Hidupku membosankan. Setidaknya sebelum aku dikejar malaikat tampan itu. Apa kalian berpikir aku beruntung karena dikejar-kejar seorang malaikat? Tidak! Aku tidak seberuntung itu. Karena malaikat yang mengejarku itu adalah...
–Malaikat kematian.
Namaku Sakura, aku ingin sekali merasakan ciuman pertama yang romantis. Tapi bagaimana kalau harga ciuman pertamaku itu adalah hidupku sendiri? Apa aku bisa merasa bahagia saat merasakan ciuman itu?
.
.
Kiss and Die
By: Kamikaze Ayy
Naruto dan segala karakter di dalamnya adalah milik Masashi Kishimoto. Saya hanya mengarang fiksi ini tanpa mengambil sepeserpun keuntungan materi dari isi cerita.
Pairing : Sasuke Uchiha & Sakura Haruno
Genre : Supranatural, Suspense, Tragedy and Romance
Dedicated for all the readers
DONT LIKE, DONT READ!
NO FLAME!
.
.
Chapter : 1
TIIIIIINNNN...
Bunyi klakson bus yang sedang kunaiki menyadarkanku bahwa sebentar lagi aku akan sampai di tujuanku. Sekolah. Ya, sekolah. Konoha High School. Salah satu sekolah lanjutan tingkat atas yang cukup populer di wilayah Konoha. Meski populer, tapi menurutku tidak begitu. Well, biasa saja. Ah, mungkin itu hanya bagiku sih.
Setelah bus benar-benar berhenti tepat di halte dekat sekolahku tersebut, aku pun mulai tenggelam dalam perjuanganku berdesak-desakkan dengan penumpang lainnya yang juga akan turun.
"Haaah... Haaaah..." Dan setelah melewati halang rintang yang ada, akhirnya aku berhasil turun dengan selamat. Aku pun segera berusaha mengambil nafas dengan menghirup udara sebanyak yang aku bisa.
Ah, kalian pasti bingung dan mulai bertanya tentang identitasku. Oke, perkenalkan namaku Sakura. Haruno Sakura lengkapnya. Aku seorang siswi yang –yah, kalian sudah tau, bukan?– bersekolah di Konoha High School. Mungkin bagi banyak orang, aku cukup beruntung bisa bersekolah disitu. Tapi menurutku biasa saja.
Dari halte, aku berjalan menuju sekolah. Dapat dilihat cukup banyak siswa dan siswi yang juga baru datang. Aku melewati koridor dan menuju kelasku. Aku bukanlah siswi yang terkenal di sekolah. Yah, tentu saja, karena aku tidak mememiliki sisi kemenarikan satupun. Aku tidak cantik –tapi aku juga tidak jelek amat,– aku bukan anggota OSIS, Aku juga bukan murid teladan atau murid jenius dengan segudang prestasi. Aku biasa saja. Ah, bahkan mungkin aku sama sekali tak dikenal siapapun. Terkecuali oleh sahabatku sendiri, tentunya.
"Sakuraaaaa..."
Ya, itu dia salah satunya. Namanya Ino Yamanaka. Tapi aku lebih sering memanggilnya dengan panggilan kesayangan yang ku buat sendiri.
"Pig, kau tak perlu berteriak-teriak begitu." Aku bersungut kesal. Bagaimana tidak kesal? Aku baru saja tiba di depan kelas dan dia sudah meneriakkan namaku dengan begitu kerasnya. Apalagi kini semua mata terlihat memandang ke arahku. Oke, ini memalukan.
"Sakura, apa kau tau?" Tidak. Bagaimana aku bisa tau? Mungkin bisa saja kalau aku bisa membaca pikirannya saat ini. Ah, tapi kalau boleh ku tebak, ini pasti mengenai cowok. "Kencanku dengan Sai-kun kemarin sungguh menyenangkan." See? Benar 'kan?
"Oh, ya?" Aku berpura-pura tertarik dengan apa yang sedang ia bicarakan. Padahal aku sudah cukup bosan mendengar Ino bercerita tentang hal semacam ini setiap hari –Ah, tidak. Setiap ada kesempatan tepatnya.
"Iya, kemarin kami makan di restoran mewah di daerah konoha barat. Kau tau sendiri 'kan, disana terkenal dengan tempat-tempat makan romantis. Dia juga menggandengku saat turun dari mobil. Ah, rasanya seperti putri saja," ucapnya dengan nada yang begitu menggebu-gebu. Membuatku ngeri sendiri mendengar semangatnya.
