Disclaimer Naruto (c) Masashi Kishimoto

I own this story

.

.

-Enjoy Reading-

.

.

Ini sungguh tidak bisa dibiarkan. Ino merengek di apartemennya dan ini sangat menganggu. Dia sedang di depan laptop mengerjakan revisi saat gadis pirang itu tiba-tiba masuk ke apartemennya membawa sekantung penuh makanan. Kedatangan Ino benar-benar tidak diharapkan kali ini. Kecuali setumpuk makanan yang dibawanya.

"Kenapa kau selalu tidak ingin ikut nongkrong denganku dan Sai!?"

Sakura menutup laptop karena sudah tidak mendapatkan konsentrasinya lagi. Alisnya berkerut jengkel.

"Karena pada saat nongkrong, Sai selalu mengundang teman-temannya yang tak kukenal. Lalu kalian akan sibuk berdua memadu kasih. Sementara aku ditinggalkan dengan canggung bersama teman-temannya."

"Kau bisa bersosialisasi!" Ino masih mencari alasan untuk membuatnya tetap ikut.

"Aku bukan mahasiswa semester awal yang sedang giat-giatnya memperluas pergaulan!" Sakura mendesah kesal.

Perutnya menjadi lebih lapar dari sebelumnya saat beradu mulut dengan Ino. Terutama saat ini jam makan siang. Matanya mulai melirik kantung yang dibawa Ino. Terjadi pergolakan dalam dirinya. Tak mungkin saat sedang mendebat gadis itu tiba-tiba dia mengambil makanan yang dibawanya.

"Oh, Tuhan! Ini malam minggu, Sakura. Tak mungkin kau mengerjakan laporanmu yang akan selesai itu!"

"Aku memang tak akan mengerjakannya malam ini. Aku akan menonton The Choice."

Ino berdecak kesal. "Hentikan menonton romance seperti itu! Kau bahkan tak punya pasangan." Sakura merengut. Merasa tersinggung karena sudah enam bulan tidak berkencan dengan siapapun.

Ino tersenyum misterius. "Kau akan beruntung jika ikut kali ini."

Sakura mendengus. "Tidak perlu! Aku sedang tidak membutuhkan keberuntungan."

Tiba-tiba ide cemerlang terlintas di pikiran Ino. Dia yakin kali ini Sakura akan menyerah dan mau ikut dengannya.

"Baiklah." wajahnya berpura-pura menyerah. "-tapi jangan harap aku akan memberikan voucher tas branded yang kau inginkan itu!" Ino tersenyum layaknya iblis cantik.

Sakura mendelik.

"KAU SUDAH BERJANJI!" teriaknya dengan telunjuk mengarah ke hidung Ino.

"Lupakan janji itu. Kau tidak ikut maka voucher juga hilang. Aku akan menggunakannya sendiri." Senyum puas terkembang di wajah Ino. Dia yakin kali ini Sakura akan benar-benar kalah.

Sakura diam. Dia tidak menyangka Ino akan mengancamnya seperti ini. Pikirannya terus mengarah pada voucher milik Ino. Tas yang berbulan-bulan dia inginkan sedang diujung tanduk. Voucher Ino sangat membantunya memiliki benda yang amat dia impikan itu. Sakura telah menabung selama berbulan-bulan. Ditambah dengan voucher Ino setidaknya dia dipastikan akan dapat membeli 'buah hatinya' akhir bulan ini. Tapi rencananya akan gagal jika Ino tidak jadi memberi voucher miliknya itu.

Sakura menghela napas berat. Si-Iblis-Pirang sudah tersenyum penuh kemenangan. Dia hapal betul helaan napas Sakura yang seperti itu. Tanda gadis itu menyerah.

"Baiklah." matanya memicing melihat senyum Ino yang sangat lebar. "Tapi aku akan langsung pulang jika merasa tidak nyaman, sekalipun sendirian."

"Setuju! Aku jemput nanti jam 7." potong Ino cepat. "Ayo sekarang kita makan. Aku bisa mendengar suara perutmu dari tadi."

"Sialan!"

-o0o-

Seperti janjinya, Ino menjemputnya pukul 7 malam. Gadis itu berpakaian semencolok biasanya. Seksi dan elegan. Tak perlu diragukan lagi mengapa Sai terlihat begitu tergila-gila pada sahabatnya itu.

