Unwanted

.

Romance, Hurt/Comport

Vocaloid by Yamaha Corporation, etc.

Tidak mengambil keuntungan apapun. Ditulis untuk kegemaran dan hiburan tersendiri.

Note : Hati saya beneran comport dengan kisah beginian. Dan mungkin saya bisa memiliki hati untuk pair ini.

Warn : death fic,depression feeling, negative thinking about life. Jika Anda memiliki masalah dengan penyakit serius atau bermental lembek, sebaiknya jauhi story ini. Saya serius. Anggap saja story ini sebagai ujian keimanan.

Dalam larutan depresinya, Yohioloid sudah banyak mengulur bantuan untuknya. Luka dalam dirinya memiliki penawar; sadar atau tidak, dan itu terjadi dalam segala aspek. Tapi….. (warn : death fic).

.


.

Kegelapan melumat berbagai fasilitas menurut aturan waktu, dan jalan yang membentang tubuh sungai ini nyaris tidak dipedulikan.

Kehidupan tetap membahas penderitaannya. Kesedihan sudah mengosongkan hatinya, sementara ketakutannya mengenai luka-luka fisik itu sudah ditangani.

Dibanding luka, ia takut pada masa depannya sendiri.

Tidak ada yang memerhatikan pagar sungai dingin yang tersamar oleh gelap, dan mereka tidak akan peduli pada seseorang yang membuang waktunya untuk menaikinya. Sungai yang merunut arus kebalikan—dari hadapannya—hanya mengguratkan kerlap-kerlip cahaya dan itu tidak seindah bakteri juga kedalaman yang akan menyiksanya, pasti. Tapi ia bertaruh; jika kehidupan memang sudah mengatakan tak layak, dari kesendirian yang terus menjalar sementara dosa seperti tidak pernah berhenti.

Tubuhnya berada di depan pembatas itu, pegangannya ke belakang mulai mengendur.

Ia tidak peduli jika namanya bukanlah yang paling banyak dikenang orang.

Sungai itu sudah menawari kematian padanya. Kesengsaraannya akan segera berakhir, untuk dunia yang tidak akan berubah sekalipun tanpanya.

Hanya saja, seseorang merenggut lengan kanannya ketika tubuhnya sudah lepas dari pijakannya.

"Dasar gila!"

Luka dalam dirinya malah berdenyar ketika seseorang berlagak peduli hanya karena perilaku spontan dan cara kasar orang itu.

Caranya yang bergegas menghela lengan berbalut kaos panjang putih sementara ia meronta dengan kehancuran dari wajahnya.

"Jangan memberi kematian untuk dirimu sendiri!"

"Aku tidak ada hubungannya dengan dirimu!" Ia berupaya membuat dirinya terlepas bahkan dengan kedua kaki yang menekan bebatuan—pinggiran jembatan. "Lepaskan!"

Sekeliling tidak ada yang menyahut apalagi bergegas meski hanya menonton. Pemuda ini—kenapa bisa datang, dan ia cukup muak dengan malaikat menjijikkan yang tidak akan mengerti perasaannya.

Kehidupan terus meludahinya.

"Aku tidak mungkin berpura-pura tidak tahu…" Dia tertahan untuk mengatakan sesuatu, tubuhnya yang terjulur itu sedang mempertahankan dirinya.

Dirinya yang tetap membangkang dengan lengan yang meminta haknya.

Untuk dilepaskan dan terjatuh.

Air matanya tidak ditanggapi, sementara cengkeraman orang itu bisa menangani tubuh kurusnya meski perbatasan itu pasti menyakiti perutnya.

Ia membentak seperti kerasukan, tapi pemuda itu sepertinya kehabisan kosakata.

Ia tiba-tiba membenci dirinya yang berhasil didekap dan kembali ke daratan, menoleh banyak objek seolah bukan di sini seharusnya.

Takdirnya masih berada di bawah sana; sungai yang kelam.

"Aku tidak pandai memotivasi orang." Berkas cahaya yang sedikit menghidupkan rambut pirang itu, wajah dingin itu tidak mengartikan apapun.

Sementara ia tertengadah dengan kerapuhan yang lebih memihak pada kebingungannya.

"Tapi sebenarnya, jalan itu bercabang. Masih ada cara lain yang bisa kaujalani untuk mengesampingkan niat burukmu itu." Pemuda itu menyergap pergelangan tangannya sebelum ia hendak protes.

.


.

Ia baru pulang dari perkumpulan band indie sebelum akhirnya bertindak sejauh ini. Tujuannya hanya untuk menjauhkan gadis itu dan membuatnya melupakan arah menuju sungai itu. Sayangnya itu hanya pemikiran jangka pendek sebelum akhirnya ia melanjutkan rancangan di kepalanya; apa yang akan dikatakannya pada gadis ini jika rasanya pinggiran jalan perkotaan tidak mengantarnya ke manapun.

Yohioloid agak ragu untuk berpaling ke belakang, orang yang tidak menolak tangannya yang tertahan karena sorotan matanya tidak mengartikan apapun.

Ia tidak pernah berperilaku spontan pada orang asing seperti ini kecuali menolong anak kecil yang terjatuh dari sepeda atau anjing yang tertabrak mobil.

Dengan kebingungan yang tidak bisa disembunyikan, tangannya bergerak untuk tidak memaksa lagi. Dia mengusap pergelangan tangannya seperti memulihkan rasa sakit, padahal Yohioloid merasa tenaganya tidak seberapa. Gadis itu tidak menghindar meski mereka sedang berhenti melangkah.

"Kuharap kau tidak kembali lagi ke sana." Wajah itu berlagak tidak memahami, ia mendadak meragukan harapannya. "Kau harus pulang ke rumahmu. Ingatlah keluarga yang merindukanmu."

Dia mengelak perkataan itu dari kepalanya. "Aku selalu sendirian."

"Rasanya tidak mungkin."

"Aku tidak membutuhkan kepercayaanmu. Terima kasih sudah membuang waktuku." Langkah yang singkat untuk mundur sebelum akhirnya dia menghadapi berbagai kendaraan yang melesat secara langsung.