Aku hanya mengiyakan ceritanya dengan sambil tersenyum supaya dia tak kecewa telah bercerita panjang lebar –yang padahal aku tak tertarik sedikitpun pada ceritanya.
Aku duduk di bangku paling belakang pojok dekat jendela. Yah, aku cukup menyenangi tempat seperti itu karena dengan begitu aku punya cukup waktu luang untuk melamun sembari memandangi langit. Mungkin kalian berpikir aku ini orangnya cukup tertutup. Ehm, aku tidak sepenuhnya menyalahkan hal itu sih. Tapi aku juga tidak membenarkannya. Oke, mungkin aku sedikit cuek dengan lingkungan sekitarku. Aku tidak peduli pada sekelilingku. Karena bagiku, dengan aku baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup. Tapi aku bukan orang jahat kok. Aku juga punya rasa belas kasih. Aku terkadang membantu orang lain yang benar-benar dalam kesusahan. Yah, meskipun itu sangat jarang ku lakukan.
Bel pelajaran pertama berbunyi. Kurenai-sensei, guru matematika kami pun masuk dengan gayanya yang cukup anggun. Yah, sensei ini merupakan salah satu guru favoritku di sekolah ini. Tapi tidak dengan pelajarannya. Sepanjang pelajaran matematika itu pun aku menghabiskan waktuku dengan menatapi langit biru. Aku masih teringat akan cerita Ino tadi. Tentang pria, ya? Well, jujur saja aku memang sudah pernah berpacaran sebelumnya. Tapi entah mengapa aku belum pernah mendapatkan ciuman pertamaku. Kenapa? Apa kalian mulai menganggapku sebagai perempuan normal? Tentu saja. Aku memang sepenuhnya normal. Karena bagaimanapun juga, aku tetaplah seorang gadis remaja yang terkadang mendambakan seorang pangeran tampan naik kuda putih datang menjemput. Oke, ku rasa itu terlalu mendramatisir.
Tapi ini serius! Aku belum pernah berciuman. Dan aku ingin sekali merasakan bagaimana rasanya mendapatkan ciuman pertama. Hey, jangan menganggapku seperti cewek murahan. Aku tidak serendah itu. Tentu saja aku hanya mau berciuman dengan seseorang pria yang tepat. Tepat disini adalah dalam artian aku mencintainya dan dia juga mencintaiku. Juga aku mau ciuman pertama yang romantis. Apa aku terlalu berlebihan memasang patok untuk harga ciuman pertamaku ini? ehm, tidak! Kurasa wajar saja. Benar 'kan? Bahkan aku sempat berpikir, aku tidak ingin mati sebelum aku mendapatkan ciuman pertamaku seperti yang selama ini ku impikan. Gila?
Dari jendela kelasku ini aku dapat melihat ke arah lapangan sekolah. Dari situ ku lihat seorang pemuda tampan berambut merah cemerlang sedang berlarian kesana kemari sembari men-dribble bola basket di tangannya. Ya, itu dia, Sasori-senpai. Senpai yang sudah lama begitu ku kagumi. Sasori-senpai memang tidak terlalu populer, ia juga tidak serupawan Pein-senpai. Tapi entah mengapa aku begitu mengagumi sosoknya. Dan akhir-akhir ini kami juga sudah mulai dekat. Yah, meskipun itu hanya sekedar dekat dalam dunia maya sih. Hey, tapi kan setidaknya ada kemajuan daripada tidak sama sekali. Betul 'kan? Hampir setiap malam aku dan Sasori-senpai chatting untuk mengobrolkan banyak hal. Hehehe... Aku jadi malu sendiri kalau mengingatnya.
Kriiiiiing...
Oh, bel istirahat rupanya. Wow, sudah berapa lama aku tenggelam dalam lamunanku sendiri?
"Sakura, ayo ke kantin!" Ino datang menghampiriku dan mengajakku makan di kantin seperti biasa.
Aku mengangguk perlahan sebagai tanda persetujuan akan ajakannya. Tapi terlebih dahulu aku membereskan buku-buku dan peralatan tulisku ke dalam tas. Mengambil dompet dan ponsel, lalu pergi kekantin bersama Ino dan Hinata –Salah satu sahabat baikku juga– yang sepertinya sudah menunggu kami sedari tadi di pintu kelas.
"Jadi, bagaimana dengan hubunganmu bersama ketua tim sepak bola itu, Hinata-chan?" Setelah memesan makanan, kami duduk di meja yang terlihat masih kosong. Dan Ino membuka pembicaraan tanpa basa-basi langsung menanyakan perihal hubungan Hinata dengan salah satu ketua tim dari ekskul sepak bola. Kalau boleh ku bilang, pemuda dengan rambut pirang model jabrik itu tidak cukup tampan. Malah terkesan sangat berisik dan kelewat bersemangat tiap harinya. Tapi entah mengapa Hinata yang terkesan pendiam dan amat pemalu ini sangat menyukainya.