Ino memasang raut bangga kearahnya begitu dia membukakan pintu. "Kau terlihat persiapan untuk seseorang yang malas ikut." Sakura memberikan senyum paksa sekilas lalu kembali memasang raut datar. Ino hanya tertawa melihat tanggapan Sakura.

Apartemen Sai cukup luas dengan perabotan modern. Seperti kata Ino, Sai terlahir dari keluarga kaya. Dia memiliki galeri lukis sendiri dan menjual beberapa karyanya. Tampaknya jika Sai ingin menikahi Ino di masa depan, gadis itu sama sekali tidak memiliki alasan untuk menolak Sai.

Ciuman pria pucat itu menyambut Ino begitu melihat kekasihnya datang. Ciuman itu bahkan berlanjut menuju bahu Ino yang terbuka. Sai melirik kearah Sakura setelah selesai dengan kegiatannya.

"Wow! Apa yang dilakukan Ino hingga kau akhirnya datang, Jelek?" Sai tampaknya terkejut dengan kehadirannya karena biasanya dia akan langsung menolak jika diajak.

"Tanyakan saja pada kekasihmu." jawabnya ketus. Pasangan itu tertawa melihat raut wajahnya.

Beruntung baginya, Sai mengundang teman yang dia kenal. Naruto ada disana sedang membuka kaleng bir. Dia mendekati pria itu. Tatapan mereka bertemu saat dia berjalan mendekat.

"Hei Sakura!" Naruto melihatnya dari atas ke bawah lalu bersiul. "Aku tidak ingat kau secantik ini saat SMA." Senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya. Naruto memang sangat aktif dan banyak bicara sejak pertama kali dia mengenalnya.

"Jangan menggodaku." kata Sakura malas. Naruto terkekeh mendengar tanggapannya. "Dimana Hinata?" tanyanya dengan mata berkeliling.

"Dia tidak bisa datang. Adiknya datang dari Iwa." Sakura mengangguk mengerti.

"Kau mau?" Naruto menawarinya sekaleng bir seperti ditangannya.

"Boleh."

Sakura berjalan ke sofa di ruang tengah apartemen Sai. Seorang gadis bercepol dua duduk disana. Dia tidak mengenalnya. Tapi sepertinya gadis itu menyenangkan diajak bicara. Terlihat dari interaksinya dengan Naruto. Walaupun sebenarnya mereka kebanyakan saling melempar ejekan.

Baiklah, sepertinya nongkrong kali ini tidak terlalu buruk. Dia berteman dengan Naruto dan gadis disampingnya-Tenten tidak membuatnya canggung. Kepribadiannya sedikit mirip Ino dengan kemampuan mengumpat lebih baik. Bahkan dia sempat tertawa terbahak saat gadis itu menceritakan keberhasilannya mengerjai Naruto.

"Kau pasti berdoa tujuh hari tujuh malam di gunung supaya bisa mendapatkan Hinata!" Tenten masih saja berdebat dengan Naruto.

Naruto tertawa tak habis pikir. "Wah, harusnya kau lihat dirimu! Neji benar-benar tertimpa sial bisa berakhir dengan seorang mesin pengumpat." Sakura menyesap bir nya. Tenggorokannya menjadi serak karena banyak tertawa.

Bel apartemen Sai berbunyi. Mungkin pria pucat itu masih mengundang teman lainnya. Dia tak mau ambil pusing. Lagipula dia sudah cukup nyaman disini.

Sebenarnya Sakura tidak tertarik untuk melihat siapa yang datang seandainya Sai tidak memanggil nama itu.

"Sasuke, masuklah." ajak Sai.

"Teme! Kenapa kau lama sekali!?" teriak Naruto dari seberang Sakura.

"Hn. Ada urusan sebentar."

Suara berat milik Sasuke membuat jantungnya berdegub kencang. Dia tak pernah memperkirakan bahwa Sai dan Sasuke berteman. Bahkan sampai mengundang lelaki itu kemari. Jangan salah sangka. Dia tidak memiliki masalah apapun dengan Sasuke. Bahkan mungkin Sasuke tidak mengenalnya. Mereka hanya pernah satu kelompok saat ospek universitas. Itupun sudah lebih dari tiga tahun lalu. Jadi kecil kemungkinan Sasuke mengingatnya.