"Jangan seperti itu!" Yohiolod terkesiap untuk menangkapnya seperti saat ia melihat percobaan bunuh diri sebelumnya. Dua kali cara seseorang untuk bunuh diri; mencegah saja tidak bisa mengubah segalanya.

"Kenapa kau selalu…."

"Aku tidak punya rumah!" Dia meledak dengan air matanya lagi, seperti tadi. "Hidupku sama saja…. Aku tidak mau tinggal di sana lagi…."

Tidak banyak yang bisa dilakukannya. Dan jika ia menyerah lalu berlagak tidak peduli, pertolongan yang diberikannya tadi akan sia-sia.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

"Tidak ada, aku akan pergi."

Malam yang meliputi sudah menandakan perubahan pada jumlah kendaraan di jalanan, tiba-tiba ia mengkhawatirkan orang-orang jahat yang berkeliaran. Dalihnya menjadi mendesak dan berbelok; lagi-lagi spontan.

"Berbahaya kalau kau sendirian di jalanan. Aku ingin membantu."

Gadis itu tidak mengalami perubahan, dan hendak berbalik—tidak peduli kalau saja ia tidak menahan bahunya.

"Aku serius." Terjeda, Yohioloid mengutuk masalah ini. "Kau bisa menginap di rumahku, aku tinggal sendirian di sana."

Memang tidak waras—baginya, mengajak orang asing—yang bahkan tidak diketahui baik jahatnya—hanya untuk mencegahnya dari tindakan itu.

Dia bahkan tidak memiliki jawaban, tapi Yohioloid tidak ingin bersandiwara lebih lama lagi di tempat ini.

Caranya yang mengajak tangan rapuh itu tetap sama; tidak beriringan.

"Kenapa kau peduli? Kau tidak mengenalku." Suara itu selembut angin. "Kau siapa?"

"Yohioloid." Ia menoleh untuk perkenalan yang dilakukannya. "Dan kau siapa?"

"Maika." Tanpa senyuman.

.


.

Ia tidak pernah memikirkan anggota baru di dalam rumahnya.

Maika benar-benar tidak ingin kembali, tapi juga di manapun. Dia benar untuk ciri-ciri tidak rasional, tidak memiliki harapan, bersedih tanpa sebab, seperti artikel-artikel yang selalu dicarinya di jejaring maya untuk karakteristik bunuh diri. Lalu, ia membantu mengemasi barang-barang di rumah yang ingin ditinggalkan itu.

Ketidakwarasan ini berkembang, dan sekarang ia tidak menyangka; ada gadis depresi yang perlu diajukan pada psikolog karena perilakunya yang pasif.

Setidaknya, dia mau berbalas budi pada kebaikan tempat yang menaunginya—akhir-akhir ini.

Yohioloid tidak meyakini sedikit motivasi pada senyuman kecil itu kemarin. Dia terlihat selalu menggunakan pakaian berlengan dan kerapuhan itu masih ada.

Mereka berada di ruang yang sama—dapur, dan caranya memainkan pisau untuk memotong sayuran itu agak aneh. Ia mengagetkan Maika dengan sapaan memaksa—yang juga jarang dilakukannya—di sisinya. Pisau itu sedang mengurusi bawang daun, tidak ada cara menyimpang seperti dalam angannya.

"Ah, maaf, aku hanya ingin bilang; jika kami akan melakukan rekaman untuk single selanjutnya."

.


.

Semuanya sama saja, ia tidak ingin berada di manapun.

Pemuda itu menghilang tanpa sebab selama empat hari, dan rumah ini seperti beralih tanggung jawabnya. Maika menggantungkan perasaannya kepada ketidakpastian—kapan dia pulang-, sama seperti waktu itu, sebelum semua ini terjadi.

Ia sudah mengelilingi lantai kamarnya yang menyiratkan beberapa keputusannya yang mudah berganti. Semua itu tidak berarti apapun, kehidupannya hanya berganti latar tanpa mengeluarkannya dari perasaan buruk yang terus melekat padanya. Membosankan, tidak berguna, ingin menghilang.

Dengan menghilang, seseorang—yang belum bisa akrab dengannya—itu tidak akan terbebani olehnya. Dia tidak perlu repot memikirkan menu makanan yang dituntut untuk berganti sepanjang waktu, atau kamar yang direlakannya dengan sofa yang masih bisa menampung tubuhnya setiap malam.

Pengorbanan itu menjadi menggelikan jika pada akhirnya orang itu tidak tahan padanya.

Maika berakhir dengan kesendiriannya lagi.

Bergegas mencari sesuatu di rongga tempat tidurnya. Beberapa benda terkutuk sebagai persiapannya jika perubahan ini tidak ada artinya dan menumpuk bersama kesedihannya.

Ia mengedar pada lapisan tembok yang—mungkin—memajang sesuatu, tapi sayangnya—hanya ada jendela berukuran setengah tubuhnya di sana.

Maika memilih mulut pintu yang pernah dibubuhinya paku besar ketika ia hanya bermain-main dalam kesedihannya. Ia sudah menggiring kursi untuk pijakannya, lalu mengikat tali yang tidak begitu gemuk untuk dieratkannya pada paku yang pertahanannya tidak seberapa.

Keinginannya diulang kembali.

Ketika tali pendek itu hanya perlu diisi kepalanya dengan lingkaran ala kadar yang dibuatnya, Yohioloid menerobos pintu dengan sambutannya. Ia tergesa untuk membongkar simpul tali, tapi rangkaiannya cukup kuat—ia mulai mengutuk hal ini-. Kehabisan cara, hanya pintu yang bisa menutupi aibnya.

"Aku membelikanmu steak, semoga kau suka." Dia menawarkan kantong plastik itu dengan senyumannya juga, menaruhnya di sofa.

Maika menjadi bagian dari pelindung aibnya, meski pintu sudah cukup membelakangi tali itu. Dalih orang itu selama menghilang pasti terletak pada gitar yang terbungkus di balik punggungnya. Namun segala dugaannya seperti didobrak oleh kemunculan itu. Lalu saat suara itu mengejutkannya, tenggorokannya tercekat.

Ia menahan ungkapan matanya yang begitu lemah membenarkan perasaannya.

"Hei, ada apa?"

"Kau tidak memberitahuku—ke mana kau pergi."

