"Jangan lupa, hari Minggu kita harus ke sini," Tenten memandangiku dan Shikamaru bergantian dengan pandangan menusuknya. "Aku tahu kalian sering ngaret, tapi untuk kali ini, jangan terlambat!"

Aku terdiam dan mengangguk singkat. Kupusatkan perhatianku pada setumpuk buku di atas meja yang kini sudah berpindah di dekapanku.

"Ingat baik-baik kata-kataku tadi," Tenten kembali berkata. "Ini adalah kesempatan terakhir kita, jadi jangan terlambat, oke?"

"Iya, Tenten, iya..," jawabku bosan sambil memutar bola mata. "Sudah ratusan kali kau bilang begitu pada kami,"

"Itu karena aku tidak ingin kalian mengembangkan hobi terkutuk kalian itu," Tenten menatapku kesal. "Pokoknya aku tidak mau kalian datang lebih dari jam sembilan! Lagipula, kasihan Sasori-senpai, dia yang sudah kelas dua belas seharusnya fokus untuk ujian akhir, tetapi malah mau meluangkan waktunya untuk kita."

Aku kembali memutar bola mata. Lagi-lagi, Tenten membicarakan senior aneh itu lagi. Apakah tidak ada senior lain yang lebih pantas dibicarakan, seperti Itachi-senpai, atau Neji-senpai misalnya?

"Aku duluan!" Tenten bergegas menghampiri mobil Ayahnya yang terparkir di halaman depan. "Ingat! Jam sembilan tepat! Di lobi sekolah!" Astaga, dia masih sempat mengingatkan hal itu pada kami. "Jangan pernah berani untuk datang terlambat!" Teriakannya membahana seiring dengan pintu mobil yang tertutup. Mobil berwarna krem itu mulai berjalan keluar dari gerbang sekolah

"Bagaimana menurutmu, Shikamaru?" Aku menyikut tubuh laki-laki berambut serupa nanas yang sejak tadi berada di sampingku.

"Mmm... membosankan,"

Untuk yang ketiga kalinya, aku memutar bola mata.

-0-

Oh Be A Fine Girl Kiss Me, Right Now Sweety

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

This [Absurd] Fic belongs to [Absurd] Me

Sasori-Sakura (entahlah, bisa dibilang romance atau bukan. Ada saran untuk genre?)

Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan saja

Fic pertama (dan ini lebih menjurus ke curhatan true story author), jadi kalau aneh maklumi saja -_-

-0-

Hari Minggu. Aku bangun dengan gerutuan panjang. Sambil melirik kalender dan mengutuk pembuatnya yang tega sekali menaruh hari Minggu sebagai hari libur, aku turun dari ranjang.

"Sakura? Tumben bangun pagi di hari Minggu yang cerah ini?" Mama menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia berada di depan kompor, seperti biasa, mengaduk-aduk sayur dalam wajan.

"Sakura lagi ingin bertobat," Aku menjawab sekenanya.

Mama tertawa panjang. "Mama harap kau tidak keracunan salmon pedas semalam,"

Mengabaikan Mama, aku masuk ke kamar mandi, menghidupkan keran, lalu kembali menggerutu. Sambil menyikat gigi, aku membuka ponsel untuk melihat apakah ada pesan yang masuk. Beginilah kebiasaan burukku, menyikat gigi sambil bermain ponsel. Untung saja selama ini tidak pernah ada kejadian ponsel terjatuh ke dalam wastafel atau kloset.

Aku hampir menjatuhkan sikat gigiku ketika melihat pesan singkat dari Ino, sahabatku.

Sakura, kau tidak lupa kan, ini hari apa? Karena hari ini begitu spesial, aku ingin menraktirmu nonton Vission Possible hari ini jam sebelas di Konoha Center Mall. Bagaimana? Aku tahu kau tidak akan menolak, karena kesempatan ini hanya datang sekali sebulan. Dan bulan depan, film itu sudah tidak tayang. Hahaha... Jadi, datanglah ke Center Mall sebelum pukul sebelas, aku dan Sai menunggumu di sana! :*

"Tidaaakk...!"

-0-

"Tidak bisakah diundur hingga besok?"

"Hah? Apa maksudmu? Kau tidak bisa datang?"