"Kau harus berterimakasih padaku karena memaksamu kemari." bisik Ino ditelinganya.

Sakura mendengus. "Kita bicarakan nanti." jawabnya pelan. Ino tertawa geli karena tahu dirinya sedikit salah tingkah karena kedatangan Sasuke. Tak bisa dipungkiri jika dia senang dengan kehadiran pria itu. Mereka tidak satu fakultas. Sehingga tempat dimana Sakura bisa melihat Sasuke hanyalah kantin kampus mereka pada saat jam makan siang.

Sasuke tampak setampan dan seseksi biasanya. Pria itu mengenakan kemeja hitam santai yang lengannya digulung hingga siku dan celana jeans biru. Beruntung bagi Sakura, dia datang dengan sedikit persiapan sehingga membuatnya tampak tak memalukan.

Namun mungkin malam ini bukan malam keberuntungannya. Sedetik yang lalu dia merasa senang karena Sasuke. Detik selanjutnya dia harus kecewa karena hanya selang beberapa menit seorang wanita berambut merah menyala menyusul di belakang pria itu.

"Kenapa tidak masuk bersama Sasuke?" tanya Sai membukakan pintu.

"Aa, ponselku tertinggal di mobil tadi."

Sakura menghembuskan napasnya perlahan agar terlihat tak terlalu kecewa. Sasuke datang bersama teman kencannya. Baiklah, lupakan tentang menarik perhatian pria itu.

Pandangannya berpindah ke layar. Dia merasa harus berterima kasih pada Sai karena pria itu memutar film semenjak dia datang. Walaupun harus menonton adegan thriller The Purge. Setidaknya matanya teralihkan dari keinginan melirik Sasuke.

Kepalanya dia sandarkan ke kepala sofa. Matanya masih mengarah ke layar sampai seseorang duduk di sebelahnya. Tenten baru saja pamit ke kamar mandi. Jadi tidak mungkin gadis itu sudah kembali secepat itu.

Tiba-tiba wangi maskulin memenuhi penciumannya. Shit! Sasuke duduk disampingnya. Tidak terlalu dekat namun juga tidak jauh. Sakura berdecak dalam hati. Mengapa dari banyak sofa kosong Sasuke harus duduk disebelahnya? Mungkin dia sedikit berlebihan karena sofa di apartemen Sai tidak sebanyak itu. Namun sofa di seberangnya juga masih kosong. Bahkan tidak seorang pun duduk disana karena Naruto juga pergi mengambil minuman.

"Serius sekali. Kau belum pernah menontonnya?"

Sakura tidak tahu Sasuke berbicara dengan siapa. Namun di sekitar pria itu hanya ada dirinya. Tidak mungkin Sasuke berbicara dengan Sai atau Ino yang berada di pojok ruangan.

"Mm, aku sudah pernah menontonnya." Sakura berusaha mengatur nada suaranya sebiasa mungkin. Tanpa memperlihatkan nada antusias. Matanya melirik kearah Sasuke yang hanya mengangguk mendengar jawabannya. Dia ingin sekali menyentuh rambut Sasuke yang ikut bergerak akibat anggukannya. Menjambaknya pelan sambil menciumi bibir pria itu.

Sakura merutuki diri. Apa yang kau pikirkan, bodoh!? Melihat Sasuke membuatnya berfantasi liar.

"Sai kuganti filmnya!" teriak gadis berambut merah menyala itu begitu muncul dari dapur bersama Naruto. "Seleramu buruk sekali sih."

"Kenapa diganti!? Filmnya sudah setengah jalan!" protes Naruto.

"Karin, ganti Me Before You." suruh Tenten.

"Jangan! Dirty Grandpa saja." Karin sudah bersiap akan mengganti film itu jika tidak melihat Sakura serius menonton.

"Oh! Kau masih menonton?" tanya Karin pada Sakura yang sedari tadi diam saja.

"Tidak, tidak. Silahkan diganti." ujar Sakura santai. Mereka bertiga-Tenten, Karin dan Naruto duduk di karpet, dibawahnya dan Sasuke. Sakura menyergit. Kenapa Karin duduk di bawah bukan disamping Sasuke? Bahkan membiarkannya duduk dekat pria itu.

