Sebuah fanfiksi Naruto
yang terinspirasi dari fanfiksi berjudul 'Empty' karya Fuyu no Yukishiro dan 'Senpaiku, Hinata' karya Uciha Atrun
Peringatan standar, abaikan timeline
Playlist: Untitled-Simple Plan
Untuk Haruto SG [15407] maaf telat T-T
dan Yukeh; big thanks is never enough, isn't it?
.
.
.
.
.
—This place is like a stage. Not your best that the people want, but just suit their taste. This place is called school—
Bagian I:
Bagi mereka, keluarga adalah segala-galanya. Keluargalah yang pertama kali memberikan perlindungan, mengenalkan mereka pada dunia, dan menempa mereka hingga seperti sekarang. Kini mereka sudah dewasa. Sudah seharusnya mereka membalas perlakuan keluarga. Meskipun usaha untuk membanggakan begitu susah, kadang ketidaksukaan dari keluarga sendirilah yang begitu berat dirasa. Tapi mereka tak pernah putus asa. Tak ada kebencian pada keluarga mereka, mungkin ... bagi salah seorang dari mereka.
/phiphiphi/
Matahari musim panas baru saja tiba. Pucuk-pucuk sinarnya menembus atmosfer bumi, memberi kehangatan yang cerah. Hinata membuka loker untuk mengganti sepatunya dengan uwabaki. Gumpalan-gumpalan kertas berisi kata-kata kotor yang melecehkannya, berjatuhan. Satu, tiga, sepuluh, duapuluh, melewati pandangan matanya. Bentuknya jangan ditanya, lecek, berantakan, dan sebagian penuh noda. Dikirim secara tak bertanggungjawab oleh pengirim tanpa nama. Toh, ini bukan yang pertama kali sampah-sampah seperti demikian terjejal di lokernya.
Menghela napas sejenak, Hinata kemudian memungutinya dan menjejalkan semua ke dalam kantong kecil di tas. Ia berniat membuangnya di tempat sampah nanti. Lalu seolah tak terjadi apa-apa, ia mulai berjalan menuju kelas. Melewati orang-orang yang berdiri di sepanjang koridor, menatapnya dengan berbagai macam ekspresi.
Setiap hari, Hyuuga Hinata, siswi kelas 3-A SMA Konoha melalui harinya seperti ini. Lelah sudah memasang wajah sedih atau tak berdaya. Tak ada yang dapat dilakukannya karena ia pun tak mengetahui siapa pengirim surat-surat kaleng tak bertanggungjawab itu. Ia hanya bisa membuangnya dan menganggapnya sebagai bagian dari rutinitasnya.
Kakinya melangkah perlahan, menapaki ubin pertama kelasnya sambil berucap, "O-ohayou gozaimasu, selamat pagi." Kelas tak terusik, tetap saja ribut tanpa mempedulikan Hinata. Ia menarik bibirnya ke samping sedikit, 'Pasti suaraku tak cukup keras.' Kemudian melangkah menuju bangkunya di dekat jendela, nomor tiga dari belakang.
Semua orang mengenalnya. Bagi para guru, Hinata adalah anak emas kesayangan sedangkan di antara kebanyakan siswa ia adalah orang pertama yang harus dihindari. Aura Hinata menebar ancaman secara tidak langsung. Sebagai seorang gadis, ia memiliki wajah dan tubuh yang bagus, otak encer, selalu dipuji-puji guru, dan garis keturunan keluarga terpandang. Siapa yang tidak iri padanya?
Bisik-bisik hampir selalu terdengar ketika Hinata berjalan di area sekolahnya. Tatapan benci, melecehkan, atau tangan-tangan jahil selalu mampir padanya. Hinata tidak peduli. Sudah satu tahun ia berusaha ramah pada mereka namun lama-kelamaan hanya pandangan ketakutan dan benci selalu diterimanya yang kemudian berkembang menjadi perbuatan-perbuatan yang lebih berani. Setahun kemudian perlawanan yang dilakukan juga sia-sia. Hinata akhirnya memutuskan untuk diam. Kadang beban nama Hyuuga yang disandang membuatnya berpikiran lain. Satu-satunya hal yang Hinata pedulikan adalah peringkat dan hubungannya dengan para guru. Masa depan dan nama klannya.
Suara bel terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Hinata telah duduk di bangkunya, menerima selembar kertas ujian harian hari itu. Beruntung sampai saat ini ia belum menerima perlakuan yang berarti. Semester lalu, setiap kali ujian, kertas soal dan lembar jawabannya selalu dirobek entah oleh siapa dan bangkunya dilumuri oleh lem. Terpaksa Hinata harus bolak-balik maju ke depan untuk meminta yang baru dengan rok yang lengket. Belum cukup sampai situ, setelah selesai mengerjakan—meskipun ia lebih lambat mengerjakan dari pada yang lain, Hinata biasanya selesai lebih dulu—lembar jawabannya akan diambil paksa kemudian diedarkan ke seluruh kelas. Kemudian kembali tidak berbentuk yang menyebabkan Hinata (lagi-lagi) harus meminta keringanan pada gurunya untuk bisa menyalin jawabannya.
Sebenarnya mengherankan jika tak ada yang berusaha menghentikan, bahkan Hinata sendiri. Guru-guru pun sebenarnya sudah tahu karena hampir setiap hari, kejadian itu terjadi di depan mata kepala mereka sendiri. Namun, ketika pernah ada yang mempersoalkan, Hinata akan mati-matian menolak dan berujar dengan senyum setulus tatapan mata, "Aku tidak apa-apa, Sensei. Kumohon jangan beritahukan hal ini kepada ayahku. Aku baik-baik saja."