"Ya, begitulah. Jadi, karena kita sudah lama berteman, kau pasti mau melakukan ini untukku, kan?"

"Hahaha... kau sedang bercanda, Sakura? Tidak biasanya kau bisa melucu,"

"Aku serius, Ino. Aku tidak bisa datang hari ini!"

"Hmm... begitukah? Kalau begitu, mungkin kau harus merelakan tiket berhargamu, Sakura,"

"I-Ino, jangan begitu!"

"Memangnya ada apa, Sakura? Tidak biasanya kau menolak ajakanku yang jarang sekali kukeluarkan ini,"

"Aku harus ke sekolah. Pembimbingan,"

"Pembimbingan? Bukankah setiap hari kau selalu pembimbingan? Sampai melewatkan jam pelajaran berhari-hari,"

"Ya, memang. Senior sialan itu yang memintaku—maksudku kami datang hari ini. Menyebalkan sekali, kan?"

"Hahaha... kalau begitu, nikmati saja waktu pembimbinganmu itu Sakura,"

"I-Ino, mengapa kau tega sekali padaku?"

"Bukankah besok film itu masih tayang?"

"Iya.., tapi hari ini kan ada gratisan. Mana mau aku melewatkan yang itu?"

"Dasar! Kalau begitu, sudah ya.., laptopku sudah berbunyi dari tadi. Sai menunggu. Dadah Sakura, muah!"

"I-Ino, bagaimana dengan gra—sial!"

Aku hampir melempar ponselku ke arah dinding putih kamar mandi. Sambil mengutuk Ino, aku menyiramkan air dingin ke rambut merah mudaku dengan frustasi. Teman macam apa dia? Tega-teganya melakukan hal itu pada sahabat sehidup-sematinya sendiri.

Semua ini gara-gara senpai merah sialan! Berani-beraninya dia mengganggu hari liburku yang seharusnya menyenangkan ini. Argh! Benar-benar senpai merah menyebalkan...! Kalau saja aku tidak mengikuti olimpiade nasional astronomi, kalau saja ia bukanlah senior yang dibanggakan Toneri-sensei, kalau saja ia bukanlah mentorku, hari ini aku pasti masih bergelung di dalam selimut dan tidak mengikuti pikiran gilanya untuk ke sekolah hari Minggu begini. Lalu bagian terbaiknya, aku bisa menonton Vission Possible gratis!

"Sakura! Kau pikir sudah berapa lama kau berada di dalam! Cepat selesaikan mandimu, atau Mama akan menyuruhmu membayar tagihan air!"

Teriakan Mama menyadarkanku. Aku buru-buru menyelesaikan mandi, sebelum tabungan tiga tahunku jebol hanya untuk membayar tagihan air yang membengkak.

-0-

Suara gemericik air memenuhi langit-langit dapur. Aku meletakkan setumpuk piring kotor yang penuh sabun ke dalam wastafel, lalu mulai membasuhnya satu persatu. Mama berada lima meter di sebelah kananku, sedang mengaduk adonan kue menggunakan mixer. Di sebelah kirinya, sebuah oven menyala, menunjukkan angka 360.

"Setelah kue ini selesai, kau sekalian bersihkan wadah dan mixernya, ya? Mama ada keperluan dengan teman arisan,"

"A-apa!?"

Mama menunjuk oven. "Ini, setelah kuenya matang, kau masukkan kue yang berikutnya, lalu cuci wadah dan mixer, oke?"

Aku meletakkan piring terakhir, lalu mematikan keran. "Ma, apa-apaan, sih. Kenapa Mama tega menyuruhku melakukan itu. Hari ini kan libur," Aku bersungut-sungut dan mengatakan suatu hal yang sebenarnya tidak saling berkaitan.

Mama tersenyum. "Mumpung kau lagi bisa bangun pagi dan lagi mau nurut perintah Mama, hehehe,"

Aku mendecih. Mama itu kadang bisa lebih licik dari guru biologi maniak ular Orochimaru-sensei. Dengan kesal, aku segera mengambil alih adonan kue yang berada di tangan Mama.

"Oh ya, jam berapa kau ke sekolah?"

"Jam sembilan," jawabku singkat.

