Praise belong to budota, karena belum terkenal aja fanfic YoY-nya udah ada spin-off-nya begini :D

.

.

.

Title: The name of the curse is...

Genre: Romance

Rating: T

Summary: Spin-off dari Years of Youth milik tasyatazzu. Albafica percaya bahwa ia dikutuk Minos, Slytherin binal yang senang menggodainya. Dan nama kutukan itu adalah...

Warnings: OOC. Parah. Shounen-ai bordering yaoi. Canon HP yang diporak-porandakan karena lebur dengan canon SS. Possible typo(s).

Tribute: Untuk budota, manusia gamang yang menginspirasi pembuatan fanfic ini. Untuk Sisil dan Wina, yang roleplay konyol MinosAlba-nya juga menjadi sumber inspirasi.

Disclaimer: Harry Potter © J.K. Rowling, Saint Seiya © Kurumada Masami, Saint Seiya: the Lost Canvas © Teshirogi Shiori, Years of Youth © tasyatazzu

.

.

.

I. Longing

.

.

.

Ruang rekreasi Slytherin ramai oleh murid-murid kelas satu yang mulai dijejali oleh tugas-tugas dengan tingkat kesulitan yang, menurut mereka, tidak manusiawi. Hanya beberapa senior yang berada di sana—sisanya memilih untuk menunggu waktu makan malam di luar. Senior-senior yang ada di sana rata-rata juga tengah berusaha menyelesaikan tugas mereka, dan di antara mereka ada seseorang yang menguasai sebuah sofa panjang seorang diri, dan buku-buku tebal miliknya dengan seenak jidat ia letakkan di sofa panjang lain di seberangnya.

Minos, nama senior itu.

Pemuda dengan surai abu-abu panjang itu berulang kali mengalihkan pandangannya—dari buku berhuruf Rune Kuno yang terbuka di samping tempatnya duduk, ke perkamen yang ia penuhi dengan terjemahan-terjemahan, kembali ke buku, lalu kembali lagi ke perkamennya, begitu terus hingga ia mencapai ujung perkamen dan harus menulis lanjutannya di lembar perkamen baru.

"Perlu, ya, menyita jatah tempat duduk orang-orang seperti ini?"

Suara rendah nan familiar membuatnya berhenti menarikan pena bulu di atas perkamen. Menoleh, ia melihat salah seorang sahabatnya berdiri di sofa yang menjadi tempat istirahat buku-bukunya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalau kau mau duduk di sana, pinggirkan dengan rapi, ya, Rhade. Kalau sampai ada halamannya yang rusak, kau yang harus mendengarkan ceramah Madam Metis."

Rhadamanthys mendengus pelan dan mulai merapikan buku-buku tersebut, menumpuknya menjadi satu tumpukan tinggi yang ia letakkan di dekat kaki sofa, baru mendudukan pantatnya di atas tempat duduk dengan tengkorak sebagai motif kainnya. "Sudah kubilang untuk mengurangi kegiatan mengusili anak orang, 'kan? Kau ini seorang Prefek—hukumanmu akan jadi lebih berat dari yang lain."

"Aku tidak minta untuk dianugerahi posisi kehormatan ini, 'kok," Minos menyahut kalem, kembali menulis di atas perkamen. "Kalau kau mau menggantikanku, bilang saja pada Profesor Hades atau Profesor Zeus."

"Terlalu merepotkan."

Minos tertawa, lalu berhenti menulis lagi, kali ini karena ia sudah mencapai ujung bab. Bangkit ke posisi duduk yang baik dan benar, ia bergerak merenggangkan tubuhnya, lalu melirik bergulung-gulung perkamen yang sudah ia isi dengan terjemahan aksara-aksara Rune Kuno. Masih ada enam buku lagi yang harus ia terjemahkan, dan kalau tidak ingat bahwa tongkatnya diancam disita oleh Profesor Hades jika ia tidak menuntaskan hukumannya yang satu ini, ia pasti sudah membakar buku-buku tersebut.

Memang salahnya yang, meskipun telah diberikan amanat untuk menjadi Prefek—yang berarti harus menuruti peraturan-peraturan dan menjadi suri tauladan bagi junior-juniornya—dari asrama Slytherin, membiarkan bahkan ikut serta dalam pem-bully-an gadis Hufflepuff kelas satu minggu lalu. Tapi, tetap saja ia ingin mengutuki tugas jahanam yang ditimpakan Kepala Asrama-nya padanya. Gara-gara hukuman yang harus ia jalani ini kesempatannya untuk menjahili Albafica berkurang drastis dan—

Minos tercenung, teringat sesuatu. "Rhade, kau sadar, tidak, akhir-akhir ini kalau aku bertemu Albafica dia langsung lari seperti melihat setan?"