Namun ketika sang guru memercayainya dan telah berbalik pergi, ketika tak ada sau orang pun lagi, tetes yang coba ia tahan pada akhirnya mengaliri pipi.
/phiphiphi/
Brak!
Tubuh Hinata terbentur, mendesak pintu kamar mandi. Di iris beningnya terpampang wajah seorang gadis berambut merah yang memasang tampang marah. Salah satu tangannya mencengkam kerah seragam Hinata, membuat bagian bawahnya terangkat naik secara paksa.
"Kau! Kenapa tadi tidak memberi contekan?" bentak gadis yang tingginya lebih sedikit dari Hinata itu.
Hinata hanya menatap mereka datar. Tidak terkejut ataupun takut, hanya sedikit meringis karena bahunya nyeri tiba-tiba. "Ka-kalian tidak memintanya. Kupikir... k-kalian su-sudah bisa." Sialnya, ia tidak bisa menolak kegagapan yang seolah sudah mendarah daging dalam dirinya.
Plak.
Sebuah tamparan melayang ke pipi Hinata.
"Sudah berani melawan rupanya?" Karin, nama gadis itu, mencengkeram rahangnya. Hinata mendesis. Kuku Karin terlalu panjang sehingga menekan saraf somatosensori Hinata. Meski sakit itu terasa, namun sepasang lavender itu tetap menatap hampa—menyembunyikan perasaan dan rasa sakit dengan sempurna.
Karin mulai kesal tidak mendapat tanggapan yang diinginkan. "Cih, sekarang malah diam. Apa maumu hah, Jal*ng!"
"Kunci saja dia di kamar mandi seperti biasa." Suara gadis lain bernama Ami terdengar. Matanya yang kecil menyorotkan sinar kelicikan.
"Membosankan! Lihat saja apakah dia masih bertahan, seperti biasanya?" Karin mengejek Hinata sambil menekan pipinya yang mulai nyeri akibat tamparan Karin.
Paha Hinata terbentur toilet duduk dengan keras. Kemudian terdengar klik, tanda gembok terkunci. Sejenak suasana hening. Tak terdengar tanda-tanda Karin dan kawan-kawan meninggalkan toilet. Suara benda berat digeser-geser kemudian.
Byur!
Seember air mengguyur tubuhnya telak dari atas. Suara-suara tawa terdengar diiringi kata-kata umpatan. Barulah setelah itu Hinata merasakan hening sebenarnya yang dingin bersama dengan suara tawa dan langkah-langkah kaki yang terdengar semakin jauh. Suhu tubuhnya ikut menurun pelan-pelan seiring dengan semakin meresapnya partikel-partikel air ke dalam serat seragamnya.
Hinata duduk di atas toilet yang tertutup sambil diam menunggu, seperti biasa. Ia menggigit bibir dan memeluk tubuhnya sendiri, mencegah dirinya mengigil dan meminta pertolongan. Oleh karena pengalaman selama setahun membuatnya berkesimpulan percuma: tak akan ada seorangpun yang memedulikan walau seandainya ia ditemukan mati di dalam toilet ini. Setelah sejam biasanya Karin atau entah siapa akan menyuruh tukang kebun sekolah untuk membukakan pintu toilet. Bukan karena kasihan tapi untuk melihat hasil pekerjaan mereka. Seperti seorang koki yang mengeluarkan kue dari panggangan. Dan sekarang Hinata adalah kuenya. Bedanya ia kue yang dibuat untuk dibuang.
Hinata tidak akan menggantungkan dirinya pada Karin. Ia bisa saja keluar dengan bertumpu pada toilet kemudian melompat pelan-pelan dari atas dengan resiko terpeleset jika tidak berhati-hati. Tapi setidaknya ia ingin beristirahat, sebentar.
Ya, sebentar saja. Dan itu akan membahagiakan Karin dan teman-temannya. Meskipun mereka tidak melihatnya secara langsung, tersenyum penuh kemenangan sudah pasti mereka lakukan di kelas. Membayangkan Hinata berjalan sepanjang lorong dengan keadaan seperti itu merupakan sebuah hiburan tersendiri di tengah kakunya suasana di kelas. Dan setelah itu Hinata tidak akan masuk kelas hingga bel pulang berbunyi. Entah tertidur kedinginan atau mengeringkan bajunya yang basah.
Menenangkan deru napas adalah satu-satunya kegiatan yang bisa Hinata lakukan sekarang. Ia tidak suka jika terlihat lemah di hadapan orang lain. Hanya dengan penampilan fisiknya yang terlihat lemah saja orang-orang berani berbuat seenaknya, apalagi jika ia harus bersikap seakan membenarkan prasangka mereka.
Tes! Tes!
Terkadang suara tetes air di keheningan semakin membuat suasana mencekam. Napas Hinata semakin sesak. Berada di tempat sempit, tanpa kepastian kapan akan keluar membuat pikirannya merambah ke alam negatif. Hinata takut ia ketakutan. Dipejamkannya mata sampai dahi berkerut. 'Aku tidak ingin memikirkan apa-apa sekarang! Aku tidak mau berpikir apapun! Tolonglah … Aku baik-baik saja.'
Brak!
Tiba-tiba pintu kamar mandi menjeblak terbuka. Membentur lutut Hinata dengan keras. Namun ia tak merasakan kesakitan saking kagetnya. Mulutnya terbuka tanpa teriakan seolah nafas terakhirnya baru melayang begitu saja. Matanya membola karena bayangan di iris bening itu ternoda darah.
bersambung ...
