AN: this is a valentine special story that my friend made for her best friend (not me) and i'm just publishing it. so... happy (belated) valentine day!

Disclaimer: don't own the characters or story or ideas (this is my friend's story)


"Yuki! Sebentar lagi Valentine Day, kan?" Teman sekelasku, Kaori Hamada, menghampiri mejaku.

"Iya. Memangnya kenapa?" balasku.

Kaori nyengir. "Apa yang akan kau berikan untuk pangeranmu?"

Secara otomatis aku melirik kursi sebelahku, dimana ia biasa duduk.

"Siapa yang pangeran?" tanyaku.

Kaori tertawa. "Haruka Nanase, tentu saja! Dia kan dijuluki pangeran air! Kau harus hati-hati, Yu, atau dia akan lebih sering berada di air daripada bersamamu!" goda Kaori.

Aku tersenyum. "Aku tahu. Aku harus membuat cokelat yang enak agar ia terus berpaling padaku!" Aku membulatkan tekad.

Kaori menepuk bahuku. "Selamat berjuang, ya! Pastikan dia tak berada di air hari itu!" kata Kaori.

Aku tertawa. "Aku akan merantainya kalau perlu."

Kaori menggeleng. "Tapi sejujurnya, kau terlihat seperti pihak ketiga yang putus asa berusaha memisahkan Haruka dari pasangannya."

Lalu Kaori melihat ekspresiku dan langsung meralatnya.

"A-Ah, itu hanya candaan! Jangan dimasukkan ke hati!"

Aku memaksakan tawa. "Aku tahu, kok."

Kemudian bel tanda pelajaran dimulai dan Kaori kembali ke tempat duduknya. Sesaat sebelum sang guru masuk, seorang pemuda bertubuh tinggi atletis, berambut hitam, dan bermata biru masuk.

Haruka Nanase.

Ia berjalan dengan tenang ke kursi kosong di sampingku, mengabaikan fakta kalau ia nyaris terlambat.

"Ke mana saja kau?" tanyaku, berusaha bersikap tak acuh.

Sebelum Haruka menjawab, sahabatnya—Makoto—berlari tergesa-gesa ke tempat duduknya di depanku.

"Oh, kau tahulah. Ia menghabiskan waktu terlalu banyak di air dan takkan datang ke sekolah jika aku tak menjemputnya." sahut Makoto.

Aku menghela nafas. "Lagi? Apa kau ingin aku menjemputmu tiap pagi?" tanyaku.

"Ah, Mizu-san, biar aku saja yang mengurusnya. Lagipula, rumahku lebih dekat dengan rumahnya." kata Makoto.

Aku mengalihkan pandangan. "Hmph. Bagus kalau begitu. Pasti repot harus mengurusmu tiap pagi." kataku, tapi diam-diam aku kecewa.

Saat sang guru masuk dan mulai mengajarku, pikiranku melayang ke mana-mana dan terutama terarah pada Valentine Day. Aku melirik Haruka.

Aku adalah murid baru di Iwatobi High School. Saat pertama kali diajak berkeliling sekolah, aku paling bersemangat melihat kolam renangnya. Di sana, aku melihat pangeran yang telah lama kucari.

Haruka Nanase. Gerakannya saat berenang sangat indah dan luwes, mirip lumba-lumba, dan mata birunya tampak seperti air laut.

Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya.

Aku merasa bagaikan di surga saat tahu ia duduk tepat di sampingku di kelas. Ia tak pernah memandang ke arahku, tapi aku senang dapat melirik ke arahnya kapanpun aku mau.

Seminggu setelah aku bersekolah di Iwatobi, aku menemui Haruka di kolam renang saat ia selesai berlatih.

"Ada apa, Mizu-san?" tanya Makoto heran saat melihatku.

"Aku perlu bicara dengan Nanase-kun." jawabku.

"Eh?!" Makoto terkejut, tapi ia tetap memanggil Haruka.

"Ada apa?" tanya Haruka saat ia berdiri di depanku.

Dalam hati aku merasa sangat gugup dan malu, tapi aku mengendalikan diri dan menatapnya.

"Haruka Nanase, aku suka padamu. Jadilah pacarku." kataku tegas.

"APA?!" Makoto, Nagisa, dan Rei terkejut setengah mati.

Haruka tak mengatakan apa-apa selama sesaat.

"A-Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Apa aku terlalu memaksa? Atau suaraku terlalu datar? Apa ia akan menolakku? Aku tahu aku menyatakan perasaanku terlalu cepat, tapi aku tak mau ada gadis lain yang menduluiku!" pikirku galau.

"Hei..." panggil Haruka.

Aku tersentak kaget. "A-Apa?"

"Kau...siapa namamu?" tanya Haruka.

"HAH?!" Aku terperangah.

Sebelum aku bisa menahan diri, aku sudah memarahinya.

"Kita sudah menjadi teman sekelas selama seminggu dan kau masih belum tahu namaku?! Ditambah lagi, aku duduk persis di sebelahmu! Di sebelahmu! Dan kau berani menanyakan namaku?!" omelku.

Lalu aku tersadar dan buru-buru menutup mulutku.

"Gawat...aku membiarkan emosiku meledak... sekarang ia pasti akan menolakku..." pikirku panik.

Makoto buru-buru menjawab untukku. "Namanya Yuki Mizu, dan ia murid baru di kelas kita. Sungguh, kau benar-benar payah, Haru."

Aku memberanikan diri menatap Haruka dan langsung terkejut. Mata Haruka, yang tadinya datar dan kaku, langsung bersinar penuh ketertarikan.

"Namamu Mizu? Sungguh? Itu benar-benar namamu?" tanya Haruka antusias.

"Eh...? I-Iya, namaku Mizu." gagapku, tak mengerti apa yang dipikirkan olehnya.

"Kalau begitu, aku mau jadi pacarmu." jawab Haruka langsung.

"Eh?! Be-Benarkah?!" tanyaku terkejut.

"Oi, oi, Haru, tunggu dulu!" Makoto langsung memotongnya.

"Apa?" tanya Haruka.

"Kau yakin benar-benar menyukainya? Maksudku, kau bahkan tak tahu namanya sampai hari ini. Jangan katakan kalau kau hanya menerimanya karena namanya Mizu." kata Makoto.

"Memang itu alasanku." jawab Haruka polos.

Aku memelototi Haruka, kedua tanganku terkepal. "C-Cowok ini...!" pikirku berang.

"Kalau begitu, akan kubuat kau menyukaiku, tak peduli siapa namaku! Tunggu saja!" kataku lantang.

"Oh, baiklah. Aku akan menunggu kalau begitu." kata Haruka tenang.

Setelah kejadian itu, aku langsung berlari pulang saking gugupnya.

"Eh?! Kau menembak Haruka Nanase?! Kau berani juga!" komentar Kaori, yang sering mengajakku mengobrol di kelas.

"Aku tak ingin keduluan cewek lain." jawabku.

"Lalu? Bagaimana reaksinya?" tanya Kaori penasaran.

Aku menatapnya curiga. "Apa kau naksir padanya?"

Kaori tertawa. "Ia bukan tipeku. Ia terlihat seolah ia tak butuh siapapun selain air, dan aku tak mau bersaing memperebutkan perhatiannya dengan benda mati seperti air."

Aku menghela nafas. "Ia bersedia menjadi pacarku setelah mendengar kalau namaku Mizu."

Kaori menggeleng. "Kau yakin kau masih ingin menjadi pacarnya? Semua gadis di sekolah mengakui kalau ia sangat tampan, tapi mereka menolak untuk bersaing dengan air." kata Kaori.

"Oh ya, ada apa sih dengan air itu?" tanyaku.

"Sejak kecil, Haruka selalu suka berenang. Ia dan timnya memenangkan banyak lomba. Lalu suatu hari ia berhenti berlomba, tapi ia masih sangat menyukai air. Jika ia melihat genangan air yang cukup besar, ia pasti melepas bajunya dan langsung melompat masuk." jelas Kaori.

Aku sampai kehilangan kata-kata.

"Bagaimana? Belum terlambat untuk putus dengannya, kau tahu." goda Kaori.

Aku menggeleng. "Aku sudah berjanji akan membuatnya berpaling padaku tak peduli siapa namaku. Jadi aku tak bisa menyerah!" tekadku.

Kaori tertawa. "Semoga beruntung kalau begitu. Mungkin kau memang bisa membuatnya berpaling." kata Kaori.

"Sst! Yuki!"

Aku tersentak, baru sadar kalau Kaori telah menyikutku. Ternyata sejak tadi aku melamun soal hari-hari pertamaku di Iwatobi.

"Mizu-san, bisakah kau menyelesaikan persamaan ini?" tanya sang guru.

"A-Ah, iya." Aku berdiri dan maju ke depan, menyelesaikan persamaan itu tanpa kesulitan.

Guru itu kelihatan terkejut, tak mengira kalau aku memperhatikan apa yang dijelaskannya. Diam-diam aku tersenyum penuh kemenangan. Karena orang tuaku sangat disiplin soal pelajaran, aku belajar sangat keras dan sudah menguasai pelajaran yang diajarkan saat ini.

"Wah, Mizu-san, kau sangat hebat soal ini." puji Makoto.

"Trims." kataku, tapi aku melirik Haruka, berharap ia juga memperhatikan.

"Ah, jangan kecewa, tapi Haru tak pernah memperhatikan pelajaran." kata Makoto.

