League of Legends fanfiction

Pairing : Twisted Fate x Evelynn

Rating : M

Genres : Romance, Crime

Disclaimer : Riot Games

Penulis tidak mengambil keuntungan sedikitpun dari cerita yang disajikan.

Selamat membaca.

.

.

.

.

Evelynn Point of View.

.

.

.

.

"Darimana kau mendapatkan semua barang yang berkilauan itu?"

"Kau tidak punya pekerjaan."

"Apa kau habis mencuri?"

"Apa kau habis berjudi?"

"Apa kau habis membunuh?"

Sudah lewat tengah malam, dan laki-laki di dekat pintu inilah yang membuatku terjaga semalaman.

"Kalau aku beritahu, semua itu bukan kejutan lagi."

"Aku punya satu, dan kau bos nya."

"Kau mencuri hatiku, jadi jangan tanyakan hal itu."

"Sayang-ku Evelynn, aku bukan penjudi."

"Membunuh itu ungkapan yang kasar, sayang. Kenapa tidak kau ganti dengan kata tango? Sudah lama aku tidak menari denganmu."

Satu, dua, tiga, bahkan seratus pertanyaan pun akan kutanyakan pada pria dengan topi fedora kesayangannya yang sudah berwarna pudar itu. Aku sudah menyuruhnya untuk tidak pergi ke kedai minuman yang ada di tengah kota, lalu pria ini pulang dengan bau alkohol di seluruh tubuhnya.

Tapi dia seolah memiliki seribu jawaban untuk setiap pertanyaanku. Sebuah kartu, sebuah trik, atau apapun namanya.

Ah, aku lupa dia memiliki banyak kartu dengan berbagai macam warna. Bahkan sejak pertama kali kami bertemu, aku tidak tahu kartu dan warna apa yang ia keluarkan untuk merayuku. Kami berdua hidup secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Kami melakukan pertunjukan sulap, menari, dan berjudi di setiap bar di kota yang kami singgahi malam itu. The Fate of Eve, begitulah orang-orang memanggil kami berdua. Apapun yang terjadi pada orang-orang yang menikmati pertunjukan kami berdua, hanya ada satu akhir bagi mereka, yaitu kemalangan.

Dimulai dengan tarian penuh gairah, kemudian orang-orang di dalam bar akan termakan dengan nafsu mereka, hasrat duniawi akan sentuhan perempuan yang meluap sampai ke ubun-ubun mereka, dan lelakiku akan menyelesaikan tugasnya.

Tapi itu merupakan masa lalu. Aku dan lelakiku sudah meninggalkan dunia itu dan memutuskan untuk menikah di sebuah kota kecil di negeri bernama Ionia.

Kami berdua menemukan kedamaian di tempat ini. Bunga-bunga bermekaran di pagi hari, lalu kunang-kunang beterbangan di malam hari. Kami juga menyukai orang-orang disini, mereka adalah sekumpulan orang yang masih memegang kepercayaan tentang persepsi Yang Esa, mereka menghormati leluhur mereka dengan mengirimkan do'a setiap harinya, lalu menawarkan apa yang mereka miliki kepada orang yang bertamu ke rumah mereka. Banyak dari mereka yang memandang dirinya sebagai bagian dari alam, dan menyesuaikan gaya hidup mereka untuk hidup bersama semua flora dan fauna. Untuk orang asing seperti kami, hubungan sedekat itu mungkin terlihat aneh, tapi itu seolah hal yang lumrah bagi penghuninya, dan hal tersebut telah berjalan dari generasi ke generasi.

Dan iya, benar sekali, kami berdua merupakan mantan kriminal paling dicari oleh Kerajaan Demacia. Tapi, itu merupakan masa lalu, dan setiap orang memiliki masa lalunya masing-masing, dan berkat hal itulah kami berdua bisa bertemu. Kami berdua bertemu di dalam gelapnya penjara bawah tanah, merangkak keluar dari sana seperti tikus, kami melakukan pelarian bersama-sama, lalu setelah bebas, kami menipu semua orang yang kami jumpai di perjalanan untuk bertahan hidup.

Hadapilah, dunia memang kejam.

"Katakan, bagaimana pendapatmu?"

Pria itu kemudian bertanya sembari menarik tubuhku kedalam pelukannya.

"Tentang?"

Kemudian ku genggam dasi berwarna merah itu dengan tangan kananku, sedikit menariknya, dan memaksanya untuk sedikit menunduk supaya memungkinkanku untuk menatap kedua mata indahnya secara dekat.

