Bunyi jam weker berkumandang, membangunkan seorang pemuda pirang yang sedang terlelap tidur di suatu kamar dengan segudang barang-barang kesukaan dirinya di sekitar. Menguap, dia menggosok matanya sebentar, melompat ke lantai dan membereskan tempat tidurnya yang berantakan. Keluar dari ruangan pribadinya dalam rangka menuju kamar mandi. Kebetulan hari ini dia sedang libur jadi dia punya banyak waktu luang.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mandi, dia mengganti pakaian dengan pakaian favoritnya, berniat mengisi perut lewat asupan makanan yang bergizi. Selagi makan, dia menghembuskan napas, mengingat seseorang yang dianggapnya sebagai 'adik'nya telah pergi jauh dari kehidupannya.

"Semoga Arthuria bahagia di mana pun dia berada sekarang," gumamnya.

Tidak lama usai sarapannya habis, dia pergi ke ruang tamu, mengambil sepatu dan keluar dari rumah. Dia berhenti sejenak, mengepalkan tangannya saat memori kejadian waktu itu diingat lagi olehnya. Menarik nafas panjang kemudian membuangnya, dia membuka pintu sebelum menguncinya dari luar.

Bergerak secara tenang, dia melihat tak sedikit orang-orang di kotanya, terutama dari kalangan pria, dengan antusias berangkat menuju tempat kerjanya masing-masing. Dia tersenyum tipis ketika memandang beberapa anak yang pergi ke sekolah didampingi orang tua mereka, mengingatkannya pada dirinya yang masih kanak-kanak waktu itu.

Mengingat tujuannya, dia melangkah memasuki sebuah toko bernama [Nice Flower Shop], bertemu dengan seorang pria yang berasal dari luar Jepang. Bisa dibilang pria tersebut sudah dianggapnya sebagai bagian dari keluarganya sendiri, terlebih dengan jasa yang dilakukannya dahulu, susah untuk memusuhi orang ini.

"Tumben kau datang lebih awal dari biasanya, Naruto-kun."

Gilles de Rais dikenal luas sebagai pria yang ramah, penyayang, dan rendah hati. Aktif dalam kegiatan amal, menyumbangkan sebagian hartanya pada mereka yang membutuhkan, menghibur semua orang dengan aksinya sebagai sosok badut yang bernama "Caster". Tak mengenal orang ini sama dengan hidup dalam gua.

"Sesekali aku pikir tidak masalah Gilles-san," ungkap Naruto.

Gilles hanya mengangguk. Dia pergi ke ruang lain untuk mengambil pesanan yang biasa Naruto beli. Gilles kembali dengan seikat bunga tulip putih. Naruto menerima bunga tersebut setelah membayarnya dengan harga yang pantas.

"Jadi, kapan 'Caster' buat pertunjukan lagi?" tanya Naruto sembari tersenyum tipis.

Berkedip, Gilles menghela nafas.

"Sayangnya setelah apa yang terjadi 5 tahun yang lalu, kurasa akan lebih baik kalau aku fokus dengan pekerjaanku yang sekarang ketimbang yang lama."

Naruto mengerutkan keningnya, paham ke mana arah pembicaraan mereka.

"Gilles-san, itu semua bukan salahmu. Segalanya terjadi di luar kendalimu," ujarnya.

Gilles menggeleng.

"Jika aku tidak mengadakan pertunjukan malam itu, pasti takkan ada yang harus mati. Naruto-kun, terima kasih atas perhatianmu, tapi seperti yang kau lihat."

Gilles memutar badan, menengok ke arah Naruto melalui sudut bahunya. Dia membiarkan senyum sendu di wajahnya.

"Diriku yang sekarang jauh lebih bahagia ketimbang yang dulu."

Naruto terdiam, melihat Gilles yang menghilang setelah dia pergi ke ruangan lain.