"Ah, Na..Naruto-kun. ka-kami baik-baik saja," ujar Hinata seraya menunduk sembari memainkan jemari-jemarinya sendiri. Lihatlah, bahkan dia sudah sangat merona meski hanya sekedar bertanya tentang Naruto sedikit saja.
Sudah jelas, bukan? Diantara aku dan sahabat-sahabatku, ku pikir akulah yang paling sial dalam hal percintaan. Kenapa begitu? Tentu saja sudah sangat jelas. Mereka berdua bisa bahagia dengan pasangan masing-masing. Meski Ino baru saja seminggu yang lalu putus dengan Shikamaru, tapi sehari kemudian ia sudah berpacaran dengan Sai –Kakak kelas yang sekaligus seorang seniman berbakat. Hinata? Meski sudah lama ia menyukai Naruto tanpa ada balasan dari pemuda berisik itu, tapi setidaknya sebulan yang lalu akhirnya mereka telah resmi berpacaran. Sedangkan aku? Well, aku berpacaran dengan Kiba dari kelas sebelah, tapi itu hanya bertahan seminggu lalu kami putus karena dia bilang sudah tidak sayang kepadaku. Dan bahkan itu terjadi sebelum aku mendapatkan ciuman pertama. Miris.
Haaah... betapa menyedihkannya aku.
Ya, inilah hidupku yang begitu monoton dan membosankan... Setidaknya sebelum aku bertemu dengan seorang makhluk tampan yang mengejar-ngejarku. Makhluk dengan dua iris onyx yang mengaku bahwa dia adalah seorang malaikat. Apa kalian berpikir aku beruntung karena dikejar-kejar oleh seorang malaikat? Tidak! Aku tidak seberuntung itu. Andai kalian tau, malaikat yang mengejar-ngejarku itu adalah–
–Malaikat kematian...
Kalian tidak percaya? Oke, jadi begini ceritanya...
oOo
"Okaa-san, aku akan menunggu di luar saja," aku berkata kepada Kaa-san yang akan berbelanja di supermarket. Padahal aku diminta untuk menemani ke dalam, tapi entah mengapa aku malas untuk masuk ke sana. Aku lebih tertarik duduk di kedai es krim yang berada di sebelah supermarket.
"Baiklah, tapi jangan kemana-mana, ya!" jawab Kaa-san seraya mulai memasuki supermarket setelah sebelumnya mengelus lembut surai merah muda milikku.
Aku berjalan masuk ke dalam kedai memesan seporsi sedang es krim strawberry dengan potongan brownis coklat kesukaanku. Setelah mendapatkan pesananku, aku kemudian memilih duduk di bangku yang terletak di luar kedai jadi aku bisa dengan leluasa memandangi jalan.
Aku menikmati tiap suapan es krimku dengan bosan. Ya, aku bosan karena sendiri. Well, aku memang tidak terlalu menyukai keramaian. Tapi aku juga tidak suka sendiri seperti ini. tapi mau bagaimana lagi, aku sendiri yang menolak ajakan kaa-san untuk ikut berbelanja ke dalam supermarket.
Saat aku sedang tenggelam dalam rasa sepiku, angin kencang bertiup dan menghembuskan saputangan yang sedari tadi ku taruh di atas meja. Aku tersentak dan reflek segera bangkit untuk mengejar saputanganku itu agar tidak terbawa angin terlalu jauh.
Lalu sedetik kemudian, tanpa disangka...
BRAAAAAAAKKK...
Papan reklame cukup besar yang berada tepat di atas dimana aku tadi duduk menikmati es krim itu jatuh dan menimpa sekaligus menghancurkan bangku beserta semangkuk es krim yang baru ku lahap separuhnya.
Deg... Deg... Deg...
Jantungku berpacu dengan cepat. Keringat dingin mengucur dengan deras di pelipisku. Sendiku terasa lemas. Dan seluruh badanku serasa mati rasa. Aku jatuh berlutut dengan pandangan yang kosong. Andaikan... andaikan saja sapu tanganku tidak terbawa oleh hembusan angin dan aku tidak mengejarnya. Mu-mungkin aku sudah ... Ah, tidak! Aku bahkan tidak bisa mengatakan kata itu.
Ya, mungkin aku sudah mati...
