Are you coming back into my arms to love me again?

.

"Is this your ex?"

Doyoung menoleh, menatap datar pada satu lembar foto lusuh, bekas diremas dan terkena saus pizza. Oh. Ia lupa masih memiliki foto lama itu. Seingatnya ia sudah melemparkan foto itu ke tumpukan sampah daur ulang bertahun-tahun lalu. Ia menarik napas dalam-dalam, mengisap sisa pembakaran nikotin banyak-banyak kemudian menghembuskannya kembali dalam dua detik. "Entahlah," ia menelan rasa pahit yang kental yang kemudian mengaduk-aduk perut penuh pancake sarapannya pagi ini.

"Kalian masih sering bertemu?"

Sejak kapan Johnny menjadi jenis makhluk yang ingin tahu seperti ini? "Bagaimana kau menemukannya?" bukannya menjawab, Doyoung malah bertanya. Tangannya sibuk menumpuk buku-buku lamanya, mengikatnya menjadi satu kemudian mengepaknya dalam kardus-kardus besar.

Johnny mengerutkan dahinya, menatap Doyoung penuh selidik. "Terselip di celah rak sepatu. Kau mau menyimpannya lagi atau membuangnya?"

Doyoung tidak menjawab. Johnny memahami. Pria yang lebih muda darinya itu tidak ingin membicarakannya, tidak ingin mengungkit kembali hal yang sudah ia simpan rapat-rapat. Johnny berjalan menuju tempat sampah untuk membuang foto itu ketika….

"Aku akan menyimpannya."

"Huh?"

Doyoung mengulangi kalimatnya. Johnny berbalik kemudian melemparkan foto itu ke dalam salah satu kardus yang terbuka. "Jam berapa kau bilang pesawatmu?"

"Sembilan," Doyoung menjawab sembari menumpuk beberapa buku.

Johnny menganggukkan kepalanya. "Good. Aku bisa mengantarmu dan aku akan menyusulmu dalam satu minggu berselang."

"Mencoba menjadi mantan yang baik, huh?" Doyoung bersarkasme, menyalakan batang nikotinnya yang lain.

Johnny tertawa. "Akuilah Kim, aku memang mantan terbaikmu."

"Oh ya?" Ia mengisap dalam-dalam zat-zat nikotin yang merusak paru-parunya. Doyoung harus mengakui bahwa Johnny memang salah satu mantan terbaiknya. Mengingat banyak hal yang Johnny lakukan terhadapnya bahkan setelah hubungan mereka kandas─dikandaskan secara sepihak oleh Doyoung. Walau yang sebenarnya adalah Johnny tidak sebaik itu, setidaknya dia tidak seburuk Rowoon yang mengencaninya hanya karena ingin memanfaatkannya saja.

.

"Satu untukku dan satu untukmu."

Doyoung melahap pizzanya tanpa menoleh. Membiarkan yang lebih muda meletakkan selembar foto hitam putih tepat di hadapannya. Ia tak berekspresi, asyik mengunyah gigitan adonan dan saus yang bergulat dengan lidahnya. "Kenapa repot-repot mencetak foto blur begini?" Doyoung bertanya setelah menelan gigitan pizzanya. Foto hitam putih yang diambil dengan kamera analog itu memang blur dan sama sekali tidak fokus ditambah dengan pencahayaan yang kurang sehingga hampir seluruhnya gelap. Namun keduanya tahu, ada seseorang dalam foto itu, seseorang yang tersenyum menatap lensa dengan lurus, seolah bukan menatap lensa namun iris kelam dibalik viewfindernya. Doyoung yang mengambil foto itu.

Sangat berbanding terbalik dengan foto satunya. Doyoung melihat dirinya sendiri, tengah sibuk dengan ponselnya, berdiri tanpa tahu tengah dibidik lensa mungil yang mengabadikannya dengan fokus dan pencahayaan yang tepat. "Aku suka kok," yang lebih muda menjawab. "Aku menyukai foto yang kau ambil. Aku menyukaimu."

Dan potongan pizza itu jatuh begitu saja dari telapak tangan Doyoung.

.

Doyoung membuka matanya, ketika seorang pramugari menyentuh pundaknya pelan, menginstruksikan untuk menegakkan posisi duduknya dan mengenakan sabuk pengaman. Ia mengiyakan pramugari itu kemudian mengurut pelipisnya pelan. Mengecek jam, masih ada 15 menit tersisa sebelum pesawat yang ditumpanginya mendarat di tanah kelahirannya. Matanya melongok jendela pesawat yang menunjukkan langit kosong berwarna biru kehitaman. Ah rindunya.

Ada banyak hal yang ia tinggalkan dulu ketika ia memutuskan untuk pergi sejenak dari kehidupan biasa saja di Seoul ini. Melanglang buana, terbang melewati batas negara dengan alasan mengejar beasiswa. Ayah dan ibunya mengajaknya berbicara berulang kali sebelum ia benar-benar pergi, membujuknya tetap tinggal, bahkan berkonspirasi dengan hyungnya. Tapi Doyoung bukan Doyoung bila ia tidak berkeras dengan keinginannya.

Sekarang semuanya selesai, beasiswanya berakhir setelah empat setengah tahun. Mau tidak mau, sudi tidak sudi, Doyoung harus berhenti berlari, ia harus berjalan pulang. Menghadapi apapun yang dulu ia hindari setengah mati. Berjudi dengan segenap perasaan yang ia taruhkan dulu dan berharap ia akan menang dan tertawa di akhir.

Doyoung menghela napas ketika melihat kepala merah marun di antara desakan orang-orang tersenyum mengerikan ke arahnya. Siapa yang mengirim Lee Taeyong untuk menjemput? Katakan padanya, dia gila.

"Oh halo ttokki!"

Lihat! "Orang gila mana yang menyuruhmu untuk menjemputku?" Doyoung memutar matanya.

Taeyong tertawa, mengambil alih koper hitam besar dari tangan Doyoung, menyeretnya ke arah pintu keluar. "Sama-sama Doyoung, aku bisa mengantarmu langsung ke apartemen Jaehyun kalau kau mau!" ucapnya tak peduli.

Doyoung yang membuntuti membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu namun berhenti kemudian berpikir sejenak. "Lebih baik kau mengantarku ke neraka."

Lama sekali Doyoung tidak mendengar nama itu. Dua setengah tahun hidupnya di Chicago benar-benar damai. Sedikit banyak ia tak ingin kembali ke Korea jika yang didapat hanya nama itu terus berputar di gendang telinganya. "Kalian masih saling menjauh?" Taeyong bertanya ketika keduanya sudah mendudukkan diri di kursi masing-masing di atas mobil corolla tahun 80an berwarna merah milik Taeyong.

Doyoung tidak menjawab, ia memakai sabuk pengaman dengan tenang kemudian menyandarkan diri sepenuhnya, memejamkan matanya. "Bagaimana kabarmu dan Taeil-hyung?" Doyoung menghindar, Taeyong menyadari itu sepenuhnya.