Menunggu bukanlah kegemarannya. Terutama yang ditunggu adalah antrian kendaraan yang menyebabkan kemacetan di jalan, lucunya lagi mobilnya merupakan salah satu dari kendaraan yang menjadi penyebab hal tersebut. Bila tahu akan seperti ini dia pasti akan menunda perjalanannya sampai malam tiba.

"Kelihatannya karena aku terlalu terburu-buru, aku jadi dapat karma."

Berkedip, dia mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering dari kantung celananya.

"Ya Tohsaka?… begitulah, di sini terjadi macet… kau ini, berapa kali aku harus memberitahumu kalau aku tidak butuh partner... ya, sama seperti sebelumnya, aku bisa tangani kasus ini... daah."

Dia pun mematikan ponselnya. Menghela nafas guna mengembalikan ketenangannya, dia melihat kendaraan lain sudah bergerak meskipun dalam kecepatan sedang.

"Fuyuki, huh? Sudah lama sekali aku tidak kembali ke kota ini."

Kemudian, Arthuria Pendragon menginjak pelan pedal gas mobilnya.

Pemakaman adalah tempat yang dikunjungi Naruto berikutnya. Jaraknya memang cukup jauh bila dia berjalan kaki, tapi karena dia sudah terbiasa maka hal semacam itu bukanlah masalah besar. Selain jauh, lokasinya yang agak terpencil karena berada dalam hutan kadang memberikan suasana tidak menyenangkan bagi yang datang kemari sendirian. Walaupun demikian, Naruto tidak peduli dengan rumor yang beredar.

Puas menatap makam kedua orang tuanya, Naruto menyatukan tangannya dan mulai berdoa. Beres, Naruto menengok ke samping dan melihat seseorang menghampirinya.

"Dari sekian banyak orang, hanya kau saja yang sering kulihat Naruto-kun."

Hiruzen. Sarutobi Hiruzen. Dia berasal dari luar kota Fuyuki dan merupakan penjaga kuil yang terletak tak jauh dari pemakaman. Naruto mengenalnya melalui ibunya, Kushina, yang dulunya sering pergi ke kuil. Namun, karena pernikahannya dengan ayahnya, Minato, dia mulai jarang ke kuil sebab sibuk mengurus rumah tangganya.

"Aku sering ada karena aku tidak sibuk Kakek Hiruzen." Naruto menjawab dengan senyuman. "Tidak seperti mereka yang harus kerja demi menghidupi keluarganya masing-masing."

Hiruzen mengangguk, tersenyum dengan mata tertutup kemudian berbicara.

"Tetap, sebagai ciptaan-Nya kita wajib mendahulukan kepentingan akhirat daripada kepentingan duniawi. Banyak sekali saudara kita yang telah jatuh ke jalan yang salah akibat kehidupan modern. Seharusnya mereka mencontoh dirimu dan aku yang masih ingat keberadaan-Nya."

Senyum Naruto pudar mendengar kata-kata Hiruzen. Entah mengapa, mengobrol dengan Hiruzen tak jarang memberikan rasa tidak nyaman kepadanya. Padahal Hiruzen kelihatan seperti orang baik-baik disamping topik pembicaraan yang dibawakan selalu menyangkut hal-hal yang religius.

"Begitu," ujar Naruto.

Menyadari ia akan pergi, Hiruzen angkat bicara.

"Kebetulan aku butuh tenaga tambahan di kuil, kau mau meringankan beban pak tua ini Naruto-kun?"

Naruto merasakan dilema saat ini. Di satu sisi, membantu yang tua bukanlah hal yang buruk. Di sisi lainnya, perasaan cemas yang berlebihan mulai dirasakannya ketika dia di dekat Hiruzen.

"Huh?"

Mengetahui nada dering tersebut, Naruto mengeluarkan ponselnya dan melihat ada pesan masuk.

"Maaf Kakek Hiruzen, tapi nampaknya ada urusan penting yang membutuhkan campur tanganku."