"Mungkin dia memang menganggapmu setan," Rhadamanthys menjawab asal-asalan sambil matanya tetap terpancang pada buku Transfigurasi Kelas Menengah di pangkuannya.

"Aku serius, Rhada. Kau dan aku sama-sama sering melihatnya ingin mendatangiku tapi tiap kali kutatap ia langsung kabur. Entah kenapa. Meskipun aku merasa dia lucu sekali kalau bersikap aneh begitu, tapi lama kelamaan aku jadi bosan dan jengkel!"

"Mungkin dia mau mengagetkanmu dari belakang tapi kau keburu menemukannya."

Pemuda berambut pirang itu bergeser ke samping, menghindari lemparan bantalan sofa yang melayang ke arah kepalanya.

"Rhadamanthys!"

"Untuk apa kau mengeluh padaku? Aku bukan dia, jadi mana aku tahu alasan dia kabur menghindarimu!" Rhadamanthys balas berteriak, jengkel. "Mungkin akhirnya dia benar-benar marah karena kau terlalu banyak berbuat iseng! Coba saja kau hitung, sudah berapa kali kau menunjukkan sifat jelekmu itu di depannya semenjak kalian bertemu tahun lalu?"

Dahi Minos berkerut—meskipun tidak begitu terlihat karena poninya yang terlewat panjang—begitu sahabatnya itu menyebutkan kata 'tahun lalu'. Sebuah peristiwa spesifik terputar kembali di dalam kepalanya, seperti rekaman film lama.

.

.

.

"Pelajaran tadi menyenangkan!" adalah kalimat yang meluncur dari bibir murid-murid kelas empat yang baru saja menyelesaikan kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam siang itu. Atau setidaknya, itulah pendapat mereka yang sukses terhindar dari cedera selama mereka memelajari cara melancarkan dua dari tiga Kutukan Tak Termaafkan.

Minos setuju bahwa tadi adalah kelas paling menyenangkan selama tiga tahun lebih ia bersekolah di Hogwarts. Dia, yang memang termasuk dalam jajaran murid-murid kesayangan Profesor Thanatos dan Profesor Aphrodite karena cepat menguasai apa-apa saja yang mereka ajarkan, tidak mengalami kesulitan berarti saat menggunakan Kutukan Imperius dan Cruciatus kepada laba-laba yang menjadi target latihan para murid. Ia malah merasa menemukan kesenangan tersendiri saat berulangkali ia membuat laba-laba miliknya , yang berada di bawah pengaruh Kutukan Imperius, menari atau bersalto ria di atas meja.

"Hei, kita boleh latihan di luar kelas, nggak, 'sih?" celetuk si rambut perak saat ia dan dua sahabatnya duduk bersama di bawah naungan pohon ek besar, tak jauh dari lapangan berlatih Quidditch, sambil memutar-mutar tongkat sihirnya di antara jari-jarinya. Samar-samar terdengar suara murid-murid Hufflepuff dan Ravenclaw yang tengah melakukan latih tanding.

Aiacos, yang sibuk berkutat dengan tugas Ramalan-nya, menyahut tanpa mengalihkan perhatian dari buku Menyingkap Kabut Masa Depan di tangannya. "Ya… datangi saja tempatnya Profesor Hermes, ketok pintunya dan sapa beliau sambil bilang, 'permisi, Sir, pinjam beberapa peliharaan Anda untuk saya gunakan berlatuh Kutukan Tak Termaafkan, ya', begitu."

"Gila kamu." Minos tertawa terbahak-bahak, lalu berhenti saat melihat dua orang bocah Hufflepuff melintas kira-kira sepuluh meter dari tempat mereka beristirahat. Seringai lebar terpampang di wajahnya. "Lagian, kenapa harus meminjam peliharaannya dan beresiko didetensi kalau-kalau hewan-hewan kesayangannya itu terluka, kalau kita bisa memakai manusia sebagai target?"