Aku langsung menatapnya, wajahku memerah. "A-Aku tidak melakukan itu karena aku ingin Haruka memperhatikan! A-Aku hanya melakukannya karena diperintahkan!" gagapku.

Makoto tertawa. "Baik, baik. Aku paham."

Aku menunduk, merasa sangat bodoh karena mengatakan hal seperti itu.

Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk mampir ke supermarket dan membeli bahan-bahan untuk membuat biskuit. Kaori menawarkan diri untuk menemaniku, karena ia sering memasak dan tahu apa saja yang disukai Haruka.

"Kau benar-benar kedengaran seperti stalker, tahu." godaku saat Kaori bercerita tentang Haruka.

Kaori tertawa. "Itu karena aku sekelas dengan mereka sejak kecil. Aku dekat dengan Makoto, dan dia sering bercerita tentang Haruka."

Aku berhenti berjalan, menatap Kaori dengan terkejut. "Tolong jangan katakan ini akan berubah menjadi yaoi." kataku setengah bercanda.

"Yang benar saja. Keduanya cowok normal, kok." kata Kaori.

Kami terus mengobrol sampai tiba di supermarket. Kaori menunjukkan padaku apa saja yang perlu dibeli untuk membuat biskuit. Ia tampak sudah berpengalaman dalam hal ini.

"Apa ini sudah cukup?" tanyaku setelah kami membayar semuanya.

"Tentu saja belum. Kau belum menyiapkan kantung hadiahnya, kan? Juga pita dan kartu ucapan." kata Kaori.

"Oh...benar..." kataku lesu.

"Ada apa? Kau tampak tidak bersemangat." tanya Kaori.

"A-Aku hanya ingin segera membuatnya. Ini pertama kalinya, jadi aku gugup." kataku. Lalu aku menyadari kalau Kaori juga membeli bahan-bahan. "Hei, Kaori..." panggilku.

"Apa?" Kaori menoleh.

"Kau akan membuat biskuit untuk siapa?" tanyaku.

Wajah Kaori langsung memerah. "A-Aku hanya membelinya untuk mengajarimu!" gagapnya.

Aku nyengir. "Benarkah? Lalu siapa cowok yang cukup beruntung untuk menerima biskuit buatanmu?" godaku.

Kaori memalingkan wajah. "E-Entahlah..."

Aku tertawa. "Ternyata kau juga mirip sepertiku, Kaori."

"Tutup mulut! Oh ya, kita sudah sampai." Kaori berhenti di depan toko.

"Toko ini menjual apa?" tanyaku.

"Kantung hadiah, pita, dan sebagainya. Aku selalu beli di sini." Kaori mengajakku masuk.

Setelah mencari-cari cukup lama, aku memutuskan untuk membeli kantung hadiah dengan motif ikan mackerel dan pita berwarna biru laut.

"Kenapa mackerel?" tanyaku saat Kaori mengusulkannya.

Kaori nyengir. "Haruka suka sekali makan mackerel. Jika kita pergi untuk berkemah, ia pasti membawa mackerel untuk dibakar." kata Kaori.

"Oh...begitu..." kataku.

Kami membayarnya dan pergi ke rumahku untuk memasak.

"Bagaimana dengan kartu ucapannya?" tanya Kaori.

"Ah..." Wajahku langsung memerah. "Aku berniat mengajaknya kencan hari itu. Di tengah kencan, aku akan memberikannya pada Haruka." jelasku.

"Oh, jadi supaya ia tak berada di air hari itu." goda Kaori.

"Yah...itu sebagian alasan..." Aku semakin malu. "Ma-Maksudku, kami kan berpacaran! Tidak ada yang salah dengan berkencan, kan?!"

"Baik, baik." Kaori tersenyum. "Ayo kita buat biskuit terenak yang pernah dimakan Haruka!"

Kami tiba di rumahku dan kami menaruh barang-barang yang kami beli di dapur. Lalu Kaori mulai mengajariku bagaimana membuat biskuit.

"Pertama, kita panaskan dulu ovennya. Lalu kita campur bahan-bahannya menjadi adonan." jelas Kaori.

Kami bekerja tanpa bicara selama beberapa saat.

"Yu...aku iri padamu." ucap Kaori tiba-tiba.

"Hah? Apa yang kau bicarakan?" Aku menoleh dengan bingung.

"Kau berani menyatakan perasaanmu pada Haruka dan terus berpacaran dengannya walau ia tak memperhatikanmu... kau sangat berani." kata Kaori.

Aku menunduk, malu. "Te-Terima kasih..."

Kaori tersenyum. "Karena itu, aku yakin kau pasti bisa membuat Haruka berpaling padamu dengan kekuatanmu sendiri."

Aku mengangkat kepala, merasa terkejut. "Bagaimana kau yakin?"

"Sejak kecil aku berteman dengan Haruka dan Makoto, ingat? Aku mengerti sifat Haruka, dan aku tahu ia butuh cewek sepertimu." kata Kaori.

"Hmph. Ba-Baguslah kalau begitu." Aku memasang wajah cuek.

Setelah adonannya siap, kami mencetaknya dan memanggangnya.

"Selesai!" kataku riang sambil membungkus biskuit-biskuit itu.

"Kau terlihat seperti koki profesional." goda Kaori.

Aku menatapnya curiga. "Kaori, untuk siapa biskuit itu?" tanyaku.

"E-Eh?!" Kaori langsung gelisah. "Ha-Hanya untuk temanku."

"Sungguh? Lalu kenapa repot-repot memberinya pita dan kartu ucapan?" desakku.

"A-A-Aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa! Semoga beruntung!" Kaori langsung membawa barang-barangnya dan kabur.

Keesokan harinya, tanggal 13 Februari, aku menemui Haruka sepulang sekolah di kolam renang. Seperti biasa, ia tengah mengapung di air tanpa alasan.

"Haruka, besok kau ada acara?" tanyaku sambil berlutut di tepi kolam.

"Hm? Tidak. Kenapa?" balas Haruka.

"Bagus!" pikirku dalam hati. "B-B-Besok...k-k-k-kencan..." gagapku, terlalu gugup untuk mengatakannya.

"Apa?" Haruka melirikku.

"Ayo! Sekarang atau tidak sama sekali!" pikirku. "B-Besok, ayo kencan denganku!" teriakku. Lalu aku sadar kalau aku baru saja berteriak dan langsung memandang berkeliling.

Untungnya, hanya ada Makoto di dekat sana, tapi ia menatapku dan Haruka dengan tatapan tidak percaya.

Tiba-tiba terdengar suara sesuatu jatuh ke air dan aku langsung menoleh. Haruka tengah berjuang agar tidak tenggelam.

"Ha-Haruka?!" Aku langsung menariknya ke luar kolam.

"Ke-Kencan, katamu?!" tanya Haruka sambil terengah-engah.

Wajahku memerah dan aku memalingkan pandangan. "I-Iya. Apa kau... keberatan...?" tanyaku malu-malu.

"B-Baiklah. Kapan?" tanya Haruka.

Aku mengangkat kepala dan melihat wajah Haruka juga memerah.

"Dia...merasa malu? Berarti...dia mulai menyadari hubungan kita...?" pikirku senang.

"Sepulang sekolah. Kau tidak ada latihan, kan?" tanyaku.

"Entahlah..." Haruka mengalihkan pandangan.

"Tidak ada, kok!" Makoto tiba-tiba muncul dan menepuk bahu Haruka. "Kalian berdua bersenang-senanglah besok!" kata Makoto.

"Ba-Baguslah kalau begitu. Sampai jumpa besok!" Aku segera berlari pergi.

Keesokan harinya, aku dan Haruka pulang sekolah bersama.

"Ke mana kau mau pergi?" tanyaku.

"Hm..." Haruka tampak berpikir-pikir.

Tiba-tiba sebuah pikiran muncul di benakku. "Jika kubiarkan dia yang memilih, dia pasti akan menyeretku ke kolam renang entah di mana!"

"A-Ah, aku lapar! Makan dulu, yuk?" potongku.

"Eh?" Haruka mengangkat kepala dengan kaget. "Oh, baiklah. Di mana?" tanya Haruka.

"Hmm...bagaimana kalau di kafe itu?" Aku menunjuk sebuah kafe kecil.

"Baiklah." Haruka mengangguk.

Kami menuju ke sana. Saat kami masuk, salah satu pelayannya langsung menyambut kami.

"Selamat datang! Maukah kalian mengikuti tantangan kami?" tanyanya.

"Tantangan?" tanyaku.

"Benar! Tantangan untuk para couple! Jika kalian bisa menyelesaikan tantangan ini, kalian akan mendapat voucher untuk makan gratis di sini!" jelas pelayan itu.

Haruka menoleh padaku. "Aku mau mencobanya."

"Eh?! Hmph, ka-kalau begitu, aku tidak punya pilihan lain." Aku memasang wajah cuek. "Kami akan mengikutinya."

"Baiklah, silakan lewat sini." Pelayan itu membimbing kami ke meja untuk dua orang.

Di atas meja itu ada semangkuk ramen, sepasang sumpit, dan sebuah borgol.

"Borgol?" Aku mengangkatnya dengan bingung.

"Begini tantangannya. Salah satu tangan kalian akan diborgol. Lalu salah satu menyuapkan ramen ke pasangannya. Jika kalian bisa menghabiskannya dalam waktu yang ditentukan, kalian menang." jelas pelayan itu.