Taeyong memutar kunci kemudian menyalakan mesin dan mulai menginjak gas. "Kami baik. Taeil sibuk dengan taman kanak-kanaknya dan aku sibuk dengan bengkelku, kami sangat baik-baik saja. Minhyung juga baik."

Ah benar. Mereka sudah memiliki Minhyung, dua setengah tahun yang lalu, Minhyung masih duduk di bangku sekolah dasar kesulitan dengan perkalian. Doyoung yakin, anak laki-laki itu sudah mampu menyelesaikan persamaan aljabar tanpa mengeluh lagi.

"Jeno sering menanyakanmu, omong-omong."

Doyoung tidak merespon, melainkan menjulurkan tangannya menyalakan radio. Suara lembut penyiar radio menyapa telinganya. Tanpa aba-aba, hujan turun tepat ketika Taeyong menginjak rem di lampu merah. Doyoung mengalihkan pandangan pada kaca jendela yang kini dipenuhi tetes air hujan. Ia memejamkan matanya ketika suara berat bernada khas milik Park Hyoshin memenuhi mobil.

only good memories, only a longing heart

on the path where you left me

I'm standing alone…

.

"Menjauh Jung!" Doyoung menghentakkan kaki-kakinya, membiarkan genangan air menciprat ke sana kemari. Tubuhnya basah oleh air hujan yang tak mau memperlambat ritmenya. Jaehyun tidak bergeming, menyodorkan payung yang dipegangnya kepada Doyoung yang basah kuyup. "Menjauh dan menghilang dari pandanganku. Aku membencimu!"

Doyoung berharap Jaehyun akan menurutinya dan benar-benar pergi menjauh, tapi ia tetap berdiri di sana. Di bawah payung hitam besar dengan ekspresi tak terbaca. Menariknya mendekat, kemudian mendekapnya dalam lipatan lengan kekarnya. Doyoung tidak sempat untuk memberontak karena detik berikutnya yang terjadi adalah Jaehyun menangkup dagunya dengan telapak tangannya yang lebar, menatap dengan iris gelapnya, dan Doyoung merasa tubuhnya tenggelam karena menarik napas menjadi sangat berat ketika bibirnya dipagut dengan paksa.

"Aku membencimu, Jung Jaehyun!" Doyoung bergumam pelan kemudian berlari di bawah guyuran hujan yang sepertinya menolak untuk berhenti turun hari itu. Meninggalkan Jaehyun yang basah kuyup juga karena payungnya telah berguling jatuh ketika mencium Doyoung tadi.

"Aku tidak, hyung."

.

Doyoung terbangun tepat ketika Taeyong mematikan mesin mobilnya. Ia menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan tanpa suara membuka pintu mobil, mendapati ayah dan ibunya berdiri menyambutnya di pintu masuk. Doyoung langsung menghambur memeluk orang tuanya bergantian. Taeyong menurunkan koper milik Doyoung, bersalaman dengan ayah dan ibu Doyoung kemudian segera berpamitan setelah menolak ajakan ibunya untuk ikut makan malam bersama. Doyoung mengucapkan terimakasih yang dibalas dengan anggukan oleh Taeyong, kemudian melambai ketika mobil Taeyong bergerak meninggalkan halaman rumahnya.

"Apa kau sudah menyelesaikan pelarianmu?" adalah kalimat penyambutan yang keluar dari mulut hyungnya ketika Doyoung melangkah masuk ke dalam rumah yang selama empat setengah tahun ini tidak sekalipun ia sambangi, meski itu liburan musim panas yang panjang sekalipun, meski itu liburan natal yang siapapun rela dipotong gajinya untuk mendapatkan satu/dua hari libur untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Siapapun selain Doyoung. Ia tak pernah menginjakkan kaki di Korea sama sekali selama empat setengah tahun. Hari ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di Korea setelah melangkah pergi meninggalkannya. Bukan langkah yang mudah baginya. Ada begitu banyak beban yang dipikulnya, beban tak kasat mata yang mungkin terlihat dibuat-buat.

"Bagaimana kabarmu hyung?" sekali lagi Doyoung menghindar.

.

Doyoung menghabiskan waktu luangnya selama seminggu dengan amat sangat baik. Ia hanya punya seminggu sebelum perusahaan yang merekrutnya menyuruhnya masuk dan bekerja. Dalam waktu seminggu Doyoung menghabiskan waktu untuk kesenenangannya, menelusuri Itaewon, mengelilingi toko buku favoritnya dulu, dan mencari-cari kedai tteokbokki langganannya dulu yang kini berpindah tempat untuk yang kelim kalinya dalam satu tahun. Mengontak teman-temannya, bertemu dengan sebagian dari mereka yang memiliki waktu luang.

Dan tentu saja, menjemput Johnny di akhir minggu.

"Wow, aku baru tahu Korea semenarik ini." Johnny menaikkan ransel besarnya ke punggungnya kemudian menarik Doyoung mendekat, memeluk bahunya. Doyoung tidak heran dengan pernyataan Johnny, manusia besar satu itu memang tumbuh besar di Chicago dan telah menjadi warga negara Chicago semenjak tangisan pertamanya.

"Kenapa sih, kau memilih perusahaan yang sama denganku?" Doyoung membuka bagasi mobilnya kemudian menaikkan koper Johnny.

"Tentu saja karena aku mengikutimu, bunny!"

Doyoung memasang ekspresi ingin muntah ketika mendengar panggilan 'bunny' dari mulut Johnny. Ia benci setengah mati panggilan itu. "Naiklah sebelum aku membelikanmu tiket pesawat pulang ke Chicago!"

"Aku bisa menyetir!" Johnny mengedipkan sebelah matanya.

Doyoung memutar bola matanya. "Dengan resiko tersesat berjam-jam? Terimakasih. Naik dan duduklah dengan diam atau aku benar-benar membelikanmu tiket pulang!"

Johnny mengerucutkan bibirnya, menuruti Doyoung, berjalan menuju kursi penumpang dan duduk dengan tenang. Membiarkan Doyoung yang menyalakan mesin dan menginjak gas, melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Johnny memutuskan untuk menyalakan radio, menekan tombol pemindah saluran dengan cepat, mencoba mencari yang menarik, kemudian berhenti ketika telinganya mengenali lagu yang tidak asing. "Lagu kesukaanmu bukan?"

Tentu saja. Doyoung menelan ludahnya. Pahit. Rasa pahit yang kental memenuhi mulutnya, bergerak masuk ke dalam kerongkongannya, mengaduk lambungnya. Lagu itu adalah lagu yang sama dengan lagu yang ia dengar ketika ia dalam perjalanan menuju rumahnya minggu lalu. Lagu yang sama ketika ia berangkat menuju bandara empat setengah tahun yang lalu. Lagu yang sama yang selalu ia dengarkan di dalam kelasnya dulu. Lagu yang selalu ia dengar bersama orang itu.