"Kami melakukan tour—baru dua daerah, dan aku tidak sempat pulang ke rumah. Banyak makanan cepat saji di dalam kulkas—yang sengaja kusimpan untukmu-. Lagipula, aku sudah pernah mengatakannya saat kau berada di dalam kamar."

.


.

"Kurasa sudah cukup." Sang vokalis memberi jeda dari caranya mengangkat tangan. "Kecuali si drummer yang menghilangkan suaranya pada bagian coda."

"Apa? Hei, tanganku pegal, aku cuma mengambil peluang untuk beristirahat."

Yohioloid menjadi penonton bisu sejenak setelah meregangkan jemarinya dari senar gitar, ia membuat dirinya terhenyak pada sofa di belakangnya. Lagu yang sudah merekaulang sebanyak dua kali menjadi pengisi album; track keempat. Ia tidak begitu mengetahui detail perilisannya ke studio rekaman meski begitu banyak terlibat dalam rangkaian, ide, bahkan seperempat untuk lirik lagu itu sendiri.

Yang diinginkannya setelah mereka semua mampu menggerakkan deretan not abstrak itu dalam instrument musik hanyalah kembali ke rumah saat malam belum begitu larut.

"Lirik lagu yang dibuat olehmu lebih bagus dibanding si vokalisnya sendiri. Dia lebih pintar jika membentuk demonstrasinya." Sang basis di sisinya menyunggingkan senyuman, ia hanya berterima kasih.

"Tapi dia adalah nyawa di dalam sebuah lagu, meski perangainya cerewet dan terkadang koleris."

Menjadi bagian dari band indie ini adalah pilihannya, setidaknya untuk saat ini.

"Itu berkebalikan dengan bass yang nyaris tidak kelihatan, 'kan?" Seperti ada unsur terluka tapi aksennya tidak berubah sedari tadi. "Omong-omong, saat aku melewati rumahmu, aku melihat ada perempuan di dalam sana. Siapa dia?" Dia menyikut sikunya.

Yohioloid memastikan jika sang vokalis yang sedang menceramahi sesuatu dengan stik yang dipukulnya berulang kali pada piringan—mereka tidak mendengarnya.

"Hanya teman yang membutuhkan tempat tinggal. Dia sedang mengalami depresi."

"Oh, ternyata tidak seperti kelihatannya."

Sang teman seperti ingin menguak hal lebih dari alis yang tetap ditinggikan itu.

"Aku tidak banyak berbicara dengannya."

.


.

Berbagai keganjilan yang tak sengaja dilihatnya mulai memudar, entah kenapa. Padahal tidak banyak yang bisa dibicarakannya selain mengulas hal kecil mengenai musik yang pertama kali membuatnya terperangah pada nyanyian dari suara feminim—tepat di depannya.

Ia bisa berbicara—seperti seharusnya teman—dengan Maika yang tidak tampak muram seperti biasanya, itu melepaskan pikirannya yang mengarah pada psikiater ketika angan itu mendesaknya dalam persoalan biaya.

Dia ikut membantunya melambungkan lika-liku lirik lagu yang sedang dirangkainya dengan iringan gitar akustik—menggunakan gitar listrik hanya dalam band—meski Yohioloid sama sekali tidak mengeluhkan apapun dalam kegiatannya. Ia menoleransi sesuatu yang tak terduga itu dengan merekam—ide itu—pada ponsel ala kadarnya, lalu membiarkan sang vokalis ikut menilai perbedaan itu.

"Sudah cukup lama—aku berpikir untuk bisa berduet dengan perempuan. Siapa ini?"

Ia menguraikan segalanya; tekad orang itu dengan melompat ke sungai, kondisi gadis itu, sampai pemikiran gilanya dengan tinggal bersama.

Setelah itu, 'kekosongan' itu datang, tapi ia tidak mengerti; itu apa?

Yohiolod terlanjur menyetujui pertemuan Maika dengan bandnya.

"Dari tadi kulihat—kau tetap diam saja di depan kamar mandi yang kosong."

Kalimat yang berembuk dengan perkakas dapur itu tidak mengagetkan, tapi Yohioloid bergegas menghilangkan kebodohannya setelah ia hanya membalasnya dengan menoleh.

.


.

Yohioloid mengajaknya ke perkumpulan band-nya dan mulanya itu tidak tampak seperti beban dari respon Maika yang bersikap ramah.

Berkat kesedihannya yang memudar meski ia masih tidak bisa membuka kepercayaannya pada siapapun.

Maika tetap bersolek, itu seperti tuntutan baginya yang terkadang tidak peduli dengan komentar orang lain terhadapnya. Hanya untuk membuat orang itu tidak menganggap penampilannya menjelaskan kondisinya selama beberapa hari yang terlewati. Juga untuk kemampuan menyanyi yang—dulu—pernah menjadi napasnya.

Ia melupakan caranya mempertebal warna di bawah garis mata atau goresan warna-warna lain untuk matanya. Hal-hal yang dilukis untuk wajahnya sebatas pengetahuannya dan tidak ada yang dilebihkannya dalam penataan apapun. Cermin selalu mengatakan hal yang sama—tanpa perubahan, pantulan itu seperti hendak menertawakannya.

Apa sekarang kau percaya, lalu dibodohi lagi?

"Kau lama juga—ternyata." Yohioloid sudah menengoknya dari ambang pintu sebelum ia sempat menyadari hal itu. "Aku harus mengatakan sesuatu. Ini mengenai kau dengan bandku."

Maika menaruh pemoles pipi.

"Aku berbohong tentang kau yang memiliki suara jelek dan kubilang jika yang kurekam suaranya itu hanyalah orang lain. Aku menghubungi vokalisnya tadi."

"Kenapa kau membatalkannya?" Ia cukup terkejut meski tidak begitu mengharapkan pertemuan itu.

"Ya, itu karena…." Yohioloid tidak bisa menentukan sikapnya, "kupikir aku bisa berlatih untuk bernyanyi bersamamu. Aku bisa melakukannya—untuk menebus kebohongan itu."

Pengkhususan, ia mengerti itu. Baju yang dikenakannya menjadi kurang berarti dan mendadak ia mengecewakan hal itu.

