Aku adalah gadis Hyuuga. Semua orang pasti mengetahuinya bila melihat kulitku yang putih pucat. Iris mataku juga berwarna pucat. Rambutku terurai panjang sewarna dengan bunga lavender. Namaku adalah Hinata Hyuuga.

Aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk duniaku sendiri. Aku tak pernah mengurusi apa yang tidak menjadi urusanku. Aku sangat merasa nyaman bila bisa menghabiskan waktu seorang diri saja. Namun, kebiasaan ku yang suka menyendiri ini tak kusadari telah mengubahku menjadi pribadi yang tertutup. Kebanyakan para introvert(orang yang tertutup) itu mengalami Anxiety Disorder. Syndrome yang membuat penderitanya merasakan rasa cemas yang berlebihan. Tentu aku mengalami syndrome ini, spesifikasi Fobia Sosial. Namun, hanya keluargaku saja yang tahu.

Konflik mulai bermunculan ketika aku menginjak masa remaja. Teman-temanku mulai menganggapku aneh, itu yang terfikirkan olehku saat aku berusia 13 tahun. Di usia yang sangat belia itu, aku hanya mempunyai beberapa seorang sahabat. Aku selalu mencoba untuk bisa bergaul dengan temanku, tapi nihil karena AD yang kuderita ini menyugestiku untuk takut bersosialisasi dengan teman-temanku. Jadi, ekspresi yang aku munculkan hingga sekarang ini hanyalah ekspresi murung. Mungkin, kemurungan inilah yang menjadi alasan teman-temanku untuk menjauhiku.

Hingga kini saat diriku sudah berumur 17 tahun, kadang aku masih mengalami itu. Kini sudah tambah parah. Ini membuatku depresi akut tanpa aku sadari. Aku hanya memberitahu ibuku tentang depresi yang aku derita. Kadang aku memikirkan tentang kematian dan bunuh diri. Meski aku tak berniat untuk bunuh diri, sebagian hatiku menginginkan diriku untuk mati tanpa alasan yang pasti.

Sebenarnya aku sudah merasakan depresi ini saat aku kelas satu SMA, tapi hanya depresi biasa yang tidak sampai pada pikiran ingin mati. Sewaktu aku masih 16 tahun, aku menyiasati untuk melupakan depresi itu dengan menyibukkan belajar setiap hari. Karena itu, aku menjadi pintar sejak umurku 16 tahun.

Sifatku yang memang aslinya pendiam ini seolah terlihat sombong oleh temanku. Mungkin karena itu juga mereka menjauhiku. Karena terus-menerus dijauhi oleh temanku, diriku terlatih untuk melakukan apapun seorang diri. 'Aku bisa melakukannya sendiri' itulah motto hidupku.

Tentu saja, aku ini menjadi object bully yang empuk. Aku terus-menerus dibully oleh mereka yang hanya bisa berbicara omong kosong. Sekali aku pernah melawan pembully itu dan berakhir jadi kontroversi. Sejak itu pula, teman-temanku semakin menjauhiku karena pasti mereka takut berteman dengan object bully. Para senpai itu membully diriku hingga hatiku mengeras.

"Hinata, kenapa kau diam saja? Jawab pertanyaanku! Bagaimana kau mendapat bekas tamparan itu?" ucap Hyuga Neji (sepupuku)

"Ini bukan tamparan, aku hanya terjatuh" balasku

"Kau tidak ahli dalam hal berbohong"

"Bisakah kau menghargai privasi orang lain?"

"Jadi kau menganggapku ini orang lain? Aku orang lain bagimu?"

"Okey, aku mendapat tamparan ini dari senpai perempuanku. Lalu, apa yang akan kau lakukan? Kau akan membuang beasiswamu demi menjagaku disini?"

"Hinata, kau sudah ku anggap seperti adik kandungku sendiri"

"Aku tak suka Neji-nii yang seperti ini. Sama saja kau menganggapku tak bisa menjaga diri"

"Kau salah paham"

"Apa? Itu omong kosong"

"Hinata, apakah orang lain tahu tentang syndrome itu?"

"Apa? Kenapa kau membahas itu? Kau fikir aku tak bisa menjaga diri karena penyakit jiwa ku ini?"

"Aku tak bermaksud begitu"

Aku hanya meninggalkan Neji tanpa berkata-kata lagi. Aku mengurung diriku di pikiran ingin mati itu muncul lagi. Di saat seperti ini, aku menyibukkan diriku dengan menulis cerpen. Cerpen yang ku tulis sejak dua tahun lalu menumpuk di folderku hingga 100 ribu kata.