"Kurasa lagu ini akan menjadi lagu kesukaanku juga."

your scent that remained in my fingers

is scattering away

your hand that is growing far apart

I can't hold onto it so it hurts

Just until I can survive

Just as much as I hate you

.

"Aku akan mendengarkan lagu ini sampai mati, kupikir aku akan menggunakannya ketika hari pemakamanku juga."

Jaehyun menganggukkan kepalanya menyetujui. "Aku akan memastikannya untukmu, hyung."

.

"Sudah bertemu mantanmu yang itu?"

Doyoung nyaris memencet klakson ketika Johnny bertanya dengan wajah datar, tanpa ada tanda-tanda terlihat ingin tahu atau sekedar peduli.

"Kelihatannya dia sangat berharga bagimu."

Kau pikir begitu? "Aku dan dia tidak seperti itu. Tidak ada hubungan seperti itu."

"Oh ya?" Johnny menekan kembali tombol pemindah saluran radio. "Aku penasaran dengannya. Kau pikir aku bisa bertemu dengannya? Mungkin aku bisa bertanya tips untuk mendapatkanmu kembali bunny!"

"Haha. Lucu."

.

Doyoung memutar matanya, tidak habis pikir dengan permintaan Jaehyun untuk mengambil foto dirinya di halam rumah Doyoung. "Aku tidak bisa, Jae!"

"Jangan mengelak, hyung. Kau hanya perlu memencet tombol paling besar di sana dan semua selesai."

Pria mirip kelinci itu mendesah, namun menuruti yang lebih muda. Mengangkat balok mungil bernama kamera itu. Menempatkan iris kelamnya tepat di depan viewfinder. Ia menghitung mundur ketika wujud tinggi Jaehyun telah fokus dalam pandangannya. Jaehyun menatap lurus ke arah lensa, senyuman lebar menginvasi pandangan Doyoung. Bukannya menekan shutter Doyoung malah membeku, jantungnya berdegup kencang tak keruan. Dengan kaku, jarinya mengerahkan segenap tenaga yang tersisa untuk menekan shutter.

Ya Tuhan. Ini salah. Sangat salah.

.

Doyoung membuka kotak masuk ponselnya, menyelam di antara pesan-pesan masuk yang selama seminggu ini ia abaikan. Sebagian besar adalah pesan spam promosi, dengan lincah, jarinya menghapus pesan-pesan spam itu. Mulutnya tidak berhenti bersenandung pelan. Namun itu tidak bertahan lama, ibu jarinya mendadak membeku, pita suaranya mendadak kaku. Iris gelapnya bergetar kehilangan arah tatkala mendapati satu pesan singkat dari nomor 'tidak dikenal'. Nomor yang bertahun-tahun lalu ia hapus dari daftar kontaknya, hal yang sia-sia sebenarnya karena ia sama sekali tidak menghapus nomor itu dari memori otaknya. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu.

[Kau kembali, hyung.]

Doyoung berpikir sejenak, menimbang untuk membalasnya, namun mengurungkan niatnya. Ia menghapus pesan itu, menghapus seluruh pesan masuk di ponselnya. Tidak peduli lagi apakah itu pesan spam atau bukan. Toh ia sudah memutuskan bahwa ia kembali bukan untuk masa lalunya, ia kembali bukan untuk menengok ke belakang. Maka sudah semestinya ia mengabaikan segala hal yang bersangkutan dengan masa lalunya. Termasuk Jaehyun.

"Doyoung hyuuuung!"

Doyoung mengangkat wajahnya, Jeno berlari dari ujung koridor kemudian menubruknya dengan cukup keras hingga membuat Doyoung terbatuk kecil. Rasanya lama sekali dia tidak melihat Lee Jeno, bocah kecil seumuran Minhyung yang dulu selalu menempel dengannya. Doyoung tidak menyangka tinggi bocah kecil itu kini hampir mengejar tinggi badannya sendiri.

"Hey, katakan padaku kau tidak membuat masalah selama hyung pergi kan?" Doyoung tersenyum lebar, mengelus rambut hitam legam Jeno.

Jeno menarik tubuhnya. "Tentu saja, aku menjadi anak yang paling baik di sini." Jeno tersenyum lebar, membusungkan dadanya. Doyoung menggumamkan kata 'bagus' menyodorkan paper bag besar berisi mainan yang ia beli tadi sebelum mengunjungi panti asuhan tempat Jeno tinggal. "Ah, Jaehyun hyung juga di sini, sudah bertemu dengannya?"

Belum sempat Doyoung menjawab pertanyaan Jeno, sebuah pintu dari ruangan yang terletak beberapa meter darinya terbuka. Kemudian sosok tinggi dengan helai brunette dan mantel abu-abu gelap muncul. Doyoung ingin menghindar, berlari sejauh mungkin sebelum sosok itu berbalik dan menemukannya. Tapi Jeno menggenggam telapak tangannya erat-erat, mencegahnya untuk bergerak. Dan semua menjadi sangat terlambat, karena Jeno memanggil sosok itu, dan membuatnya berjalan mendekat.

Doyoung memejamkan matanya, menundukkan kepalanya. Ia membuka matanya kembali setelah lima detik dan melihat sebuah tangan terjulur di hadapannya. Detik itu juga, Doyoung tahu, ia tak bisa lari. Ia takkan pernah bisa berlari dari masa lalunya. Rencananya berantakan. Dari awal, seharusnya Doyoung tidak pernah kembali kemari. Seharusnya Doyoung tidak pernah menginjakkan kaki kembali di Seoul.

"Lama tidak bertemu denganmu, hyung."

Suara itu masih sama. Doyoung meremas tangan Jeno erat, hampir merosot karena keringat dingin yang mendadak memenuhi telapak tangannya. Doyoung menganggukkan kepalanya, menyambut tangan Jaehyun yang terulur dengan telapak tangannya yang kaku. Ia memaksakan senyum tipis di bibirnya.

.

Doyoung menenggelamkan tangannya ke dalam saku mantelnya. Ia berjalan pelan menyusuri lapangan hijau kecil di belakang panti asuhan. Jaehyun berjalan di sampingnya, tenang dan sulit ditebak. Tak ada yang berminat untuk sekedar bertukar kata, hanya langkah teratur dan suara napas masing-masing dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Yang ada di pikiran Doyoung hanya satu, bagaimana caranya untuk tidak mengacaukan rencana awalnya. Doyoung terlalu sibuk berpikir hingga tanpa sadar, menghentikan langkahnya, dan menghela napas. Hingga….

"Kupikir kau sudah melupakan pohon itu." Jaehyun bergumam, membuat yang lebih tua mau tidak mau kembali dari alam pikirannya dan memfokuskan matanya pada pohon ginkgo di hadapannya. Satu-satunya pohon besar yang tumbuh di tempat itu.

Shit. Doyoung tidak menyadari itu.