Sakura mengambil kaleng bir nya yang sudah kosong. Mungkin dia bisa minum sekaleng lagi sebelum pamit pulang. Gadis itu berdiri. Dia melihat yang lain sedang tertawa karena kekonyolan Dick Grandpa-kakek yang dalam satu kalimatnya dapat mengatakan 'fuck' puluhan kali. Bahkan namanya saja sudah vulgar.

Dia beranjak menuju dapur. Membuka kulkas Sai yang penuh dengan cola dan alkohol. Sakura terlalu malas kembali ke depan. Gadis itu memutuskan duduk di kursi meja makan yang mengarah ke televisi. Berkutat dengan ponselnya membuatnya tak sadar sudah meminum hampir setengah bir nya.

"Kalau masih ingin menonton film tadi harusnya kau bilang."

"Ha?" Sakura mendongak. Sasuke dihadapannya. Pria itu sedang mengambil bir yang sama dengannya.

"Jadi kau beranggapan aku disini karena merajuk filmnya diganti?"

Sasuke mengangkat bahu. "Mungkin saja."

Sakura tertawa kecil. "Aku tidak kekanakan seperti itu. Lagipula aku sudah pernah menontonnya."

"Jadi apa yang kau lakukan disini seorang diri?"

Sakura mengangkat kaleng bir digenggamannya. "Menghabiskan ini."

Alisnya naik melihat Sasuke tidak kembali ke depan dan lebih memilih menarik kursi dihadapannya. "Tidak kembali ke depan?" tanya Sakura setelah beberapa menit dilingkupi keheningan.

"Nanti saja." Sasuke menyesap minumannya. "Tumben kau ikut kumpul, Sakura."

Apa dia tidak salah dengar? Sasuke baru saja memanggil namanya. Dia bahkan tidak ingat pernah berbicara langsung sebelumnya dengan Sasuke.

"Kau, tahu namaku?"

Sasuke tersenyum tipis. "Apa yang membuatku tidak mengenalmu? Kita satu kelompok saat ospek."

Hatinya berbunga-bunga. Sasuke mengingat bahwa mereka satu kelompok tiga tahun lalu. Dia tidak tahu mengapa harus sesenang ini. Mungkin karena fakta dalam kelompoknya terdiri dari 50 orang dan Sasuke mengingatnya. Tidak hanya wajahnya namun juga namanya.

"Aa. Kau mengingatnya ternyata."

Sasuke mengamati Sakura lekat."Rambutmu mencolok." tunjuk Sasuke dengan dagunya.

Sakura menahan senyumnya. "Aku anggap itu pujian."

Mata kelam Sasuke menatapnya menggoda. "Itu memang pujian. Rambutmu indah."

Sakura tidak tahu Sasuke mengatakannya sungguh-sungguh atau hanya bermaksud menggodanya. Pria itu terkenal suka bergonta-ganti teman kencan di kampusnya. Walau tidak mengurangi rasa sukanya pada Sasuke.

Sakura memiringkan kepalanya. Menatap lekat mata kelam Sasuke. "Apa kau memuji setiap wanita yang kau temui?"

Sasuke memangku wajahnya dengan sebelah tangan. Jari panjangnya mengusap dagunya beberapa kali. "Tidak juga. Aku hanya memuji wanita yang perlu dipuji."

Sakura tidak bisa menahan senyuman di bibirnya. Jika dia tidak ingat bahwa pria itu sudah memiliki wanita bersamanya. Mungkin dia sudah menarik Sasuke saat ini dan mengajaknya ke apartemennya.

"Kau sepertinya benar-benar tak ingin kembali ke depan?"

Sasuke mengangkat bahunya santai. "Menyenangkan berada disini. Bicara denganmu lebih membuatku tertarik." Smirk Sasuke menghiasi bibirnya. Pandangan Sakura tak bisa lepas dari wajah tampan itu.

"Disini kalian rupanya."

Suara seorang wanita memutus kontak mata diantara keduanya. Karin tersenyum penuh arti pada Sasuke dengan pandangan menelisik. "Aku pulang duluan."