"Biar aku saja yang menyuapimu. Aku tidak terlalu suka ramen." kata Haruka.

Aku memalingkan wajah, merasa gugup membayangkan Haruka akan menyuapiku. "Ba-Baiklah."

Kami duduk berhadapan dan tangan kiriku diborgol ke tangan kanan Haruka.

"Apa kau akan baik-baik saja memakai tangan kiri?" tanyaku.

"Aku masih bisa memakainya dengan baik." jawab Haruka.

Pelayan itu menyiapkan stopwatch.

"Siap...mulai!" kata pelayan itu.

Haruka mengambil sejumput ramen dan menyodorkannya ke depan mulutku.

"Bilang, 'Aa...'" kata Haruka.

"A-Aa..." Aku membuka mulut dengan ragu-ragu.

Tapi saat aku mengatupkan mulutku, Haruka menarik ramen itu menjauh.

"Eh?" Aku terkejut.

"Ada apa? Ayo makan. Waktu terus berjalan." kata Haruka.

"Jangan-jangan...orang ini..." pikirku curiga, tapi aku mencondongkan tubuh dan mencoba memakan ramen itu.

Tapi Haruka menariknya menjauh tepat sebelum aku menangkapnya.

"Ayo, Yuki. Kau harus menghabiskannya secepat mungkin, kan?" goda Haruka.

"Ternyata benar! Orang ini menggodaku!" pikirku marah. Tapi aku tak bisa menahan diri dan pipiku memerah saat mendengar Haruka mengucapkan nama depanku.

"Jangan bercanda! Kau mau menang atau tidak?!" Aku mencoba lagi dan kali ini berhasil memakan ramen itu.

Haruka tertawa dan mengambil sejumput ramen lagi. "Aku tak bisa menahan diri. Kau manis saat kau marah." kata Haruka.

Wajahku semakin merah saat mendengarnya. "Tutup mulut dan jangan berhenti!" tukasku.

Kami berhasil menghabiskan ramen itu sebelum waktu habis.

"Selamat! Ini voucher kalian! Dan ada hadiah khusus untuk kalian, karena kalian memecahkan rekor waktu tercepat.1 Silakan ikut aku!" Pelayan itu membimbing kami ke bagian belakang kafe.

Seorang pemuda pelayan membimbing Haruka ke lorong kanan, sementara pelayan tadi membimbingku ke lorong kiri.

"Apa ini?" tanyaku saat kami tiba di ruang ganti.

"Sebagai hadiah, kalian berdua akan memakai kostum dan berfoto bersama! Kostum apa yang ingin kau pakai?" tanya pelayan itu.

Aku terkejut, tapi tetap mengikuti pelayan itu saat ia memilih-milih.

"Sailor Moon...terlalu kekanak-kanakan. Aoi Kunieda... terlalu tomboi. Black Rock Shooter...terlalu suram. Hatsune Miku...terlalu otaku. Cooking Mama...terlalu keibuan. Inori... terlalu vulgar. Chitanda...terlalu polos. Ah, bagaimana kalau Juliet saja?" tanya pelayan itu.

Aku terpukau oleh koleksi kostum itu, tapi segera menguasai diri dan mengangguk.

Pelayan itu membantuku memakai kostum Juliet, lalu ia mengantarku ke atap kafe, dimana Haruka telah menungguku dalam kostum Romeo.

"Kau...kelihatan tampan." Aku memalingkan wajah, menyembunyikan betapa terpesonanya aku.

"Yah, kau takkan percaya kostum apa saja yang mereka punya di sini. Kau juga tampak cantik." puji Haruka.

Aku terkejut, pipiku memerah. "T-Trims."

"Ayo merapat, kalian berdua!" seru pelayan itu, yang memegang kamera.

Dengan malu-malu aku bergeser ke arah Haruka. Haruka juga merapat ke arahku, walau gerakannya ragu-ragu.

"Senyum!"

Haruka melingkarkan lengannya di bahuku dan menarikku merapat saat pelayan itu memotret kami.

Setelah kami berganti baju, pelayan itu memberikan 2 lembar foto tadi pada kami.

"Kau kelihatan manis." kata Haruka sambil mengamati foto itu.

"Lu-Lupakan saja! Kau mau pesan apa?" Aku segera mengganti topik.

"Tidak ada mackerel di menu..." gumam Haruka.

"Tentu saja tidak! Ini kafe!" sergahku.

Akhirnya kami memesan 2 piring omelette rice. Sambil makan, aku mengamati foto tadi.

"Foto pertamaku dengan Haruka, dan kami terlihat persis seperti couple. Mungkin kencan ini memang akan berjalan lancar." pikirku senang.

"Ah, Yuki, ada nasi yang tertinggal." Haruka mengulurkan tangan dan mengambil nasi yang menempel di pipiku.

Wajahku memerah saat tangan Haruka menyentuh pipiku. "Te-Terima kasih." kataku.

Setelah makan, kami keluar dari kafe itu.

"Berikutnya ke mana?" tanya Haruka.

"Karena tadi aku yang memilih, bagaimana kalau kau yang memilih?" tanyaku.

"Kalau begitu, biar kutunjukkan salah satu tempat favoritku." Haruka meraih tanganku dan menarikku.

Aku tersenyum dan menggenggam tangan Haruka. Kami terus berjalan hingga tiba di taman dekat Iwatobi Elementary School.

"Ini tempat favoritmu?" tanyaku sambil duduk di salah satu ayunan.

"Iya. Saat aku masih SD, aku biasa bermain dengan Makoto dan lainnya di sini." jawab Haruka. Lalu ia memalingkan wajah. "Sebenarnya, Makoto dan lainnya yang menyeretku untuk ikut bermain. Aku tak terlalu tertarik untuk bersosialisasi dengan orang lain." kata Haruka malu.

"Kau beruntung kau bertemu dengan teman-teman yang bisa mengubahmu menjadi terbuka." komentarku.

"Oh ya, tunggu sebentar di sini." Haruka meninggalkanku.

Aku mengayunkan tubuhku di ayunan. "Mendengarkan Haruka bercerita terasa aneh. Ia hampir tak pernah bercerita tentang dirinya dan kami bahkan hampir tak pernah mengobrol di kelas walau berpacaran." pikirku.

"Ini!" Sebuah bungkusan disodorkan ke depanku.

Aku mengangkat wajah dan menerima bungkusan yang diberikan Haruka.

"Wah! Kroket ikan?" tanyaku sambil mencoba salah satu kroket.

"Benar. Aku tak tahu rasa kesukaanmu, jadi aku membelikanmu yang mackerel juga." kata Haruka.

"Enak, kok. Kaori benar, kau memang suka mackerel." kataku.

"Kaori? Apa lagi yang ia katakan tentangku?" tanya Haruka.

Aku langsung memerah, sadar kalau aku terdengar seperti stalker. "Ah... tidak...hanya saja...kau jarang bercerita tentang dirimu sendiri. Aku...juga ingin tahu banyak tentang dirimu!" Aku membela diri.

"Benarkah?" Haruka terlihat kaget. "Kalau begitu, aku akan lebih sering bercerita padamu." kata Haruka.

Aku tersenyum senang. "Iya!"

Setelah makan, kami berjalan berkeliling kota sambil mengobrol. Aku tahu makin banyak tentang masa lalu Haruka, dan ia juga pendengar yang baik.

Ketika matahari terbenam, kami tiba di tepi danau. Aku menggigil kedinginan dan Haruka otomatis memasangkan scarf-nya di leherku.

"Ah...trims." kataku malu.

Aku melirik danau dan menyadari kalau Haruka sama sekali tidak menatap danau maupun berusaha melepas bajunya. Ia hanya menatap ke arahku.

"Kaori benar...aku bisa membuat Haruka menatapku. Sekaranglah saatnya!" pikirku.

"A-Ah...Haruka..." panggilku.

"Apa?" tanya Haruka.

"U-Um...i-ini...untukmu!" Aku menyodorkan kantung berisi kue yang kubuat sendiri. "Se-Selamat hari Valentine!"

Wajah Haruka memerah, tapi ia berusaha bersikap cuek. "Ah...terima kasih." Ia menerima kantung itu.

Selama sesaat terjadi keheningan.

"...eh? Eh? Apa sesuatu yang kukatakan salah? Kenapa ia diam saja?" pikirku panik.

"...Yuki, ada satu tempat yang ingin kutuju." kata Haruka.

"O-Oh, baiklah." kataku bingung.

Haruka menggandeng tanganku dan aku mengikutinya tanpa pertanyaan. Lalu kami tiba di kolam renang sekolah. Aku langsung mematung.

"Eh...Haruka? Kenapa kita...?" Aku menoleh dan Haruka sudah hilang dari sisiku.

BYUR!

Aku menoleh dan melihat Haruka mengapung di air. Ia memejamkan mata, dan tampak sangat rileks.

Aku menunduk dan meremas ujung scarf Haruka. "Jadi...akhirnya...kami kembali ke air." pikirku kalah.

"Yuki, kemarilah." panggil Haruka.

Aku tersentak dan melepaskan ujung scarf Haruka, lalu berlutut di tepi kolam. "Ada apa?" tanyaku.

Haruka tersenyum padaku dan mengulurkan kantung kueku. "Terima kasih banyak untuk kuenya. Apa kau membuatnya sendiri?" tanya Haruka.