"Kau membuatku melakukan hal yang tidak berguna."

"Tidak juga karena aku menggantinya dengan pergi ke luar bersamamu."

.


.

Beberapa pil melompat-lompat dalam ruang yang sempit, Maika memainkannya bersama kepala kosong. Bunyi dari pantulan itu seperti detakan jam, tapi ia tidak memiliki ide apapun untuk mengisi waktunya. Benda ini seperti mainannya, ia tidak bisa melepasnya.

"Obat apa yang kaupegang itu?" Yohioloid menuju ke arahnya dengan cukup tergesa, sementara ia terkesiap dengan kepolosan yang dibuatnya tanpa berpikir; menyembunyikannya di balik punggung.

"Dari tadi aku memerhatikannya." Dia duduk sejajar—di karpet—dengannya.

"Kau salah lihat." Tangannya yang melindungi wadah kecil itu mulai terganggu oleh rasa ingin tahu dari pemuda—di depannya.

"Kukira kau sudah terbebas dari hal-hal semacam ini." Wajah itu melemah dengan kekhawatiran dan kekecewaannya, mungkin itu yang ingin disampaikannya dengan tangan yang berusaha membongkar kepalan yang tetap dieratkannya.

"Ternyata kau masih seperti ini."

Maika membuang muka, tidak memiliki pernyataan yang bisa menjadi patokannya saat ini. Perasaan ingin mengakhiri segalanya memang memudar, tapi menyukai kehidupan itu sendiri; ia masih belum bisa.

"Aku memberimu kehidupan yang lain dan kupikir—kau akan menerimanya."

Ketika ia mencoba mengelak tangan itu—lebih ke belakang, wajah yang masih meluapkan ketidakmengertian itu tak sengaja ikut terdorong ke depan, mungkin karena tangannya mengekori pergerakan itu.

Maika keberatan dengan situasi ini, dan orang ini tidak menyingkir.

"Tapi, kenapa…"

Dia menangkap mulutnya yang masih tidak bisa berdalih dengan lumatan lembut sekaligus sensasi dingin yang ditawarkannya.

Yohioloid menjauh dengan rona memerah yang membuatnya berpaling untuk sesaat. Maika tetap mengarah menagih maksud, terkejut masih mendominasi; dan ia baru menyadari handuk—yang tampak basah—yang melingkar pada tengkuk orang itu.

"Aku mencintaimu." Spontan, tapi keyakinan itu mulai mekar. "Jangan tinggalkan aku gara-gara perilakumu itu." Dia tepat menembak matanya.

Kalimat itu malah membentengi segalanya, hanya meninggalkan debaran dalam dirinya. Pelampiasan rasa malu yang dimilikinya tidak jauh berbeda dengan Yohioloid—yang sejak kapan; orang itu bisa berterus terang seperti itu-.

"Aku tidak sempurna. Kau akan menyesal jika memilihku."

"Aku tidak peduli. Kehidupan di rumah ini menjadi berbeda sejak kau berada di sini, dan aku bahagia. Kau terlihat tulus ketika melakukan segala hal—pekerjaan rumah—di rumah ini."

Dia tidak berbohong, kilauan dari matanya tetap berbinar.

Tapi tingkat kepercayaan tidak bisa terbuka begitu saja.

"Kau mencintaiku hanya karena bantuan seperti itu." Aksen pelan.

"Untuk perasaan itu, aku tidak punya alasan." Jeda untuk berpaling sesaat, sebelum hendak membakar wajahnya dengan pernyataan lagi. "Kau mau aku menikahimu—supaya kau percaya?"

Ia tidak pernah merasa dituntut menatap keyakinan yang meminta jawaban selain seseorang di masa lalunya pernah mengingkari perbuatan semacam ini. Kenangan itu menyakitinya, namun respon dari matanya yang mulai mencair justru karena pernyataan—yang terdengar bersungguh-sungguh—dari seseorang yang bisa menerima dirinya.

Ia merasa—dirinya 'diinginkan'.

"A-Aku… selalu merasa dibenci…" Maika sibuk mengurusi air matanya sebelum akhirnya orang itu menyediakan lengan untuk mendekapnya.

.


.

Pernyataan itu seperti memagari segala perbuatannya, meski ia terbiasa melakukan kepura-puraan tentang ekspresinya. Sekarang kejujuran dalam hatinya lebih mendominasi, Maika merasa ragu untuk mengambil kursi yang berseberangan dengan orang itu, seperti biasanya. Untuk pembukaan pagi dengan semangkuk sereal juga suara-suara perkakas dapur yang dilalui telinganya sedari tadi.

Ia sudah mengisi kursi itu dengan sereal—di depannya—yang tetap mengering dalam porsi yang diinginkannya. Hambatannya hanya berada dalam ketidaknyamanannya, apalagi jika didorong dengan suatu tekad untuk memberitahu sesuatu.

Rahasia kecilnya.

"Hei." Setidaknya ia sudah menarik perhatian.

Orang itu sudah mengarah padanya sambil mengunyah.

"Ada sesuatu yang…..kusembunyikan selama ini." Mencoba untuk membuka masalah pribadi yang seolah bisa diterima dari cara pemuda itu bersungguh-sungguh dengan perasaannya kemarin. Ia hanya merasa perlu membayar budi berkat segala renungan yang dilakukannya dengan nilai positif.

Melipat-lipat balutan pakaian pada lengannya yang hanya sekedar membungkam aib lalu membiarkan sensasi itu berdenyar.

Hanya mencapai siku, Maika menyajikannya seperti hendak berkonsultasi dengan ahlinya. Pemuda itu terkesiap, lalu sesendok sereal yang dibatalkan.

Sayatan-sayatan yang mengering dan beberapa yang cukup baru berlepotan memenuhi kedua lengannya. Ia mengamati reaksi mata yang kebingungan itu, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi suara itu tidak keluar juga.

"Aku tidak pernah mengatakan sesuatu padamu tentang alasanku tidak menginginkan rumah itu." Ia mengulurkan kembali kain yang terlipat di sikunya itu. "Kupikir, tidak ada salahnya untuk memberitahumu."

"Aku senang—kau mulai percaya padaku."

Maika meyakinkan dirinya dari anggukan ambigu yang dibuatnya.