"Tango. Akan ada festival di kota minggu depan, dan kita harus menari disana."

"Apakah itu merupakan sebuah kewajiban? Tobias, aku bahkan sudah lupa gerakannya."

"Kau hanya perlu sedikit pemanasan, sayang."

Dia mendekapku di dalam pelukan hangatnya sehingga aku dapat mendengar suara detak jantungnya. Enam belas? Tidak, kurasa lebih dari itu. Iramanya mengingatkanku dengan suara derapan instrumen musik yang sering kami mainkan. Lalu aroma ini, aku benci mengakuinya tapi dia sangat seksi ketika ia sudah menenggak alkohol.

Dia mengiringku dengan iramanya sendiri, irama tarian yang sangat pelan namun sangat sensual disaat yang bersamaan. Kanan, kiri, dia terus mendekapku di dalam pelukannya dan sesekali melakukan gerakan berputar untuk mengubah suasana. Lelakiku tidak pernah melepaskan genggaman tangannya barang satu detik pun dari pinggang maupun tangan kananku. Ia terus menatapku dengan penuh gairah sembari mempercepat tempo dan melakukan beberapa gerakan improvisasi menggunakan kakinya.

"Sentuh aku lagi, buat tubuhku panas, buat aku melayang."

Ku bisikan kalimat itu dengan setengah mendesah, lalu ku kecup bibirnya sesaat, sebelum aku mengambil beberapa langkah mundur.

"Aahh. . . Roxanne."

Dia membisikkan sesuatu, mengucapkan nama panggungku dengan mata tertutup sebelum akhirnya melepaskan jas sewarna bunga mawar merah itu dan kemudian melonggarkan ikatan dasinya. Ia bermain dengan jas itu untuk waktu yang singkat selagi aku sibuk dengan tarianku sendiri.

Ia kemudian berjalan mendekatiku, melemparkan jas miliknya itu ke atas dan menyentuh daguku menggunakan tangan kanannya, lalu kemudian ia berjalan memutariku sebelum akhirnya kembali mendekap tubuhku. Kami menyatukan kening untuk sesaat, menikmati keintiman dengan mata tertutup namun dengan kaki yang terus bergerak.

Kami berhenti di posisi dimana ia menahanku dari tarikan gravitasi menggunakan tangan kanannya yang ia tempatkan tepat di pinggangku sembari aku juga mengunci posisiku menggunakan kaki kananku yang ku kaitkan ke paha kirinya.

"Kau siapa?"

Dia bertanya sembari menyelipkan satu tangkai mawar merah di bibirnya.

"Aku bisa jadi apapun yang kau inginkan."

Kemudian ku kecup lagi bibir lelaki ini dan mengambil bunga itu dari bibirnya. Saat pandangan kami bertemu, kami seolah masuk ke dalam jiwa masing-masing dan menemukan apa yang kami cari. Luka kecil dari ketidakpuasan yang berada di dalam diri orang yang paling bahagia.

Kami sama-sama terpesona, dia mengetahui rasa sakitku, begitu juga sebaliknya. Dia memagut bibirku, memaksaku untuk melepaskan tangkai mawar itu dan mengikuti irama hatinya yang ia salurkan kedalam ciuman itu.

"Boleh aku memilikimu?"

Ia terus melemparkan pertanyaan demi pertanyaan, menambahkan bumbu tersendiri pada tarian kami berdua.

"Tentu saja, sayang. Untuk itulah aku disini."

Ia kemudian menyentuh wajahku dengan ujung jemarinya, lalu kemudian mengelus pipiku. Kemudian, ku genggam erat tengan lelakiku sembari sedikit mengusapkan pipiku di telapak tangannya. Ia kemudian tertawa kecil, mengetahui bahwa penggoda nakal ini telah menjadi miliknya. Pria ini akan memberikan semuanya, dan aku akan menerima semuanya.

Seketika, kami berdua berhenti untuk beberapa saat. Tango yang panas itu berhenti di ketukan ke-tiga puluh dua.

"Ya, tidak salah lagi, kau adalah iblis penggoda itu."

"Benar, dan kau adalah pemburu iblisnya."

Di bawah padang bintang, ada bunga Aster yang sedang mekar dan siap dicabuti, dan satu lagi bersiap untuk mekar.

Pada akhirnya, Ionia akan merasakan tarian kegelapan. Serial Killer, Teror The Fate of Eve.

.

.

.

.

The End.

#RomanceFI2019