"Terimakasih." Jaehyun tersenyum lebar. Senyum yang sama dengan yang dulu, senyum yang menampakkan setitik lubang di pipinya. Senyum yang selalu membuat perut Doyoung jungkir balik, dahulu kala. Atau mungkin sampai sekarang? Entah. "Terimakasih karena kau telah kembali."

Doyoung membeku. "Aku tidak kembali untukmu."

"Aku tahu."

.

Itu adalah akhir musim semi, dimana suhu udara mulai tinggi dan kaus tipis serta celana jeans pendek adalah kostum yang selalu menempel di tubuh kurus Doyoung. Telapak kakinya bertelanjang, kelopak-kelopak daisy menggelitik betisnya tatkala ia berlarian, mengejar bola sepak yang menggelinding tak tentu arah. Tawa lepas selalu menghiasi wajah kelincinya. Doyoung memang bukan tipe orang yang menyukai olahraga, sebaliknya dia adalah tipe orang yang akan tiduran sepanjang hari dengan tivi menyala tetapi sibuk dengan layar ponsel atau komik One Piece. Ia adalah tipe yang selalu ingin menyimpan energinya untuk memikirkan hal-hal yang muncul begitu saja di otaknya. Tapi ia sama sekali tidak keberatan bermain sepak bola dengan anak-anak dari panti asuhan, terlebih Jaehyunlah yang mengajaknya.

Doyoung malas mengakuinya. Tapi seorang Jung Jaehyun selalu memiliki ruang sendiri untuk menggeser susuanan prioritasnya. Kerapihan susunan prioritasnya selalu kacau ketika Jaehyun muncul dan mengatakan sesuatu. Misalnya saja ketika Doyoung telah menetapkan untuk maraton film, Jaehyun akan muncul, mengetuk pintu rumahnya mendekap bola sepak di lengannya. Sepeda hitam tuanya terpakir di samping ia berdiri. Maka hanya satu detik yang dibutuhkan Doyoung untuk melompat dari sofa yang nyaman, memakai sepatunya dengan buru-buru dan berpamitan dengan berteriak kepada ibunya. Doyoung bahkan membiarkan pintu rumahnya terbuka begitu saja, membuatnya selalu diceramahi oleh hyungnya.

Ada seribu atau bahkan sejuta alasan bagi Doyoung untuk menolak ajakan Jaehyun. Tapi Doyoung selalu menyembunyikan alasan-alasan itu di balik lidahnya, atau menelannya ke dalam lambungnya. Doyoung selalu mengiyakan apapun permintaan Jaehyun, selalu mengikuti ke manapun Jaehyun melangkah, menarik lengan kurusnya. Termasuk ketika Jaehyun melompat naik, memanjat pohon ginkgo tua di belakang gedung panti asuhan itu. Doyoung mengikutinya, bergantian melempar tawa ketika keduanya duduk di salah satu cabang pohon ginkgo dengan batang besar yang menjadi celah di antaranya. Doyoung menyukai pohon ginkgo tua itu, daunnya yang akan menguning ketika musim gugur, dan kembali tumbuh dengan warna hijau di musim semi.

Jeno, Minhyung, dan Donghyuk akan datang melompat-lompat ingin memanjat juga, lalu meneriakinya dan Jaehyun untuk segera turun dengan melempar-lempar bunga daisy yang dicabut hingga akarnya. Jaehyun akan tertawa kemudian berteriak menyuruh ketiganya kembali masuk ke dalam. Doyoung hanya akan tertawa melihat adegan itu. Jeno dan Minhyung akan menyerah lebih dulu dan kembali masuk ke dalam gedung kemudian disusul oleh Donghyuk beberapa menit kemudian, mengerucutkan bibirnya kesal.

Keduanya akan berlama-lama duduk di cabang pohon ginkgo itu, membicarakan hal-hal tak masuk akal hingga matahari terbenam dan langit merubah warnanya menjadi campuran jingga, biru, dan ungu. Jaehyun akan turun lebih dulu kemudian menangkap Doyoung yang melompat turun.

Salah satu dari hari-hari itu, akan ada satu hari di mana Doyoung dan Jaehyun menginap di panti asuhan itu. Membangun tenda mungil yang muat untuk lima orang di belakang bangunan warna-warni itu. Mengajak Jeno atau Minhyung untuk bergabung. Mereka akan berbaring di atas rerumputan, dikelilingi bunga-bunga daisy. Menghitung jumlah bintang, menyimak siaran radio favorit dari radio kecil tua yang Jaehyun curi dari kakeknya.

Salah satu dari malam itu adalah malam ini. Tidak ada Jeno ataupun Minhyung yang bergabung, hanya ada Jaehyun dan Doyoung. Saling menertawai lelucon garing yang terlontar begitu saja. Suara dari radio terdengar samar-samar dibalik suara tawa mereka dan juga angin malam. Mata mereka mulai memberat, namun tak ada yang mau menyerah, keduanya memaksakan untuk tetap terjaga. Bertanding menghitung bintang, mengobrol tentang apapun.

"Ingat saat pertama kali bertemu?" Jaehyun bertanya pelan, setelah hamper setengah jam lamanya menghitung bintang dan lengannya mulai pegal menunjuk-nunjuk bintang.

Doyoung melebarkan telapak tangannya seolah ingin menggapai langit. "Tentu saja, aku tidak bisa melupakan bagaimana kau jatuh dari pohon ginkgo itu, bajumu robek karena tersangkut."

Jaehyun tertawa pelan, menolehkan kepala pada yang lebih tua. "Konyol memang. Kalau diingat kembali, hal yang menyebabkan aku jatuh itu sangat konyol sekali."

"Oh ya? Memangnya kau memikirkan apa sampai terjatuh begitu?"

"Kau takkan percaya," Jaehyun bangkit dari posisinya, mendudukkan dirinya, memeluk lututnya sendiri. Suara serangga menginvasi kesunyian di antara mereka. "Tapi aku jatuh karenamu, kau yang datang dengan tawamu, berlarian bersama anak-anak itu. Dan kemudian aku menyadari kakiku kehilangan pijakan setelah aku meluncur jatuh ke tanah."

Angin berhembus, menggoyangkan ranting pohon ginkgo, daun-daunnya saling bergesekan menimbulkan suara gemerisik ringan, bercampur dengan suara serangga musim panas. Batang-batang daisy bergoyang ringan, menggelitik kulitnya dengan lembut. Doyoung memejamkan matanya, bernapas dengan teratur, menganggap semua itu adalah mimpi yang kebetulan terasa sangat nyata.

.

Skenario terburuk yang pernah Doyoung pikirkan adalah seorang Jung Jaehyun kembali dalam hidupnya. Dan yang terburuk dari yang paling buruk adalah apapun usaha Doyoung untuk menghindar, entah kenapa selalu gagal.