"Orangtuaku sudah lama berpisah, sebenarnya aku diberi kebebasan untuk tinggal dengan siapapun di antara mereka. Ibuku memiliki bipolar, aku tidak ingin jadi pusat kesalahpahaman karena suasana hatinya. Kupikir kejadian buruk yang kualami tidak memiliki kelanjutannya."

Ia menerawang pinggiran meja ketika pikirannya harus bernostalgia dengan kenangan yang terkubur itu—sejak tinggal di tempat ini-.

"Ayahku selalu menghilang berhari-hari, dan mungkin dia lupa untuk menyisihkan uangnya padaku. Jadi, aku terpaksa mencuri."

Caranya yang tetap memerhatikan tidak tersirat tuduhan atas perbuatan itu.

"Semua barang curian itu masuk dalam perutku. Aku tidak tahan untuk tidak menghukum diriku."

Gesturnya yang menarik lengan di pakaiannya seperti hendak menunjukannya lagi. Sereal yang masih mengering itu belum mendapat perhatian sepenuhnya, sementara ia meragukan penerimaan terhadap kisah buruk yang sedang ditunggu tanggapannya itu.

"Sudah berapa lama kau melakukan itu?"

"Dua tahun sejak aku menyelesaikan sekolah."

Sang ayah bahkan tidak mencarinya sampai saat ini. Jika menghilang secara harfiah dari dunia ini, hal itu bahkan tidak mengubah apapun.

Pemikiran semacam itu kembali berembus padanya.

Yohioloid bertopang dagu, tetap mengarah padanya.

"Kau punya kecenderungan untuk mewarisi penyakit genetik itu—jika melihat kondisimu yang terkadang membingungkan."

Maika sedikit berpaling bukan untuk mengelak pernyataan itu, ia hanya tidak memiliki respon apapun. Kepeduliannya terhadap kemungkinan gejala apapun bahkan hanya selintas tanpa menetap di pikirannya.

"Aku tidak suka caramu melukai diri. Bisakah kau menghentikan itu untukku?"

Kepalanya tertekuk menerawang luka lengan yang sedikit disingkapkan lalu dirabanya secara insting. Luka ini seharusnya menjadi dalih lain supaya pemuda itu menyerah pada perasaannya.

"Aku sudah memberitahumu kekuranganku, dan luka-luka yang kubuat. Aku tampak tidak diinginkan, ya 'kan? Seharusnya kau melakukan hal yang sama." Batinnya menyeru makna yang berkebalikan, tapi ia hanya ingin menguji kesungguhan orang ini. Ia meremas pakaiannya berkat pernyataan bodoh itu.

"Kau memerlukan seseorang, begitu juga denganku." Mangkuk di depannya malah ditarik untuk ditumpahkan susu cair dari cerek putih yang cukup lama berdiri di tengah meja. "Jangan membuat kondisi mentalmu semakin jelek karena pemikiran semacam itu."

Sereal itu sudah diseduh, diserahkan untuknya. Maika mendekat seperti menemukan makanan yang cukup asing, pembauran yang bukan apa-apa selain bola-bola kecil itu menyesaki permukaan.

"Maaf, aku mengganggu selera makanmu karena luka-luka ini."

.


.

Televisi yang mati itu masih menjadi kanvas selama setengah jam berjalan. Maika sedang ingin menonton memorinya sendiri, berbagai tawa yang menguar di antara teman-teman sebayanya dengan dirinya yang ikut berbaur dalam ingatan kecilnya dengan latar di balik gerbang sekolah. Sayangnya, refleksi itu tidak tercantum pada bibirnya siang ini, dengan kadar panas yang cukup tinggi menghujani atap rumah.

Yohioloid berkunjung dengan peralatan pengobatan yang sederhana—handuk kecil yang tampak basah, krim antibiotik dan perban putih-, menyergap pergelangan tangan untuk memberitahunya luka-luka itu lagi. Maika terkesiap dengan kebaikan yang tidak meminta persetujunnya. Handuk itu meresap dingin yang akan ditularkannya pada pinggiran sayatan yang dimulai beberapa renggang dari ujung pergelangan tangannya.

"Apa kau tidak memikirkan—adanya infeksi dengan luka sebanyak ini?" Dia memutar lengannya dan sisi yang lain itu tidak menjejak siksaan serupa.

"Aku tidak sempat memikirkannya." Maika meringis dari cara olesan itu mencoba bersikap lembut. Ia tidak akan mengelak untuk perlawanan pola pikir di antara mereka. Sejak awal pertemuannya dengan orang ini, mereka sudah seperti positif dan negatif.

Yohioloid seperti mencoba untuk tersenyum ketika ia tidak sengaja menengadah lalu berpaling dengan sensasi tak jelas yang mulai merayapi hatinya lagi.

"Sebenarnya aku bukan berasal dari sini. Aku hanya mencoba untuk membiayai hidupku sendiri ketika menunda masa kuliahku, merantau ke sebuah kota….dan tersesat di sini."

"Tersesat?" Aksennya cukup mengejek, tapi ia penasaran. Rasa berdenyut masih menjejak meski kelihatannya handuk itu tidak bermaksud membersihkan luka, seperti pada lengan berikut yang diraihnya.

"Kota yang ingin kutuju bahkan tidak pernah kukenali selain hanya mengetahui namanya saja. Sangat sulit untuk memulai segalanya, dan beruntung aku bertemu seorang drummer—kami pernah berkirim pesan di sosial media karena ketertarikan yang sama pada bidang musik—yang mengajakku untuk bergabung dalam band-nya dan meminjamkan rumah sederhana ini untukku."

Pengobatan itu berpindah pada krim antibiotik, yang akan menjejak sayatan tanpa memedulikan masa luka itu dibuat. Maika terkejut dengan luka baru yang sedang ditangani itu, caranya meringis mengalami kegagalan untuk terus disembunyikan.

"Pasti mengalami kesulitan saat kau harus berendam atau semacamnya. Apa kau tidak berharap untuk segera pulih dari rasa sakit itu?"

Jiwanya jauh lebih menyakitkan dan refleksi itu terdapat dalam ukiran sayatan-sayatan abstrak yang dimilikinya.

