sambil menunggu makanan tiba Sam pergi ke belakang dan Dean memandang sekeliling diner. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, sudah jauh lewat waktu sarapan dan belum tiba jam makan siang, jadi tempat itu nyaris kosong. Hanya ada seorang tamu lain, pria tua berjenggot yang duduk di sudut sambil minum dari cangkir besar, jenis orang yang selalu ada di diner manapun di setiap kota yang pernah mereka kunjungi. Di bagian atas counter ada sebuah televisi yang tengah menyiarkan Breaking News, tentang kebakaran hebat di sebuah apartemen, menewaskan dua puluh orang. Dean tidak terlalu memperhatikan berita itu sampai didengarnya si gadis kecil terkesiap.
"What's wrong?" tanya Dean segera, lalu mengikuti pandangannya ke televisi. "Oh crap," rutuknya pelan, dan menatap si anak lagi. "Is that your house?" Well, I hope not, pikir Dean, karena dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi jika dia ternyata memungut hunter kecil yatim-piatu.
Butuh beberapa detik bagi si anak untuk mencerna pertanyaan Dean, seolah dia masih sangat shock dengan berita yang baru ditontonnya, dan menjawab, "What... No, of course it's not, it's just...... did it happen today?" untuk pertama kalinya, ia terdengar bingung dan takut.
"Yeah, it should be, since it's a Breaking News, they always report the newest one, don't they?" Dean menatap si anak dan televisi bergantian. "What is it?"
"Nothing," gumamnya, dan sebelum Dean sempat bertanya lebih jauh, Tarra telah datang mengantarkan pesanan mereka.
Anak perempuan itu hampir tidak menyentuh makanannya dan diam seribu bahasa ketika Dean dan Sam memberitahunya bahwa mereka akan membawanya ke tempat Bobby (Sam telah menelepon hunter itu sebelumnya untuk mengabari tentang 'penemuan' ini). Gadis kecil itu tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, alisnya berkerut dalam dan dia bahkan tidak berusaha kabur lagi saat Dean membawanya kembali ke mobil. Setelah beberapa jam, barulah dia berdeham untuk menarik perhatian dua orang di frontseat.
"So.... umm.....what's your name?" dia bertanya ragu-ragu, tidak jelas apakah itu ditujukan pada Sam, Dean, atau keduanya.
"Humm.... yeah, like I'm gonna tell you," Dean menirukan jawabannya, sarkastis.
Sam melempar pandang menegur pada kakaknya. Ia menoleh ke backseat dan tersenyum minta maaf pada si anak sebelum menjawab ramah, "my name's Sam, and this is my big brother Dean." Dia menunggu sejenak, dan ketika si anak tidak mengatakan apa-apa, Sam melanjutkan, "and your name is?"
"Alice," jawab anak perempuan itu pelan, "it's Alice."
TBC