Karena sudah banyak, aku mengurungkan niatku untuk membuat cerpen lainnya. Aku membaca lagi cerpen yang pernah aku buat. Saat membaca cerpen buatanku, aku hanya bisa tersenyum terkekeh. Aku tak bisa lagi meneteskan air mata untuk mengenang masa laluku. Air mataku sudah kering. 'Sudahlah, aku belajar lagi saja' pikirku setelah itu.

Bel tanda pulang sekolah sudah lama berbunyi. Aku masih saja membaca buku catatanku di atap sekolah. Ku lihat, Ino dan Sakura membuka pintu itu. Mereka berdua berlari kearahku dengan senyum yang mengembang. Mereka menunjukkan tiket karaokean itu padaku.

"Ayo Hinata, kita bersenang-senang" ucap Sakura

"Maaf, aku kan sudah bilang kalau aku tak bisa menyanyi" jawabku

"Ayolah Hinata, aku juga mengajak cowok dari SMA tetangga loh" ajak Ino

"Maaf, aku pulang dulu. Kalian hati-hati ya" jawabku langsung pergi meninggalkan mereka

Mereka tak paham bahwa aku ini susah beradaptasi dengan orang baru. Beradaptasi dengan teman-teman sekelasku saja belum bisa. Apa yang mereka pikirkan hingga mengajakku berkenalan dengan cowok dari SMA tetangga? Aku terus berlari. Tak aku pedulikan meski aku sedang berada di lorong. Ku pikir sudah tak ada orang lain, tapi aku menabrak seorang cowok.

"Gaara?"

"Hinata?" panggilnya langsung ambruk

Ku lihat wajah Gaara sudah memar. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Aku mengambil tisu di tasku, lalu mengelap darahnya. Aku mengantarnya ke ruang kesehatan saat itu juga. Tak ada siapapun disana.

Aku merebahkan tubuh kekar Gaara ke tempat tidur. Aku merawat lukanya, canggung sih rasanya. Aku dan Gaara sama-sama bersikukuh untuk tak memulai percakapan. Aku menyabut serpihan kaca yang menancap pada dahi Gaara dengan pinset. Dia menahan jerit, aku tahu. Pasti rasanya sakit sekali. Apalagi saat aku mengoleskan alkohol 70% ini pada luka Gaara yang membuka kecil. Aku menutup lukanya dengan perban. Setelah selesai merawat Gaara, aku berpamitan pulang padanya.

"Hinata, boleh aku minta tolong?"

"Iya?"

"Kau mau mengantarku pulang?"

"Naik motorku?"

"Aku pusing sekali, kita pulang dengan mobilku saja ya"

"Apakah kau baik-baik saja? Kau jangan menyetir dulu"

"Kau saja, aku pusing sekali"

Aku menuntun Gaara menuju parkiran sekolah. Tak aku acuhkan segerombolan siswa itu yang menggosipkan kami. Aku terus berjuang membantu Gaara menopang tubuhnya hingga kami sampai di mobil Gaara. Wajahnya terlihat sangat pucat. Sedari tadi ia terus saja memegangi kepalanya.

"Gaara, daijo buka?"

"Hm"

Canggung, kira-kira hanya percakapan itu selama perjalanan menuju rumah Gaara. Aku menuntunnya ke kamar Gaara. Tidak ada percakapan sama sekali. Rupanya Gaara sendirian di rumah siang itu. Mungkin Gaara langsung tertidur karena merasakan lukanya yang amat parah. Aku langsung pulang tanpa berpamitan dengan siapapun.

Aku berjalan kaki menuju rumah karena jarak rumahku dan Gaara hanya beberapa meter. Kami adalah tetangga. Aku sempat menengok lagi ke rumah Gaara. Rasanya rumah itu penuh dengan kenangan masa kecil kami. Sebenarnya, kami sudah berteman sejak kecil. Tapi, kami saling menjauh karena ejekan teman kami yang mengira kalau kami ini sepasang kekasih saat di SMP dulu. Itulah alasan mengapa aku tak cemas saat bersosialisasi dengan Gaara.

"Hinata-nii, sudah pulang?"

"Iya Hanabi. Neji-nii sudah berangkat?"

"Iya, apa kalian bertengkar lagi?"

"Tidak"

"Kenapa Ne-chan pulang telat? Motor Ne-chan dimana?"