"Aku sudah terbiasa." Tapi ia menghargai perhatian yang dilakukan secara nyata—semacam ini, jadi Maika mencoba mengungkap senyuman meski cukup ragu untuk menunjukannya.

Ia mengingat benda kecil yang disematkan di dalam saku roknya. Ia menyingkirkan rasa segan untuk mengeluarkannya, lalu menyuruh pemuda yang masih menggunakan krim itu untuk menggenggam benda baru itu.

"Pisau lipat?" Separuh berbisik.

"Aku tidak akan menggunakannya lagi." Ia merangkum tangan yang mengepalkan pisau itu. "Terima kasih."

Senyuman itu sudah berhasil dinyatakan dan ia mendapat keramahan yang serupa. Yohioloid sedikit berpaling dan ia malah kebingungan dengan bergegas melepas tangkupannya pada kepalan itu.

"Hei, kau belum menjawab pernyataan cintaku waktu itu."

Maika mengekspresikan kebingungan itu sendiri, sesuatu yang menahan perilakunya itu akhirnya ditagih juga.

Ia tidak memiliki cara untuk menghilang.

"Aku ingin terus bersamamu."

.


.

Perbuatan buruk pada kedua lengannya dibaluti dengan perban putih. Ia belum bisa memamerkannya dengan pakaian berlengan pendek meski Yohioloid sedang pergi mengunjungi band-nya.

Penghalang dalam perasaannya sudah cukup berkurang, sementara balasan itu mungkin memerlukan banyak uluran waktu karena ia harus memulihkan dirinya mengenai tingkat kepercayaannya terhadap orang lain.

Tidak banyak hal yang berguna untuk dilakukannya ketika lantai ini hanya sedikit menghimpun debu-debu tak jelas di bawah sapunya. Pikirannya selalu terjadwal untuk melakukannya.

"Aku punya kabar bagus." Pintu itu berderit dan sosok itu sepertinya bergegas untuk mengunjunginya ke dapur.

"Ada apa?" Maika berhenti mengenakan tungkai sapu itu.

"Mereka membatalkan liburannya ke pantai." Yohioloid tampak antusias. "Biaya keanggotaan lebih diperlukan untuk rekaman video di hutan nanti."

Kebahagiaan itu menawarinya untuk tersenyum dengan cara yang sama. "Kalian membatalkan liburan, dan kau merasa senang?"

"Tentu saja, untuk menggantinya dengan liburan bersamamu."

.


.

Dengan kapasitas pagi yang meninggi sesuai waktu, dan tepat saat itu juga—mereka berpergian.

Kebingungan yang dilaluinya mengenai timbal balik sebuah perasaan melarut dalam rasa tidak peduli setelah mereka bisa membicarakan banyak hal seperti kehangatan sebuah rumah yang diharapkannya. Dengan menggunakan bus umum dan beberapa langkah yang banyak memakan tanah terjal hingga mengerahkan sisa tenaga untuk mendaki gunung berbatu yang akan menunjukkan keluasan hamparan dunia ini pada mereka.

"Apa kau merasa lelah?" Yohioloid mengisi telapak tangannya dengan sebuah genggaman yang serupa. Gadis itu selalu terjeda karena lekuk bebatuan itu mungkin menyulitkan sepatunya—yang bukan khusus untuk berolahraga—untuk menemukan pijakan yang tepat.

"Aku tidak apa-apa." Dia menarik tangan yang merekat dengannya untuk menarik dirinya dari kesulitan itu.

Mungkin gunung ini menyediakan bekas jalanan yang pernah dilalui oleh beberapa pendaki sebelumnya tapi jejak itu seperti tersamarkan oleh perubahan waktu.

"Kau pernah mendaki gunung ini?" Yohioloid menaiki ukiran batu ambigu selanjutnya. "Aku pernah melakukannya dengan para anggota band. Ini bisa menjadi tempat yang cocok untuk orang sepertimu."

Maika menjeda rangkaian frasenya sejak ia mulai memikirkan kembali; perjalanan ini pasti memiliki tujuan tertentu.

Tapi tebakannya sangat kontras dengan aura yang dirasakannya dari orang ini.

Ia mengulum semua pegal dan napas terputus yang dialaminya dibanding mengutuk perjalanan yang menyebalkan berkat kepolosannya yang menyetujui sebuah kejutan—tempat wisata—yang tak disebutkan itu.

"Kita sudah sampai, tapi ini bukan puncak tertinggi." Dia membiarkan dirinya sendiri yang pertama untuk menaikinya hingga tuntas, lalu mengulurkan tangan untuk membantu. "Ini sudah cukup tinggi bagiku."

Bahkan untuk orang yang pertama kali mencoba seperti dirinya, ia bersusah payah menggapai pijakan yang akan menjeda perjalanan mereka. Kedua lengannya cukup tersakiti oleh usaha ini, tapi setidaknya, ia berhasil meloloskan tubuhnya pada lahan terjal ini.

"Semuanya tampak indah dari atas sini, 'kan?" Keluasan biru langit yang seolah menggemborkan kemegahan itu, Maika terhipnotis seperti baru pertama kali menyadarinya. Di samping kanannya terdapat tebing dengan rentang dengan dirinya sejauh kiloan meter, batuan mengukir yang hendak menandingi langit, tapi ujung itu dapat terlihat dengan jelas.

Ia bergegas meredakan kering di tenggorokannya dengan sebotol air minum dari tas ringan disampirnya. Maika berpaling ke belakang, pemuda itu sepertinya sibuk mencari sesuatu pada tas punggungnya—yang tampak ringan-.

"Ini terlalu cepat, tapi…" Dia menghalangi objek yang sedang diamatinya, meraih tangannya yang dijejalkan sesuatu yang berbentuk kotak.

Kesungguhan.

"K-Kau….," melamarku? Maika terkesiap, meski selipan perasaannya mungkin melukiskan reaksi yang seharusnya. Kotak merah itu seperti beban lain yang dimilikinya sekarang, dengan ketidakpastian yang diraupnya. Ia lebih menyukai kisah tentang mereka yang berlangsung secara biasa saja tanpa perlu mengkhususkannya lebih dalam, itu mengusik pikirannya yang tidak bisa menetapkan.