"Iya. Kaori mengajariku." jawabku.

"Tidak beracun, kan?" goda Haruka.

Aku tertawa. "Entahlah. Kau yang akan jadi kelinci percobaanku yang pertama."

Tiba-tiba Haruka mengulurkan tangan dan menyelipkan seuntai rambutku yang terjatuh ke belakang telinga. Tangannya mengusap pipiku selama sesaat.

"Sekali lagi, terima kasih banyak. Aku bersenang-senang hari ini." kata Haruka tulus.

Aku balas tersenyum. "Aku juga." Lalu aku menengadah dan menatap langit malam. "Ini sudah cukup malam. Aku sebaiknya pulang sekarang." kataku.

"Ah, aku akan mengantarmu pulang." Haruka mulai keluar dari air.

"Tidak apa-apa, kok. Rumahku dekat dari sini." Aku berdiri. "Sampai jumpa besok!" Aku berlari pergi sebelum ia bisa melihat wajahku yang memerah.

"Oh...sampai besok..." sahut Haruka.

Dalam perjalanan pulang, aku menyentuh pipiku, yang masih terasa hangat oleh sentuhan Haruka. "Hari ini..." Aku tersenyum lebar. "Hari terindah dalam hidupku."

Keesokan harinya, Kaori langsung menginterogasiku.

"...dan kemudian aku berlari pulang." Aku menyelesaikan ceritaku.

Kaori bertepuk tangan. "Bagus sekali! Sudah kukatakan kau bisa menaklukkannya!" kata Kaori.

"Eh...'menaklukkannya' terdengar agak..." protesku.

Kata-kataku terpotong saat Haruka masuk ke kelas lebih awal dari biasanya.

"Ini dia! Setelah kencan yang sukses kemarin, hubungan kami pasti semakin dekat!" pikirku antusias.

"Selamat pagi, Haruka!" sapaku.

"...pagi, Mizu-san." jawab Haruka datar, bahkan tak melirik ke arahku.

"...eh? Eh? EH?! Apa yang terjadi?! Apa aku mengatakan sesuatu yang salah kemarin?! Kenapa ia bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi?! Kemarin ia memanggilku Yuki, kenapa sekarang Mizu?! Kenapa kami tambah menjauh?!" pikirku bingung.

Kaori menatapku, wajahnya juga sama bingungnya.

"Eh...Haruka? Kemarin..." kataku ragu-ragu.

Tapi sebelum aku bisa menanyainya, Makoto berlari masuk ke kelas.

"Haru! Kenapa kau datang duluan dan membiarkanku menunggu lama sekali?!" protes Makoto.

"Ah, maaf." kata Haruka pendek.

"Hanya itu yang bisa kau katakan?!" keluh Makoto.

Lalu Makoto menatapku. "Eh...maaf. Apa aku menyela sesuatu?"

Kaori langsung menginjak kakinya. "Sini!" Kaori setengah menyeret Makoto menjauh.

"Aduh! Sakit! Lepaskan! Apa sih salahku?!" protes Makoto.

Aku menatap Kaori dengan terkejut. Ternyata ia bisa menakutkan kalau sedang marah.

"...kau benar-benar bodoh! Tidak peka! Tidak bisa baca situasi!" Aku bisa mendengar Kaori memarahi Makoto.

"Jadi? Apa yang ingin kau tanyakan tadi?" tanya Haruka.

Aku tersentak dan menoleh padanya. "A-Ah...iya... sebenarnya..." Aku jadi semakin ragu-ragu. "A-Aku...mau mengembalikan scarf-mu!" Aku menundukkan kepala dan mengambil scarf Haruka dari tasku.

"Oh ya. Terima kasih." Haruka menerimanya.

"Bodoh! Bukan itu yang ingin kutanyakan!" Aku memarahi diriku sendiri.

Tapi sebelum aku bisa mengatakannya, guru kami telah masuk dan pelajaran dimulai. Sepanjang pelajaran aku terus melirik Haruka, berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya padanya. Tapi Haruka sama sekali mengabaikanku, dan menciutkan nyaliku.

Saat istirahat, Kaori segera menanyaiku.

"Apa yang terjadi antara kalian berdua?" tanya Kaori bingung.

"Entahlah..." Aku merosot di kursiku, patah semangat. "Kemarin kami baik-baik saja. Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Atau kueku tidak enak?" tanyaku bingung.

"Bicaralah padanya." desak Kaori.

"Tidak bisa...tsun-ku terlalu kuat. Aku hanya akan berakhir mengatakan hal lain yang tidak penting." kataku.

"Ayolah! Jangan menyerah begitu saja! Ini bukan Yuki yang kukenal!" Kaori menarikku hingga berdiri.

Aku menghela nafas. "Baik, baik. Akan kucoba." kataku.

Aku mengikuti Kaori ke atap sekolah, dimana Haruka sedang makan siang bersama Makoto, Nagisa, dan Rei.

"H-Haruka..." panggilku ragu-ragu.

Kaori menyikutku.

Aku menenangkan diri dan mencoba lagi. "Haruka. Kita perlu bicara." kataku tegas.

Keempat cowok itu mengangkat kepala saat mendengarku.

"Haru. Ayolah." Makoto menyikut Haruka.

Haruka menghela nafas dan berdiri, lalu mengikutiku ke ujung atap, sementara Kaori duduk bersama para cowok dan mengawasiku.

"Ada apa?" tanya Haruka.

"Kenapa..." Suaraku bergetar saat mengucapkannya. Aku berdeham dan berbicara lagi. "Kenapa kau bersikap begitu dingin padaku?" tanyaku.

"Aku tidak bersikap begitu. Itu hanya perasaanmu saja." kata Haruka.

"Kaori juga mengatakan hal yang sama! Apa ada sesuatu yang terjadi setelah aku pulang? Apa...apa aku melakukan sesuatu yang salah?" tanyaku.

Haruka membalikkan badan. "Kau tidak melakukan apapun yang salah. Sudah kukatakan, itu hanya perasaanmu." kata Haruka.

"Tapi...!" sergahku kalut.

"Oh ya. Satu lagi. Sebentar lagi kami akan mengikuti pertandingan renang antarsekolah. Kami harus berlatih, jadi aku takkan bisa bersamamu terlalu sering." kata Haruka.

Aku menunduk dan menggigit bibirku. "...baik. Aku paham." kataku pelan.

Haruka melangkah pergi dan bergabung dengan teman-temannya. Kaori langsung meloncat berdiri dan akan menghampiriku, tapi Haruka mengatakan sesuatu padanya.

"Bagaimana? Apa jawaban Haruka?" tanya Kaori.

"...ia bilang itu hanya perasaanku." kataku pelan. Lalu aku menatapnya. "Apa yang dikatakan Haruka padamu tadi?" tanyaku.

"Ah, ia hanya bilang supaya aku tidak terlalu ikut campur. Apa kau juga berpikir aku terlalu ikut campur?" tanya Kaori.

Aku tersenyum. "Bagiku, kau hanya selalu berusaha membantuku semakin dekat dengan Haruka. Jadi aku tidak keberatan." kataku.

Kaori tertawa. "Senang mendengarnya."

"Ah, dan Haruka mengatakan tim renang ada lomba antarsekolah, jadi ia harus berlatih semakin tekun." kataku sambil bersandar ke pagar atap.

Kaori tersentak dan wajahnya berubah pucat.

"Ka-Kaori? Ada apa?" tanyaku ketakutan.

"Yuki...lomba itu...diadakan tanggal 14 Maret." kata Kaori perlahan.

"APA?!" seruku.

"Jadi kau sebaiknya bicara pada Haruka tentang White Day, atau ia akan sepenuhnya melupakan soal itu." usul Kaori.

Walau Kaori menyarankan hal itu, aku masih terlalu bingung soal Haruka sehingga tak cukup berani untuk bertanya langsung padanya. Hari demi hari berlalu, dan tanggal 14 Maret makin mendekat. Tiap pulang sekolah aku selalu melihat Haruka di kolam renang.

Sehari sebelum lomba itu, seperti biasa aku melewati kolam renang dalam perjalanan pulang, berharap dapat melihat Haruka sekilas.

"...untuk hari ini, kalian tidak perlu latihan. Tapi besok jangan lupa berkumpul di sekolah pagi-pagi!" kata Gou, manajer tim renang.

Langkahku langsung terhenti. Tidak ada latihan?

Sebelum aku sadar apa yang sedang kulakukan, aku berlari ke ruang ganti dan hampir menubruk Haruka, yang baru saja masuk dari kolam renang. Ia masih memakai celana renang, dan tubuhnya basah kuyup.

"Yuki?!" tanya Haruka terkejut saat ia memegangiku agar tidak terjatuh.

"Ah..." Aku tersadar apa yang kulakukan. "M-Maaf!" Aku buru-buru melangkah mundur.

"Ada apa?" tanya Haruka.

"Ah...tidak...hanya...aku tidak sengaja mendengar Gou-chan berkata kalian tak ada latihan hari ini. Maukah kau..." Aku mengangkat wajah dan menatap Haruka. "...menemaniku pulang hari ini?"

Haruka menimbang-nimbang sejenak.

"Kurasa ia akan menolak...besok ia harus lomba, kan? Ia pasti ingin pulang dan beristirahat daripada menemaniku..." pikirku kalah.

"Baiklah." kata Haruka.

