(Bagian awal terinspirasi epilog Mockingjay karya Suzanne Collins.)

(Character study smh.)


.

Kabar kemenangan tak mutlak datang bersama rasa lega. Perlu waktu lima, sepuluh, tiga belas tahun sampai mereka dapat mengatakan bahwa ras raksasa pemakan manusia itu lenyap seluruhnya dari jagat bumi. Sampai akhirnya ekspansi berani dilakukan lebih jauh lagi, hingga melintasi samudera.

Garis pantai yang berkilau ditimpa cahaya matahari terbenam, Gunung-gunung tinggi dengan puncak yang selalu tertutupi awan, padang es― gemetar ini masih tersisa, di tangan-tangan manusia, menampung sesak yang bertahun-tahun bergelayut bersama tetes-tetes darah yang harus keluar demi terwujudnya hari ini, terwujudnya kebebasan mereka.

Dan tetap takkan termaafkan, namun mereka akan menebusnya nanti di alam baka.

.


.

Komandan dan Kapten pergi mengelana. Mungkin itulah hal yang sedari lama ingin mereka lakukan karena tiga tahun setelah lenyapnya para raksasa (walau awalnya itu sekadar praduga saja) mereka telah selesai mengepak barang dan mengendarai kereta berkuda dua menuju barat. Kala itu matahari tengah sayup di horizon dan Kapten bersandar pada pundak kanan Komandan, dan itulah pemandangan terakhir yang dapat disaksikan sebelum kereta mereka melebur dipermainkan surya yang berpaling dan berganti malam.

Ada kekosongan yang tak dapat dijelaskan meruap dalam dada yang ditinggalkan, melihat hal tersebut. Seperti tangis yang tak mau keluar. Ketakutan yang tak dapat dipendam namun mereka bukanlah anak kecil sehingga takut itu begitu dingin. Pupa mereka tak lagi mengungkung dalam rasa aman, dan pupa itulah yang pergi.

Prajurit menolak mengatakan rindu.

.

.

Yang ditinggalkan mengarungi hidup mereka masing-masing. Berjalan dengan sisa-sisa anggota badan yang dapat bergerak. Menghirup hari ini dan esok dan berusaha menjadikan segalanya lebih baik. Hidup mereka baik, baik. Mereka percaya karena mereka telah berjuang, dan berhasil.

Mereka hanya lelah. Begitu lelah.

Saking lelahnya hingga kabut setengah menguasai kerlipan di mata. Dengan isi kepala yang tidak selalu berada di tempat, dengan memori yang tak memudar. Dengan air garam yang terkadang menetes dan membasahi kepalan tangan, dengan wajah seakan jiwa ini diaduk dari dalam. Mungkin itulah alasan kenapa orang-orang yang sadar dan melihat saat-saat terakhir Komandan dan Kapten pergi, pula melihat seberapa kencang Kapten mencengkeram lengan Komandan yang tak lagi ada. Dan alasan kepergian itu dari awalnya.

.

Pertarungan telah usai. Tetapi mereka terlalu lelah untuk bergembira.

.

.


.

Pun jiwa mereka tersesat dalam labirin karena emosi bukanlah trauma yang mudah untuk dikalahkan. Mereka dapat menangis di penghujung malam.