Hiruzen terdiam, entah apa yang dipikirkannya saat ini.

"Sangat disayangkan," dia berujar, membuka matanya dan menambahkan, "semoga apapun yang kau lakukan dapat menghasilkan sesuatu yang baik."

Naruto tersenyum.

"Jadi, kau agen yang dikirim kemari, apa aku benar?"

"Begitulah, Pak Walikota."

Arturia menemukan dirinya berada dalam suatu ruangan yang merupakan milik seorang pria berambut pirang bernama Yamanaka Inoichi, walikota dari kota Fuyuki. Sejauh ini, Arturia berpendapat bahwa misinya yang sekarang mungkin sedikit lebih berat ketimbang misi-misinya yang sebelumnya, bila diamati dari tatapan intimidasi Inoichi yang mengarah kepadanya.

"Dalam dua minggu ini kasus penculikan sering sekali terjadi, saksi mata yang dimintai keterangan kebanyakan dekat dengan korban dan selalu mengatakan tempat yang sama," Inochi berbicara saat dia membuka denah kotanya di atas meja, menandai suatu tempat dengan lingkaran menggunakan sebuah pensil, "yakni rumah milik Jeanne Arc."

Pandangan Arturia tertuju pada rumah yang dimaksud. Arturia tahu siapa itu Jeanne Arc. Menurut informasi yang diketahuinya, dia merupakan teman dari badut terkenal "Caster". Kematiannya bertepatan dengan kematian kedua orang yang dianggapnya sebagai orang tua kandungnya sendiri. Ada alasan khusus mengapa dia memilih kasus ini selain perintah dari ketua Sarutobi.

Salah satunya menangkap bajingan yang melakukan hal tersebut.

"Jadi, apakah ada tanda-tanda yang ditinggalkan korban sebelum dia menghilang?" Arturia bertanya.

"Selain mereka ke rumah itu? Hanya beberapa barang yang tak ada sangkut pautnya dengan korban."

Arturia mengusap dagunya, terlihat memikirkan sesuatu. Menatap Inoichi, ia berkata.

"Apakah kasus semacam ini baru saja terjadi atau sebelumnya pernah ada hal yang sama?"

"Terakhir kali kasus yang menyerupai ini terjadi 5 tahun lalu." Inoichi berujar. "Tepatnya di pertunjukan Caster ketika dia mengadakan konser demi menghibur anak-anak pada malam tahun baru. Dia juga lah yang melaporkan penjahat ini keesokan harinya setelah aksinya selesai."

Arturia kebingungan.

"Kalau benar begitu, kenapa kasus ini bisa terjadi lagi?"

Senyum miris terlihat di wajah Inoichi.

"Gilles dibuat pingsan oleh penjahat tersebut. Dan sebelum dia berhasil membunuhnya, temannya Jeanne, Kushina, dan Minato, yang kebetulan datang kembali dan berniat membantunya untuk bersih-bersih, melindunginya dari tindakan penjahat tersebut. Naas, mereka tewas dibunuhnya."

"Apakah ada mayatnya?"

"Tidak ada."

Arturia kebingungan.

"Mengapa kau sangat yakin mereka sudah tewas ketika mayatnya saja tidak ada?"

Tanpa banyak bicara, Inoichi mengeluarkan semacam alat perekam dari laci mejanya kemudian menekan tombol.

"Hentikan! Jangan bunuh dia! Bunuh saja aku!"

"Tidak! Bunuh saja aku!"

"Jangan bercanda! Naruto masih membutuhkan kalian! Kalau kau sangat ingin 'menyelamatkan yang baik' bunuh saja aku!"

Keheningan mencekam muncul selama beberapa detik, kemudian bunyi tembakan beruntun terdengar.

