a/n1. saya bukan shu-centric. tapi shu itu benar-benar penuh inspirasi, terlepas dari segala ironinya.
a/n2. OOC yah. apa boleh buat. kepikiran desperate!liubei terus sih.
a/n3. dynasty warriors adalah kepunyaan tecmokoei dan saya tak mengambil keuntungan materiil apapun.
Hari ini, dataran Yi Ling menjadi saksi bisu. Dua pasukan besar siap untuk saling memusnahkan. Dada mereka dipenuhi bara kebencian dan kebuasan yang berkobar-kobar. Pepohonan dan rerumputan menjadi penonton terpaksa; mereka tak punya pilihan lain. Andai saja mereka bisa mengelak dari menyaksikan peristiwa hari ini, tentu mereka akan mengelak sejauh-jauhnya.
Andai saja, ia, Liu Bei, juga bisa berbuat demikian.
Peperangan, dimanapun ia berada, hanya berbuah kepahitan dan kemusnahan. Peperangan adalah wujud dari potensi manusia itu sendiri. Manusia tak menghendakinya, namun ia terus menggeliat untuk menampakkan eksistensi dirinya.
Liu Bei menyadari itu. Makanya, telah lama bergolak dalam hatinya untuk mempersatukan negeri ini. Mimpinya untuk mewujudkan perdamaian. Hidup berdampingan, saling membantu, saling menghormati, dan bertukar apa saja untuk kebaikan bersama—tidakkah itu semua indah?
Tapi, sekali lagi, itu hanya mimpi. Kedua matanya yang nyala, tidak tidur, selalu melihat kenyataan yang terbalik dari mimpinya. Mau sekeras apa ia berusaha, tetap saja seperti ini. Terlebih setelah kematian Guan Yu. Saudara seperjuangannya yang sudah melangkah dengan gagah menuju akhirat. Juga para rekan yang ia sayangi sepenuh hati.
Saat itulah ia sadar, berkat amarah dan dendam yang menelisik masuk ke bilik hatinya. Bahwa sudah seharusnya peperangan ada. Karena sifat dunia beserta isinya adalah kemusnahan. Yang dulu ada, sekarang tidak ada. Yang dulu berseri, sekarang layu. Yang dulu hidup, sekarang mati. Zaman ini memang sudah terlanjur diwarnai acara bunuh-membunuh tanpa alasan. Seakan mereka, manusia-manusia yang bernapas dan menapakkan kakinya pada zaman ini, dikutuk oleh roh nenek moyang. Kutukan yang tidak hilang-hilang; mungkin, hingga mereka sendiri yang hilang dari muka bumi ini.
Aba-aba peperangan terdengar, terompet malaikat maut telah ditiup. Ribuan manusia berpacu dengan senjata terhunus. Begitu juga Liu Bei. Ia, bersama kuda yang ditungganginya, berlomba mengejar kematian. Untuk kebenaran, keadilan, atau kesejahteraan? Tidak semuanya. Mungkin ia mengejar kematian untuk sekedar gengsi, harga diri yang dibuat-buat.
/ /
Satu hal yang Liu Bei sadari, ketika ia kembali melihat kenyataan yang ada di hadapannya.
Banjir darah ini juga menyebabkan banjir pada kedua ceruk matanya.