"Oh...begitu...sayang sekali...eh?! Apa katamu?!" Aku terkejut.

Haruka mengalihkan pandangan. "Kubilang, baiklah." Wajahnya tampak memerah.

Aku mematung, terlalu terkejut untuk bereaksi.

"Tapi tunggu aku ganti baju dulu." kata Haruka cepat-cepat.

Wajahku langsung memerah. "A-Ah, tentu saja! Kutunggu di gerbang!" Aku berbalik dan berlari pergi.

Sebelum aku menutup pintu, aku sempat melihat Makoto, Nagisa, dan Rei menggoda Haruka.

"Wah, ternyata Haru-chan bisa jadi pemalu di depan gadis!" goda Nagisa.

"Aku tidak pernah tahu Haruka-senpai bisa jadi seperti itu!" timpal Rei.

"Tutup mulut." gerutu Haruka.

Beberapa menit kemudian, Haruka dan teman-temannya tiba di gerbang sekolah.

"Haru! Jangan lupa besok kau ada lomba!" kata Makoto.

"Aku tahu, aku tahu." sahut Haruka.

"Bersenang-senanglah, kalian berdua!" kata Nagisa.

"Haruka-senpai! Kalau kau melakukan sesuatu yang aneh pada Yuki-senpai, aku akan kehilangan semua rasa hormatku padamu!" kata Rei.

"Ah...baiklah...tunggu! Memang kau pikir aku akan melakukan apa?!" sergah Haruka.

Mereka tertawa dan melambai pada Haruka dan aku sebelum pergi, meninggalkan kami berdua.

"A-Ayo pergi." Haruka meraih tanganku dan menarikku.

"I-Iya." Aku mengikutinya, tersenyum saat merasakan kehangatan tangan Haruka.

"Kau mau pergi ke mana?" tanya Haruka saat kami sudah berjalan cukup jauh.

"Hm...bagaimana kalau makan kroket di dekat Iwatobi Elementary School?" tanyaku.

Haruka tersenyum. "Tentu."

Kami pergi ke sana dan Haruka membeli dua kantung kroket mackerel. Kami makan dalam diam sambil duduk di ayunan, seperti waktu itu.

"Hei, Haruka...besok kau akan berenang di mana?" tanyaku.

"Oh...di Akademi Samezuka." jawab Haruka.

"Begitu...seperti yang kuduga, kau akan sibuk seharian ya?" Aku tersenyum, walau dadaku terasa sesak. "Semoga beruntung besok."

Haruka menurunkan kroketnya dan menatapku lekat-lekat. "Um...besok, setelah lomba...apa kau mau...kencan?" tanya Haruka malu-malu.

Aku terkejut setengah mati.

"Ah...kalau kau punya kegiatan lain, aku tidak keberatan..." kata Haruka buru-buru.

"T-Tidak! Dengan senang hati! Ayo kencan besok!" kataku antusias.

Haruka tersenyum lega. "Mungkin akan sedikit larut. Apa kau keberatan?" tanya Haruka.

"Tidak apa-apa. Kau kan harus lomba besok." kataku.

"Tunggu aku di sekolah jam 5 sore, ya. Aku pasti akan datang." kata Haruka.

Aku tersenyum lebar. "Tentu. Aku pasti menunggu."

Setelah kami menghabiskan kroket masing-masing, Haruka mengantarku pulang sampai ke rumahku.

"Sampai besok." kata Haruka.

Aku tersenyum. "Semoga beruntung dalam lombanya."

Keesokan harinya, hari Sabtu, Kaori datang ke rumahku pagi-pagi.

"Eh? Ada apa?" tanyaku.

"Ayo bersiap-siap. Tidakkah kau mau mendukung Haruka dalam perlombaannya?" tanya Kaori.

Aku memerah dan menunduk. "Ti-Tidak bisa. A-Aku ada acara lain siang ini." kataku.

Kaori tampak kecewa. "Ah, baiklah kalau begitu. Aku akan pergi untuk mendukung mereka." kata Kaori.

"Iya, selamat bersenang-senang." kataku.

Setelah Kaori pergi, aku melanjutkan latihan drumku. Latihan ini adalah salah satu alasanku menolak pergi, tapi alasan lain yang lebih penting adalah aku merasa aku takkan bisa menatap Haruka tanpa merasa malu setelah diajak kencan.

Sesudah berlatih cukup lama, aku mengawasi adikku yang paling kecil, karena keluargaku yang lain tengah keluar rumah.

Ketika jam sudah menunjukkan pukul 5 kurang 15 menit, aku memakai baju yang kusiapkan dan pamit pada ibuku sebelum menuju ke sekolah.

"Kencan...dengan Haruka..." pikirku antusias saat menunggu di gerbang sekolah.

15 menit berlalu dan Haruka masih belum muncul.

"Mungkin jalanan macet. Pasti ada banyak yang menonton pertandingan mereka hari ini." pikirku.

15 menit lagi berlalu, tapi Haruka belum terlihat.

"Mungkin mereka menang, dan perjalanan pulang tertunda karena mereka masih diselamati banyak orang." pikirku.

Setengah jam berlalu, dan masih tak ada tanda-tanda Haruka akan muncul.

"Aku harus sabar. Pasti Haruka datang. Mungkin sebentar lagi ia akan datang." pikirku.

1 jam berlalu, dan aku hampir tertidur menunggunya datang.

"Ada apa dengan dia? Ia bilang hari ini jam 5 di sekolah, tapi aku menunggu hampir dua jam dan ia belum datang..." gumamku.

Aku memutuskan untuk memeriksa daerah sekitar sekolah, siapa tahu ia lupa tempat pertemuan kami. Aku pergi ke taman dekat Iwatobi Elementary School dan danau tempat aku memberikan hadiah Valentine, tapi Haruka tak ada di sana.

Saat aku kembali ke sekolah, hujan deras mulai turun dan aku tak membawa payung maupun jas hujan. Aku terus menunggu di gerbang sekolah walau pakaianku basah kuyup, tapi Haruka tak datang juga.

Aku mengangkat kepala dan tersenyum sedih. "Sepertinya ini memang mustahil...Haruka tak mungkin naksir padaku. Aku tak mungkin menang dari air yang ia sukai itu."

Aku menunduk dan berjalan pulang.

Beberapa menit kemudian, Haruka berlari ke gerbang sekolah. Pakaiannya basah kuyup dan ia terengah-engah.

"Yuki? Yuki! Kau di mana?" teriak Haruka.

Tapi tak ada jawaban, dan ia menghela nafas. "Aku memang payah." gumamnya sebelum berbalik pergi dan pulang.

Keesokan harinya, aku menyiapkan diri untuk bertemu Haruka sebelum memasuki kelas, tapi seperti biasa ia belum datang.

Saat aku duduk, Kaori langsung menyapaku.

"Pagi, Yuki! Bagaimana kencan kalian semalam?" tanya Kaori.

Aku menggeleng. "Ia tidak datang kemarin." kataku.

"Eh?! Apa katamu?! Bagaimana mungkin?!" tanya Kaori terkejut.

"Entahlah. Aku sudah menunggu 2 jam dan ia tidak datang." kataku datar.

"Saat aku pulang kemarin, mereka memang sedikit terlambat dari jadwal, tapi tak mungkin mereka terlambat 2 jam." kata Kaori.

Bel berbunyi dan Kaori duduk. Aku memandang berkeliling dan sadar kalau Haruka maupun Makoto belum datang.

"Ke mana mereka?" pikirku.

Saat pulang sekolah, aku pergi ke kolam renang, tapi tak ada siapapun di sana, bahkan Gou juga tidak ada.

"Apa yang terjadi kemarin?" pikirku bingung.

Selama beberapa hari, tak ada satu pun dari anggota klub renang yang muncul di sekolah.

Akhirnya, beberapa hari kemudian, Haruka dan Makoto muncul di kelas, hampir terlambat seperti biasa.

Haruka duduk di sebelahku seperti biasa. Aku meliriknya, menunggunya mengatakan sesuatu tentang janjinya maupun tentang menghilangnya ia beberapa hari ini, tapi ia tak mengatakan apa-apa.

"Ke mana kalian beberapa hari ini?" Kaori menginterogasi Makoto.

"Eh...yah...ceritanya panjang..." kata Makoto.

Sebelum Kaori bisa memaksa Makoto bercerita, bel berbunyi dan sang guru masuk.

Sepanjang pelajaran, Haruka tak mengatakan apa-apa maupun melirikku.

"Kalau ini yang ia inginkan...aku tak boleh memaksakan diri. Aku harus melepaskannya." pikirku membulatkan tekad.

Setelah pelajaran selesai, aku berdiri dan melangkah ke depan Haruka.

"Bisakah kita bicara sebentar?" tanyaku.

"Hm? Tentu." sahut Haruka.

Kami pergi ke atap sekolah, yang kosong karena murid-murid sudah pulang.

"Ada apa?" tanya Haruka.

"Nanase-kun, kau tak perlu memaksakan diri lagi." ucapku.

Haruka tersentak. Aku tak pernah memanggilnya Nanase lagi, tidak sejak ia menjadi pacarku.

"Ayo akhiri permainan pura-pura ini. Jika kau tidak benar-benar menyukaiku, jangan paksakan dirimu. Sudah cukup. Kau tidak perlu berpura-pura lagi." kataku.