"Berbahagialah, sekarang dosa-dosa kalian sepenuhnya berpindah padaku. Nikmatilah kehidupan di Surga… dan Neraka untukmu, Gilles. Jangan cemas, kita akan 'bermain' lagi di 5 yang berikutnya. Nanti, aku takkan 'meleset' lagi."

"…"

Durasi itu pun habis. Arturia mengembalikan alat perekam pada Inoichi.

'Ini… sungguh aneh. Jelas sekali penjahat ini sangat menginginkan kematian Gilles, tapi kenapa dia tidak membunuhnya di saat ada kesempatan?' pikirnya, matanya melebar tatkala menyadari sesuatu.

"Pak Walikota, bagaimana keadaan Gilles setelah peristiwa itu?"

Inochi menghela nafas.

"Dia meninggalkan profesinya, dan mengurung diri selama beberapa minggu. Pada saat dia mulai memberanikan diri untuk keluar, dia melakukannya hanya untuk mengambil koran di depan pintu rumahnya. Bahkan ketika dia membuka bisnis baru, dia hanya mau menerima pesanan lewat online dan sesegera mungkin memberikan barang kepada pelanggannya yang datang untuk mengambil pesanan."

Arturia mengangguk.

'Ketimbang membunuhnya, dia ingin membuat Gilles menderita melalui perasaan rasa bersalah.'

Arturia memejamkan matanya, mencoba memikirkan rencana untuk menangkap si penjahat. Menyadari sesuatu, dia membuka matanya.

"Dimana alamat rumah Gilles?"

Inoichi lalu menulis alamat yang dibicarakan di kertas kecil dan memberikan itu pada Arturia.

Mengangguk, Arturia memutar badan dan bergerak menghampiri pintu.

"Tunggu, beberapa polisi pilihanku akan pergi menemanimu."

Berhenti berjalan, Arturia menengok ke arah Inoichi melalui bahunya.

"Itu tidak perlu. Aku bisa menangani ini seorang diri."

"Bukankah akan lebih baik bila ada seseorang yang membantumu?" tanya Inoichi, heran.

Arturia menggeleng.

"Aku mengapresiasi tindakanmu. Hanya saja, sebisa mungkin aku tak ingin memancing perhatian penjahat ini demi mencegah skenario buruk yang mungkin terjadi."

Lalu, Arturia melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Inoichi yang terkesan dengan kepercayaan dirinya.

"Maaf karena sudah merepotkanmu Naruto."

Usut punya usut, rupanya pengirim pesan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Chouji, teman seangkatan Naruto saat sekolah dulu. Chouji yang kerepotan meminta bantuan Naruto untuk membantunya mengangkat barang-barang pesanan pelanggan ke dalam truk.

Naruto menaikkan bahunya.

"Ma, santai saja Chouji. Aku sama sekali tidak merasa kerepotan." Dia mengamati isi truk. "Huh, banyak juga pesanan makanan bekumu kali ini. Biar aku tebak, diantar keluar kota?"

Chouji menganggukkan kepalanya.

"Yah, begitulah. Oh iya, kau haus?"

Naruto berkedip, senyum usil perlahan nampak.

"Siapa kau dan apa yang telah kau lakukan pada Chouji yang asli?"

Chouji sweat drop. Mengabaikan perkataannya, dia mengeluarkan uang yang diperlukan demi membeli minuman dari vending machine. Setelah itu, dia memegang dua kaleng dengan rasa anggur dan jeruk. Dia memberikan kaleng rasa jeruk pada Naruto. Secara bersamaan keduanya membuka penutup kaleng kemudian minum. Lucunya, Chouji yang pertama kali menghabiskan minumannya.

"Kau keberatan aku tinggal sendirian Naruto?"

Naruto menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak juga."

Dia melihat Chouji memasuki rumahnya. Mengangkat bahu, Naruto menggerakkan kakinya di trotoar sambil sesekali mengawasi sekitarnya, memikirkan makanan apa yang akan dimasaknya nanti siang.