Jung Jaehyun kembali menapaki jalan yang sama dengan Doyoung. Jalanan kecil penuh lubang, dan ditumbuhi ilalang di kanan kirinya. Doyoung tak ingin berbagi, tapi Jaehyun seolah mendobrak pagar besi pembatas yang Doyoung bangun dengan jerih payah. Jung Jaehyun hanya perlu mengetuk pelan dan pagar itu runtuh menjadi jutaan debu dalam satu detik. Tinggallah Kim Doyoung dalam sebuah dilema klise untuk tetap teguh atau kembali terjatuh dalam luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

Sejak ia kecil Doyoung selalu memiliki ego yang besar. Tumbuh menjadi seorang maknae dalam keluarganya membuatnya menjadi seperti itu. Doyoung selalu egois, dia selalu mempunyai pendirian yang teguh, ia selalu menuntut, dan apa yang menjadi tuntutannya harus terpenuhi, apapun itu. Bahkan seorang Seo Johnny pun memahami itu, dan selama setengah tahun hubungan mereka, Johnny selalu menjadi pihak yang tertindas–begitu menurutnya, karena Johnny selalu memaksakan diri memenuhi segala permintaan aneh Doyoung.

Tapi Jaehyun?

Jaehyun hanya butuh 15 detik sambungan telepon, dan Doyoung dengan mudahnya menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaan Jaehyun untuk bertemu dengannya di jam makan siang. Dengan mudahnya Doyoung menyingkirkan sejuta ego yang dia kumpulkan bertahun-tahun, yang bahkan masih tersisa beberapa di hari kemarin. Doyoung tidak ingin ambil pusing, dia hanya ingin berpikir positif, bahwa Jaehyun mungkin ingin mengucapkan selamat datang kembali dan menyambut hubungan baru mereka sebagai teman. Itu saja.

"Hai, hyung." Jaehyun menurunkan kaca mobilnya.

Doyoung tersenyum tipis, tidak berminat untuk membalas sapaan Jaehyun. Tangannya membuka pintu mobil Ferrarri Jaehyun kemudian melompat masuk dan memakai sabuk pengaman dalam diam. Jaehyun menyodorkan sandwich isi tuna pedas favorit Doyoung sepanjang masa.

Astaga!

"Aku membebaskanmu untuk memilih saluran radio yang kau mau." Jaehyun menginjak pedal gas kemudian melajukan mobilnya keluar dari basement.

Doyoung menggigit sandwichnya menelannya dalam beberapa detik. Ia diam, menelan keheningan, memainkan kertas bungkus sandwich dengan jari-jarinya. Sandwich yang ia telan tadi terasa seperti gumpalan karet yang membuatnya mual dan ingin kabur dari tempat itu.

.

Jaehyun menginjak pedal gas tepat ketika Doyoung menyandarkan kepalanya. Tangannya meraih sandwich tuna pedas yang disodorkan Jaehyun padanya. Lagu trot mengalun menghunus keheningan yang terselip di antara suara tawa pelan mereka. Jaehyun belum memiliki surat izin mengemudi, tapi Doyoung tidak keberatan membiarkan yang lebih muda membawanya jauh dari pusat kota Seoul. Melewati jalan-jalan kecil yang sepi, menelusuri tempat-tempat yang jarang terjamah manusia.

Tempat favorit mereka selain lapangan berumput di belakang panti asuhan adalah lahan kosong di sudut kota Incheon, lahan tersembunyi di balik bandar udara, berbatasan dengan pagar besi bandara. Jaehyun akan mengemudi ke sana, membiarkan badan mobil Audi 5000 kesayangan Gongmyung hyung terkena tanah becek. Toh Doyoung juga tidak keberatan dimarahi oleh Gongmyung hyung tersayang. Ia akan menghentikan mobil tepat di bawah pohon evergreen. Kemudian keduanya akan menyetel radio dengan volume maksimal, dan Jaehyun akan membukakan pintu mobil untuk Doyoung, menariknya keluar, mengangkatnya naik ke atas kap mobil. Doyoung hanya akan tertawa, dan Jaehyun tersenyum lebar hingga menampakkan gigi-gigi rapihnya.

Selama dua jam, mereka akan duduk di atas kap mobil, menghabiskan satu liter cola yang Jaehyun beli di minimarket, dalam perjalanan. Terkadang Jaehyun akan merayap naik ke atap mobil, kemudian memutar tubuhnya mengikuti irama musik trot, mengajak Doyoung untuk bergabung. Tentu saja Doyoung dengan senang hati bergabung, menggerakkan badan seirama dengan Jaehyun. Doyoung tertawa ketika tangan Jaehyun memeluk pinggangnya, tepat saat sebuah pesawat mendarat beberapa ratus meter di sana, menggerung memenuhi telinganya.

"Aku serius hyung!" Jaehyun berteriak di sela-sela deru mesin pesawat.

Doyoung membaca gerakan mulut Jaehyun, kemudian terdiam, mata kelincinya bergetar ketika Jaehyun menguncinya dengan tatapan. Doyoung tidak akan pernah melupakan apa yang Jaehyun katakan dua malam sebelumnya. Malam ketika mereka menginap di panti asuhan dengan Jeno terselip diantara mereka, terlelap dalam tidur. Malam ketika Doyoung berbaring telentang, menghadap plafon putih polos, dengan Jaehyun berbaring miring, menatapnya lembut, menyangga kepala dengan sikunya.

"Aku serius. Aku menyukaimu!" Jaehyun kembali berteriak.

Doyoung mendengarnya dengan jelas, karena deru itu perlahan menghilang. Tapi ia tak mampu merespon. Sehingga Jaehyun mengambil tindakan dengan meraup bibirnya. Doyoung membatu, ia ingin mendorong Jaehyun sejauh mungkin, tapi jauh di dasar hatinya ia ingin lebih, ia ingin lebih dari ini.

"Berkencanlah denganku, hyung!"

Doyoung menganggukkan kepalanya.

.

"Tidakkah ini mengingatkanmu?" Jaehyun tidak mengalihkan pandangan dari jalanan ramai di depannya.

"Hng?" yang lebih tua bergumam bingung, memutar kedua bulatan matanya.

Jaehyun tertawa pelan. "Mobil, sandwich, radio…"

Tentu saja Doyoung ingat itu semua. Doyoung tidak pernah sekalipun melupakan hal yang berkaitan dengan Jaehyun. Semenyakitkan apapun itu, sekeras apapun ia mencoba melupakan, Jaehyun selalu muncul, mengoyak setiap sel-sel memorinya, menginvasi setiap saraf-saraf tubuhnya.

"Tidakkah kau mengingatnya? Kita selalu melakukan ini di setiap jam makan siang. Berkeliling entah kemana, sandwich tuna pedas, dan radio yang memutar lagu-lagu trot."

Cukup!