Haruka masih tak mengatakan apa-apa. Aku mengangkat wajah dan menatapnya lekat-lekat.

"Terima kasih untuk semuanya. Aku benar-benar senang saat bersamamu. Tapi jika kau tak merasakan hal yang sama, aku tidak keberatan. Selamat tinggal...Haruka Nanase." kataku.

Aku berbalik dan melangkah pergi, susah payah menahan diri untuk berjalan dengan tenang dan tidak berlari pergi begitu saja. Aku setengah berharap Haruka akan menghentikanku, akan berkata kalau ia sebenarnya menyukaiku dan tak ingin putus denganku.

Tapi ia tak menghentikanku.

Begitu sampai di rumah, aku mengurung diri di kamar dan menangis. Aku hampir tak pernah menangis selama ini, namun kali ini aku merasa seperti hancur berkeping-keping.

"Jadi ini...rasanya patah hati..." pikirku.

Keesokan harinya, di sekolah, aku mengabaikan Haruka sepenuhnya, bertekad takkan patah hati lagi gara-gara dia.

"Hei, Yuki, apa yang terjadi antara kau dan Haruka?" tanya Kaori saat kami berjalan di lorong sekolah seusai pelajaran.

"Tidak ada." sahutku datar.

"Ayolah. Haruka tak mau mengatakan apa-apa dan Makoto juga tidak tahu." desak Kaori.

"Sudah kukatakan, tidak ada apa-apa." jawabku.

"Tapi kalian berdua bertingkah aneh. Katakan padaku apa masalahmu. Mungkin aku bisa membantu." kata Kaori.

Aku berhenti dan menatap tajam padanya. "Ini tak ada hubungannya denganmu. Tolong Kaori, berhentilah ikut campur." kataku, lebih tajam dari yang kuniatkan.

Kaori tertegun, lalu menunduk. "...maaf." ucapnya sebelum berlari pergi.

Aku ingin mengejarnya dan meminta maaf padanya, tapi aku tak dapat bergerak dari tempatku.

"Maaf Kaori...aku akan minta maaf besok." pikirku sebelum berbalik pergi.

Sementara itu, Kaori berlari ke kolam renang sekolah, dimana Haruka dan lainnya berada. Ia bertekad mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi sebelum mereka menyadari kehadirannya, ia mendengar kata-kata Haruka dan berhenti.

"Hei Haru, apa yang terjadi antara kau dan Mizu-san?" tanya Makoto.

"...kenapa kita kedengaran mirip?" pikir Kaori dongkol.

"Sudah kubilang, tak ada yang terjadi." elak Haruka.

"Aku sudah kenal kau sejak lama. Apa yang sebenarnya terjadi?" desak Makoto.

Haruka mendesah. "Ia mencampakkanku. Ia bilang aku tidak perlu memaksakan diri untuk berpura-pura menyukainya." kata Haruka.

"Mereka...putus?" pikir Kaori.

"Apa?!" Makoto, Rei, Nagisa, dan Gou terkejut.

"Kenapa kalian ikut-ikut?" protes Haruka.

"Tapi bukankah Senpai benar-benar suka padanya?" tanya Rei.

"Entahlah..." Haruka mengalihkan pandangan.

Lalu mereka menyadari kehadiran Kaori, yang terdiam sejak tadi.

"Kaori...ada apa?" tanya Makoto.

Kaori melangkah maju dan menampar Haruka. Haruka terhuyung mundur, menatap Kaori penuh ketidakpercayaan.

"Apa-apaan itu...bagaimana kau bisa membiarkannya berpikir seperti itu?!" bentak Kaori.

"Apa maksudmu?!" balas Haruka.

"Bagaimana kau bisa membiarkan Yuki berpikir kalau kau tidak menyukainya?! Ia tulus menyukaimu, dan kau membiarkannya berakhir begitu saja?! Cowok macam apa kau ini?!" bentak Kaori.

Haruka tertegun.

"Kau menyukainya juga, kan?! Kalau begitu, sampaikan itu padanya! Kalau Yuki cukup berani untuk menyatakan perasaannya, kau juga bisa seberani itu!" kata Kaori keras.

Lalu ia menoleh pada Makoto.

"Ikut denganku sebentar!" Kaori menyeret Makoto menjauh.

"Menyatakan...perasaanku?" pikir Haruka. "Apa aku benar-benar menyukai Yuki? Aku sendiri masih ragu...itulah kenapa aku membiarkan hubungan kami berakhir begitu saja. Aku harus memastikannya sebelum aku bisa bicara padanya."

Keesokan paginya, Haruka pergi ke sekolah lebih awal dengan tekad akan memastikan perasaannya.

Namun saat ia memasuki kelas, Makoto sudah ada di sana. Dan ia sedang menyatakan perasaannya padaku.

Pagi itu, saat aku datang ke sekolah, aku terkejut melihat Makoto sudah ada di kelas. Begitu ia melihatku, ia langsung menghampiriku.

"Mizu-san, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Makoto serius.

"Eh? Ba-Baiklah." kataku bingung.

Aku meletakkan tasku di meja sebelum berbalik pada Makoto.

"Ada apa?" tanyaku.

"Mizu-san...sebenarnya..." Makoto berhenti sesaat.

Aku mengira Makoto berusaha menenangkan diri, tapi ia terus melirik pintu kelas, seolah mengharapkan seseorang masuk.

Tiba-tiba pintu terbuka dan Haruka melangkah masuk, tampak penuh tekad.

"Sebenarnya aku jatuh cinta padamu. Maukah kau jadi pacarku?" tanya Makoto lantang.

Seketika perhatian semua orang di kelas terarah pada kami.

"E-Eh?! A...Apa yang..." gagapku panik, tak tahu harus menjawab apa.

"Kau sudah tidak pacaran dengan Haruka, kan? Aku selalu memperhatikan dirimu sejak awal." Makoto melangkah maju, menutup jarak di antara kami.

"Ah...tapi..." Aku memandang berkeliling dengan gugup.

Murid-murid lain mulai menyoraki kami.

"Mizu-san...kumohon..." Makoto menyentuh pipiku, yang merah padam.

"Eh...aku..."

"Jangan sentuh."

Aku tersentak saat seseorang menarikku menjauh dari Makoto. Aku menoleh dan melihat Haruka, yang dari tadi mematung di depan pintu.

"Ha-Haruka?" tanyaku bingung.

"Jangan sentuh milikku. Maaf Makoto, tapi hanya dia yang takkan kuberikan padamu." kata Haruka serius.

Wajahku merah padam saat mendengarnya. Kedua lengan Haruka memelukku dengan protektif, mengirimkan kehangatan ke seluruh tubuhku.

Tiba-tiba Makoto tertawa terbahak-bahak.

"Oke, oke, sudah cukup hiburannya, semuanya!" kata Kaori, bergabung dengan Makoto.

"Aku tak pernah menyangka akan mendengar kau mengatakan sesuatu seperti itu, Haru." kata Makoto.

"Eh...?" Haruka terkejut. "Jadi...tadi itu..."

"Kau bodoh ya? Tentu saja hanya tipuan." kataku ketus, menyembunyikan rasa maluku.

"Eh?! Kenapa?" tanya Haruka.

"Kau ingin memastikan perasaanmu pada Yuki, kan? Anggap saja kami membantumu memastikannya." kata Kaori.

"Oh...begitu..." kata Haruka.

"Tapi terima kasih...sudah membelaku seperti itu." kataku pada Haruka.

"Ti-Tidak masalah." Haruka mengalihkan pandangan.

"...tapi, siapa yang milikmu?" Aku menginjak kaki Haruka.

"Aduh!" Haruka melepaskanku dan mundur teratur.

"Jangan lupa kalau aku tak ada hubungan lagi denganmu." kataku sebelum berbalik.

"Kalau begitu, temui aku di atap pulang sekolah nanti. Akan kukatakan apa yang harus kukatakan." kata Haruka tegas.

Langkahku terhenti dan aku hanya bisa mengangguk.

Sepanjang hari itu, aku tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Kata-kata Haruka terus melintas di pikiranku. Fakta kalau ia duduk di sebelahku juga tidak membantu.

Setelah menunggu selama beberapa jam, yang terasa seperti seabad, pelajaran usai dan Haruka menghilang ke atap. Aku tetap di kelas, berusaha menyiapkan diri untuk mendengar apapun yang akan ia katakan.

Kaori menghampiriku dan menepuk bahuku.

"Semoga beruntung. Jangan khawatir, oke?" kata Kaori.

Aku mengangguk. "Aku tidak terlalu setuju dengan akting Makoto tadi, tapi terima kasih sudah membantuku." kataku.

Kaori tersenyum dan melambai sebelum pergi. Aku menarik nafas dan pergi ke atap, dimana Haruka menungguku.

Haruka berbalik saat mendengarku datang.

"Apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku, berusaha memasang wajah datar.

Haruka melangkah ke depanku dan tiba-tiba berlutut khas pangeran.

"E-Eh?!" Aku mundur selangkah dengan terkejut.

"Maafkan aku karena terlambat tanggal 14 Maret lalu." kata Haruka tulus.

Aku terkejut.