Detik berikutnya sudah banyak orang-orang yang menghampiri tempat kejadian. Mereka berkerumun untuk memastikan tidak ada korban dalam peristiwa itu. Pemilik kedai pun tak hentinya berucap kata syukur karena melihat aku selamat dari kecelakaan maut tersebut. Aku terdiam. Entah mengapa? Mungkin aku shock. Aku ketakutan.
Dan... di saat itulah aku bertemu dengannya. Dia terlihat sedang berdiri di luar kerumunan orang-orang dan memandangiku dengan tatapannya yang begitu tajam dan menusuk. Mungkin jika aku sedang dalam keadaan 'baik-baik saja,' aku pasti sudah jatuh hati pada pemuda itu. Ya, pemuda dengan wajah rupawan, bermata kelam seperti langit malam, rambutnya gelap dengan model emo mencuat di bagian belakang. Juga, sepasang sayap hitam dari balik punggungnya. Tunggu sebentar! Apa tadi yang ku lihat? SA..SAYAP?
"Saku-chan, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" Tiba-tiba kaa-san datang dan memelukku yang masih terduduk lemas. Pastilah kaa-san sangat khawatir dengan keadaanku. Ya tentu saja, siapa yang tidak khawatir jika tau anaknya baru saja lolos dari maut.
Sekilas aku merasa sudah agak tenang karena pelukan kaa-san yang begitu damai. Setelahnya aku berdiri dan dipapah masuk ke dalam mobil. Namun sebelum mobil benar-benar pergi, aku menyempatkan diri untuk kembali melihat ke tempat dimana barusan terdapat seorang pemuda misterius dengan –yang pada mulanya aku anggap hanya imajinasiku saja– sayap hitam di punggungnya. Namun pemuda itu sudah tidak ada. Menghilang entah kemana.
Aku menghembuskan nafas pelan. "Mungkin aku salah liat," begitulah gumamku sembari berusaha menenangkan kembali pikiranku yang masih cukup kaget dengan kejadian tadi.
Sesampainya dirumah, aku langsung masuk ke kamar karena kaa-san menyuruhku agar istirahat. Yah, kuakui aku memang mungkin butuh istirahat agar dapat setidaknya sejenak melupakan kejadian tadi.
Perlahan ku buka pintu kamar, aku masuk lalu ku tutup lagi secara perlahan. Namun begitu terkejutnya diriku saat ku sadari ada orang lain yang sedang berada dalam kamarku saat itu. Dia adalah pemuda yang tadi ku lihat di depan kedai es krim.
Dan dia benar-benar ... bersayap?
Aku cukup kaget dengan hal tiba-tiba seperti ini. Mataku terbelalak karena tidak percaya akan apa yang sedang ku lihat. Aku mencoba berteriak, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya bisa memandang pemuda yang kini tengah menghampiriku dengan tatapan penuh rasa takut.
"Sakura Haruno. Maaf, tapi kau harus mati."
WHAT THE ...? Hei, apa-apaan orang ini. sudah seenaknya saja menerorku dengan memakai kostum berjubah hitam panjang yang tak lupa dengan sayap di punggung, lalu masuk ke dalam kamarku dengan seenaknya tanpa ijin. And now? Sekarang dia malah berkata bahwa aku harus mati. Jangan bercanda!
"Aku tidak sedang bercanda, Nona!"
Kau bilang tidak bercanda kepadaku setelah sem–. Hei tunggu dulu! Kenapa dia bisa tau apa yang sedang ku pikirkan?
"Karena aku adalah malaikat," ucapnya lagi dengan tenang seraya mulai menatap iris viridianku dengan tajam. Seolah hendak menggali sesuatu dalam lautan hijau irisku.
Malaikat? Apa maksudnya?
"Malaikat? Jangan bercanda! Kau itu penguntit tidak tau malu yang masuk ke dalam kamarku seenaknya tanpa izin." Aku berkata sembari membalas tatapannya yang begitu mengintimidasi.
"Aku serius. Aku datang kemari untuk menjemput nyawamu," sahutnya lagi.
Me-menjemput nyawaku? Apa-apaan dia ini!
"..."
"Kau seharusnya sudah mati dalam kecelakaan di depan kedai es krim tadi, Nona. Tapi kau malah berhasil menghindari takdir kematianmu sendiri yang seharusnya terjadi 30 menit lalu," sambungnya dengan tetap berekspresi datar.
Oh my god... siapapun, tolong katakan padaku bahwa ini hanya lelucon konyol.
"Kau tidak percaya?" ucapnya dengan sarkastik.