"Aku melihatmu seperti orang yang tidak bisa mempercayai pernyataanku. Jadi aku ingin kau memiliki benda ini sebagai bukti yang bisa kaupegang. Kita sudah cukup lama tinggal bersama dan aku meyakini perasaanku sendiri." Setidaknya wajah itu tidak menunjukkan rasa segan atau terbakar seperti saat itu. Kilauan sinar pagi seperti menerpa surai pirang itu, yang menunjukkannya seperti seseorang yang berharga baginya.

"Kau terlalu baik bagiku." Ia menubruk tubuh yang berbalut jaket cokelat—dengan resleting terbuka—itu tanpa memikirkan rasa skeptisnya lagi. Segala hal yang dilakukan orang ini berlandaskan hatinya—tentu saja, dia ingin menampung orang yang tidak diinginkan. Maika merekatkan kedua lengannya pada punggung itu dengan senyuman yang tersembunyi, sementara kepalanya sudah dikerubungi oleh kehangatan yang serupa.

Namun ia sendiri yang membongkar perilaku itu, lalu menengadah dengan keinginan kecilnya.

"Bisakah kau memasangkan cincin ini untukku?"

Tidak ada yang buruk dengan latar bebatuan di sekitarnya meski awalnya ia mengira perjalanan ini cukup tidak jelas setelah sampai pada puncak yang dimaksud. Benda kecil—berwarna emas—itu melingkar pada jari manisnya, ia tidak habis mengamatinya dan setidaknya memiliki senyuman kecil untuk itu.

Setelah mereka menghabiskan roti–lapisan baru, tentunya—sisa sarapan tadi dan mereka mengisi jeda lainnya dengan berbagai lompatan nostalgia, ia bebas memandangi dunia ini dengan berdiri pada bibir tebing, bangunan-bangunan kecil yang bukan apa-apa dengan apapun yang telah disediakan alam. Jika ia memutuskan untuk lebih dulu pergi dengan gelap disekelilingnya, kisah kehidupannya pada pengamatan ini tidak akan membuatnya menghargai hal-hal kecil yang mempertemukannya pada kenyamanan di sebuah tempat kecil di antara yang berserakan lainnya—tepat di bawah sana.

Berbagai bangunan kecil itu akan terus berevolusi—dengan manusia di dalamnya—dan ia mulai tertarik untuk menyaksikan semua itu.

"Hei, apa kau tertarik untuk berfoto bersama pemandangan—di sana?"

Maika berbalik untuk menyetujuinya meski rasanya mereka sudah mengisi setiap detak cahaya itu sejak tadi. Ia tidak banyak mengumbar kebahagiaan—semacam reaksi mengejutkan yang dilakukan banyak orang—apapun dalam pengambilan gambar.

Yohioloid menghampirinya ketika membutuhkan pendapatnya tentang gambar sederhana itu. Tidak banyak yang bisa dikomentarinya selain ia mengulas beberapa gambar yang disukainya ketika berfoto dengan orang ini.

"Apa kau pernah berharap untuk pergi ke ujung dunia—tanpa batas di sana? Itu adalah pemikiran kekanakan yang selalu muncul di kepalaku ketika melihat keluasan seperti ini." Dia menunjuk ujung itu seperti kepolosan seorang anak.

Maika berdekih. "Kurasa aku bisa mengerti jalan pikiranmu."

Ia memiliki kebebasan untuk memandangi orang ini, dengan antusias yang dimilikinya terhadap segala hal yang diulasnya.

"Ada tebing—tepat di bawah kita. Aku tidak tahu jadinya akan seperti apa dengan nasib orang yang menggelinding ke sana."

Tebing itu berliku-liku dengan bebatuan yang silih mencuatkan karakternya. Kematian menjadi menggelikan dengan berulang kali hantaman yang menyiksa seluruh tubuh oleh gejala alam di bawahnya, jika seseorang ditakdirkan untuk berakhir di sana. Kakinya yang masih terasa cukup pegal, kehidupan kecil dalam lingkup matanya saat ini, ia mengerti maksud dari perjalanan ini.

Angin mengaruskan rambutnya yang tergerai, dan ia tidak perlu menanggalkan poninya ketika menoleh ke kanan, pada pemuda yang—entah kapan—memandangnya, lagi-lagi dengan keramahan itu.

"Terima kasih, tempat ini sangat menakjubkan." Menengadah, ia menyertakan kesungguhan dari rautnya. "Kita bisa melihat segalanya, dan aku mulai takut dengan kematian."

Ia bersyukur bertemu dengan orang ini, kebahagiaan itu hanya tercurah pada tawa tidak jelas yang dimilikinya. Ia memulai keramahan itu, dengan meraih lengannya dan sedikit menariknya dengan bertolak ke arah sebaliknya.

"Aku ingin berfoto bersamamu lagi. Kita menggunakan latar kota kecil di belakang kita."

Yohioloid mengangguk, mengaplikasikan ponselnya. Sementara dia sedikit memiliki keluhan dengan keredupan layar ponsel, Maika mengatur posisinya dengan sedikit menyingkir ke belakang.

Niat baiknya dihadiahi ruang kosong dari pijakannya. Ia menjerit dengan tungkai kaki dan perut yang tergerus oleh bibir tebing itu, lalu pertahanan pada telapak tangannya.

"Maika!" Dia tergesa untuk merendahkan tubuhnya dan menyambut lengan itu.

"Aku tidak ingin mati!" Semraut dalam batinnya hanya menyatakan sesuatu yang dangkal, namun dengan frase yang asing di lidahnya. Dulu kematian adalah sahabat yang selalu ingin dikejarnya.

Air matanya mengalir cepat dengan bergetar pada tubuh yang tetap dirangkul oleh ruang bebas.

"Aku pasti akan menyelamatkanmu…." Dia tampak kesulitan mengangkat tubuh yang kaku dengan pikiran yang lebih menohok pada rasa kagetnya.

Mencoba merenggut belakang pakaiannya—ia merasakan itu-, tapi tiba-tiba Maika membantah perilaku itu, "Tidak usah menolongku! Pergilah!"

Tentu saja, itu menimbulkan reaksi berlebihan yang berkonotasi positif.