"Kau mungkin tidak percaya pada kata-kataku, tapi biar kujelaskan apa yang terjadi. Kami memenangkan lomba itu, dan jadwal kami terlambat karena harus diselamati dan sebagainya. Lalu dalam perjalanan pulang, ban mobil kami kempes dan bensinnya habis. Kami harus mendorongnya ke pom bensin terdekat. Dalam perjalanan ke pom bensin, hujan deras turun. Setelah ban itu diganti dan kami mengisi bensin, jalanan macet luar biasa karena longsor. Aku terpaksa berlari beberapa kilometer ke sekolah, tapi aku sudah terlambat 2 jam lebih." Haruka mengakhiri ceritanya.

Aku menatapnya tidak percaya. "Kalian sial sekali hari itu."

"Benar, kan? Makoto bilang alam semesta menentang kencan kita hari itu." kata Haruka.

"Lalu? Kenapa kalian semua menghilang beberapa hari?" tanyaku.

"Karena khawatir padaku, Makoto dan lainnya ikut berlari untuk menyusulku. Akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing basah kuyup dan terkena demam. Kami baru bisa masuk beberapa hari kemudian." lanjut Haruka.

"Kalian benar-benar tidak beruntung..." pikirku.

"Maukah kau memaafkanku?" tanya Haruka, memecahkan pikiranku.

"E-Eh?!" Aku terkejut.

"Maaf sudah membuatmu menunggu selama 2 jam dan terkena hujan deras. Maaf kita tidak bisa kencan hari itu. Dan..." Haruka menunduk. "...maaf karena tak cukup berani untuk menghentikanmu saat kau berjalan pergi dariku."

Aku tersentak, wajahku memerah. "Ia...menyalahkan dirinya sendiri?"

Aku berlutut dan mengangkat wajah Haruka. "Itu bukan salahmu. Kau juga sial hari itu. Aku memaafkanmu, kok." kataku.

"Be-Benarkah?!" Wajah Haruka langsung berseri-seri, tampak manis sekali.

"Tentu saja." Aku mengangguk.

"Syukurlah..." Haruka meletakkan wajahnya di bahuku.

Aku langsung berubah kaku, merasa takut dengan kedekatan ini sekaligus merasa senang.

"Ini pertama kalinya aku punya pacar, kau tahu." ucap Haruka. "Aku tak pernah bertemu seseorang yang ingin bersamaku selamanya. Itu membuatku senang...sekaligus takut. Aku takut melakukan sesuatu yang salah dan kau membenciku. Aku jadi salah tingkah dan malu-malu di dekatmu. Tapi aku senang kau tak menyerah padaku. Aku senang kau selalu bersamaku."

Aku tersenyum saat mendengarnya, tubuhku perlahan merileks.

"Aku tak menyadari ini sebelumnya, tapi kini aku tahu aku tak ingin kehilanganmu. Jadi, izinkan aku mengatakan ini." Haruka menarik diri dan menatapku lekat-lekat. "Maukah kau menjadi pacarku?" tanya Haruka serius.

Aku merasa seolah dadaku dihantam sesuatu yang berat. Aku hampir tidak bisa bernafas, dan aku merasa ini mimpi yang menjadi kenyataan. Haruka memintaku menjadi pacarnya.

Aku segera tersadar dan menguasai diri. "Bodoh. Jawabannya tentu saja iya." Aku tersenyum lebar.

Haruka tersenyum juga dan memelukku. "Syukurlah. Aku tak tahu harus berbuat apa kalau kau menolakku. Kupikir aku mungkin harus merantaimu agar kau tetap di sisiku." kata Haruka.

"Eh...itu juga boleh, tapi aku lebih memilih kau meminta baik-baik." jawabku.

Lalu Haruka melepaskanku dan kami berdiri.

"Bagaimana kalau besok kita kencan—sebagai pengganti kencan yang gagal itu?" tanya Haruka.

Aku teringat sesuatu. "Tunggu sebentar. Aku punya pertanyaan. Saat kita kencan pertama kali dan aku memberimu kue, kenapa kau mengajakku ke kolam renang? Apa kau benar-benar lebih menyukai air daripada aku?" tanyaku.

Haruka tertawa. "Apa itu? Mana mungkin aku membandingkanmu dengan air?"

Wajahku memerah. "Ta-Tapi, semua orang bilang begitu! Dan kau tak pernah menceritakan bagian dirimu yang itu padaku."

Haruka berhenti tertawa dan tersenyum lembut. "Maaf. Aku sudah bilang kalau itu kencan pertamaku, kan? Saat kau memberikannya padaku, aku sangat gugup, jadi aku mengajakmu ke kolam renang, karena aku bisa rileks di dalam air." jelas Haruka.

"Itu alasanmu?!" Aku membelalak. Lalu aku tersenyum. "Tapi itu sangat seperti dirimu. Biar kutebak, kau bersikap seolah tak ada apa-apa yang terjadi karena kau gugup juga?"

Haruka tersenyum malu. "Benar. Aku seorang tsun, kau tahu."

Aku tertawa dan menggenggam tangannya. "Aku juga tsun. Jangan khawatir. Aku tahu persis apa yang kau rasakan."

"Mau pulang bersama?" tanya Haruka.

"Tentu!" sahutku riang.

Keesokan harinya sepulang sekolah, kami pergi kencan. Dan kali ini sudah tidak ada ketegangan atau kegugupan di antara kami.

Kami nonton film bersama di bioskop. Jemari Haruka bertautan dengan jemariku sepanjang film, dan kami berbagi sekotak popcorn, yang sepertinya dijadikan alasan oleh Haruka untuk menyentuhku.

Kemudian kami berkeliling pusat perbelanjaan. Haruka berkeras agar aku mencoba beberapa gaun, yang membuatku malu setengah mati. Saat kami melewati toko akuarium, Haruka melambat sesaat dan matanya tertuju pada akuarium terbesar.

Aku setengah khawatir aku harus menyeret Haruka keluar dari akuarium itu, tapi kemudian Haruka mengalihkan pandangannya dan menatapku.

"Apa?" tanya Haruka.

"Ti-Tidak ada apa-apa!" Aku mengalihkan pandangan.

"M-M-Mustahil!"

Teriakan itu membuat kami berdua menoleh. Makoto dan Kaori berdiri di depan kami, Makoto tampak ngeri dan Kaori tampak puas pada dirinya sendiri.

"Lihat, kan? Haruka lebih memperhatikan Yuki daripada air!" kata Kaori.

"Tapi...tapi..." sergah Makoto.

"Sudahlah, kau kalah taruhan, jadi kau berhutang padaku sebuah crepe!" kata Kaori.

"Jadi itu yang membuatnya puas..." pikirku.

"Eh, tunggu, jadi kalian menjadikanku bahan taruhan?" sergah Haruka.

Kaori tertawa. "Sebagai permintaan maaf, Makoto akan mentraktir kita semua di kafe!"

"EH?! Tung...Kaori!" Makoto mundur selangkah, tapi Kaori setengah menyeretnya ke kafe terdekat.

Aku dan Haruka saling berpandangan, lalu tertawa dan menyusul mereka.

Setelah makan crepe, aku dan Haruka berpisah dengan Kaori dan Makoto. Kami mampir ke toko buku dan toko DVD. Ternyata Haruka punya ketertarikan yang sama denganku dan kami mengobrol berjam-jam di kedua toko itu.

Saat hari makin larut, kami tiba di tepi danau, seperti saat kencan pertama kami.

Aku tersenyum lebar dan bersandar di pagar tepi danau.

"Hari ini asyik sekali, Haruka. Terima kasih." kataku riang.

Haruka tersenyum. "Aku juga bersenang-senang."

Kami terdiam sejenak. Tapi sebelum aku bisa mengucapkan sesuatu, pagar di belakangku berderak dan patah. Aku terjatuh ke danau, dengan panik menggapai-gapai mencari pegangan.

"Yuki!" Haruka langsung menyambar tanganku, tapi momentum menariknya juga ke danau.

Akhirnya kami berdua terjatuh ke danau dan basah kuyup.

"Kau tidak apa-apa?!" tanya Haruka cemas.

Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja. Pagar itu sepertinya sudah tua dan patah saat aku bersandar ke sana." kataku.

"Syukurlah..." Haruka memelukku.

Wajahku langsung memerah. "A-Ah, kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya kita berada di air bersama-sama." kataku, berusaha mengganti topik pembicaraan.

Haruka melepaskanku. "Benar juga. Bagaimana rasanya?" tanya Haruka.

Aku tersenyum dan memberanikan diri memeluknya. "...hangat. Dan menyenangkan." ucapku.

Kini Haruka yang memerah dan membuang muka. "...baguslah kalau begitu."

Kami keluar dari danau dan aku membawa Haruka ke rumahku, karena lebih dekat.

"Rumahmu besar, ya..." komentar Haruka.

"Ya, tapi kedua orang tuaku sering bepergian, meninggalkanku di rumah sendirian." sahutku, melemparkan pakaian ganti dan handuk padanya.

"Kau punya saudara?" tanya Haruka.

"Kakak perempuanku belajar di luar negeri, dan adik-adikku ikut dengan orang tuaku, jadi rumah ini praktis milikku sendiri." jawabku.

Setelah mengeringkan tubuh, aku membuatkan camilan dan kami duduk di ruang tamu sambil mengudap camilan.

"Hei Yuki, ke mana kau akan pergi untuk kuliah?" tanya Haruka.

Aku membeku sesaat. "...sepertinya aku akan pergi ke Amerika untuk belajar bisnis manajemen. Bagaimana denganmu?" tanyaku.