"Jaehyun-a" Doyoung menghela napas singkat, memotong kalimat Jaehyun yang baginya terasa seperti sebilah silet yang mengiris-iris lapisan otaknya. "Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" Ia menundukkan kepalanya, menatap sandwich di tangannya. Doyoung sadar ia harus bersikap tegas di sini, karena ia harus membangun kembali egonya yang telah menguap ke udara. Ia tak ingin kembali ke masa-masa yang telah ia anggap sebagai masa terkelamnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada Jaehyun. Kenapa kau kembali ke hadapanku? Kenapa kau peduli kepadaku? Ada banyak 'kenapa' yang lainnya, yang sulit diungkapkan, bahkan oleh otaknya.

Jaehyun menginjak pedal rem, menghentikan mobilnya tepat di belakang garis marka. "Menurutmu hyung?" Jaehyun menolehkan pandangannya, menatap lurus Doyoung yang otomatis mengangkat kepalanya. "Menurutmu aku akan mengajakmu kembali?" Jaehyun memiringkan kepalanya seolah menggoda Doyoung.

Fuck! Jaehyun menebak pemikirannya.

"Kalau itu yang kau pikirkan, kau benar hyung."

.

Jaehyun adalah anak yang menyenangkan, rumahnya terletak beberapa ratus meter dari rumah Doyoung. Keluarganya saling mengenal dengan baik. Pertama kali Doyoung bertemu dengan Jaehyun adalah ketika ayahnya menyuruh Doyoung dan kakaknya pergi ke panti asuhan, melakukan beberapa kegiatan sukarela. Doyoung dan kakaknya melakukan beberapa pekerjaan ringan di panti asuhan itu kemudian memutuskan untuk bermain-main sebentar. Kakaknya meminjam bola sepak dari salah satu anak di sana, kemudian berjalan ke halaman belakang.

Doyoung tidak menyukai sepak bola, jadi dia hanya diam di bawah kanopi yang memayungi teras belakang. Ia tertawa keras ketika melihat kakaknya terpeleset saat berusaha merebut bola. Ketika itulah suara debum yang sedikit teredam terdengar. Doyoung menghentikan tawanya kemudian melihat seseorang terbaring kesakitan di bawah pohon ginkgo. Doyoung berlari mendekat bersama anak-anak lain.

"Kau oke?" Doyoung bertanya canggung.

Sementara yang ditanya hanya diam, wajahnya berubah semerah buah tomat. Kaus abu-abu yang dikenakannya robek cukup lebar.

Doyoung mengetahui namanya ketika ia telah masuk, memapah 'korban itu' meminjaminya baju olahraga yang kebetulan ada di dalam ranselnya. Mendudukkannya di bangku panjang ruang makan, kemudian membuka kotak P3K yang dibawakan oleh Minhyung kecil. Dengan sigap, mengoleskan salep pada luka-lukanya.

"Jaehyun…"

Doyoung menyipitkan matanya.

"Namaku,"

"Aku tidak bertanya."

.

Taeyong menatap Doyoung tak percaya. Seperti bukan Doyoung yang biasanya selalu menghindar sejauh mugkin dari Taeyong. Sejak dulu Taeyong dan Doyoung tidak pernah akur, sealu ada perkelahian kecil diantara mereka. Doyoung berkunjung ke bengkel Taeyong adalah sebuah keajaiban.

"Apa akan badai hari ini? Kurasa ramalan cuaca tadi tidak akurat." Taeyong mengacak rambut Doyoung yang tertata rapi.

"Aku kemari bukan untuk mencarimu, aku mencari Minhyung. Dan tolong hentikan kebiasaan jelek mengacak rambutku ini. Tanganmu bau oli dan aku tidak mau rambutku bau oli juga." Doyoung memutar bola matanya.

"Minhyung pergi bersama Jaemin tadi, mereka sedang mengerjakan proyek sains atau semacamnya begitu katanya," Taeyong menyipitkan matanya kemudian beralih pada mobil hitam yang tengah ia kerjakan. "Sudah bertemu Jaehyun? Dia makin tampan, omong-omong." Taeyong berkata tanpa menatap Doyoung yang kini mendudukkan dirinya di sebuah sofa hitam tua beraroma oli yang terletak di sudut bengkel.

Doyoung tidak menjawab, sibuk menatap ponselnya yang mendadak bergetar karena sebuah pesan masuk. Nomor yang ia hapal di luar kepala.

[Hyung, kau di mana?]

Doyoung menghapus pesan itu, tepat ketika sebuah mobil yang tidak asing masuk ke halaman bengkel Taeyong. Doyoung membulatkan matanya, Taeyong memutar tubuhnya dari kap mobil yang menenggelamkan hampir setengah tubuhnya. "Kalian berencana bertemu di sini ya?" Taeyong menatap Doyoung kemudian berganti menatap Jaehyun yang keluar dari mobilnya. Doyoung ingin menghilang sekarang juga, tapi Minhyung datang dengan sepedanya. Minhyung menyandarkan sepedanya kemudian menghambur ke arah Doyoung.

Taeil menyusul dengan kedua tangannya dipenuhi kantung-kantung belanjaan. "Ya Tuhan, ini reuni atau apa?" Ia membulatkan mata, bergantian menatap Jaehyun, Doyoung kemudian beralih menatap Taeyong yang mengambil alih kantung-kantung belanjaan dari tangannya, mengecup singkat dahi Taeil. "Kita masak besar malam ini!" Taeil menggumam, tersenyum melihat Minhyung dan Doyoung yang saling berpelukan.

Doyoung membulatkan matanya, menggeleng pelan. "Aku harus segera pulang, hyung!"

"Tentu saja, kau harus segera pulang setelah makan malam, Doyoung. Aku memaksa!" Taeil melepas sepatunya kemudian masuk ke dalam rumahnya yang terletak di bagian dalam bengkel, kemudian memutar tubuhnya, menatap Jaehyun yang masih bingung, jari telunjuknya mengacung menunjuk Jaehyun. "Dan kau, tentu saja harus membantuku memaksa Doyoung untuk tetap tinggal setidaknya sampai makan malam selesai." Taeil mengedipkan sebelah matanya, sementara Doyoung mendesah kecewa.

.

Itu adalah malam bertenda mereka yang pertama setelah Doyoung mengiyakan permintaan Jaehyun untuk berkencan. Minhyung tidak diperbolehkan untuk bergabung karena tengah terjangkit flu yang cukup parah, dan Donghyuk serta Jeno tidak ingin bergabung tanpa Minhyung. Keduanya bergelung di dalam kantung tidur masing-masing, sesekali tawa ringan menyelip di antara suara serangga yang berlomba-loma mengisi kesunyian malam. Radio tua Jaehyun tidak berbunyi malam ini, karena Jaehyun lupa membeli baterai baru.

Doyoung setengah menutup matanya saat itu. Saat Jaehyun berguling ke arahnya, menghapus jarak yang sebelumnya cukup jauh di antara mereka. Doyoung tidak akan membuka matanya kembali kalua saja Jaehyun tidak mengelus telinganya dengan sangat lembut, berbisik dengan frekuensi yang nyaris sama dengan suara angin. Napasnya menabrak filtrum Doyoung dengan teratur, menyalurkan kehangatan sekaligus aroma mint yang menyegarkan.