"Di sekolah, Hanabi aku capek. Kau makan malam saja dulu. Aku belum ingin makan"

Inilah kebiasaanku, mengurung diriku di kamar. Capek sekali, mungkin karena membantu Gaara berjalan tadi. Gaara sudah tumbuh, selama ini. Aku tak sadar kalau Gaara sudah lebih tinggi dariku. Padahal, dulu tinggi kami sama. Telah terukur di dinding kamarku ini. Gaara, bertemu denganmu tadi siang membuatku merasa seperti sudah lama tak bertemu denganmu. Rasanya seperti aku amnesia dan memori tentangmu hilang sebentar.

More than words, is all you have to do to make it real

Than you wouldn't have to say that you love me

Cause I'd already know

Itu lagu yang dulu selalu ku nyanyikan bersama Gaara, saat kami masih kecil. Gitar yang berada di sudut ruangan kamarku ini menyimpan sejuta kenanganku dengannya. Si rambut merah itu, yang selama ini sudah mencuri hatiku. Sabaku No Gaara, nama indah, yang selalu aku sebut dalam doaku. Aku tak kuasa memendam perasaan ini sendiri. Aku selalu menyampaikan perasaanku pada Gaara lewat doa. Aku selalu memuntahkan memoriku tentang Gaara pada cerpen yang aku ketik.

Sudah lama rasanya saat terakhir kali aku dan Gaara menyanyikan lagu itu. Aku ingin mengenang sekali lagi. Tak cukup mendengarkan lagu versi aslinya di komputer. Aku sendiri yang akan menyanyikannya. Aku menyetem senar gitar ini terlebih dulu. Lalu aku memetik dan menggenjrengnya.

Then you couldn't make things new

Just by saying 'I love you'

Setelah selesai menyanyikan lagu itu, semua memori tentang Gaara kembali lagi. Senyum polosnya dan sikapnya yang lugu dulu. Tidak seperti Gaara yang sekarang, urakan. Tapi, tak mengubah perasaanku padanya. Tiga kata itu tetaplah utuh untuk Gaara dariku 'I Love You'. Seperti lagu yang tadi aku nyanyikan.

"Ne-chan"

"Hanabi, aku sudah bilang. Makanlah duluan"

"Tidak, aku ingin menunggumu"

"Tou-san dimana?"

"Tadi siang berkunjung ke makam Kaa-san. Kalau sekarang masih sibuk mengurus pasien"

"Oh"

"Ne-chan, sudah lama aku tak mendengarmu menyanyikan lagu itu"

"Yang mana?"

"Yang dulu sering kau nyanyikan bersama Gaara"

"Hanabi, aku sudah kenyang"

"Eh?"

"Aku mulai diet, berat badanku terus bertambah akhir-akhir ini"

Setelah membereskan piring kotor itu, aku langsung tiduran di kamarku. Letihku masih sangat terasa. Hingga membuatku sulit tidur. Haruskah aku tidur di kamar Hanabi lagi malam ini? Aku benci dengan diriku yang insomnia. Tapi, kenapa bayangan Gaara terus yang mengejarku?

"Hanabi..."

"Belum tidur Ne-chan?"

"Insomnia"

"Tidurlah di sini bersamaku"

"Iya"

Hanya Hanabi dan Kaa-san ku yang mengerti diriku sepenuhnya. Ralat, maksudku mereka berdua dan Gaara. Gaara diam saja saat aku menjauhinya. Dia tak pernah menuntut suatu alasan padaku. Dia menerima sikapku yang menjauhinya begitu saja. Dia benar-benar mengerti diriku. Tapi, kalau tentang perasaanku padanya mungkin saja ia belum mengetahuinya. Meskipun aku mempunyai perasaan khusus pada Gaara, aku selalu berusaha untuk bisa menunjukkan sikap yang membuat kesan sebaliknya.

"Ne-chan"

"Hm?"

"Tadi saat aku meminjam buku di kamarmu, aku menemukan surat cinta lagi"

"Oh"

"Ne-chan"

"Nani?"

"Apakah kau ingat? Berapa cowok yang sudah menembakmu?"

"Itu pertanyaan macam apa?"

"Ne-chan?"

"Dosta?"

"Ini hanya teoriku saja sih"

"hm?"

"Para pembully itu membully mu karena existensimu di kalangan para cowok"

"Pembully?"

"Jangan berlagak tidak tahu, Neji-nii yang memberitahuku tadi siang"

"..."

"Ne-chan"

"Nani?"

"Jangan murung, nanti kecantikanmu jadi terpendam"

"Bicara apa kau Hanabi?" ucapku sambil menyubit pipinya pelan