"–terakhir kali teman-temannya bilang dia masuk ke rumah Jeanne Arc."

"Kau yakin?"

"Ya!"

Membuang kaleng yang isinya sudah kosong, Naruto berhenti ketika menyadari suara yang didengarnya berasal dari pagar di sampingnya, mengintip sedikit lewat lubang kecil yang tercipta, dia melihat seorang polisi dan seorang wanita tengah terlibat pembicaraan. Bila diamati dari ekspresi mereka, Naruto menebak kalau percakapannya cukup serius. Mereka berbicara di halaman pemilik rumah.

"Ku-Kumohon, kau harus menemukan putraku. Ha-Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya."

"Kau jangan cemas Nyonya, aku, dan kepolisian, akan sebisa mungkin menemukan putramu. Kami berjanji."

Wanita itu mengangguk, cairan murni tak henti-hentinya turun dari matanya. Tidak perlu orang sekelas Albert Einstein untuk mengetahui seberapa besar kesedihan yang sedang dirasakannya.

"…"

Naruto mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarahnya yang naik. Rupanya orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya telah kembali. Awalnya dia pikir kasus yang terjadi hanyalah penculikan biasa, tapi setelah mendengar tempat terakhir yang dimasuki korban adalah rumah yang sama seperti lima tahun yang lalu, keraguannya hilang detik ini juga.

Naruto tidak pernah menduga dia akan berada di kuil yang sempat dihindarinya setelah kematian kedua orang tuanya. Dia kemari bukan untuk berdoa sebetulnya, melainkan untuk bertemu dengan seseorang.

"Senang sekali akhirnya kau datang berkunjung lagi Naruto-kun."

Dengan posisi duduk yang berhadapan dengan Hiruzen, Naruto mengirim senyuman kepadanya.

"Umm... bagaimana kabarmu, Kek?"

"Kabarku?" Hiruzen mengangguk. "Kabarku baik-baik saja. Bagaimana dengan kabarmu?"

"…"

"Sebenarnya… ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu. Maukah kau mendengarkan?"

"Tentu saja. Kenapa tidak?"

Naruto menarik nafas panjang kemudian membuangnya.

"Apakah... balas dendam itu baik?"

Hiruzen hanya tersenyum.

"Tergantung jenis balas dendam apa dulu."

"Membunuh orang yang membunuh keluarga seseorang?"

Naruto tidak menyangka dia akan dengan mudah mengatakan itu.

"Wow, harus kuakui itu pertanyaan yang sulit bagi orang tua sepertiku," Hiruzen menjawab dengan sedikit canda, "aku mungkin tidak terlalu pandai dalam hal ini. Tapi, bila diamati dari perspektif yang berbeda, jawabannya sangat mudah sebenarnya."

"Apa itu?"

"Tidak baik."

Naruto mendengus, tentu saja balas dendam itu tidak baik.

Lalu, Hiruzen menambahkan.

"Apa kau pernah mendengar Rantai Kebencian?"

Naruto berkedip, itu sesuatu yang baru untuknya.

"Intinya, jika seseorang ingin balas dendam dengan membunuh orang yang membunuh keluarganya, ketahuilah kenalan orang yang dia bunuh akan berniat membunuhnya juga. Bila dia terbunuh, sahabat dekatnya juga akan membalas dengan cara yang sama. Terus menerus, seperti rantai yang takkan pernah terputus, itulah yang disebut dengan Rantai Kebencian."

"…"

"Jadi... jika seseorang melakukan balas dendam, maka orang-orang terdekatnya juga akan terkena imbasnya, benar begitu?"

Hiruzen tersenyum lembut.

"Tepat sekali."

Naruto memejamkan matanya, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi bila ia masih tetap melanjutkan tindakannya. Membuka matanya, dia pun bangkit. Senyum simpul mengembang di wajahnya.

"Kakek Hiruzen, aku... ingin mengucapkan terima kasih. Karena mau mendengarkanku."