Entah keberanian dari mana, Doyoung mendekatkan kepalanya, bertanya dengan suara mengantuk. "Apa kau tidak akan menciumku?"Doyoung sendiri terkejut dengan pertanyaannya. Ada banyak kalimat yang berputar-putar di kepalanya tapi otaknya memilih pertanyaan itu. Sungguh, sepertinya hipokampusnya bermasalah. Hormon anak remaja memang sulit diatur.

Jaehyun tertawa mendengar pertanyaan Doyoung. Mereka pernah melakukan itu sebelumnya, dan Doyoung menginginkannya lagi dan lagi. Bagi Doyoung, ini adalah saat yang tepat, di bawah atap tenda, hanya ada mereka berdua, sungguh waktu yang sangat tepat. Jaehyun mendekatkan kepalanya, seolah hendak meraup bibir Doyoung, tapi sedetik sebelum bibir mereka bersentuhan, Jaehyun mendongakkan kepalanya kemudian mengecup lembut dahi Doyoung. "Selamat malam, hyung!" gumamnya sembari tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi rapinya seolah sengaja menggoda Doyoung.

.

.

"Maaf."

Doyoung tersedak, menjatuhkan sumpit dari jari-jarinya, kemudian terbatuk-batuk. Taeil dengan sigap menyodorkan segelas air minum kepadanya. Hanya ada satu hal yang terlintas di benak Taeil dan Taeyong, mengungsikan Minhyung dari tempat itu.

"Minhyung, mau menemani ayah membeli es krim?" Taeyong menatap Minhyung yang membulatkan matanya bingung dengan situasi yang tiba-tiba menjadi sangat canggung. Minhyung belum sempat menjawab, nasinya masih tersisa tiga perempat mangkuk dan ibunya bahkan belum menyentuh mangkuk nasinya, lalu tiba-tiba saja ayahnya menawarkannya untuk menemani membeli es krim. Taeil menyeret Minhyung bangun dari duduknya, membuntuti Taeyong yang berjalan terlebih dahulu. Kemudian ketiganya menghilang di balik pintu.

"Apa maksudmu?" Doyoung bertanya setelah kembali dari fase tersedaknya. Bukan tanpa alasan Doyoung menanyakan maksud dari pemintaan maaf Jaehyun. Mereka bertemu untuk yang ketiga kalinya dan baru sekarang Jaehyun mengucapkan kata itu. Ada banyak kesempatan untuk mengatakan maaf, tapi kenapa Jaehyun memilih hari ini? Seolah ini adalah hari yang istimewa untuk meminta maaf. Walaupun kenyataannya hari ini memanglah hari yang istimewa bagi keduanya.

Hari minta maaf sedunia.

Doyoung yang membuatnya. Setiap tanggal 10, adalah hari minta maaf sedunia. Doyoung yang menandai kalender Jaehyun ketika itu. Tepat setelah pertengkaran pertama dalam hubungan mereka. Dalam ingatan Jaehyun, Doyoung tersenyum memaafkannya kemudian menandai kalender di atas mejanya dengan spidol berwarna hijau─perdamaian.

"Ketika kau melakukan suatu kesalahan sekecil atau sebesar apapun itu, aku akan selalu memaafkanmu. Ingat tanggal ini Jaehyun-a, warna hijau berarti perdamaian, pintu maafku terbuka untukmu setiap tanggal ini." Doyoung tertawa lebar.

"Kau akan memaafkanku kan?"

Doyoung bergeming, sama sekali tidak berminat untuk sedikitpun merespon. Ia adalah orang yang berkomitmen. Sungguh, belum pernah sama sekali seorang Kim Doyoung menkhianati komitmen yang ia buat. Tapi….komitmen yang ia bangun dulu telah hancur berkeping-keping dalam waktu yang terbilang sekejap. Jaehyun yang menghancurkan itu, Jaehyun mengakuinya dalam hati. Jadi, bukan salah Doyoung kalau ia memutuskan untuk mengabaikan permintaan maaf Jaehyun itu, membiarkannya mengambang di udara yang menurut Doyoung semakin sesak setiap detiknya.

Oh ya? Benarkah ia akan mengabaikan itu? Karena seluruh tubuhnya bergetar hebat. Kelenjar air matanya hendak meledak, menggigit bibirnya hingga kebas. Doyoung menarik napas panjang, menahan seluruh gelombang aliran di pelupuk matanya. "Aku…Aku memaafkanmu bertahun-tahun yang lalu. Aku memaafkanmu berkali-kali waktu itu, bertahan dan terus bertahan bahkan ketika aku tak memiliki pegangan karena kau satu-satunya peganganku, tapi kau pergi Jahyun-a! Kau pergi bahkan sebelum aku memaafkanmu kembali, aku menunggumu kembali, menunggu setidaknya panggilan atau pesan teks."

"Who wants ice cream?" Taeyong masuk dengan dua bungkus es krim di tangannya. Ia segera menutup mulutnya ketika menyadari suasana ruang makan yang sangat ganjil, bergantian menatap Jaehyun yang bergeming dan Doyoung yang berkaca-kaca.

"Aku membencimu!" Doyoung berkata cepat kemudian berjalan keluar tanpa menolehkan kepalanya ke belakang, menubruk Taeyong dan membuatnya sedikit limbung. Menggumamkan 'aku akan pulang' kepada Taeil dengan cepat ketika berpapasan di halaman.

Taeyong menatap Jaehyun tajam. "Seriously, Jaehyun! Tidak bisakah kau memanfaatkan kesempatan yang sudah kuberikan padamu dengan susah payah ini? Tidak bisakah kau meminta maaf dengan benar?"

Jaehyun tidak merespon, hanya memijat pelipisnya. "Dia membenciku, hyung."

You guys are fucked up. Taeyong berjalan ke arah lemari pendingin, menarik beberapa kaleng bir dari raknya, kemudian meletakkannya di atas meja. Membuka satu kaleng kemudian ia sodorkan kepada Jaehyun. "Ini karmamu, Jae! Kau pantas menerimanya." Taeyong membuka kaleng bir yang lain, menghabiskannya dalam satu tegukan. Bagaimanapun juga, ia ikut andil dalam kekacauan di antara mereka. Andai saja, andai saja malam itu Taeyong tidak datang dan menawari Doyoung beasiswa. Mungkin keadaan mereka lebih baik.