Rhadamanthys berhenti menulis pada perkamennya dan menatap Minos curiga, kemudian mengikuti arah pandangan Minos yang jatuh kepada dua junior malang, yang membuatnya terkesiap. "Jangan bilang kamu mau—"

Minos menjawab keraguan Rhadamanthys dengan mengacungkan tongkatnya ke arah salah satu dari dua pemuda yang tanpa prasangka apapun berjalan melewati mereka. Lantang, ia meneriakkan "Imperio!" dan kilatan samar terpercik dari ujung tongkat, menyambar targetnya. Sang target, seorang pemuda bertubuh mungil dengan kulit pucat dan rambut cokelat jerami sebahu, seketika berhenti berjalan dan membuat temannya ikut-ikutan berhenti.

"Sinting!" Aiacos mendesis pelan, akhirnya berhenti mengerjakan tugasnya dan ikut-ikutan memandangi korban Minos. "Kamu tahu kita dilarang Profesor Hades—"

"Sush, diam sajalah. Lihat, biar kusuruh dia kemari supaya kalian bisa latihan Kutukan Cruciatus menggunakan tubuhnya."

"Dan temannya itu?"

"Stupefy!"

Adalah tongkat Rhadamanthys yang memercikan cahaya merah dari ujungnya, sukses membuat kawan dari target Minos jatuh pingsan. Aiacos menatap kawannya yang berambut keemasan itu tidak percaya.

"Cepat bawa ke sini, Minos. Aku harus segera bisa menguasai kutukan itu supaya bisa kugunakan pada Kardia kalau kesempatannya datang."

Minos menyeringai lebar dan mengangguk. Targetnya berjalan lambat mendekati tempat mereka duduk di bawah pohon (padahal Minos sudah memerintahkannya untuk berlari menggunakan perintah dari batinnya—mungkin karena dia belum terbiasa mengendalikan manusia di bawah Kutukan Imperius, pikirnya). Rhadamanthys siap melancarkan Kutukan Cruciatus. Aiacos menggeleng-gelengkan kepala, tapi tahu ia tidak bisa mengubah pendirian dua sahabatnya itu sehingga ia memilih untuk diam menonton.

Namun, ketika jarak di antara kedua kubu tinggal satu meter, sang target tiba-tiba menarik tongkat sihirnya dari dalam jubah dan mengarahkannya pada Minos, yang saking kagetnya tidak sempat bereaksi apa-apa.

"Sectumsempra!"

Kilat terang dan detik berikutnya yang Minos tahu adalah beberapa benda robek karena sabetan cepat dari si Hufflepuff. Lengan jubahnya, lengan kemeja putih yang ia kenakan di dalamnya, kulitnya, pembuluh darahnya. Reaksinya masih lambat, hingga telinganya mendengar Aiacos berteriak "Bocah keparat! Kembali kau!" dan melihat targetnya berlari menjauh sambil mengirimkan kembang api berwarna ungu ke udara.

"Sialan." Rhadamanthys menggerutu pelan, lalu buru-buru bangkit dari posisi duduknya. "Tidak usah dikejar, Aiacos. Sebaiknya kita cepat lari dari sini dan bawa Minos ke bangsal rumah sakit. Anak-anak Hufflepuff yang sedang berlatih Quidditch pasti ke sini sebentar lagi."

Tidak punya pilihan lain, ketiganya mengangkuti barang bawaan masing-masing dan melesat kabur sebelum mereka bisa ditemukan siapapun, berniat bersembunyi di bangsal rumah sakit selama beberapa saat sambil membiarkan luka Minos dirawat. Namun sial, belum juga perawatan kepada lengan Minos selesai, pintu bangsal menjeblak membuka dan muncul Profesor Athena, Profesor Hades, juga seorang Prefek Hufflepuff yang diekori korban Kutukan Imperius Minos tadi. Jadilah mereka bertiga dihukum membersihkan seluruh toilet di Hogwarts selama seminggu penuh ditambah tugas menulis esai untuk bidang Sejarah Sihir dan Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, satu buah esai tiap harinya.

Di luar dugaan, Minos sama sekali tidak keberatan menjalani hukuman tersebut—tidak seperti Aiacos dan Rhadamanthys yang benar-benar jera dan tidak berani lagi berlatih Kutukan Tak Termaafkan pada junior-junior atau murid asrama lain. Bahkan ketika diceramahi di bangsal rumah sakit, ia tampak tidak menyesal atau tertekan oleh aura opresif yang menguar dari dua pengajar di hadapannya.

Ia penasaran, lalu berakhir ketagihan.