"Masih satu jam lagi. Ingat, Sakura. Kau itu harus rajin-rajin belajar. Olimpiademu itu kan tinggal lusa, jadi kau harus segera mempersiapkannya sematang mungkin. Hmm... jadi, bab mana yang kau belum paham?"

"Bola langit," jawabku singkat (lagi).

Mama manggut-manggut sok mengerti. Aku tertawa kecil. Sejak dulu, Mama memang selalu peduli, bahkan untuk hal-hal yang ia tidak mengerti pun, sebisa mungkin ia akan peduli. Aku bersyukur memiliki Mama seperti dia, yah, meskipun kadang-kadang, Mama suka melakukan hal-hal aneh dan menyuruh-nyuruhku melakukan pekerjaan rumah.

"Nah, itu, nanti kau bisa menanyakan pada kakak kelasmu itu," kata Mama sambil tersenyum. "Kau itu beruntung, Sakura, punya kakak kelas yang peduli seperti... siapa namanya?"

"Sasori-senpai,"

"Nah, itu. Hmm... kalau dipikir-pikir, seniormu itu sangat baik, ya? Dia kan harusnya sedang fokus untuk ujian akhir, tetapi masih mau meluangkan waktunya untuk membimbingmu dan teman-temanmu itu,"

Aku hanya diam sambil terus mengaduk adonan kue.

"Kau harus berterima kasih padanya, Sakura. Sebagai balasan atas kebaikannya, mungkin kau dan teman-temanmu bisa membelikannya kenang-kenangan seperti baju, sepatu, atau jam tangan mungkin,"

Aku mengernyit. Mengapa Mama malah mulai membicarakan hal-hal aneh?

"Nah, Mama pergi dulu, ya Sakura sayang. Jangan lupa kuenya," Mama bergegas memasuki kamarnya, lalu keluar menenteng tas tangan berwarna kuning emas yang menurutku sangat norak. Yah, selera anak muda dan ibu-ibu berbeda, kan?

Sambil terus mengaduk-aduk adonan kue, diam-diam aku memikirkan ucapan Mama tadi. Hmm... kalau dipikir matang-matang, memang benar apa kata Mama. Sasori-senpai itu kakak kelas yang baik, peduli, ringan tangan, dan tidak memikirkan dirinya sendiri. Aku diam-diam mulai merasa bersalah sudah mengumpatnya tadi pagi. Tapi tetap saja, aku masih tidak rela melepas selembar tiket gratisku. Aku merengut kesal, membanting wadah adonan kue ke atas meja, membuat percikan-percikan adonan itu mnempel di baju dan rambutku. Oh, sial!

-0-

"Astaga, Sakura! Mengapa baru jam segini sampainya!?"

Aku menaikkan sebelah alis sambil menempelkan tangan ke telinga ketika memasuki lobi sekolah. Tenten sudah berada di depan wajahku, memandangku dengan ekspresi marah bercampur kesal.

"Kau tahu, kami sudah menunggumu di sini selama hampir tiga perempat jam!" Tenten masih saja menggerundel, kini tangannya berkacak pinggang.

Aku berjalan acuh ke salah satu kursi, lalu meletakkan tasku di sana. "Mengapa kalian tidak mulai duluan saja? Aku tidak keberatan,"

Tenten menghampiriku dengan tangan masih berkacak pinggang. "Kau ini apa-apaan? Harusnya kau berterimakasih pada kami,"

"Iya, Tenten, Iya..," Aku memutar bola mata pelan. "Aku berterimakasih pada kalian, karena kalian tidak meninggalkanku. Maafkan aku karena keterlambatanku ini, terutama untuk Sasori-senpai, karena sebelum ini kami sudah berjanji akan datang tepat pukul sembilan." Aku membungkuk ke arah tiga orang yang sedang duduk di hadapanku.

"Nah, begitu baru bagus," komentar Tenten.

"Hh... membosankan," Shikamaru mendesis, membuat mataku melotot padanya.

"Lebih baik kita segera mulai saja," Suara datar itu mengalihkan pandanganku dari Shikamaru. Aku menoleh. Dari seberang meja, kedua manik hazel itu sedang menatapku lurus-lurus.

-0-