Tak ada satu orangpun yang tahu bagaimana Jaehyun dan Doyoung berpisah, bahkan Taeyong dan Taeil yang menjadi sahabat Doyoung sejak lama. Taeyong hanya tidak sengaja terlibat karena ia datang di malam berhujan itu, dengan formulir aplikasi beasiswa itu. Setelah itu semua terlihat baik-baik saja, kecuali Jaehyun yang sama sekali tidak memunculkan wajahnya sampai hari keberangkatan Doyoung. Saat itu Taeyong tidak merasa aneh karena ia tahu, Jaehyun sedang berada di luar kota untuk meneruskan studinya. Hingga satu hari ketika Jaehyun menghubunginya di tengah malam, ragu-ragu menanyakan kabar Doyoung. Saat itulah, Taeyong menyadari, ia membuat satu kesalahan.

Jaehyun meremas kaleng birnya, membuka kaleng lain kemudian menghabiskannya dalam satu tegukan. "Dia membenciku. Dia membenciku. Dia membenciku…"

Taeyong menghela napas panjang, tidak menyangka Jaehyun sehancur ini. "Malam itu…" Taeyong menjeda sesaat untuk meneguk bir yang tersisa di kalengnya. "Malam itu….apa yang terjadi?"

Berbicara tentang malam itu…rasanya Jaehyun ingin mengubur ingatan tentang malam itu, menghapusnya selama-lamanya. Ia ingin kembali ke malam itu, merubah segalanya. Seandainya, seandainya malam itu tidak terjadi, Doyoung tentu berada di sampingnya sekarang. Menyusuri jalanan Incheon, menari di atas kap mobil, menenggak cola seperti yang selalu mereka lakukan dulu. Seandainya malam itu Jaehyun mengatakan yang sebenarnya, meskipun posisinya berada di posisi sulit.

.

Let's break up.

Doyoung telah menatap layar ponselnya selama lima menit. Berulang kali iris matanya bergulir dari kiri ke kanan, mencoba untuk mencerna satu kalimat berisi tiga kata itu. Selama lima menit itu pula Doyoung berharap apa yang ia baca, apa yang ia cerna adalah sebuah kesalahan akibat demam yang menderanya sejak pagi atau efek samping dari obat flu hampir kadaluwarsa yang ia temukan di laci mejanya.

Kalimat itu tidak berubah, layar ponselnya masih menyala dan menampilkan pesan singkat itu. Jangan tanya rasanya karena ia merasa sebuah palu besar memukuli seluruh tubuhnya, membuatnya pening tidak karuan. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa, bagaimana ia harus membalasnya karena otaknya terasa macet sekarang, dan menyusun satu kalimat saja sangat sulit baginya. Satu yang menjadi sebuah kesimpulan di benaknya, Jaehyun ingin putus.

Tapi kenapa?

Malam itu Doyoung berlari, menembus hujan dengan pening yang terus mendera kepalanya. Berlari tanpa peduli flunya akan menjadi lebih parah nantinya. Doyoung tidak peduli semua itu yang ia pedulikan adalah apa jawaban Jaehyun nanti ketika ia bertannya 'kenapa'.

Jaehyun tidak memberi jawaban. Malam itu Jaehyun hanya diam, mengusak helai rambut basahnya tanpa mengatakan apapun. Sementara Doyoung terus menggumamkan 'kenapa' di dalam gumamannya namun tak ada satupun kata yang keluar dari mulut Jaehyun yang menjawab pertanyaannya.

Bahkan ketika Doyoung mulai memukuli dada Jaehyun dengan tenaganya yang tersisa, Jaehyun tetap bergeming. Menatap iris gelap Doyoung tanpa goyah, memeluknya dengan erat. Membuat Doyoung semakin bingung dengan segala perlakuannya. Jaehyun begitu erat memeluknya, bahkan caranya menatap Doyoungpun sama sekali tidak berubah. Lalu kenapa? Kenapa dengan pesan teks itu? Doyoung begitu frustasi, hingga satu kata terkutuk keluar dari mulutnya.

"Benci…" suara rintik hujan yang menghantam aspal memenuhi seluruh gendang telinganya. "Aku membencimu!"

.

Doyoung membuka matanya dengan cepat ketika mendengar pagar rumahnya berderak dengan suara yang cukup memekakkan telinga. Dengan cepat ia menyambar sweater tipis yang tersampir di atas kursi. Ia membuka pintu, mendapati Jaehyun tengah menggoyangkan pagar besi itu. Gila. Doyoung ingat tadi melirik jam dan menunjukkan pukul dua dini hari. Dengan terpaksa ia membuka gerbang rumahnya dan membiarkan Jaehyun melangkah masuk sebelum tetangganya melaporkan ke polisi karena membuat kebisingan. Doyoung terkesiap ketika sebuah lengan kekar menelusup ke bawah lengannya sendiri, melingkari pinggangnya.

"Aku merindukanmu, hyung…." sebuah bisikan menggetarkan gendang telinganya, nyaris selembut angin.

Doyoung melepaskan lengan Jaehyun dari pinggangnya kemudian memutar tubuhnya menghadap yang lebih muda. Aroma alkohol langsung memenuhi indra penciumannya. Jaehyun menatapnya dalam-dalam, tidak tampak seperti seseorang yang mabuk. Berdirinya tegap, tatapan matanya tegas. "Kau mabuk!" Doyoung bergumam cepat, berjalan menuju pintu rumahnya.

"Kau harus tahu, bahwa aku tak pernah berhenti mencintaimu. Barang satu detikpun, aku tak pernah berhenti. Aku cukup sadar untuk memberitahumu hal itu."

Doyoung menghentikan langkahnya untuk mencapai pintu, berdiam dengan tangan menggenggam erat handle pintu.

"Aku kembali masuk dalam kehidupanmu bukan untuk mencintaimu sekali lagi. Aku kembali untuk mendapatakan kembali apa yang telah menjadi milikku."

Doyoung tanpa sadar menahan napasnya, buku-buku jarinya memutih. Otaknya bekerja keras mencerna seluruh perkataan Jaehyun, memprosesnya untuk memberikan respon yang tepat. "Lalu…" Doyoung mulai menemukan kembali cara untuk bernapas. "Bagaimana dengan dulu?"

Jaehyun menatap Doyoung dengan mata yang berair. Sungguh, sulit bagi Jaehyun untuk menjelaskan pada Doyoung, sulit baginya untuk menjawab pertanyaan Doyoung yang hanya berisi satu kata 'kenapa'. Karena jawaban itu sangat rumit, jawaban itu akan sangat panjang dan berbelit. "Tak bisakah kau melupakan itu? Lupakan malam itu dan berjalanlah lagi di sampingku."

.

.

-end-

A/N : hai…lama ngga nulis sepanjang ini, tapi tetep aja hasilnya cuma ginian, jele sekali wkwk. Aku sedih melihat ff jaedo sedikit banget yang di ffn huhu, jadi aku mencoba untuk mengupload ff ini di ffn. Ini sengaja aku bikin open ending karena aku mau kalian bikin sendiri endingnya apakah doyoung ngeiyain jaehyun buat balikan atau engga, jadi….share your ending di kolom review, aku pengen tahu gimana ending buatan kalian wkwk. Makasi buat yang sudah mampir, baca, dan review. I love you guys a lot.