Mesir.
Negeri yang berisi pasir dan bangunan segitiga yang menjadi kubur para raja zaman dulu.
Saat ini kami, Divisi Dua, ada di sini. Mengerjakan misi yang diberikan Mazo – sang Leader – pada kami.
Kami sedang bersiap di penginapan yang sudah Mazo pesankan. Penginapan minimalis nyaman dengan kesan Mesir kuno yang kental. Dibandingkan penginapan lain, ini tempat yang paling nyaman. Algeo dan Nakamiya masih bermalasan dengan selimut terbuka akibat mereka tendang terus selama tidur. Rina dan Kyou juga masih tertidur di kamar sebelah.
Aku sudah terjaga sejak berkas pertama matahari menyelinap.
Aku sendirian di kamar. Mazo menyiapkan tiga kamar untuk kami dan kebetulan aku mendapat yang terakhir sekaligus lumayan besar. Aku melihat kertas misi yang menjadi permintaaan seorang klien pada kami. Divisi dua.
Di situ tertulis, meminta bantuan untuk mengusir setan penjaga makam yang membantai beberapa penjelajah piramida sepekan lalu. Teror yang disebarkan iblis itu mencapai puncak dengan banyaknya korban berjatuhan. Mulai dari anak – anak sampai dewasa.
Aku mengerti kalau kami yang di suruh. Mengusir setan merupakan keahlian Kyou, akurasi yang kuat dimiliki Rina, Naka bisa bergerak nanti di tempat sempit yang tidak terjangkau kami, Algeo bisa jadi penghibur.
Tapi kalau aku...
Kata Mazo, penampilanku yang seperti mumi ini mungkin bisa mengalihkan perhatian si setan.
Sepertinya aku harus mengubah gayaku berpakaian agar tak disangka mayat hidup.
Tapi makin aneh lagi kalau aku tanpa perban, Huruf Frios tak boleh banyak orang biasa yang tahu. Bisa salah paham seperti dulu….
Aku melihat foto yang memerlihatkan si iblis walaupun samar. Makhluk itu bertangan pedang di kedua sisi, penuh perban yang melayang – layang dan mata iblis. Sepintas dia mirip aku.
Aku punya firasat buruk.
"Pagi..Fied, nyem," ujar Nakamiya sambil menggeret Algeo yang masih berada di alam mimpi ke kamarku.
"Pagi," sapaku singkat. Aku sedang memerban bagian perut sampai pinggangku.
"Pagi…," sapa Rina dan Kyou. Mata mereka masih mengantuk. Wajar, kami baru sampai sekitar tengah malam di sini. Aku tertidur selama perjalanan.
"Sepertinya tidur kalian kurang," ujarku sambil mendudukkan Algeo di sampingku kemudian melanjutkan membebat diriku.
"Nyem," jawab Nakamiya sambil menggosok mata. Kuanggap itu jawaban ya.
"Aku akan melihat tempatnya dulu. Kalian beristirahat saja sehari ini," ujarku.
"Tapi apa tidak apa?" Tanya Rina. "Membiarkanmu sendiri.."
"Aku hanya masuk dan melihat ke tempat setan itu saja. Tidak akan lama," ujarku tersenyum. "Fasilitas di sini akan menunjang kalian. Leader sudah menyiapkannya."
Aku menitipkan empat koin emas di tangan Kyou. "Masing – masing untuk kalian. Sebagai stok jika beberapa pegawai meminta 'lebih'. Kalian juga boleh menghajar mereka jika kelewatan."
Aku memakai jubah hitamku. Menyisakan wajah yang sebagian diperban lalu menyampirkan Bazooka di lengan sebelah kiri.
"Aku pergi dulu," ucapku.
Mesir di bagian pasar menuju piramida hari ini tergolong ramai. Penjual dengan berbagai barang berteriak seperti anak – anak melengking menawarkan dagangan. Kebanyakan sovenir penjaga makam – Sphinx. Aku sempat ditawari balsam.
Terima kasih, aku bukan mayat.
Aku berjalan selama dua jam. Akhirnya sampai di depan piramida yang dimaksud. Beberapa orang yang lewat, kebanyakan penjaga makam, memintaku untuk tidak kesana. Dengan tenang kujelaskan bahwa aku baik – baik saja dan akan mengusir iblis itu.
Tanpa banyak bicara lagi aku masuk dalam teror.
"Fire bulb," bisikku. Bola api kecil berwarna terang muncul di tangan kiri. Aku membiarkan api kecil itu melayang di depanku memberi terang yang cukup untuk melihat bebrapa meter ke depan. Aku memetakan setiap laju dalam pikiranku. Bagiannya sama seperti pyramid yang lain. Satu anak tangga bercabang yang curam, terbagi atas dua tikungan tajam. Tikungan satu menuju atas tempat harta raja dan yang ke dua menuju bawah, tempat raja bersemayam. Sisanya jebakan.
Selama seharian aku mengelilingi labirin piramida yang ada. Tiba – tiba, ada anak panah melesat mengenai bahu kiriku. Aku terjatuh ke lantai berbatu. Apa aku mengaktifkan jebakan? Aku tak merasa menginjak apapun yang mencurigakan.
"Khu..." Aku melepas panah yang menancap dengan susah payah. Bau darahku dan obat langsung menguar. Obat yang keras dan kuat.
Racun.
Pandangan mataku mulai berkunang – kunang. Di saat yang sama, suara perban diseret tertangkap telingaku.
Dia berdiri di sana dengan kedua kaki normal yang bercakar. Perbannya perlahan mengikatku erat. Membuatku tak bisa bernapa sekaligus kehilangan tenaga. Wajahnya didekatkan padaku. Telinga panjang yang layu, rambut pendek berwarna putih.
Dia perempuan.
Perlahan dia menyeretku. Api mulai redup. Kemudian, gelap total.