"Aku mohon….pergilah…"

Cara tangan itu mencengkeram kasar lengannya—dengan cubitan rasa sakit sebagai tambahannya—pasti mengira jika perintah buruk itu berasal dari depresinya lagi.

Bibir tebing yang ditumpangi itu meretak dalam, dengan pertanda buruk jika lapisan itu memiliki kemiringan apalagi dengan Yohioloid yang separuh menjulurkan dirinya. Batuan yang tampak kuat itu tidak bisa berbuat banyak.

Pada akhirnya, orang itu tidak bisa mempertahankan lututnya yang menjadi tumpuannya. Dia berseru ambigu, menghenyakkan segala ketakutan kepada keabstrakan bebatuan yang menindas tubuh mereka, yang tetap diwarnai lengkingan. Maika merasakan dekapan yang kuat pada kepalanya, kegelapan tetap mengerubunginya dengan pikiran kosong.

Perputaran itu seperti tidak habis hingga akhirnya terhempas ke dasar tanah. Ia berpikir kegelapan akan melumatnya menjadi tidak ada dan dengan itu, rasa sakit tidak akan menerjangnya sekaligus. Kecerahan pagi yang beranjak siang masih memasuki kedua matanya, ia menerima warna-warna baru pada berbagai objek itu dengan napas berat yang berusaha untuk diambilnya.

Maika menimpa tubuh pemuda itu, tapi tidak berusaha untuk menyingkir. Meski dekapan itu sudah menghilang dari kepalanya, setidaknya dia harus bergerak untuk bernapas.

Penantiannya menjadi sangat percuma dengan ingatan yang sudah menggapai kesadaran, menerima setiap benturan dengan beberapa yang terasa perih—menghasilkan darah, seperti di punggung tangannya. Ia mencoba mencari kesadaran pada pemuda ini dengan kepalanya yang—sudah mencari tahu, lalu—tertidur di atas dadanya, dan keberadaan kehidupan itu telah hilang.

Remuk yang tetap terasa baginya masih bisa membuatnya sontak untuk terbangun dan mengamati wajah itu. Rambut pirang itu tersiram oleh darah yang mengalir pada wajah malangnya, tubuh yang lebih tersiksa karena melindungi.

Isakannya yang mendalam dari dirinya seperti ingin meneriakkan ketidakadilan yang dilihatnya hari ini, satu-satunya sinar kehidupan yang sudah padam. Fisiknya tidak bisa mengekspresikan hal yang lebih, meski ia bisa menangis sebebasnya—kali ini.

Maika menyadari; orang ini tetap merekatkan dirinya hingga benturan pada kepalanya pun tidak separah pemandangan yang dilihatnya sekarang ini. Fasilitas untuk bernaung, waktu luang bersamanya, kesungguhan perasaan itu, kenapa dia harus bersusah payah memberikan semua itu? Ia merenggut pakaian orang itu dengan memaksa—berharap keras—roh kehidupan kembali kepadanya. Ia memohon kehidupan untuk berbaik hati kepadanya.

Larut dalam penyesalan, dengan ambruk pada tubuhnya, tidak akan ada yang bisa mengubah semuanya kecuali keajaiban. Ia menyalurkan rasa tidak berdayanya, tetap berpegangan pada pakaian itu, dan tidak ada yang berubah.

Yohioloid mengingkari kesungguhan yang tersemat dalam cincin pada jari manisnya. Kenapa dia harus melindungi lalu tanpa sadar telah menghadapi kematian, dan justru, ketika dia memiliki seseorang yang akan selalu membutuhkannya?

Kehidupan membahas tentang siapa yang ditinggalkan dan apa yang ditinggalkan, tapi dia juga tetap membahas penderitaannya.

Maika membuang dirinya ke samping kanan, menubruk tanah dengan rasa sakit yang tidak perlu dikasihani lagi. Mengarah ke samping kanan.

Kesedihan sudah mengosongkan hatinya.

Saku jaketnya menyelundupkan sebuah wadah yang terbiasa menenangkannya jika ia memiliki benda itu seperti mengenakan pakaian. Sekumpulan obat untuk penyakit keras yang dicuri dari lemari ayahnya. Ia memainkan benda itu di udara yang mempertemukannya pada sosok pemuda yang terlentang itu, lalu sekutip kisah ketika orang itu menyatakan cinta dengan mengambil sebuah ciuman mulai melukai memori dalam jiwanya.

Dibanding luka, ia takut pada masa depannya sendiri.

Angin menghiburnya ketika Maika menumpahkan buliran-buliran itu, tanpa perhitungan. Ia tidak memiliki harapan, dan tindakan impulsifnya sekarang; hanya ingin bersama dengan orang ini. Rongga mulutnya menjadi sesak dengan kepahitan kunyahan yang harus dilaluinya. Penindasan itu akan terjadi pada bagian dalam, dan ia menunggunya bereaksi, obat-obat putih yang menghancurkannya.

Menyampaikan keputusasaan pada tangan yang tergeletak rapuh itu, dengan tangan kanan yang menyelipkan cincin berusaha mempererat pegangannya.

Ia tidak peduli jika namanya bukanlah yang paling banyak dikenang orang.

Satu orang yang mengenangnya dengan tulus, itu sudah cukup.

.

.

END


Wah, rekor mengerjakan ini tengah malam! Senang rasanya ketika tulisan ini sudah selesai karena saya sebenarnya sibuk dan sedikit membangkang~. Yah, saya mengalami down karena melihatnya berfoto dengan cewek/bentar, itu normal, 'kan?/ dan saya hanya merasa comfort jika dia bersama temannya yang itu (?). Oh, tidak, aku gagal tobat! Ah, sudahlah.

Btw, saya dah nyari pembahasan seputar racun cuman susah juga nentuinnya. Ada sianida cuman saya pikir itu kek racun yang pernah heboh di berita sebelumnya jadi ntar kek niru. Jadi saya mikirnya ini kek PCC yang katanya akan menimbulkan euforia tingkat kuadrat padahal sebenarnya ini obat untuk penyakit jantung gitu.

Untuk pengobatan yang dilakukan si Hio, saya baca tutorialnya di WikiHow.

Oke, sekian^^.