Hiruzen ikut bangkit, tersenyum simpul ketika tangannya mengusap lembut rambut kuningnya. Naruto tercengang dengan aksinya.

"Sama-sama." Dia berujar. "Ngomong-ngomong, aku punya sesuatu untukmu. Tunggu sebentar."

Hiruzen meraih suatu kotak kecil, membukanya dan mengambil suatu benda yang bentuknya hampir seperti kancing baju berwarna biru.

"Ini merupakan jimat yang selalu kujaga. Demi keselamatanmu, aku ingin kau menyimpannya."

Naruto tersenyum kikuk, merasa aneh ketika melihat benda tersebut. Meski begitu, dia dengan sepenuh hati menerima pemberiannya.

"Jarang sekali aku mendapat tamu seorang agen. Ini, minumlah selagi hangat."

Meletakkan segelas teh di meja, Gilles duduk di kursi yang berlawanan dengan kursi Arturia. Arturia menampilkan senyuman pada Gilles, menyeruput air yang dihidangkan untuknya dengan senang hati. Dia melirik keluar jendela, tepatnya lahan perkebunan.

"Kau suka berkebun Gilles-san?"

Gilles mengangguk.

"Kebiasaan bisa dibilang." Dia melanjutkan. "Jadi, ada keperluan apa kau dengan pria tua ini?"

Arturia mengatupkan bibirnya, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi bila ia memberitahu informasi yang diketahuinya pada Gilles.

'Dia berhak tahu,' pikirnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, 'kalau aku tidak memberitahunya ancaman yang akan datang, dia akan terbunuh.'

Menarik nafas panjang, Arturia berkata.

"Gilles-san, apa kau masih ingat kejadian 5 tahun yang lalu?"

"…"

Gilles terdiam, raut wajahnya mengeras.

"Penjahat yang membiarkan aku hidup. Dia datang lagi, bukan?"

"Kau tahu?" tanya Arturia, terkesan.

"Walikota sebelum Yamanaka-san pernah memberiku alat perekam berisi…"

Entah mengapa, Gilles tidak mampu menyelesaikan perkataannya.

"Begitu," ujar Arturia, "dengar, aku tahu permintaanku ini terdengar keterlaluan, tapi, aku membutuhkan bantuanmu untuk menangkap–"

"Apa kau ada rencana?"

Arturia melebarkan matanya, terkejut melihat pandangan serius dari Gilles. Kemudian, dia pun mengangguk.

"'Caster' rencananya."

Line Break

Dikarenakan letak kuil nyaris berdekatan dengan rumah Jeanne Arc, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Naruto bisa sampai ke sana. Berbekal cahaya ponsel-nya yang menyala, Naruto lebih memilih menyusuri area yang gelap dan mencurigakan, salah satunya ruang gudang.

"Hmm... tak ada apapun di sini." Naruto bergumam saat berkeliling mengandalkan sinar ponselnya sebagai penerang jalan. "Jangan bilang aku membuang waktuku di wilayah yang salah lagi."

Dia menoleh ke belakang saat mendengar suara yang sangat berisik, menghela nafas saat menyadari suara yang didengarnya berasal dari ulah para tikus. Berkedip, dia melihat sebuah benda mengambang di udara sebelum mendarat di dekat kakinya, penasaran, dia mengambil itu lalu mengamatinya, yang diketahui sebagai foto.

"…"

Menggeram, Naruto menyimpan foto tersebut ke saku celananya, berniat membawa bukti yang didapatnya ke aparat keamanan. Setibanya di ruang tamu, Naruto tercengang ketika ujung senjata api terarah kepadanya, kaget mengetahui pemiliknya adalah Arturia, teman masa kecilnya.

"Arturia?"

Mengenal suara itu, Arturia meletakkan senjata api-nya ke tempat yang semula.

"Naruto?"