"Kenapa terburu-buru?" tanya Sasuke tanpa minat.

Karin mengangkat ponselnya. "Biasa, Suigetsu berulah." Sasuke hanya mengangguk. Sakura memperhatikan interaksi keduanya. Jujur saja ini sedikit aneh.

Karin menoleh pada Sakura. Tersenyum jahil sambil menunjuk kearah Sasuke. "Hati-hati pada pria ini."

Sasuke berdecak malas. Memperingatkan Karin untuk segera pergi. Sakura mulai mengerti. Sepertinya Karin tidak berkencan dengan Sasuke dan mereka tidak datang bersama. Didengar dari nadanya sepertinya pria bernama Suigetsu lah kekasih gadis berkacamata itu.

Hatinya sedikit lega sekarang. Setidaknya dia tidak perlu merasa bersalah karena sejak tadi berbicara berdua dengan Sasuke.

"Mm, sepertinya aku juga harus pulang." Dia melihat kearah Ino yang sudah duduk dipangkuan Sai. "Ino tidak bisa diharapkan."

"Kau pulang sendiri?"

Sakura mengangguk. "Ya, tadi aku datang bersama Ino."

"Ayo kuantar."

"Eh, tidak perlu. Aku bisa sendiri. Ini belum terlalu larut."

"Aku memaksa." Entah bagaimana tiba-tiba tangannya telah berada dalam genggaman Sasuke. Mereka berpamitan pada yang lain. Bahkan dia masih bisa melihat senyum menggoda Ino padanya.

Sakura tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya memberi petunjuk arah ke apartemennya. Lalu mereka kembali diliputi keheningan. Jalanan disekitarnya sudah sepi. Beruntung Sasuke mau mengantarnya. Jika tidak dia tidak tahu apakah masih ada taksi yang bisa mengantarnya atau tidak. Mobil yang Sakura tumpangi berhenti. Sasuke menghentikan mobilnya tepat dibawah apartemennya. Tangan Sakura bergerak membuka sabuk pengaman.

"Terima kasih sudah mengantarku."

Sasuke menoleh kearahnya. Menunggu gadis itu berbicara lagi. Mengira-ngira apa mungkin Sakura akan mengundangnya ke apartemen gadis itu.

Sakura membuka pintu mobil Sasuke. "Baiklah, sampai jumpa, Sasuke."

"Hn. Sampai jumpa."

Hatinya sedikit kecewa karena Sasuke tidak menahannya lebih lama. Ataupun meminta nomornya. Sakura tersenyum tipis. Ekspektasinya memang terlalu tinggi. Sasuke kembali menoleh kearahnya sebentar sebelum memacu mobilnya.

Sakura menghembuskan napasnya panjang. Bersama Sasuke terlalu lama membuatnya lupa bernapas.

Sakura memasuki kamarnya yang terlihat lebih berantakan. Melepas heels dan menyingkirkan beberapa pakaian dari ranjangnya. Biarkan besok pagi saja dia bereskan. Tak terlalu sulit bagi Sakura merebahkan diri di atas ranjang. Tubuhnya cukup lelah. Matanya sudah akan tertutup jika ponsel disampingnya tidak bergetar.

-Simpan nomorku- Uchiha Sasuke

Tubuhnya seketika bangun. Duduk kaku karena terlalu terkejut membaca pesan dari pria yang tidak dia sangka. Sakura salah jika berpikir setelah ini tidak akan berhubungan lagi dengan Sasuke. Buktinya hanya selang beberapa jam, pria itu sudah mendapatkan nomornya. Matanya yang semula mengantuk bahkan tidak menyisakan tanda-tanda akan terpejam sama sekali. Semua ini gara-gara Sasuke. Sang womanizer yang berhasil menarik perhatiannya sejak pertama kali memasuki kampus.

Gadis itu memutuskan untuk tidak membalasnya. Tidak tahu harus menjawab apa. Pesan Sasuke hanya menyuruhnya untuk menyimpan nomor pria itu. Bahkan sebenarnya tanpa disuruh pun dia sudah pasti akan menyimpannya. Dan Sakura baru bisa tidur setelah terlalu lelah tersenyum.

.

.

-To be continued-

Sorry this fanfic will be moved on wattpad. Link in profile :) Thank you for the supports