"Tentu saja tidak. Apa yang membuat aku harus percaya kepadamu, Tuan penguntit." Dengan lantang aku berusaha untuk melawannya. Meski ku akui saat ini aku begitu takut dan gemetaran, tapi aku tak boleh terlihat lemah di depan pria kurang ajar ini.
"Bukan urusanku kau mau percaya atau tidak. Yang penting aku harus mengambil jiwamu sekarang juga," sahutnya santai seolah mengatakan bahwa kematianku adalah hal yang biasa,
Ja-jadi ini bukan candaan? Aku semakin merasa ketakutan.
"Tentu saja bukan, Nona."
"Hei, berhenti membaca pikiranku seenakmu!" Aku berkata dengan kesal. bagaimana tidak, semua yang aku pikirkan tentangnya selalu ia jawab.
"Siapa yang peduli." Dia mengendikkan bahunya cuek. Oh, sungguh rasanya aku ingin mencekik dia. "Baiklah, sekarang bersiap-siaplah! Mungkin ini akan terasa sedikit agak sakit." Ha? Sedikit terasa sakit? Apa dia berniat membunuhku? Oh, jadi yang dia maksud dengan mengambil jiwaku adalah dengan membunuhku begitu? Huh, dasar pembunuh brengsek yang tidak punya sopan santun.
"Hei, aku bisa mendengarmu, Nona." Dia terlihat kesal. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?
"Sudah ku bilang kau berhenti membaca pikiranku!" Aku berkata dengan nada kesal namun tak digubrisnya.
"Baiklah, sekarang pegang tanganku. Aku akan sebisanya membuat agar kau tak merasa sakit. Tapi bila masih terasa, tahanlah! Oke?"
"Jangan sentuh!" Aku menepis tangannya yang bermaksud memegang tanganku.
Sekilas ku lihat onyx kelam itu berkilat kesal.
"Dengarkan aku, Sakura Haruno! Jadwal kematianmu sudah lewat 30 menit yang lalu. Jika kau masih memaksa untuk tetap hidup, maka akan terjadi banyak ketidak seimbangan di dunia ini." Pemuda itu berkata seraya memegang paksa kedua tanganku. Ia mencengkeram kuat sampai aku tak mampu lagi berontak. Oke, apa ini akan menjadi akhir hidupku?
"Apa yang sedang kau bicarakan? Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak tahu tentang apa yang sedang kau perdebatkan. Aku punya hak untuk mengatur hidupku, jadi kenapa kau mesti bingung menyuruhku untuk mati, hah?" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Tapi gagal. Cengkeramannya begitu kuat.
Setelah dengan sekuat tenaga aku berusaha memberontak namun selalu gagal, akhirnya aku menyerah. Bukan berati aku sudah pasrah jika nyawaku dicabut saat itu juga. Hanya saja aku sadar bahwa aku sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawannya.
Aku terdiam lemah. Mataku menatap sayu pada pemuda di hadapanku tersebut.
"Baiklah, apa kau sudah siap, Nona?" Dia berkata dengan wajah datarnya.
"..." Aku tak menyahutinya. Aku hanya diam karena kepayahan. Yang ku lihat saat ini, dia sedang menutup kedua matanya dan terlihat sedang berkonsentrasi akan sesuatu.
Ti-tidak! Kenapa ini? seluruh badanku terasa panas dingin. Persendianku bagaikan tak berfungsi lagi. dadaku serasa sesak bahkan untuk mengambil nafaspun aku tak bisa.
Oh, tidak! Jangan bilang kalau aku akan benar-benar mati saat ini. Kaa-san, Tou-san, tolong aku!
"A-aku masih ingin hidup.."
To Be Continued
.
.
A/N : Halooooo :D padahal fic The One of My Eyes belom selesai.. eh, saya malah beralih buat fic lain -_- ckckck.. salahkan saja Uci, teman saya yang rewel minta dibuatin fic dengan jalan cerita seperti ini. awalnya saya males banget buat fic multi chap lagi, soalnya gak mau nambah utang fic terlalu banyak -_- tapi berhubung ide yang disumbangkan teman saya itu lumayan bagus.. jadilah saya nekad membuatnya :D hehehe.. dan tenang aja. Fic ini gak akan sepanjang fic-fic multi chap saya yang lain kok.
Okelah, sekian dulu bacotan saya ;DD mohon reviewnya ya, kritik, saran, pendapat, pertanyaan, serta kalau mau salam senyum sapa sama Author pun juga boleh :D hehehe *sok akrab* -_-
Sampai jumpa di chap 2 ya.. ^.^
Pelaihari, 13 Mei 2013
Salam Hangat Selalu
Kamikaze Ayy