Tiap kali ia mencoba melancarkan kutukan Imperius pada hewan-hewan kecil yang salah memilih melintas di depannya, tiap kali juga ia berhasil membuat mereka melakukan hal-hal ekstrim—seperti lalat yang ia paksa untuk berseliweran di depan wajah Profesor Hermes ketika beliau menerangkan tentang unicorn dan pegasus. Beberapa kali ia jadikan sahabatnya kelinci percobaan dan ia selalu berhasil membuat mereka melakukan hal-hal konyol yang tidak mereka inginkan—membuat Rhadamanthys bertingkah romantis pada salah seorang junior mereka, Kagaho, misalnya.

Tapi, tiap kali ia coba menguasai satu orang spesifik dengan kutukan itu, tiap kali juga ia gagal karena sang target berhasil mematahkannya.

Albafica, nama sang target. Pemilik keteguhan hati yang cukup kuat untuk mematahkan kekuatan kutukan yang ia lancarkan.

Ia penasaran, lalu berakhir ketagihan.

Ketika komunikasi di antara mereka tak lagi cukup dipuaskan dengan lempar kutukan-tolak kutukan, Minos mulai mendekati Albafica, mencoba mencari tahu rahasia kekuatan mentalnya yang sebegitu dahsyat; mencoba menyelidiki titik lemah targetnya tersayang. Mendekati, dalam artian berkali-kali mengajaknya bicara, memberikan candaan yang tidak dianggap lucu sama sekali oleh si cantik bertahi lalat, dan mengisengi dengan Mantera Penggelitik atau semacamnya.

Sekali waktu, Aiacos iseng menanyainya, "Kenapa kau gigih sekali ingin membuatnya bertekuk lutut di hadapanmu?". Dan Minos menemukan dirinya terdiam lama, tidak bisa menjawab.

Kenapa? Apa yang spesial darinya, selain kecantikannya yang membuatnya dianugerahi gelar Primadona oleh para siswa Hogwarts secara sembunyi-sembunyi, yang membuat Slytherin kelas lima yang terkenal jarang menyukai sesuatu dan lumayan sering memandang rendah junior dari asrama sendiri apalagi murid asrama lain?

Minos menemukan jawabannya saat ia sekali lagi melempar Kutukan Imperius ke arah Albafica dan sekali lagi juga usahanya digagalkan. Segera ia berlari menemui Aiacos yang, tak memedulikan fakta bahwa dirinya basah kuyup terkena Mantera Aguamenti yang dilancarkan sang Hufflepuff. Tersenyum lebar di hadapan sahabatnya yang berambut hitam, yang masih setengah kaget karena Minos baru saja masuk ke dalam ruang rekreasi asrama mereka sambil tunggang langgang seperti dikejar setan, ia berkata,

"Aku jatuh cinta pada keteguhannya. Pada keberaniannya untuk menentangku. Belum pernah kulihat dua kualitas itu dalam diri orang lain—belum pernah ada yang secemerlang miliknya!"

.

.

.

Lamunan Minos berakhir tepat ketika Aiacos masuk ke dalam ruangan dan segera mendekati kedua sofa yang dikuasai olehnya dan Rhadamanthys. "Yo, anak-anak rajin. Kira-kira kalian sudah bisa dapat Outstanding di semua pelajaran, belum?"

"Kau juga seharusnya mulai belajar serius, Aiacos. Jangan pacaran dengan gadis Hufflepuff-mu itu terus." Rhadamanthys memutar bola matanya secara imajinatif.

"Malas, ah. Dapat nilai E untuk lima mata pelajaran sudah cukup bagiku, 'kok. Lagipula, boleh, dong, sesekali kencan dengan Violate untuk melepas stress! Masuk tahun kelima ini benar-benar beban mental, tahu! Sedikit-sedikit pasti guru-guru kita membicarakan O.W.L. lagi, O.W.L. lagi. Menyebalkan." Aiacos mendengus sebal sambil mendudukan diri di samping si rambut emas, lalu melempar cengiran lebar ke arah sahabatnya yang satu lagi. "Ngomong-ngomong, pujaan hatimu mencari, 'tuh."

Minos, yang baru saja memungut kembali pena bulunya dan hendak melanjutkan kegiatan menerjemahnya, mengerjap heran. "Albafica?"

"Siapa lagi? Sudah kusuruh dia untuk menunggumu di depan pintu masuk."

.

.

.

Bersambung...

.

.

.