Haruka menatap ke luar jendela selama sesaat. "Aku belum yakin...tapi kurasa aku akan tetap di sini dan mencari pekerjaan." jawab Haruka.

"Kau tak ingin pergi ke sekolah berenang?" tanyaku.

Haruka mengalihkan pandangan. "Aku tak yakin yang kuinginkan ada di sana. Selain itu, di sini aku dapat berenang kapan saja." jawab Haruka.

Aku mengangguk. "Aku paham maksudmu."

Haruka akhirnya menatapku. "Setelah SMA, kita akan terpisah, tapi..." Haruka meraih dan menggenggam tanganku. "Saat kita bertemu lagi, kalau kau masih ingin bersamaku selamanya...aku tak keberatan." kata Haruka.

Aku tersentak dan wajahku memerah saat aku sadar Haruka ingin melamarku. Aku buru-buru menunduk untuk menyembunyikan wajahku.

"...tentu saja. Walau itu akan memakan waktu bertahun-tahun?" tanyaku.

Haruka tersenyum. "Aku akan selalu menunggumu."

Kata-kata itu memberiku kekuatan dan harapan yang kuperlukan untuk menjalani tahun-tahun di hidupku.

Setelah kami berdua lulus SMA, aku pergi ke Amerika untuk belajar sementara Haruka tetap di Iwatobi dan mencari pekerjaan. Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar bisnis dan magang, tapi aku tak pernah melupakan kata-kata Haruka.

8 tahun kemudian...

Aku menapakkan kaki di stasiun Iwatobi untuk pertama kalinya dalam 8 tahun terakhir. Kini aku sudah menjadi wanita dewasa, seorang wanita pengusaha yang sukses. Walau aku bisa saja tinggal di Amerika dan bekerja di sana, hatiku selalu berada di Iwatobi, memikirkan tentang Haruka.

"Apa Haruka masih bangun? Atau ia sudah tidur...?" pikirku sambil menatap arlojiku, yang menunjukkan pukul 11 malam.

Aku melangkah keluar dari stasiun dan memutuskan untuk berkeliling kota sebentar. Aku melewati sekolah dasar, SMA, dan taman yang biasa kukunjungi. Akhirnya aku tiba di danau.

Aku berdiri di tepinya dan menyentuh pagar yang 8 tahun lalu rusak. Saat itu Haruka menangkapku, tapi kami sama-sama terjatuh.

"Rasanya kejadian itu sudah lama sekali...aku benar-benar merindukannya, walau kami sering bertelepon selama 8 tahun ini." pikirku.

Tiba-tiba salju yang cukup lebat turun, mengubah kota menjadi putih.

"Musim dingin sudah datang..." pikirku.

Aku berbalik dan kakiku terpeleset salju. Aku terjatuh ke belakang menabrak pagar, dan pagar itu kembali terlepas.

"Aku...jatuh...lagi?!" pikirku panik.

Tapi sebelum aku tercebur ke dalam danau, tangan seseorang menyambar tanganku. Sebelum aku sadar apa yang terjadi, aku sudah berada dalam dekapan seseorang.

"Ya ampun...kau itu...masih belum berubah selama 8 tahun ini." omelnya.

Aku melepaskan diri dan menatap pria itu, terkejut sekaligus senang.

"Haruka!" seruku.

Haruka tersenyum. "Selamat datang kembali, Yuki."

Aku langsung memeluknya. "Aku merindukanmu!"

Haruka balas memelukku. "Aku juga. Berat rasanya tak melihatmu selama 8 tahun ini." kata Haruka.

Aku melepaskannya. "Ada banyak yang ingin kukatakan. Bagaimana kalau besok kita bertemu..."

"Ada sesuatu yang penting yang harus kutanyakan padamu." potong Haruka.

"Eh...?" Aku terkejut.

"Keinginanmu untuk bersamaku selamanya...apa itu sudah berubah? Apakah kau sudah menemukan orang lain untukmu...?" tanya Haruka serius.

Aku tersentak. "Apa kau sudah bersama orang lain?! Siapa?!" tanyaku.

Haruka memegang kedua bahuku. "Yuki. Jawab saja." desaknya.

Aku menggeleng tidak sabar. "Bodoh. Selama 8 tahun ini aku selalu memikirkanmu. Mana mungkin keinginanku berubah. Aku ingin bersamamu selamanya." kataku.

Haruka tersenyum lega. "Aku juga. Kau selalu ada di pikiranku." kata Haruka.

Aku terkejut. "Perasaanku...terbalas...?"

Haruka meraih tanganku. "Ayo pergi ke rumahmu dan katakan pada orang tuamu." kata Haruka.

"E-Eh?! Tapi...ini hampir tengah malam...!" sergahku.

Haruka tetap menarikku. "Malam ini...terasa seperti mimpi." ucap Haruka. "Melihatmu kembali...terasa seperti mimpi. Aku takut kalau aku menunggu sampai besok...aku akan terbangun. Dan kau tak ada di sini."

Aku tersentak. Lalu rautku melunak dan aku tersenyum. "Baiklah."

Seperti yang kuduga, orang tuaku marah besar karena diganggu tengah malam, tapi mereka segera paham saat melihat kami. Setelah pembicaran antarlelaki antara ayahku dan Haruka, orang tuaku menyetujui hubungan kami.

"Tapi lain kali telepon dulu sebelum masuk ke rumah orang!" omel ayahku sebelum mengusir Haruka pulang.

Keesokan harinya, aku dan orang tuaku menemui orang tua Haruka. Setelah pembicaraan panjang, mereka merestui hubungan kami dan kedua orang tua kami mulai merencanakan pernikahan.

"Ah...sebelum itu..." Haruka menarikku ke pinggir dan mengeluarkan sebuah kotak cincin.

Aku terkesiap dan tak dapat menahan kegembiraanku. Haruka membuka kotaknya dan mengeluarkan cincin perak yang dihiasi batu safir.

"Indah sekali...! Warnanya seperti warna matamu..." ucapku.

Haruka tersenyum malu. "Aku membelinya dari hasil pekerjaanku. Aku tak yakin kau akan menyukainya, tapi..."

Aku memasangnya di jariku dan mengaguminya. "Aku suka! Sangat suka! Terima kasih, Haruka!" Aku memeluknya.

Setelah beberapa bulan merencanakan pernikahan, kami akhirnya menikah. Kami mengundang semua teman-teman kami untuk hadir.

Momen paling bahagia dalam hidupku adalah saat kami berdua berdiri di altar dan mengucapkan sumpah pernikahan.

"Aku bersedia." kata Haruka tegas.

"Aku bersedia." ucapku.

"Kalian telah resmi menjadi suami-istri." kata sang pendeta.

Haruka menarikku ke dekapannya dan menciumku di depan semua orang yang bertepuk tangan.

Di pesta pernikahan, semua orang menyelamati kami.

"Selamat ya, kalian berdua!" sapa Kaori.

"Kaori! Aku kangen padamu!" Aku memeluknya.

"Selamat atas pernikahan kalian!" Makoto muncul di sebelah Kaori.

"Eh? Kalian berdua..." Haruka terkejut.

Kaori nyengir dan menunjukkan cincin yang melingkari jari manisnya.

"Masih bertunangan, sih. Tapi itu kemajuan berarti!" kata Kaori.

Aku tertawa dan balik menyelamatinya. Setelah keduanya berlalu, tamu-tamu lain juga menyelamati kami.

Setelah menikah, aku dan Haruka membeli rumah dengan kolam renang besar di halaman belakang. Haruka sangat menyukainya dan sering berenang di sana, tapi selalu datang saat aku membutuhkannya.

Aku mendirikan bisnisku sendiri, berbekal pengalaman di Amerika, dan bisnis itu sukses. Haruka membuka kelas renang di akhir pekan dan mengajari anak-anak kecil berenang. Katanya hal itu mengingatkannya pada masa kecilnya, saat ia berlatih renang dengan teman-temannya.

Setahun kemudian, aku dan Haruka mendapat seorang putra laki-laki. Ia persis seperti Haruka, dan sama-sama mencintai air. Kami menamainya Nanase Kuroyuki.

Tahun berikutnya, kami mendapat seorang anak perempuan. Matanya berwarna biru laut, persis seperti Haruka, namun wajahnya mirip sepertiku. Namanya Nanase Shirayuki.

Suatu siang beberapa tahun kemudian, aku dan Haruka duduk di tepi kolam, memandangi Kuroyuki dan Shirayuki berenang. Keduanya berenang dengan luwes, persis seperti Haruka.

"Yuki...aku lega aku bertemu denganmu." ucap Haruka. Ia menengadah ke langit biru. "Pertemuanku denganmu mengubah hidupku. Selama 8 tahun kita terpisah, setiap kali aku hampir menyerah, ingatanku tentangmu memberiku harapan." Haruka menoleh padaku dan ia tersenyum lembut. "Aishiteru."

Aku memerah saat mendengarnya mengucapkan semua itu. "A-Aku juga. Kata-katamu... kehadiranmu... perasaanmu... selalu memberiku semangat. Aku bahagia bersamamu." Aku memberanikan diri untuk membalas tatapan Haruka. "Watashi mo aishiteru."

Haruka menggenggam tanganku. "Zutto isshou ni, nee?"

Aku tersenyum lebar dan balas menggenggam tangannya. "Zutto."

THE END


1 Lihat Maid-sama ep terakhir

review will be most appreciated! thank you for reading!