Keduanya tersenyum satu sama lain sebelum berpelukan. Puas, mereka pun melepas pelukannya masing-masing.

"Lihat dirimu! Arturia yang pendek sekarang sudah tinggi!" Naruto tertawa.

Arturia sweat drop, sedikit kesal karena diingatkan tinggi badannya. Dia mengesampingkan hal tersebut.

"Kau sedang apa di sini?"

Hilang sudah sisi humor dari muka Naruto. Sebelum dia bisa pergi, Arturia menahan erat lengannya.

"Tolong jawab pertanyaanku. Sedang. Apa. Kau. Di sini?"

"Buka telapak tanganmu."

Meski kebingungan, Arturia menuruti perkataan Naruto. Tanpa banyak bicara, Naruto menaruh foto yang ditemukannya pada telapak tangan Arturia.

"Dia pembunuh orang tuaku, dan aku berencana membawa barang bukti ini ke polisi. Sekarang bisakah kau melepaskan tanganku?"

Arturia membulatkan bola matanya, sesuatu yang disadari oleh Naruto. Dia tak sadar sudah melepaskan tangan Naruto.

"Kenapa? Ada yang salah?"

Kemudian, orang yang tak ingin dilihat lagi oleh Naruto datang.

"Agen, apa kau yakin rencana ini akan berhasil?"

Mereka berbalik untuk memandang Gilles yang mengenakan kostum "Caster" miliknya. Gilles berkedip ketika melihat foto tersebut.

"Huh, mungkin ruang gudang yang gelap bukan tempat penyimpanan yang bagus."

Menggeram, Naruto termakan amarahnya.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

"Naruto! Jangan lakukan!"

Terlambat, Naruto langsung melayangkan pukulan pada muka Gilles begitu ada kesempatan. Namun, Gilles dengan mudah menangkap pukulannya, bahkan dia sama sekali tidak terkejut dengan apa yang dilakukannya.

"Beraninya kau MEMBUNUH MEREKA!"

Gilles terlihat tenang saat menjawab.

"Kau seharusnya bersyukur bahwa aku telah menyelamatkan orang tuamu sebelum mereka ternoda oleh dosa."

"Menyelamatkan?!" Naruto meraung. "Membunuh kau bilang menyelamatkan?!"

"Seperti Angra Mainyu yang menjadi [All-Evil World] demi kebaikan yang lebih besar, aku menyelamatkan mereka melalui pengambilan paksa dosa. Beruntung orang tuamu mau diajak kerja sama dengan balasan kau tidak aku 'selamatkan'. Sejujurnya, tidak kusangka suara yang dibuat aplikasi android benar-benar menyerupai aslinya."

Arturia menodong senjata apinya pada Gilles.

"Naruto, aku tahu perasaanmu saat ini, tapi tolong biarkan aku yang mengurus hal ini," ujarnya.

Naruto terdiam, mengingat pertemuannya dengan Hiruzen. Mengangguk, dia berjalan mundur, menjauh darinya. Dia tersentak melihat tangannya diborgol oleh Arturia.

"Apa yang kau lakukan?"

"Mencegahmu dari melakukan perbuatan yang buruk."

"Apa kau tahu ada lorong yang menghubungkan rumahku, pegunungan, dan rumah ini? Aku menggunakan gas bius untuk melumpuhkan mereka semua. Orang-orang telah yang telah aku selamatkan kukembalikan ke tanah. Hidup-hidup. Di pegunungan," ujar Gilles.

"Kenapa kau memberitahu kami? Apa motifmu?" Arturia curiga.

Gilles tersenyum miring, seakan dia sudah menduga akan seperti ini jadinya.

"Karena Iblis berhasil mengalahkan Pahlawan."

Mendengar nada dering dari laci mejanya, Hiruzen mengambil ponselnya dan melihat pesan yang tertera.

"Jadi, buronan kelainan jiwa itu tertangkap juga akhirnya."